The Farewell | 7

1116 Words
Sekitar sepuluh menit sudah Alby seperti orang bodoh di dalam mobilnya, tidak tahu harus memulainya dari mana. Saat ini dia sudah berada di seberang jalan rumah Nurin. Alby kembali menolehkan kepala, menatap rumah mewah yang kelihatan sepi sekali--hanya terdapat seorang pria sedang duduk di pos satpam. Tidak tahu mantra apa yang ada dalam diri Nurin, Alby selalu merasa aneh jika berdekatan dengan cewek itu. Debaran d**a yang tidak teratur, membuat Alby hilang akal meski dalam sekejap. Senyum dan tatapan mata Nurin, sangat indah. Ketukan pada kaca mobil sisi kirinya membuat Alby terlonjak kaget. Dia mengusap-usap dadanya. Ketika kaca mobil diturunkan, seorang ibu-ibu berkerudung cokelat s**u berada di sana tengah tersenyum ramah kepada Alby. "Nak, bisakah majukan mobil kamu sebentar? Ibu mau keluar," ucap ibu itu tidak mengurangi keramahannya. Tutur bahasa yang dia gunakan pun enak sekali didengar. Alby langsung mengangguk cepat. "Inggih, Bu. Mohon maaf, Bu, sebelumnya." Kemudian memajukan mobilnya beberapa meter agar tidak lagi menghalangi mobil ibu pemilik rumah tersebut. Seperginya mobil ibu itu, Alby juga menjalankan mobilnya--menyeberang jalan, menuju rumah Nurin. Kalau tetap memilih berdiam diri di tempatnya tadi, tidak akan ada habisnya. Pak Supri membukakan pagar, mempersilakan mobil Alby masuk ke halaman rumah Nurin. "Nurinnya ada, Pak?" tanya Alby setelah keuar dari dalam mobilnya. Pak Supri mengangguk. "Inggih, ada di dalam, Mas." Alby mengangguk, lalu melangkah menuju teras menekan dua kali bel rumah Nurin. Tidak lama kemudian seorang asisten rumah tangga keluarga Abraham membuka pintu besar di hadapannya tersebut. "Selamat malam, Bu, Nurinnya ada?" Mbok Ina mengangguk. "Panggil Mbok Ina saja, Mas. Neng Irinnya ada di kamar, silakan masuk dulu, Mas ...?" "Nama saya Alby, Mbok." "Oh ya sudah, silakan masuk dan duduk dulu, Mas Alby. Mbok panggilkan Neng Irin dulu." Setelah Alby mengangguk, Mbok Ina segera beranjak menuju lantai dua, kamar Nurin. Alby mengamati setiap sisi ruang tamu yang terbilang cukup luas dan mampu memanjakan mata, terdapat lampu gantung dan lampu berdiri di bagian sudut ruangan--memancarkan cahaya yang lembut, tidak terlalu terang namun juga tidak terlalu redup. Di hadapan Alby sekarang ada sebuah meja dengan ukuran sedang, atasnya dipercantik oleh beberapa toples kristal berisi berbagai macam kue kering. Di sisi lain ruangan itu terdapat meja lagi yang Alby tebak sengaja dimanfaatkan untuk ornamen dekorasi. Mata Alby kini beralih pada pajangan dinding, terdapat beberapa lukisan karya seniman terbaik, jenis guci-gucian dan barang antik lainnya--khusus barang antik tersusun rapih dalam sebuah lemari besar. Kedatangan Nurin mengalihkan pandangan Alby yang tadinya sibuk memandangi sebuah karya seni pada ruangan tersebut. "Hem ... hai, Kak Alby." Nurin menyapa Alby dengan sedikit canggung, mengambil tempat duduk di sebuah sofa single. Tatapan mereka bertemu beberapa saat, mampu membuat d**a Nurin berdebar untuk kesekian kali. Mata indah berwarna hitam terang milik Alby selalu berhasil melemahkan lawan tatapnya. Tajam dan menghunus, tetapi terlihat hangat dan lembus dalam waktu bersamaan. Alby mengangguk sambil mengulas senyum tipis. Oh, God! Senyum tipis itu membuat siapa saja yang melihatkannya akan meleleh, termasuk Nurin. "Gue ke sini mau ...." Ucapan Alby menggantung di udara ketika Mbok Ina datang membawakan dua gelas minuman untuk mereka. "Mau ngomong apa tadi, Kak?" tanya Nurin setelah Mbok Ina kembali ke dapur. Dia berusaha menunjukkan sikap biasa-biasa saja, padahal sebenarnya akan meledak sekarang juga jika Alby melempar senyum kepadanya sekali lagi. Alby menaikkan sebelah alis tebalnya. Wajahnya kembali datar seperti biasanya. Entahlah, meskipun datar cowok itu tak pernah terlihat jelek. Memiliki wajah tampan layaknya keturunan Turki membuat Alby menjadi pujaan setiap cewek. "Apa lo gak menyadari sesuatu?" tanya Alby. Nurin mengernyit, bingung. "Eh ... apa ya, Kak?" "Ponsel kita tertukar, mungkin saat kita melakukan permainan tadi siang." Mata Nurin melebar. Dia memutar kembali kejadian beberapa jam yang lalu, ketika ibu dan ayahnya akan berangkat ke luar kota untuk mengurus beberapa pekerjaan. "Irin, sejak kapan wallpaper layar kunci ponsel kamu berubah tampilan menjadi masjid seperti ini?" tanya Ibu Abraham ketika melihat ponsel Nurin di atas meja, layarnya terbuka ketika ada sebuah panggilan yang masuk. Namun, sebelum Ibu Abraham berhasil menjawab panggilan itu lebih dulu berakhir. Nurin yang tengah berada di kamar mandi--buang air kecil, tidak sempat menjawab pertanyaan ibunya karena terburu-buru. Sepuluh menit lagi ibu dan ayah Nurin akan berangkat ke Bandara. Nurin hanya mengantarkan kedua orang tuanya sampai depan pagar rumah, karena besok dia harus kembali ke sekolah. Setelah mobil hitam itu hilang dari pandangannya Nurin segera beranjak memasuki rumah. Dia menghampiri Mbok Ina, menanyakan apakah masih ada persediaan tempe dan buncis untuk bekalnya besok, namun ternyata stok buncis sudah habis. Hari belum terlalu sore, masih ada waktu satu jam menuju maghrib. Nurin segera melajukan motornya menuju mini market yang letaknya tidak terlalu jauh dari rumah. Karena terlalu sibuk melakukan pekerjaan satu ke pekerjaan yang satu lagi, Nurin melupakan soal wallpaper layar kunci yang ditanyakan ibunya tadi. Nurin menepuk dahinya. "Pantes! Tunggu sebentar ya, Kak, aku ambilkan dulu ponselnya di kamar!" Lantas melangkah lebar kembali ke kamarnya. Ponsel Alby masih berada di tempat sebelumnya, di atas meja Nurin. "Ini ponselnya, Kak. Hehe ... maaf ya, Kak, aku sampai gak sadar kalo ponsel kita ketuker." Alby mengangguk. Dia juga memberikan ponsel Nurin. Keduanya kembali berada dalam kecanggungan satu sama lain. "Oh, iya. Silakan diminum dulu, Kak, minumannya." Nurin mempersilakan dengan baik, dia juga membuka semua toples kristal di atas meja itu. "Silakan dicicipi juga kue keringnya, Kak." "Iya, terima kasih." Alby menyunggingkan senyum. "Rumah lo sepi, ya?" tanyanya tanpa sadar. Setelah itu segera Alby merapatkan kedua bibirnya, takut kalau pertanyaannya kurang sopan. "Iya, Kak, bunda sama ayah baru sore tadi berangkat ke luar kota." Alby tersedak. "Oh, astaga. Kalau begitu gue langsung pamit sekarang aja." "Eh, kok gitu?" "Kelihatannya kurang baik kalau gue bertamu terlalu lama sedangkan kedua orangtua lo sedang gak berada di rumah. Apalagi sudah malam begini." Sumpah demi apa? Ternyata Alby adalah sosok yang begitu menghormati kaum perempuan dan memiliki sopan santun yang tidak pernah Nurin temukan pada teman-teman cowoknya selama ini. Wajarkan kalau saat ini hati Nurin berbunga-bunga? Bukan hanya senyumnya saja yang manis, tapi sikapnya juga. Nurin mengangguk, membalas senyuman Alby. "Iya, Kak, terima kasih banyak sudah mau repot ke sini. Sekali lagi aku minta maaf, terlalu ceroboh sampai gak sadar salah ambil ponsel Kak Alby." Satu yang Alby ketahui dari seorang Nurin, dia selalu menatap tepat pada mata lawan bicaranya. Membuat siapapun tak berani berkata bohong karena akan terbaca cepat olehnya. "Iya gak pa-pa. Makasih juga minuman dan kuenya. Enak." Nurin menyunggingkan senyum sekali lagi. Alby senang melihat senyuman itu. "Gue balik." Sepeninggal Alby, Nurin menghempaskan tubuhnya ke atas sofa panjang--dengan posisi tengkurap. Kemudian menghentakkan kakinya di sana berkali-kali sambil menutup mata, sungguh dia senang sekali hari ini. Senyum Alby membuatnya akan kejang sekarang juga. Jujur, kadar ketampanan Alby bertambah berkali-kali lipat saat mengenakan pakaian santai seperti tadi. **** Semoga cerita ini menghibur ya. Hehehe ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD