BAB 6

2889 Words
“J-Jangan bicara sembarangan, Mai. Aku perhatikan sejak tadi bicaramu melantur terus.” Rie bicara sambil gelagapan, tentu karena dirinya begitu terkejut dengan perkataan Mai yang mengatakan Hiro menyukai dirinya. Padahal menurut Rie, itu hal yang mustahil. Dia dan Hiro selama ini berteman baik, mereka rekan satu tim dan selalu kompak. Dia tak ingin karena rumor tak benar yang dikatakan Mai membuat hubungannya dan Hiro menjadi canggung.  Mai berdecak, “Aku tidak melantur. Semua orang di kantor sudah mengetahui hal ini, kau saja yang tidak peka sampai tidak menyadari Hiro ada rasa padamu.”  Rie meneguk ludah, entah kenapa dia tiba-tiba menjadi gugup seperti ini, “Atas dasar apa kalian berpikir seperti itu? Apa Hiro sendiri yang mengatakannya pada kalian?”  Mai menipiskan bibir, “Orang seperti Hiro yang pendiam, cuek dan dingin itu mengatakan perasaannya di depan kami? Jelas itu sesuatu yang mustahil. Mana mungkin dia mengatakannya pada kami.”  Rie kini memicingkan mata semakin yakin Mai memang hanya melantur dan sedang menggodanya seperti biasa. “Berarti kalian hanya berasumsi dia menyukaiku tanpa ada bukti yang jelas, kan? Berarti sejak tadi kau hanya mengatakan omong kosong. Lagi pula Hiro tidak mungkin menyukaiku, jangan menyebarkan rumor tak benar, Mai.”  Mai memutar bola mata, ini yang membuatnya terkadang malas bicara dengan Rie, selain tidak peka, wanita itu juga begitu polos soal percintaan dan sangat keras kepala, tidak mudah mempercayai orang lain. Semua hal harus disertakan bukti yang jelas, baru dia akan percaya.  “Jadi kau butuh bukti Hiro itu mencintaimu?”  Rie yang sedang menyantap roti itu pun kembali mendongak menatap Mai yang masih saja bersikukuh membahas tentang masalah ini. Rie mendesah lelah, sebelum kepalanya terangguk beberapa kali, “Coba kau buktikan padaku baru aku akan percaya Hiro menyukaiku.”  “OK, aku akan menyebutkan bukti-buktinya.”  Rie mencoba mengabaikan Mai yang sedang bersemangat karena bagi temannya itu membicarakan pria memang seketika membuatnya bersemangat dibandingkan membicarakan tentang kasus dan pekerjaan mereka. Berbanding terbalik dengan Rie yang justru bersemangat saat membicarakan pekerjaan terutama jika sudah membahas tentang kelompok yakuza sekelas Kitsune.  “Kau tahu kan Hiro itu cukup populer di kantor?”  Rie mengangguk, tak memungkiri yang dikatakan Mai ini memang benar. Hiro memang populer di kantor mereka karena begitu banyak wanita yang mengejarnya, secara terang-terangan mendekati dan mencoba menarik perhatian Hiro. Ya, walau bagi Rie ini sesuatu yang wajar mengingat Hiro cukup tampan, cerdas dan sangat bisa diandalkan setiap menjalankan misi. Apalagi dia juga seorang penembak jitu, wanita mana yang tidak akan terpesona olehnya? Oh, coret nama Rie karena wanita itu murni hanya menganggap Hiro sebagai rekan kerja sekaligus teman dekat. Walau pertemanannya dengan Hiro tak sedekat persahabatannya dengan Mai.  “Tapi tidak ada satu pun dari wanita-wanita yang mengejarnya direspon oleh Hiro. Dia selalu mengabaikan mereka, bahkan Naomi. Kau tahu kan, Naomi?”  Rie kembali mengangguk, “Maksudmu Naomi dari divisi investigasi?” Mai menjentikkan kedua jari karena tebakan Rie tepat adanya. “Iya, benar Naomi yang itu. Dia pernah menyatakan cinta pada Hiro sampai beberapa kali dengan sengaja membuatkannya bento. Kau mau tahu apa jawaban Hiro?” Satu alis Rie terangkat naik, “Apa?” tanyanya mulai penasaran karena dia tak pernah mendengar cerita ini.  “Dia bilang begini …” Mai memasang pose sedang bersedekap d**a untuk menirukan gaya Hiro yang selalu sok cool, lalu wanita itu berdeham sebelum melanjutkan ucapannya, “… ‘Aku tidak akan memberikan harapan apa pun padamu karena aku tidak akan pernah membalas perasaanmu. Aku sudah memiliki seseorang yang aku sukai. Dan untuk bento-nya, mulai besok jangan repot-repot membawakannya lagi, terima kasih untuk yang ini, anggap ini bento terakhir yang kau buatkan untukku’, begitu yang dia katakan pada Naomi.”  Rie terbelalak, terkejut tentu saja jika memang yang dikatakan Mai ini benar, dia jadi kasihan pada Naomi karena sudah ditolak mentah-mentah oleh Hiro. “Masa Hiro setega itu? Dia langsung menolak tanpa kasihan sedikit pun pada Naomi yang sudah baik padanya?”  Mai yang sempat berdiri kini kembali mendudukan diri di brankar, tepat di samping Rie. “Dia memang sekejam itu pada wanita. Padahal Naomi itu sangat cantik. Kau kan tahu sendiri dia itu wanita pesolek yang selalu berpenampilan menor.” “Sama sepertimu,” celetuk Rie sambil menunjuk wajah Mai dengan jari telunjuknya. Dia terkekeh begitu melihat Mai sedang merengut tak suka.  “Jangan samakan aku dengannya, aku bukan wanita pesolek.” “Kau juga tidak percaya diri kalau keluar rumah tidak dengan memakai riasan.”  Mai mengibaskan rambut panjang sepinggangnya dengan angkuh, “Tentu saja. Wanita itu memang harus tampil cantik dan feminim agar menarik perhatian lawan jenis. Jangan samakan aku denganmu yang selalu berpenampilan sederhana dan nyaris tidak pernah memakai make up. Terkadang aku berpikir kau ini sebenarnya wanita atau pria.” “Kau tahu jawabannya karena kita pernah berendam bersama di pemandian air panas.”  Mai memutar bola mata, lagi dan lagi Rie selalu bisa membalikkan kata-katanya. “Terserah kau saja, yang pasti Naomi yang disukai banyak pria di kantor kita itu sudah ditolak mentah-mentah oleh Hiro.” “Kau sampai tahu cerita detailnya saat Naomi ditolak Hiro, apa karena kau melihat sendiri kejadian itu?”  Mai menggelengkan kepala berulang kali, “Tidak. Tapi aku mendengarnya dari si tukang gossip, kebetulan dia menjadi saksi saat kejadian itu berlangsung.”  Si tukang gossip yang dimaksud Mai, tentu Rie mengetahuinya. Dia adalah Toya dari biro lalu lintas. Alih-alih sibuk menegakan peraturan lalu lintas, pria itu justru sibuk menyebarkan berita tentang orang lain. Setiap berita yang sudah diketahui Toya maka akan langsung tersebar ke seantero kepolisian Jepang. Seperti itulah kira-kira kekuatan mulut dari si tukang gossip itu. Sekarang Rie tak heran Mai bisa mengetahui tragedi penolakan cinta Naomi yang begitu memprihatinkan ini. Dia jadi kasihan pada Naomi yang pasti menjadi pusat perhatian dan bahan pembicaraan semua orang di kantor mereka di saat senggang. Rie heran pada dirinya sendiri yang baru mendengar gossip ini sekarang.  “Oh, Toya yang menyebarkannya.” “Ya. Dan kau tahu sendiri informasi yang disampaikan Toya tidak mungkin salah. Terkadang aku heran kenapa dia tidak ditempatkan di divisi investigasi saja karena kemampuan penyelidikannya sangat bisa diandalkan. Tapi dia malah ditempatkan di biro lalu lintas.” Mai tertawa lantang di akhir ucapannya.  Rie ikut tertawa, untuk kali ini saja dia sependapat dengan Mai. Tawa Rie terhenti saat dia menyadari sesuatu. “Hiro menolak Naomi, kau jadikan sebagai bukti dia menyukaiku? Tapi di mataku itu tidak bisa dijadikan bukti apa pun.”  Mai berdecak, jengkel karena Rie masih juga tak paham. “Ck, kau dengar kan alasan Hiro menolak Naomi tadi? Dia bilang sudah memiliki seseorang yang dia sukai.”  Rie tak memungkiri dia memang mendengarnya, tapi baginya itu tak membuktikan apa pun. “Ya. Tapi Hiro tidak mengatakan nama wanita yang disukainya itu.” “Sudah jelas wanita yang disukainya itu adalah kau,” sahut Mai sembari menunjuk wajah Rie dengan jari telunjuknya. “Hah? Kenapa jadi aku?” “Si Hiro itu selalu mengabaikan semua wanita. Tolong digarisbawahi, dia cuek pada semua wanita kecuali satu orang. Dan itu kau, Rie. Kau sadar kan Hiro sangat perhatian padamu?”  Rie mengernyitkan kening, benar Hiro baik padanya tapi menurutnya itu karena mereka berteman dekat dan karena mereka rekan kerja yang selalu bekerja sama setiap saat. Bukan karena alasan lain.  “Itu karena kami berteman. Dan karena kami rekan kerja yang selalu bekerja sama setiap ada misi. Aku rasa wajar jika dia baik padaku.” “Tapi dia baik hanya padamu, Rie. Padaku sangat jauh berbeda, padahal aku ini juga teman sekaligus rekan kerjanya. Kita bertiga satu tim, ingat? Tapi sikapnya padamu dan padaku bagai langit dan bumi perbedaannya.”  Melihat ekspresi wajah Mai yang seperti jengkel bukan main, Rie kembali terkekeh geli. “Kau berlebihan.” “Itu kenyataannya, masa kau tidak menyadarinya?” “Aku lihat dia baik juga padamu.” “Baik padaku? Kapan kau melihatnya berbuat baik padaku? Dia itu selalu mengatakan kata-kata pedas padaku.” “Itu karena kau yang menyebalkan. Di saat dia serius membicarakan tentang kasus, kau selalu saja bercanda, kan?”  Mai mengembuskan napas pelan, terkadang lelah bicara dengan Rie yang sulit sekali untuk diyakinkan. “Tetap saja sikapnya pada kita berdua sangat berbeda. Dia sangat perhatian padamu. Dan juga sangat peduli, buktinya dia sampai terburu-buru datang ke sini begitu mendengar kabar kau sedang dirawat karena tertembak.”  “Jika kau berada di posisiku, aku yakin dia juga akan menjengukmu.” Mai mendengus kali ini, “Apanya yang menjengukku? Kau ingat saat lenganku patah ketika melakukan penyusupan untuk menyelidiki Yamato? Aku harus mati-matian melawan pria itu saat dia nyaris melecehkanku sampai tanganku patah,” kata Mai sembari menunjuk lengan kanannya yang memang pernah patah akibat dirinya yang nyaris dilecehkan target yang sedang dia selidiki.  Rie mengulum senyum, tentu dia mengingat kejadian setahun yang lalu itu. “Iya, aku mengingatnya.” “Waktu itu Hiro sama sekali tidak menjengukku, padahal hampir satu minggu aku dirawat di rumah sakit.” “Itu karena dia sedang ada misi, Mai.” “Tadi kau dengar sendiri, kan? Dia bilang hari ini sedang ada urusan tapi dia tetap langsung menjengukmu.”  “Misi dan urusan jelas berbeda, jangan disamakan, Mai. Mungkin urusannya tidak terlalu penting atau dia sudah menyelesaikan urusan itu makanya dia bisa datang ke sini untuk menjengukku.”  Habis sudah kesabaran Mai berbicara dengan Rie yang sangat pandai bersilat lidah, selalu saja Mai yang berakhir terpojokkan dengan Rie yang membalikkan kata-katanya dengan telak.  “Ah, aku capek bicara denganmu. Susah sekali menyakinkanmu. Padahal sudah jelas Hiro itu jatuh cinta padamu.” Rie memejamkan mata sembari menggelengkan kepala, “Kau sendiri tidak bisa membuktikannya padaku. Padahal jika buktinya logis dan masuk akal, mungkin aku akan percaya.”  Mai tiba-tiba menyeringai, membuat Rie tertegun diam detik itu juga. Dia tahu Mai pasti memiliki rencana jahat yang sedang menari-nari di dalam otak kecilnya.  “Baiklah, jika kau butuh bukti yang logis. Aku akan membuktikannya. Kau akan lihat sendiri yang kukatakan tentang Hiro yang menyukaimu itu memang kebenaran.”  “Bagaimana caramu membuktikannya?” tantang Rie, meski dia mulai merasakan fisarat buruk sekarang. Mai mengedipkan sebelah mata dan bicara dengan penuh percaya diri, “kau akan segera mengetahuinya setelah Hiro selesai bicara di telepon dan masuk lagi ke ruangan ini.”  Rie tak berkomentar lagi, memilih melanjutkan memakan roti yang belum habis daripada meladeni Mai yang semangatnya tengah kembali bahkan lebih menggebu-gebu dibanding sebelumnya.   ***  30 menit berlalu sejak Hiro keluar dari ruang perawatan Rie untuk menerima telepon. Pria itu kembali masuk ke dalam ruangan dan menaikkan satu alis begitu melihat ketegangan yang sedang terjadi antara Rie dan Mai. Entah apa yang dibicarakan kedua wanita itu tapi sepertinya pembahasan mereka cukup serius jika dilihat dari ekspresi wajah Rie yang menegang di tempat sedangkan Mai sedang menyeringai jahat.  “Hiro, lama sekali kau bicara di teleponnya. Siapa yang meneleponmu?” tanya Mai, selalu ingin mengetahui urusan orang lain. “Bukan urusanmu,” jawab Hiro ketus yang sukses membuat Mai menggeram. Lalu Mai menoleh ke arah Rie sambil menunjuk Hiro dengan dagunya, itu isyarat untuk membuktikan kebenaran ucapannya tadi bahwa Hiro selalu ketus dan cuek saat bicara dengannya, sangat jauh berbeda saat pria itu bicara dengan Rie.  Mai berdeham kali ini, memberi isyarat lain agar Rie ikut melontarkan pertanyaan pada Hiro agar mengetahui sendiri perbedaan pria itu memperlakukan mereka berdua.  Untuk kedua kalinya Mai berdeham karena Rie tak kunjung mengeluarkan suara, padahal dia yakin Rie memahami isyaratnya karena mereka sudah sepakat tadi akan membuktikan Hiro memiliki perasaan pada Rie.  “Hm, Hiro. Apa ada sesuatu yang penting terjadi? Kau baru saja menerima telepon dari seseorang yang mengabarkan sesuatu yang penting, kan? Karena kau lama sekali bicara dengannya di telepon.” Rie memilih mengikuti permainan Mai karena itu dia ikut bertanya, walau sebenarnya dia tak ingin ikut campur dengan urusan Hiro. Dia tak peduli dengan siapa pun Hiro barusan berbicara di telepon.  “Telepon dari adikku. Dia meminta hal-hal yang aneh padaku. Sama sekali bukan urusan penting, maaf jika bicara di teleponnya terlalu lama karena sangat sulit meyakinkan adikku agar dia mengerti aku tidak bisa mengabulkan permintaannya.”  Rie terbelalak karena dengan lantang Hiro menjawab pertanyaannya bahkan menjelaskan dengan siapa dia baru saja berbicara di telepon. Sedangkan Mai semakin memperlebar seringaiannya. Dia yakin kali ini Rie akan percaya bahwa Hiro memang ada rasa padanya.  “Memang adikmu ada permintaan apa padamu, Hiro?”  Tapi mengingat sifat Rie yang tak mudah percaya, Mai memutuskan untuk memberikan bukti yang lain.  Hiro menoleh dan melempar raut malas menanggapi pertanyaan Mai. “Bukan sesuatu yang penting. Tidak perlu dibahas.”  Mai kembali menantang Rie dengan lirikan mata agar wanita itu kembali melontarkan pertanyaan pada Hiro dan lihat perbedaan sikap pria itu pada mereka berdua.  “Adikmu kalau tidak salah masih duduk di bangku senior high school, kan, Hiro?” tanya Rie, lagi-lagi memilih mengikuti permainan Mai, yang katanya sedang membuktikan Hiro memang menyukainya.  Hiro memberikan anggukan tanpa ragu, “Benar. Tahun ini dia lulus.” “Oh, pantas remaja seusianya pasti sedang banyak permintaan yang aneh-aneh ya. Aku jadi penasaran ingin mengetahui adikmu itu meminta apa pada kakaknya,” ucap Rie sembari mengulas senyum.  Suara dengusan Hiro mengalun cukup keras, “Huh, terkadang aku sebal pada adikku. Dia memang sering meminta hal-hal yang aneh padaku.” “Contohnya?” Rie masih terus memancing. Dia yakin Hiro akan menolak membahas permintaan adiknya seperti respon yang dia berikan saat Mai yang bertanya tadi.  “Adikku sepertinya sedang menyukai teman sekelasnya. Dia memintaku untuk menemui pria itu. Tentu saja aku tidak tertarik ikut campur urusan dua remaja ingusan yang sedang terlibat cinta monyet.”  Dan untuk kedua kalinya Rie tercengang karena lagi-lagi Hiro memberikan jawaban yang tak sesuai harapannya. Padahal Rie berharap Hiro akan memberikan jawaban yang sama seperti saat Mai yang bertanya, agar Mai berhenti berpikir Hiro mencintai dirinya. Tapi jika Hiro terus membedakan jawabannya, Rie yakin Mai semakin merasa di atas angin sekarang karena perkataannya tadi terbukti benar.  “Wah, adikmu sedang kasmaran rupanya, sama seperti kakaknya ya?” Mai tertawa jahat di akhir ucapannya.  Hiro mendelik tajam pada Mai yang dia sadari sedang menyindirnya secara terang-terangan. Tak ingin meladeni Mai yang selalu banyak membicarakan sesuatu tak penting, Hiro meminta izin menggunakan toilet di ruang perawatan Rie karena dia memang ingin mencuci wajahnya yang terasa lengket karena tadi banyak berkeringat setelah membantu divisi investigasi mengejar pelaku tindak kriminal.  Begitu Hiro masuk ke dalam toilet, Mai langsung mencondongkan tubuh ke depan dan berbisik pelan di telinga Rie. “Tuh, kan, apa aku bilang? Kau lihat sendiri kan sekarang, sikapnya berbeda pada kita berdua? Ini bukti dia menyukaimu, Rie. Apa lagi yang kau ragukan?”  “Aku rasa dia malas meladenimu karena dia tahu sifatmu yang sering membicarakan hal tidak penting. Berbeda denganku yang selalu serius menanggapinya saat dia membicarakan tentang kasus dan pekerjaan kita. Karena itu dia tidak mau menjawab pertanyaanmu.”  Mai menggeram kesal, habis sudah kesabarannya menghadapi Rie yang begitu keras kepala dan masih saja menampik bukti yang jelas-jelas sudah menunjukan perasaan Hiro padanya.  “Jadi buktinya belum cukup bagimu?” “Yang barusan itu tidak bisa dijadikan bukti apa pun, Mai.”  Sesaat setelah Rie mengatupkan bibir, suara pintu toilet yang terbuka, terdengar. Mai menjauhkan diri dari Rie dan menatap ke arah Hiro yang baru saja keluar dari toilet dengan penampilan yang lebih segar. Wajah tampan Hiro semakin terlihat menggoda karena air yang menetes-netes. Bahkan air itu menetes dari rambutnya yang sedikit basah dan terlihat sedikit berantakan.  Untuk sesaat Mai meneguk ludah karena sempat terpesona melihat paras menawan seorang Hideaki Hiro. Tapi tak bertahan lama begitu dia kembali mengingat misinya untuk membuktikan pada Rie bahwa pria itu memang ada perasaan padanya.  “Hei, Hiro,” panggil Mai. Hiro kini memusatkan atensi pada wanita itu. “Kenapa?” tanyanya. “Kau malam ini sedang tidak ada tugas, kan?”  Kening Hiro mengernyit dalam, merasa Mai sebentar lagi akan mengatakan sesuatu yang akan merepotkannya. “Kenapa memangnya?” “Seperti yang kau lihat kondisi Rie seperti ini. Dia harus menginap beberapa hari di rumah sakit. Dan malam ini harus ada yang menjaganya. Karena malam ini aku ada acara dengan pacar baruku, jadi kau saja yang menemani Rie, ya? Kau bisa kan menginap di sini malam ini?”  Rie terbelalak mendengar permintaan kurang ajar Mai pada Hiro. Dia tentu menyadari rencana busuk yang sedang disusun Mai. Rie menatap wajah Hiro dengan seksama, berharap pria itu akan melontarkan penolakan.  “Baiklah. Aku akan menjaga Rie malam ini.”  Rie seketika tercengang, sedangkan Mai hanya mengulas senyum lebar, merasa dirinya baru saja memenangkan pertarungan dengan Rie.  “Terima kasih, Hiro. Kau baik sekali mau menjaga dan menemani Rie.” Dengan riang Mai berujar demikian, sebelum wanita itu menoleh pada Rie dan berpura-pura memeriksa kondisi Rie dengan mendaratkan telapak tangan di kening Rie, padahal alasan sebenarnya dia mencondongkan tubuh hingga mendekati telinga Rie karena dia ingin kembali membisikan sesuatu di telinga temannya tersebut.  “Malam ini buktikan sendiri olehmu kebenaran ucapanku tadi,” bisik Mai sambil mengedipkan sebelah mata.  Setelah itu Mai bangkit berdiri dari duduknya, “Baiklah, aku pergi dulu.” Dia melangkah menuju pintu dan sebelum benar-benar melangkah pergi, Mai kembali menoleh ke arah dua orang yang sedang menatapnya sambil memperlihatkan ekspresi wajah yang berbeda. Hiro yang menatap datar dirinya sedangkan Rie yang tampak memelas seolah sedang melarangnya untuk pergi.  “Semoga malam kalian menyenangkan, terutama untukmu, Rie. Sampai jumpa.”  Wanita itu lalu melempar ciuman jauh untuk dua rekannya dan benar-benar menghilang di balik pintu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD