BAB 5

2309 Words
“Ceritakan padaku bagaimana caranya kau bisa bertemu dengan pria tampan itu?”  Entah untuk keberapa kalinya Rie memutar bola mata karena malas meledeni Mai yang tiada henti merongrongnya dengan pertanyaan yang sama. Padahal membicarakan tentang pria bernama Raiden itu benar-benar tak baik untuk kinerja jantung Rie. Rie tak pernah seperti ini sebelumnya, dan dia tak nyaman dengan suasana hatinya yang gugup tak karuan hanya dengan membayangkan wajah tampan pria penolongnya.  “Sudahlah, Mai. Seharusnya sudah cukup kan informasi yang kau dapatkan tentang dia? Kau sudah tahu namanya karena dia sendiri yang memperkenalkan diri secara langsung padamu.”  “Tapi aku penasaran bagaimana kalian bisa bertemu dan dia sampai menolongmu dengan membawamu ke rumah sakit ini?”  Rie menghela napas panjang, “Itu hanya kebetulan. Saat aku terluka parah karena kakiku tertembak, dia kebetulan lewat di depanku. Dia kasihan padaku karena itu membawaku ke rumah sakit ini.” “Hm, jadi dia juga ada di hotel saat kejadian itu terjadi?”  Rie mengangguk, “Ya, dia juga ada di sana.” “Tapi kenapa warga sipil seperti dia bisa ada di hotel itu? Padahal di sana sedang diadakan pesta yang dihadiri para pejabat Negara, kau juga lihat sendiri kan penjagaannya sangat ketat? Tidak sembarang orang bisa mondar-mandir di sekitar hotel.”  Rie tak memungkiri dia juga heran dengan hal ini tapi begitu mengetahui pekerjaan Raiden, Rie jadi memaklumi pria itu bisa berada di tempat kejadian.  “Dia itu bekerja sebagai jurnalis di salah satu stasiun TV. Dia sedang menjalankan tugas meliput acara pesta karenanya dia bisa ada di hotel itu.”  Mai ber-oh panjang, kini dia pun paham alasan Rie bisa bertemu dengan pria itu di sekitar hotel di tengah kekacauan yang sedang terjadi. Tiba-tiba dengan jahil Mai menyenggol lengan Rie yang terhubung dengan selang infus, membuat gadis itu meringis karena merasa linu jarum yang menancap di dalam tangannya tersenggol oleh Mai.  “Ooppsss, maaf. Aku tidak sengaja.” “Hati-hati, Mai. Kau kan tahu aku sedang terluka.” “Iya, maaf. Habisnya aku merasa kau ini sangat beruntung karena itu aku jadi seheboh ini.” “Beruntung apanya? Bukannya aku sial karena harus mengalami luka tembakan sampai dirawat di sini?” tanya Rie dengan satu alis terangkat karena tak paham dengan maksud ucapan Mai yang menganggap kondisinya yang terluka parah ini sebagai keberuntungan untuknya.  “Maksudku, kau beruntung karena bertemu dengan Raiden. Dia benar-benar tampan, hatiku sampai bergetar hanya dengan melihat wajahnya.”  Rie mendengus keras, lagi … jiwa kecentilan Mai jika melihat pria tampan kembali kambuh. “Tapi, Rie, kau sampai tahu pekerjaan dia sepertinya kalian cukup dekat? Apa saja yang terjadi pada kalian sebelum aku datang?”  Rie benar-benar malas dengan pembahasan ini. Jadi bagaimanakah cara dia mengalihkan pembicaraan agar Mai tak terus-terusan membahas Raiden? Tapi Rie tahu persis mengalihkan pembicaraan hanya akan berakhir sia-sia mengingat Mai sedang begitu bersemangat membahas tentang Raiden. Rie sudah sangat hafal sifat Mai yang tidak akan berhenti membahas hal yang sama jika belum merasa puas.  “Aku tahu karena dia yang memberitahuku. Sama sepertimu, aku sempat heran karena dia bisa ada di hotel itu padahal penjagaan di sana sangat ketat.” “Oh, jadi kau langsung menanyakan alasan dia bisa ada di tempat kejadian?” “Tentu saja. Aku membicarakan banyak hal dengannya karena kan tidak mungkin kami diam-diaman padahal ada di ruangan yang sama.”  Saat melihat Mai tiba-tiba menyeringai, Rie menyadari dirinya baru saja melakukan kecerobohan. Tidak seharusnya dia bicara seperti itu di depan Mai yang selalu ingin ikut campur urusan orang lain, terlebih urusannya.  “Wah, jadi sudah banyak yang kalian bicarakan, ya? Memangnya kalian membicarakan apa saja? Jangan sungkan berbagi cerita denganku.”  Alih-alih menjawab pertanyaan Mai yang sudah dia duga akan menanyakan hal itu, Rie lebih memilih melanjutkan memakan rotinya yang memang tak sempat Rie makan karena terganggu kedatangan Mai. Menatap bungkus roti yang sudah terbuka karena dibantu Raiden tadi, Rie tertegun.  “Jika butuh bantuan orang lain harusnya kau bilang saja. Jangan memaksakan diri, padahal ada orang lain di sampingmu yang bisa kau mintai bantuan.”  Itulah yang dikatakan Raiden tadi, seolah menampar Rie dengan telak karena selama ini Rie memang selalu berusaha menyelesaikan masalahnya sendirian. Tak peduli sesulit apa pun masalahnya, dia akan mencoba menyelesaikannya sendirian daripada meminta bantuan orang lain. Mungkin hanya saat menjalankan tugas karena tuntutan pekerjaan, satu-satunya dimana Rie bersedia bekerja sama dan meminta bantuan orang lain karena dia tak mungkin sanggup menyelesaikan pekerjaannya sendirian. Dia bekerja sebagai team, jadi mau tak mau dia harus saling bahu membahu agar tugas mereka bisa terselesaikan dengan baik.  Rie mengerjap-erjapkan mata begitu menyadari ada tangan seseorang yang melambai-lambai tepat di depan wajahnya. Tentu saja pelakunya Mai, karena hanya wanita itu satu-satunya orang yang berani bersikap kurang ajar pada Rie.  “Rie, kau sedang melamun?” tanya Mai, tentu dia menyadari Rie memang sedang melamun karena sejak tadi teman baiknya itu hanya diam sambil menatap kosong ke arah roti di tangannya. Bahkan saat dia memanggil, Rie tak kunjung merespon.  Mai mengikuti arah yang ditatap Rie, dan saat melihat roti itu Mai jadi teringat dengan pemandangan yang dia lihat begitu memasuki ruangan ini.  “Oh, aku tahu apa yang sedang kau pikirkan,” ucap Mai sembari terkekeh jahat.  Rie menipiskan bibir, mencibir secara terang-terangan ucapan Mai yang sok tahu. “Memangnya menurutmu apa yang sedang aku pikirkan?” “Seseorang yang membelikan roti ini untukmu. Raiden, kan? Aku yakin dia yang membelikan roti ini untukmu karena mustahil kau bisa membelinya sendiri di saat kondisimu seperti ini. Pihak rumah sakit juga tidak mungkin membawakan roti untukmu. Terlebih itu roti kesukaanmu, jadi satu-satunya yang mungkin adalah kau meminta Raiden membelikan roti itu untukmu. Lagi pula …” Mai Kembali terkekeh jahat sembari mencondongkan tubuhnya ke depan semakin merapat ke arah Rie. “… aku memergoki Raiden sedang memberikan roti ini padamu. Hah, dia manis sekali ya? Perhatian sekali padamu.”  “Jangan bicara yang tidak-tidak, Mai. Aku dan dia tidak seperti yang kau pikirkan.” “Kau mau menyangkal, tidak mau mengakui yang membelikan roti itu adalah Raiden?”  Rie berdecak jengkel, “Aku tidak akan menyangkal, roti ini memang dibelikan olehnya. Tapi harus digarisbawahi, aku tidak menyuruhnya membelikanku roti tapi dia sendiri yang menawarkan.”  “Wah, ini bukti lain betapa pedulinya dia padamu, Rie.”  Rie tak menjawab, melainkan tatapannya kembali tertuju pada roti kesukaannya tersebut. Dia jadi merenung karena yang dikatakan Mai ada benarnya. Roti ini merupakan roti kesukaannya, bagaimana bisa Raiden begitu kebetulan membelikan roti ini padahal Rie tak pernah menyebutkan merk atau jenis roti yang dia inginkan pada Raiden, Rie tak ingin merepotkan pria itu lebih dari ini karena itu dia berpikir akan memakan roti apa pun yang dibelikan Raiden untuknya. Tapi siapa sangka, pria itu secara kebetulan membelikan roti favoritnya. Memikirkan hal ini tanpa sadar Rie mengulas senyum.  “Eh, eh, Rie, kau tersenyum. Aku tidak salah melihat kan, kau baru saja tersenyum sambil menatap roti itu tanpa berkedip?” Seperti biasa Mai berujar dengan heboh setelah melihat dengan mata kepalanya sendiri Rie yang biasanya serius dan jarang tersenyum itu tiba-tiba mengulas senyum sambil menatap ke arah roti pemberian Raiden. Tangan Mai teracung sempurna tepat di depan wajah Rie.  Rie menepis tangan Mai kasar, “Berisik, Mai. Kau selalu saja berlebihan.” “Wajar aku terkejut, kau kan biasanya serius dan irit senyum. Tiba-tiba kau tersenyum, tentu saja aku melongo melihatnya.” Mai kini bangkit berdiri, lalu tanpa permisi mendudukan diri di atas brankar, tepat di samping Rie yang sedang duduk sambil bersandar. “Jujur padaku, Rie, kau …” Mai terkikik geli sebelum melanjutkan ucapannya. “… kau tidak sedang jatuh cinta pada pandangan pertama pada Raiden karena terharu dengan kebaikan dan kepedulian pria itu padamu, kan?”  Seketika kedua mata Rie melebar, dan Mai berani bersumpah, dia baru saja melihat Rie tiba-tiba menjadi gugup karena pertanyaannya ini.  “J-Jangan bicara sembarangan kau, Mai. Tentu saja tidak.” “Ah, yang benar?” goda Mai, tentu dia lebih mempercayai indera penglihatannya dibanding telinganya. Karena yang dia lihat gerak-gerik dan ucapan Rie sangat bertolak belakang.  Di saat Rie berada dalam kondisi terjepit karena Mai terus saja menggodanya dan sial bagi Rie karena tebakan Mai itu sukses membuat jantungnya yang malang kembali berdetak tak karuan. Pintu ruangan tiba-tiba diketuk seseorang dari luar, detik itu juga Rie mengembuskan napas lega karena sepertinya seseorang datang menyelamatkannya.  Begitu pintu terbuka, sosok Hiro muncul dari balik pintu. Melihat sosok rekannya itu, Rie sekali lagi mengembuskan napas lega. “Hiro, aku senang kau datang,” ucapnya sumringah.  Berbanding terbalik dengan Mai yang mendengus pelan karena kedatangan Hiro hanya mengganggu kesenangannya yang sedang menggoda Rie. Padahal ini momen langka bisa menggoda Rie sepuasnya terlebih temannya itu tidak bisa membalikan keadaan karena Rie yang biasa selalu berhasil memukul balik jika Mai mencoba menggoda sahabatnya yang kaku dan terlalu serius bekerja itu. Mai hanya gemas pada Rie yang terlalu fokus bekerja sampai tak memiliki waktu untuk memikirkan kisah asmaranya. Padahal usia Rie sudah sangat pantas untuk memiliki pasangan, tapi wanita itu tak memiliki pengalaman percintaan sedikit pun. Sangat jauh berbeda dengan Mai yang pengalaman cintanya sudah tak terhitung banyaknya karena dia sering bergonta-ganti pasangan.  Mai lalu mencondongkan tubuh semakin merapat pada Rie dan berbisik pelan di dekat telinga wanita itu. “Jangan harap kau bisa lolos dariku kali ini, Rie. Pembicaraan kita tentang Raiden belum selesai.” Mai mengedipkan sebelah mata di akhir ucapannya.  Rie menegang di tempat, karena ternyata kedatangan Hiro hanya akan menyelamatkannya sementara waktu dari interogasi Mai yang mengerikan.  “Aku dengar kau sedang dirawat di sini. Toshio yang memberitahuku. Maaf aku baru datang karena tadi sedang ada sedikit urusan.” “Aku tebak kau pasti terburu-buru menyelesaikan urusanmu itu karena kau sudah tidak sabar ingin menemui Rie dan melihat kondisnya. Benar, kan?”  Hiro mendengus kasar mendengar tebakan Mai yang selalu bersikap sok tahu. Sedangkan Mai hanya menyeringai karena yakin tebakannya tepat.  “Jangan dengarkan dia. Kau tahu sendiri, Mai bermulut besar dan selalu asal bicara.”  Namun Rie justru membela Hiro, Mai menggeram kesal karena merasa dirinya sedang dikeroyok dua rekan setimnya yang sama-sama memiliki sifat kaku dan terlalu serius bekerja. Terkadang Mai bosan jika sedang bersama dengan dua orang ini karena yang mereka bahas pasti tak akan jauh-jauh dari kasus kejahatan.  “Rie, kenapa kau bisa terkena tembakan? Mai bilang seharusnya kau berjalan di belakangnya, ikut menyelamatkan diri melalui pintu darurat.”  Rie menghela napas panjang, sejak tadi sebenarnya masalah inilah yang ingin dia ceritakan pada Mai, tapi wanita itu justru lebih tertarik membahas tentang si pria asing baik hati bernama Raiden.  “Aku melihat seorang wanita paruh baya terluka parah di bagian kepala karena itu aku menolongnya dan menyuruh Mai untuk pergi lebih dulu. Tapi hal mengejutkan terjadi setelah aku berpisah dengan Mai.”  Mai yang malas mendengar pembahasan ini, kini mulai tertarik karena dia juga memang penasaran ingin mengetahui apa yang menimpa Rie sebelum bertemu dengan Raiden dan ditolong oleh pria itu.  “Memangnya apa yang terjadi?” tanya Hiro, tak sabar. “Ada beberapa pria berbadan besar dan membawa senapan mengejarku. Jika aku tidak salah menghitung jumlah mereka ada empat orang.” “Hah, benarkah? Siapa mereka? Mungkinkah anggota Kitsune?” Kali ini Mai yang menimpali.  Rie mengangguk, mengiyakan karena dia yakin keempat pria yang mengejarnya itu memang anggota Kitsune yang menyadari penyamarannya dan Mai, mereka tidak suka karena pemimpin mereka sedang diselidiki.  “Sepertinya mereka memang anggota Kitsune karena salah satu dari mereka mengatakan ingin memberikan hukuman padaku yang sudah berani menyelidiki pemimpin mereka.”  Hiro terbelalak mendengar pengakuan Rie ini, “Apa ini artinya penyamaran dan penyusupan kalian sudah diketahui oleh mereka?” “Sepertinya begitu,” sahut Rie sembari mengangkat kedua bahu. “Tunggu, Rie, jika aku tidak salah dengar kau bilang melihat anak buah Masamune Sinyo menjatuhkan granat karena itu ruangan pesta meledak, bukan?” Mai yang melontarkan pertanyaan karena dia yakin mendengar Rie mengatakan itu sesaat sebelum terjadi ledakan di ruangan pesta.  Rie kembali mengangguk, “Ya. Aku melihat seorang pria berbadan besar membantu Sinyo melarikan diri melalui pintu belakang sebelum dia menjatuhkan granat.” “Jadi kemungkinan besar Masamune Sinyo memang benar pemimpin Kitsune yang selama ini kita cari.” Hiro mencoba menyimpulkan setelah mendengar kejadian yang menimpa Rie maupun Mai di tempat pesta.  “Terlalu cepat menyimpulkan seperti itu. Kita harus lebih teliti menyelidikinya dan mengumpulkan bukti bahwa Masamune Sinyo memang benar pemimpin Kitsune.”  Hiro sependapat dengan pemikiran Rie, karena itu dia hanya menganggukan kepala. Ketika tiba-tiba ponsel di saku celananya bergetar, Hiro meminta izin pada Rie dan Mai untuk mengangkat telepon itu. Pria itu pun berjalan hendak keluar dari ruang perawatan Rie.  Mai mendengus sembari memasang ekspresi sedang merengut saat menatap punggung Hiro yang menjauh hingga menghilang begitu pintu ditutup rapat pria itu. “Padahal jika hanya ada aku di ruangan ini, aku yakin dia akan melengos pergi tanpa meminta izin dulu padaku untuk menerima telepon. Si Hiro itu, sikapnya sangat jauh berbeda jika sedang berada di dekatmu.”  Rie berdecak karena lagi-lagi Mai bicara sembarangan tentang orang lain. “Itu hanya perasaanmu saja. Kulihat sikap Hiro di depanku dan di depanmu sama saja.” “Huh, kau saja yang tidak menyadarinya. Dasar tidak peka.” “Apa maksudmu?” tanya Rie karena dia benar-benar tak memahami maksud ucapan Mai. “Tapi untung saja Hiro tidak datang di saat ada Raiden di ruangan ini ya.”  Namun alih-alih menjawab pertanyaan Rie, Mai justru mengalihkan pembicaraan yang lagi-lagi tak dipahami maksudnya oleh Rie yang pada dasarnya kurang peka dalam urusan asmara atau berinteraksi dengan lawan jenis.  Mai berdecak begitu menyadari ekspresi kebingungan yang kini menghiasi wajah Rie. “Ck, jangan bilang kau masih tidak menyadarinya, Rie?” “Menyadari apa?”  Mai yang gantian memutar bola mata, bosan meladeni Rie yang terlalu polos dan tak peka. “Menyadari Hiro jatuh cinta padamu.”  Dan Rie hanya terbelalak mendengar ucapan Mai karena tak pernah selintas pun dia berpikir tentang Hiro yang manaruh perasaan padanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD