BAB 7

2505 Words
Ini semua gara-gara Mai, Rie jadi gugup sendiri dan salah tingkah karena ditinggal berdua dengan Hiro. Padahal sebelumnya dia tak pernah merasa seperti ini saat berduaan dengan pria itu. Mereka dulu begitu dekat sehingga ada saja yang mereka perbincangkan jika sedang berdua. Tapi sekarang, Rie seolah kehilangan kata-kata untuk mencairkan suasana canggung dan hening ini.  Saat suara derit dari kaki kursi yang bergesekan dengan lantai karena ditarik oleh Hiro, terdengar, Rie terenyak kaget, lamunannya pun buyar seketika. Dia mengulas senyum saat melihat Hiro mendudukan diri di kursi itu.  “Bagaimana kondisimu sekarang?” tanya Hiro tiba-tiba. “E-Eh, hm, aku baik-baik saja.” “Kakimu sudah tidak sakit?”  Rie mengikuti arah yang ditatap Hiro yaitu pada salah satu kakinya yang terbalut perban. “Masih sakit. Aku baru selesai dioperasi.” “Berarti kau belum baik-baik saja karena kakimu masih sakit. Sepertinya kau akan lebih lama dirawat di sini.” “Sepertinya begitu. Ada dua peluru yang menembus kakiku,” jawab Rie, mengatakan yang sebenarnya.  Hiro menatap wajah Rie dengan serius, membuat wanita itu meneguk ludah karena merasa terintimidasi. “Aku terkejut penyamaran kalian bisa diketahui mereka padahal kita sudah sangat berhati-hati. Aku juga yakin kau dan Mai tidak mungkin melakukan kesalahan karena kalian selalu profesional saat menjalankan misi.”  Rie menghela napas panjang, jadi teringat gerakan menarinya pasti sangat kaku saat mereka menyamar menjadi penari latar di acara pesta. Mungkinkah karena gerakan menarinya yang aneh dan kaku, membuat penyamaran mereka jadi dicurigai dan terbongkar? Entahlah, yang pasti penyamaran mereka memang diketahui musuh karena itu Rie sampai diserang oleh empat pria sekaligus.  “Aku juga tidak tahu kenapa bisa mereka menyadari penyamaran kami padahal aku dan Mai sudah berusaha sebaik mungkin. Atau mungkin ini bukti aku tidak terlalu berbakat dalam hal melakukan penyamaran. Lain kali jangan suruh aku melakukan penyamaran lagi. Aku tidak ingin menjadi penyebab misi kita gagal.” Rie memang serius mengatakan ini karena merasa dia payah dalam hal melakukan penyamaran. Hanya Mai yang paling ahli melakukan tugas seperti ini.  “Menurutku kegagalan misi kita bukan karena kesalahanmu atau Mai yang penyamaran kalian terendus oleh mereka, tapi memang sejak awal ini sebuah jebakan.”  Satu alis Rie terangkat naik, dirinya tak paham maksud ucapan Hiro. “Maksudnya?” tanyanya, meminta penjelasan. “Tentang mata-mata yang memberitahu informasi pemimpin Kitsune yang akan menghadiri acara pesta, aku merasa ada yang ganjil dengan informasi itu.” “Apanya yang ganjil?” Rie bertanya dengan serius karena rasa penasarannya mulai naik ke permukaan. “Menurutku aneh saja. Seperti yang kita tahu Kitsune sangat sulit untuk dideteksi atau dilacak karena mereka begitu pintar menghilangkan jejak. Apalagi pemimpin mereka, tidak ada seorang pun yang tahu identitas aslinya. Aneh rasanya mata-mata itu bisa mendapatkan informasi tentang mereka. Aku jadi curiga ini jebakan, mungkin saja sejak awal kelompok Kitsune yang mengincar kita. Mereka sudah tahu selama ini kita sedang memburu mereka.” “T-Tunggu, Hiro, maksudnya kau curiga mereka dengan sengaja meninggalkan jejak agar mata-mata kita bisa mendapat informasi tentang mereka? Jadi kita yang terpancing sampai melakukan penyusupan ke hotel itu adalah jebakan dari mereka? Mereka sudah memperkirakan hal itu?”  Dengan gerakan perlahan, Hiro menganggukan kepala. “Ya. Sepertinya mereka sudah tahu identitas kita bertiga. Aku, kau dan Mai yang ditugaskan untuk menyelidiki dan memburu mereka.”  Rie terbelalak, jika pemikiran Hiro ini benar adanya, artinya mereka bertiga berada dalam bahaya karena nyawa mereka mungkin tengah diincar oleh anggota Kitsune karena tak suka Rie dan kedua rekannya sedang menyelidiki tentang mereka.  “Kurasa pemikiranmu bisa saja benar karena aku ingat keempat pria yang mengejarku memang tahu aku ini agen kepolisian dan bukannya seorang penari latar seperti identitas palsu yang kugunakan saat penyamaran.”  Kini gantian Hiro yang terbelalak, “Benarkah itu?” Dengan yakin, Rie mengangguk, “Ya. Mereka menyebutku kelinci manis yang sudah berani menyelidiki pemimpin mereka karena itu mereka ingin membunuhku.” “Lalu apa yang terjadi pada mereka? Apa mereka berhasil lolos?”  Rie mengerjap-erjapkan mata mendengar pertanyaan Hiro ini karena dia yakin sekali keempat pria itu sudah mati di tangannya.  “Mereka seharusnya sudah mati. Tiga dari mereka terkena tembakanku. Sedangkan yang satu mati setelah aku berhasil menusuknya dengan belati.” “Dimana kau diserang? Dan bagaimana ciri-ciri mereka?” tanya Hiro, tampak sangat serius menanggapi cerita Rie. “Mereka mengejarku saat aku akan keluar melewati tangga darurat. Aku melarikan diri dan sempat bersembunyi di parkiran, jadi seharusnya jasad mereka ada di parkiran.”  Hiro menundukan kepala sembari menopang dagu, kembali merasakan keganjilan karena dia yakin tak menemukan satu pun jasad di area parkir saat dia dan anak buahnya mencari Rie yang menghilang.  “Aku sudah memeriksa area parkir saat mencarimu, tapi tidak ada satu pun jasad di sana. Bagaimana ciri-ciri mereka?” Hiro mengulang pertanyaannya karena Rie belum memberikan jawaban. “Mereka bertubuh tinggi besar, sepertinya penembak jitu sepertimu. Ya, sangat menunjukan sekali mereka anggota kelompok Yakuza.” “Kau yakin mereka anggota Kitsune?”  Rie tertegun mendengar pertanyaan Hiro yang satu ini. “Entahlah, hanya saja mereka mengatakan tidak akan mengampuniku yang sudah berani menyelidiki pemimpin mereka. Bukankah kita memang sedang menyelidiki pemimpin Kitsune? Jadi kupikir mereka memang anggota Kitsune. Selain itu, seperti yang kau ceritakan jasad keempat pria yang menyerangku tiba-tiba menghilang dari area parkir, artinya jasad mereka sudah diambil oleh rekan mereka. Bukankah memang seperti itu gaya permainan mereka? Tidak pernah meninggalkan jejak sedikit pun.” “Tapi bukan hanya Kitsune, kelompok Yakuza yang sedang kita selidiki dan buru, melainkan banyak kelompok yakuza yang lain. Aku curiga mereka hanya kelompok yakuza lain yang mengaku-aku sebagai anggota Kitsune. Tapi entahlah, ini hanya pemikiranku saja. Tetap saja kita harus lebih teliti menyelidiki tentang Masamune Sinyo yang dicurigai sebagai pimpinan Kitsune.”  Rie mengangguk menyetujui ucapan Hiro. Dia lalu tertegun saat baru teringat akan sesuatu. “Hiro, bukankah Mai sedang terluka? Aku ingat bahunya terbentur dinding sangat keras saat tubuh kami terhempas ledakan. Tapi aku lihat tadi Mai baik-baik saja, tidak terlihat seperti orang yang sedang terluka.”  Hiro mendengus karena sebenarnya dia tahu Mai hanya sedang berpura-pura baik-baik saja di depan Rie. “Dia memang terluka. Dan saat kau meneleponnya seharusnya dia sedang dirawat di ruang medis kantor kita, hanya saja dia memang sepeduli itu padamu karena itu dia langsung datang kemari untuk menjengukmu.”  Menyadari wajah Rie diliputi kekhawatiran sekarang, Hiro menyentuh lengan Rie yang tersambung dengan selang infus dengan gerakan perlahan, “Tapi tidak usah khawatir. Seperti yang kau lihat, Mai baik-baik saja. Setidaknya dia tidak separah kondisimu.” “Tapi bahunya …” “Tulang bahunya hanya bergeser sedikit, bukan masalah yang serius.”  Rie memicingkan mata, ingat betul malam itu Mai mengatakan tulang bahunya retak, jadi wanita itu hanya mendramatisir keadaannya karena sebenarnya luka di bahunya tak separah itu. Rie mendengus sebal, jadi menyesal karena sudah mengkhawatirkan temannya yang satu itu.  “Oh, iya. Rie, bagaimana caranya kau bisa datang ke rumah sakit ini? Bukankah kakimu tertembak artinya kau tidak bisa berjalan?”  “Tapi untung saja Hiro tidak datang di saat ada Raiden di ruangan ini ya.”  Padahal Rie sudah membuka mulut, siap menceritakan tentang pertemuannya yang tanpa sengaja dengan Raiden dan pria itu yang menolongnya dengan membawanya ke rumah sakit ini. Namun begitu kata-kata Mai tadi terngiang di ingatannya, Rie jadi ragu sehingga bibirnya kembali terkatup rapat. Ini karena ucapan Mai yang mengatakan Hiro mencintanya, sepertinya sangat berpengaruh bagi Rie. Meski tak percaya tapi ada kekhawatiran di benaknya, Hiro mungkin benar ada rasa padanya yang mana artinya pria itu pasti tidak menyukai jika mengetahui yang menolong Rie merupakan seorang pria.  “Hm, kebetulan ada seorang jurnalis yang lewat di depanku, dia menolong dan membawaku ke rumah sakit ini,” jawab Rie, tanpa sedikit pun menyebut seorang pria yang telah menolongnya. “Hm, begitu. Syukurlah, aku senang melihatmu baik-baik saja. Tadinya aku sempat khawatir begitu kau menghilang padahal kami sudah mencarimu dengan menyusuri seisi hotel.”  Rie tercekat mendengarnya, terlebih Hiro tersenyum tipis dan suaranya lembut saat mengatakan itu. Dia jadi teringat pada Hiro yang bicara dengan nada ketus pada Mai. Kini Rie tak menepis Hiro sepertinya memang memperlakukannya berbeda dengan pria itu mempermalukan Mai. Tapi bukan berarti dengan ini dia mempercayai sepenuhnya ucapan Mai yang mengatakan Hiro mencintai dirinya.  “Hm, kondisi hotel itu pasti sangat parah ya mengingat ledakannya tidak main-main?” Rie mencoba mengalihkan pembicaraan karena berusaha menutupi dirinya yang sedang gugup karena mendengar ucapan Hiro tadi.  Hiro mengangguk, mengiyakan. “Benar. Pasti akan membutuhkan waktu cukup lama untuk merenovasinya. Lagi pula, bom terbesar diletakan di lantai basemant jadi gedung megah itu benar-benar nyaris rata dengan tanah.”  Rie meringis mendengar ucapan Hiro, beruntung parkiran yang dia datangi saat diserang keempat pria itu bukan area parkir yang ada di lantai basement melainkan area parkir yang terletak di dekat ruangan pesta.  “Ini juga alasan lain aku curiga kita memang dijebak oleh mereka agar mendatangi hotel itu.”  Rie yang sedang menunduk itu kini kembali memakukan tatapannya pada Hiro, “Maksudnya?” Dia bertanya, meminta penjelasan karena tak paham maksud ucapan Hiro. “Sudah kukatakan tadi, bom terbesar diletakan di lantai basement, bukan di lantai tempat pesta berada, aku jadi curiga sejak awal mereka memang berniat meledakan hotel itu.” “Bukankah ini menampik pemikiranmu, Hiro?” Namun Rie tampaknya tak menyetujui pendapat Hiro kali ini. “Karena jika benar mereka menargetkan kita karena itu mereka menjebak kita agar datang ke pesta, harusnya bom terbesar diletakan di lantai ruang pesta. Benar, kan? Koreksi jika pemikiranku ini salah.”  Hiro menghela napas panjang, jika sudah berurusan dengan anggota Kitsune yang memang sangat licin untuk diselidiki, Hiro merasa kepalanya serasa ingin meledak. Cara bermain mereka terlalu rapi dan membingungkan.  “Yah, jika dipikir-pikir kau benar juga. Kurasa ini bukan saat yang tepat untuk memikirkan mereka karena kau butuh istirahat agar cepat pulih.”  Rie tersenyum tipis, benar yang dikatakan Hiro, bukan saat yang tepat membicarakan tentang pekerjaan karena dia memang sedang membutuhkan istirahat yang cukup.  Tepat di saat bersamaan, pintu ruangan tiba-tiba terbuka, seorang perawat menampakan diri sembari membawa nampan berisi makanan untuk Rie.  Rie memutar bola mata, melihat menunya saja sudah membuatnya tak berselera.  “Bu, apa anda membutuhkan bantuan? Anda bisa memakannya sendiri?” tanya sang perawat setelah dia meletakan nampan berisi makanan itu tepat di depan Rie yang sedang duduk bersandar pada sandaran brankar. “Bisa. Aku bisa makan sendiri.” “Baik. Selamat menikmati makanananya kalau begitu. Mohon dihabiskan agar kondisi anda cepat pulih. Bagaimana keadaan anda sekarang, Bu? Merasa lebih baik atau ada yang terasa sakit?”  Rie menggelengkan kepala, “Tidak ada. Aku baik-baik saja.” Rie tidak berbohong, dia memang belum merasakan sakit di bagian kakinya karena mungkin efek obat bius masih terasa meski hanya sedikit karena jika banyak bergerak, baru dia merasakan sakit di bagian kakinya yang tertembak.  Sang perawat kini menoleh pada Hiro yang tetap duduk di tempat tanpa mengatakan apa pun. Dan saat Hiro balas menoleh padanya, perawat itu tersenyum tipis disertai semburat merah yang tiba-tiba bermunculan di kedua pipinya. Tentu saja ekspresi wajah sang perawat yang malu-malu begitu bertatap muka dengan Hiro, tertangkap basah oleh Rie. Rie mengulum senyum, kini tak meragukan lagi sosok Hiro memang sangat populer di mata para wanita. Bukan hanya wanita di kantor mereka saja, melainkan wanita dimana pun yang melihat Hiro.  “Permisi.” Setelah berpamitan, sang perawat pun melangkah pergi, meninggalkan ruang perawatan Rie.  Hiro mengernyitkan dahi saat melihat Rie masih mengulum senyum. “Kenapa kau senyum-senyum sendiri?” tanyanya. “Kau tidak menyadarinya?” “Menyadari apa?” “Wajah perawat tadi memerah karena terpesona olehmu.” “Hah?”  Rie tertawa kali ini, “Sepertinya dia menyukaimu.” Hiro mendengus, “Jangan bercanda.” “Aku serius. Terlihat dia malu-malu saat kalian saling tatap. Dia juga mengajakku bicara tapi matanya selalu mencuri pandang padamu.” Hiro berdecak, walau dia sudah terbiasa berada dalam situasi seperti ini tapi saat Rie yang mengatakannya, entah mengapa dia jadi salah tingkah dan malu sendiri. Padahal Hiro juga menyadari wajah perawat itu memang merona begitu berpandangan dengannya.  “Kau memang sangat populer ya di kalangan wanita. Bukan hanya di kantor kita, tapi sepertinya di tempat mana pun tidak ada wanita yang bisa menahan pesonamu.” “Aku anggap ini sebagai pujian. Aku terkejut kau memujiku, Rie. Apa ini artinya kau mengakui aku ini cukup tampan?”  Rie mencibir karena Hiro menyahut dengan raut penuh percaya diri dan seringaian yang menyebalkan. “Huh, aku menyesal memujimu jika aku tahu kau akan jadi besar kepala seperti ini.” “Wajar jika aku jadi besar kepala kan karena dipuji olehmu memiliki wajah tampan. Ngomong-ngomong kau juga cantik, Rie.”  Kedua mata Rie membulat sempurna, terkejut luar biasa karena untuk pertama kalinya Hiro berkata demikian padanya. Katakan dia tidak salah mendengar, Hiro baru saja memujinya cantik.  Rie berdeham untuk mencairkan suasana yang tiba-tiba canggung. Mungkin hanya dirinya yang merasa canggung karena Hiro bersikap biasa saja seolah tak menyadari perkataannya membuat Rie menjadi gugup dan salah tingkah sekarang.  Rie berpura-pura akan memakan makanannya, walau sebenarnya dia sedang tidak berselera. Selain karena masih merasa kenyang setelah menghabiskan roti pemberian Raiden, dia juga tidak menyukai makanan rumah sakit yang terhidang di depan matanya.  Tapi demi menyamarkan kegugupan yang sedang dia rasakan, Rie memaksakan diri untuk memakannya. Tangan kanannya yang tersambung dengan selang infus sungguh menyulitkannya untuk makan, terlebih tangan itu terasa linu mungkin karena terkena benturan saat terhempas ledakan. Sehingga dengan terpaksa dia memegang sumpit dengan tangan kiri. Dan sialnya Rie tak biasa memegang sumpit dengan tangan kiri, sehingga terlihat jelas wanita itu sedang kesulitan.  Menyadari kondisi Rie yang memegang sumpit saja kesulitan, Hiro dengan gesit mengambil alih sumpit dari tangan Rie.  “Rie, jika membutuhkan bantuan seharusnya kau tinggal bilang saja. Jangan memaksakan diri, padahal ada aku di sini yang siap membantumu.”  Rie terbelalak mendengar ucapan Hiro, bukan apa-apa hanya saja ucapan pria itu sama persis dengan yang dikatakan Raiden saat membantunya membukakan bungkus roti.  Hiro mengambil makanan dengan sumpit itu dan mendekatkannya ke mulut Rie, membuat si wanita kembali terdiam karena tak menyangka situasinya akan jadi seperti ini. Tentu dia semakin gugup karena Hiro tengah menyuapinya.  “Aku bisa makan sendiri, Hiro.” Rie berusaha menolak, tapi tentu saja sia-sia karena Hiro tak menggubrisnya, pria itu semakin mendekatkan sumpit yang sudah menyapit makanan itu ke mulut Rie.  “Jangan banyak protes, buka saja mulutmu. Aku tahu kau sedang berbohong. Jangankan makan sendiri, memegang sumpitnya saja kau kesulitan.”  Rie meringis karena jarak sumpit itu sudah nyaris menempel di bibirnya sehingga dia tak memiliki pilihan selain membuka mulut, membiarkan Hiro menyuapinya.  Rie tak berkomentar apa pun saat suap demi suap Hiro menyuapinya, namun Rie tak bisa tetap diam saat merasakan sesuatu yang hangat tiba-tiba menyentuh bibirnya. Itu ibu jari Hiro yang menyeka bumbu makanan yang menempel di bibir Rie. Rie mendongak dan itulah kesalahannya karena kini dia seolah mematung di tempat begitu menyadari jarak wajah Hiro berada begitu dekat dengannya.  Situasi macam apa ini? Kenapa Rie merasa lebih gugup dibanding sebelumnya? Salahkan Mai yang sudah berbicara yang tidak-tidak tentang Hiro karena gara-gara wanita itu, Rie menjadi canggung saat berdekatan dengan Hiro. Padahal sebelumnya tak pernah dia merasa seperti ini. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD