The Farewell | 6

1622 Words
Baru saja Alby akan menuangkan sampo, pintu kamar mandi berwarna cokelat itu berbunyi keras--ada dua orang anak kecil sedang menggedor-gedor sambil meneriaki namanya berkali-kali tanpa henti, seperti tak memiliki lelah. "Bang Alby ... Bang Alby!" Alby mendesah kesal, mau tidak mau dia terpaksa mengurungkan niat sebelumnya, mematikan shower, kemudian meraih handuk abu-abu yang tergantung tak jauh darinya. Alby hanya melilitkan handuk tersebut ke pinggang, membiarkan tubuh bagian atasnya terekspos sempurna. "Ada apa?" tanya Alby tidak ingin berbasa-basi. Dua anak laki-laki dengan rambut cokelat itu kompak memajukan bibirnya ke depan dengan kedua tangan masing-masing terlipat di depan d**a. Alby menaikkan sebelah alis, ekspresi wajah kedua adiknya membuat Alby jengah. "Langsung keintinya saja, Abang belum selesai mandi. Kalau mau pinjam tablet buat main, tidak untuk hari ini. Sesuai janji kita minggu lalu, kalian hanya boleh bermain di hari libur." Hasan dan Husein, itulah nama kedua anak kembar tersebut. Adik-adik Alby yang sudah menginjak usia lima tahun--tengah duduk di bangku sekolah taman kanak-kanak, tingkat dua. "Siapa cewek yang ada di layar ponsel Abang?" tanya Hasan yang usianya lebih unggul 8 menit dari Husein, dia menatap Alby dengan memicingkan mata--penuh intimidasi. Sorot matanya menunjukkan keseriusan. Husein ikut menimpali, "Abang kok gak bilang sama kita punya teman cewek? Cantik lagi!" decaknya sebal dengan menggembungkan kedua pipi, terlihat begitu menggemaskan. Alby mengernyit, bingung. Sungguh, dia benar-benar tidak mengerti apa yang sebenarnya sedang dibicarakan oleh Hasan dan Husein. "Apa yang sedang kalian bicarakan? Abang sama sekali gak ngerti. Sudah dulu, Abang mau mandi sebentar." Husein dengan cepat menahan Alby yang akan kembali menutup pintu. "Abang ...! Dengerin kita dulu, tolong jelaskan dengan benar siapa cewek cantik yang ada di layar ponsel Abang. Sekarang! Baru setelah itu Abang bebas mau ngapain aja ... mandi sampai besok pun gak masalah." Alby memijat pelipis kanannya. "Apa yang kalian omongin? Cewek siapa? Di layar ponsel siapa?" Hasan menarik tangan Alby, membawanya menuju nakas tempat di mana Alby menaruh ponselnya yang sedang mengisi daya. "Lihat ini, siapa dia?" Jari telunjuk Hasan mengetuk dua kali layar ponsel Alby membuat layar itu menyala, menampilkan foto seorang cewek yang Hasan dan Husein maksud sedari tadi. Husein sudah mencoba memasukkan enam digit angka untuk membuka kata sandi ponsel Alby, tetapi selalu salah. "Sejak kapan ponsel Abang menggunakan kata sandi? Bukankah sebelumnya kita bertiga sepakat tidak ada yang boleh menyimpan rahasia di antara kita?" Kembali mengerucutkan bibir, merajuk. Alby, Hasan, dan Husein selalu memiliki kesepakatan agar ketiganya selalu terbuka dalam hal apapun. Hasan dan Husein akan menceritakan apapun yang terjadi di sekolahnya setiap hari, begitu pun dengan Alby. Meski sebenarnya yang lebih banyak bercerita adalah kedua anak itu. Biasanya Alby hanya akan menceritakan hal unik dan menarik sesuai usia Hasan dan Husein--tidak dengan apa pun yang orang dewasa lakukan pada umumnya. Alby merebut ponsel itu dengan cepat, membolak-balikkan benda pipih dengan pelindung hitam polos berbahan karet tersebut. Ini benar ponselnya, tapi kenapa di layar ponselnya tertera jelas wajah Nurin? Oh, astaga! Apa ponsel mereka tertukar saat melakukan permainan tadi? Tidak hanya anak-anak kelas X IPA 1 yang mengumpulkan ponsel, Alby dan Galang selaku pendamping pun ikut serta agar adil dan fokus mereka hanya pada permainan. "s**t! Apakah Tuhan tidak ada cara yang lebih elit untuk mengatur pertemuan mereka lagi?" Alby nenggerutu dalam hati. "Abang, kok melamun?" Hasan menarik tangan Alby, menyadarkan dia dari lamunan singkatnya. "Siapa cewek cantik itu? Abang sudah menembak dia, ya, buat jadi pacar Abang?" Jari telunjuk Hasan mengetuk-ngetuk dagunya, seolah sedang memikirkan ucapannya barusan. Alby mengacak kedua rambut anak itu, gemas. "Anak kecil mana boleh tahu soal pacar-pacaran. Sekolah yang benar dulu." "Kita benarkan? Abang sama kakak cantik itu pacaran! Mana ada sih dua orang yang sudah dewasa, cewek dan cowok saling berteman dekat kalau bukan berpacaran, kan?" Husein menggoyang-goyangkan lengan Alby, meminta jawaban atas pertanyaannya dan Hasan, bukan malah menyuruh mereka agar bersekolah yang benar terus. Alby mengusap wajah dengan kasar. "Kalian dikasih makan apa, sih, sama Mama kok pintar banget begini? Sudah-sudah ... latihan mewarnai saja belum rapih, sok-sokan ngomongin soal orang dewasa." Hasan mencubit perut Alby, membuat cowok itu meringis kaget. "Sebentar lagi kita jago mewarnai! Lihat aja aja nanti, kita akan memenangkan lomba mewarna antar sekolah dan pulang membawa piala besar!" "Oke! Abang tunggu piala itu dari kalian." Hasan dan Husein saling memandang, kemudian sama-sama menaik-turunkan sebelah alis sambil tersenyum miring--menunjukkan muka sombong mereka. "Tentu saja! Kalau kita menang, Abang orang pertama yang akan kita tagih hadiah." "Hahaha! Baiklah. Apa sekarang Abang boleh melanjutkan mandi?" Kedua anak kembar itu mengangguk kompak. Alby tidak akan menyia-siakan kesempatan tersebut, segera melangkah masuk ke dalam kamar mandi. "Asan, Bang Alby kan belum jawab pertanyaan kita yang tadi, kok malah dibiarin lanjut mandi?!" Husein mengernyit sambil memberengut kesal. Hasan menepuk dahi. "Oh ... iya, ya!" "Abang ...!!!" teriak keduanya kencang, Alby hanya tertawa tanpa dosa mendengarnya. *** Alby sudah siap dengan pakaian santainya--celana abu-abu selutut dan kaos hitam polos. Dia sedang membaca setiap biodata anak-anak kelas X IPA 1 untuk mengetahui alamat rumah Nurin. Untung saja di hari pertama pertemuan mereka kemarin Galang meminta semua anak untuk menuliskan biodata diri masing-masing, niat agar saling mengenal satu sama lain. Pada kertas urutan ke sepuluh, Alby menemukan biodata Nurin dengan lengkap di sana. Terdapat nama, tempat tanggal lahir, hobi, cita-cita, dan alamat. Nurin Putri Abraham. Alby mengangguk-anggukkan kepalanya. Dia menyalin alamat Nurin pada sebuah kertas segitiga berwarna kuning--kertas dengan ukuran kecil agar bisa ditempelkan pada bagian belakang ponsel Nurin. "Ma?" panggil Alby seraya menuruni satu persatu anak tangga rumahnya. Ibu Bagaskara sedang duduk di ruang keluarga, menonton sebuah acara dari televisi ditemani oleh Hasan dan Husein yang sedang latihan mewarna. "Boleh pinjam ponsel Mama sebentar?" Setelah mengambil tempat duduk di samping ibunya. Ibu Bagaskara menaikkan sebelah alis. "Memang ponsel kamu kenapa, Bang? Rusak lagi?" Alby tertawa kecil. Saking seringnya Alby mengganti ponsel gara-gara rusak, Ibu Bagaskara sampai hapal. "Enggak, Ma. Ponsel Abang ketuker sama teman. Mau nelpon Galang sebentar." Hasan mengangkat kepala. "Bohong, Ma! Bukan ketuker sama teman, tapi Abang sengaja lagi tukeran ponsel sama pacarnya. Lihat saja layar ponselnya ada foto cewek cantik." Husein memberikan dua jempol, setuju dengan ucapan sang kakak. Alby membelalakkan mata. "Sembarang! Minta disentil, ya, dahinya?" Hasan menjulurkan lidah, mengejek Alby. Ibu Bagaskara menggelengkan kepala. "Sudah, Ade ... jangan senang buat Abang kesal, nanti gak dibelikan es krim sama mainan lagi. Memangnya mau?" Hasan dan Husein kompak menggelengkan kepala dengan cepat. Keduanya sama-sama meninggalkan kertas gambarannya, kemudian berlari ke arah Alby untuk saling berebut memeluk. "Asan bercanda. Abang gak marah beneran, kan?" "Usein juga bercanda. Jangan marah, ya, Bang. Masih mau kan belikan kita es krim sama mainan?" Hasan dan Husein mencoba mengambil hati Alby yang tadinya berpura-pura marah pada mereka. Kalau sudah melihat melihat kedua anak itu bermanja-manja kepadanya, mustahil Alby akan marah. "Iya, iya. Sini cium Abang dulu!" Keduanya kembali kompak mencium Alby, sebelah kiri dan kanan, lantas kembali ke meja mereka untuk melanjutkan kegiatan yang sempat tertunda tadi. Alby beralih menatap Ibu Bagaskara, kemudian ibu dan anak tersebut sama-sama terkekeh. Ibu Bagaskara memberikan ponselnya kepada Alby. "Mama masih nyimpen nomor Galang, kan?" "Mama lupa, coba kamu cari dulu. Galang kemarin katanya ganti nomor, Mama gak ingat sudah simpan yang baru atau belum." Alby bangkit dari tempat duduknya, melangkah menuju dapur mengambil segelas air minum untuknya. Dia duduk di salah satu kursi bar dapur sambil menggerakkan ibu jarinya mengusap ke arah atas pada layar ponsel Ibu Bagaskara--beberapa kali sampai menemukan pesan yang terakhir kali dia kirim kepada Galang dua minggu yang lalu, mengirim sebuah file kegiatan sekolah. Ruang obrolan Ibu Bagaskara dipenuhi beberapa pesan dari kalangan orang-orang pecinta aneka ragam kue dan roti Bagaskara's Bakery. Alby menekan salah satu tanda di bagian atas kontak Galang, tak lain dan tak bukan adalah tanda panggilan suara. Tidak perlu menunggu lama panggilan Alby mendapat jawaban dari Galang yang berada di seberang sana. "Halo, Lang. Temenin gue ke rumah Nurin sekarang. Bisa?" Di tempatnya, Galang nampak sedang menjauhkan ponsel dari telinganya. Apa dia tidak salah dengar? Alby mengajak dirinya ke rumah Nurin? Buat apa? "Eh, buset! Ngapain? Bentar, bentar ... dengerin gue si pakar cinta, nih! Lo kalo suka sama dia geraknya jangan cepat-cepat gini. Santai, tapi pasti!" Alby mendengkus. "Gue serius, Anjing! Ponsel gue gak sengaja ketuker sama ponselnya Nurin." "HAH?!" Galang memekik keras, kini giliran Alby yang menjauhkan ponsel dari telinga sambil mengumpat kesal. "Serius lo? Kok bisa? Bercanda lo, ya?!" "Kayaknya ketuker pas permainan di kelas tadi." "KOK BISA?!" "Gak usah ngegas, Ogeb!" Galang hanya membalasnya dengan cengiran tanpa dosa. "Ponsel gue sama dia benar-benar samaan, Lang, gak ada yang beda. Dari merk, tipe, sampai casenya juga samaan. Ya ... terkecuali wallpaper layar kunci, dia pakai foto wajahnya sendiri sedangkan gue enggak." Alby kembali membolak-balikkan ponsel Nurin, lalu memijat kening, heran. Tawa Galang pecah. "Ketawa lo gak usah segitunya juga, bisa gak sih?!" "Sorry, sorry!" Galang berdehem sebelum melanjutkan ucapannya. "Ya sudah, sih, lo kembaliin sendiri aja. Ngapain harus ngajak gue segala coba?" "Dih, gitu! Masa lo tega sama gue?" "Jijik, Anjing, gue dengernya!" "Serius sekali aja bisa gak lo? Temenin gue bentaran doang, elah!" "Gak bisa, gue mau kencan." "Cih! Gak usah sok-sokan punya pacar lo!" "Sialan! Gue disuruh nyokap nganter Miko ke dokter. Sekarang jadwal dia disuntik vitamin, biar gak penyakitan dan rontok bulunya." Miko adalah kucing betina berbulu abu-abu lebat, kesayangan ibu Galang. "Lo tahu sendiri kalo sudah menyangkut soal anaknya yang satu ini, siapa pun gak ada yang berani nolak perintah nyokap. Miko segala-galanya di hidup nyonya Mahendra ...!" "Lo kan bisa nitip Miko sama orang di klinik. Bentaran doang, abis nuker ponsel kita balik." "Gampang lo ngomong! Nih kepala gue yang bakal jadi korban, pulangnya siap dipenggal sama nyokap cuman gara-gara lalai menjaga anak kesayangannya! Sudah ah, gue mau berangkat. Bye!" Setelah itu, sambungan telepon mereka terputus. Galang mematikannya sepihak, membuat Alby jengkel bukan kepalang. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD