"Papa, ayo bantuin ngerayu Nona Cala biar dia mau menginap di sini." Aluna merengek pada Kenny, menggoyangkan lengan pria itu dengan setengah menangis tapi tidak mengeluarkan air mata. "Papa, ayo dong!" paksanya sedikit membentak. Aluna tahu hanya Kenny yang bisa membantunya mencegah Calandra pulang.
Kenny memegangi bahu Aluna, membuat anak itu diam beberapa saat menghentikan rengekannya yang berisik. "Aluna, dengarkan Papa--"
"Nggak mau!" Aluna paham jika Kenny berniat menolak permintaannya. "Tante Fara sering menginap di sini, kenapa Nona Cala nggak boleh?" Matanya menyipit tajam, persis Kenny ketika marah. Aluna anak yang cerdas, dia mulai paham jika Kenny selalu memprioritaskan Faradilla. Apa saja yang wanita itu inginkan, akan dikabulkan. Walaupun Aluna tidak setuju, Kenny tetap tidak peduli.
"Sayang, ini tentu saja berbeda. Tante Fara itu calon Mama buat kamu, sementara Nona Cala bukan. Dia hanya orang asing kemarin sore. Kita nggak kenal dia, jangan terlalu memberi dia peluang di rumah ini. Kita nggak tahu Nona Cala berniat jahat atau sebagainya."
Aluna melepaskan tangan Kenny darinya, mencoba menjaga jarak. "Nona Cala baik, aku suka dia. Aku nggak suka Tante Fara!" Menggeleng tegas, memberengut sebal. "Kalau gitu, aku aja yang menginap ke rumah Nona Cala. Nggak pa-pa rumahnya sempit dan ada suara katak yang berisik setiap malam. Aku suka bercerita sama Nona Cala sebelum tidur. Dia juga menyayangiku!"
"Alah, kamu masih kecil. Ngerti apa sih kamu soal dunia luar? Kamu nggak bakal paham kalau tipu daya orang asing itu jauh lebih berbahaya dari yang kita bayangkan. Apalagi kamu masih anak bawang begini, cepat percayaan sama omongan manis orang!" Mengusap puncak kepala Aluna, tapi anak itu segera menepis tangan Kenny.
"Papa jahat. Suka fitnah orang! Nakal banget." Aluna menghentakkan kaki, meninggalkan Kenny tanpa banyak bicara lagi. Dia berlarian kecil, berteriak memanggil Calandra, "Aku mau menginap di rumah Nona Cala aja. Nggak pa-pa nggak ada mainan, tapi aku suka tidur sama Nona Cala. Jangan dengerin Papa, dia udah nggak sayang aku." Memegangi tangan Calandra, menariknya ke kamar untuk bersiap dan mengemas barang yang akan dibawa.
"Aluna, Papa nggak ngizinin kamu keluar dari rumah. Kenapa ngeyelan banget? Akhir-akhir ini kamu jadi nakal ya, Papa sampai heran sama kelakuan kamu. Keras kepala banget."
"Aku nggak mau denger!" balas Aluna yang tengah sibuk membereskan pensil warna dan buku menggambarnya ke dalam tas. "Ayo Nona Cala, bawa aku ke rumah sempit Nona Cala aja. Aku nggak bakal pelit, kita bisa berbagi selimut lagi asal tidurnya sambil berpelukan ya?"
"Aluna!" Kenny mulai meninggikan suaranya. Berusaha merebut tas sekolah Aluna dengan kasar, membuat anak itu berdecak marah sambil menahan tangis. "Diam dan dengarkan Papa!" Bariton Kenny membuat nyali Aluna menciut. Dia ketakutan sampai tubuhnya sedikit bergetar, berusaha bersembunyi di balik tubuh Calandra.
Calandra mendesis. "Ngomong sama anak kecil nggak perlu membentak kasar gitu. Gimana pun Aluna, dia tetap anak kamu. Dari tadi kamu selalu mengatai dia nakal dan keras kepala. Sikap dia begini nggak ada bedanya sama kamu. Jadi tolong berkaca diri!" Mendorong Kenny, mengambil kembali tas Aluna. Calandra sudah menahan marah sejak tadi, karena merasa ini bukan ranahnya untuk ikut campur. Aluna bukan anaknya, Kenny juga bukan keluargannya. Tapi semakin Calandra diamkan, Kenny makin menjadi-jadi.
Tadi saat ada Faradilla di rumah, mereka hanya sibuk bersenda gurau berdua. Tidak peduli apakah Aluna sudah makan, dia ingin bermain apa, sudahkah pekerjaan sekolahnya selesai dan sebagainya. Untung ada Calandra, jadi Aluna punya teman menyelesaikan semuanya.
Bersama Aluna membuat Calandra terlempar ke masa lalu. Bagaimana dia mengurus dan membesarkan Cilla. Ternyata menjadi Aluna lebih menyedihkan. Dia masih mempunyai figur seorang ayah, tapi merasa sepi dan sendirian. Kenny hanya terlalu sibuk dengan dunia percintaan. Lupa jika kewajibannya pada Aluna begitu besar.
Apalagi Aluna dalam masa pertumbuhan seperti sekarang, banyak hal yang harus diberitahu untuk membentuk karakter dan pola pikirnya. Jangan sampai anak seusia Aluna tumbuh dan berkembang sendirian, dia akan sulit mengenali apa saja yang baik dan buruk untuk dirinya. Calandra lihat, Aluna ini anak yang pintar dan mudah mengerti jika diberitahu yang baik.
Contohnya seperti tadi, Calandra melarang Aluna bermain dengan gunting. Itu adalah benda tajam yang bisa membuatnya terluka. Aluna langsung mengerti dan berjanji tidak akan bermain-main dengan gunting lagi.
"Apa kamu nggak liat dia ketakutan? Apa begini caranya menasehati anak kecil? Bukannya mengerti, Aluna malah makin jauh dari kamu. Anak kecil bakal nurut kalau kita memberitahunya bener." Kenny terdiam, sedikit kaget melihat Calandra berucap tegas. "Ayo, Aluna." Calandra menggendong anak itu, membawanya menghindari Kenny.
"Aku nggak mau pulang lagi. Papa jahat!" Aluna memajukan bibir, masih berusaha menahan tangis dengan air mata yang sudah mengambang di pelupuk. Enggan menatap Kenny, meski pria itulah seseorang yang begitu Aluna sayangi.
Kenny mengusap wajah, menghela napas kasar. "Oke, baiklah. Kamu saja yang menginap di sini. Saya tidak mau Aluna terbiasa menginap di tempat orang lain. Tidak baik buat kebiasaan dia. Nanti malah tidak betah tinggal di rumah sendiri."
Calandra menatap Kenny jengah. "Kelakuan kok kayak bunglon begini. Lain tempat, lain cerita."
"Kamu tidak usah mengatai saya. Gunakan mulut kamu untuk mengunyah saja!" Kenny berusaha membujuk Aluna agar tidak merajuk, menggendongnya. "Maafin Papa sudah marah-marah. Papa nggak bermaksud jahat sama Aluna. Jangan marah ya, Papa janji nggak bakal bentak-bentak kayak tadi." Mengusap punggung Aluna. Tidak lama, terdengar isak tangis menyedihkan.
"Papa nggak boleh ngata-ngatain aku dan Nona Cala. Nanti Tuhan marah, dipotong lidah Papa sampai nggak bisa ngomong lagi."
Kenny langsung terdiam, kehabisan kata-kata. Anaknya sepintar ini, sangat bangga memilikinya. "Iya, iya. Papa kan sudah minta maaf, Tuhan juga nggak jadi marahin Papa."
Aluna mengangguk, memeluk leher Kenny. "Oke, maaf Papa diterima. Tapi janji jangan marah-marah lagi, nanti aku tinggal di rumah Nona Cala aja. Biarin Papa sendirian di sini."
"Tega Aluna tinggalin Papa? Nanti Papa nangis loh."
"Biarin, Papa sih jahat."
Kenny hanya bisa menghela napas, geleng-geleng keheranan sambil mengecup bahu dan pipi Aluna.
"Bereskan lagi barang-barang Aluna ke kamarnya. Kamu jangan seneng meracuni isi kepala anak saya." Sebelum Calandra menyela ucapannya, Kenny lebih dulu menghentikan. "Sebaiknya setelah ini jangan menemui Aluna lagi. Tidak seharusnya dia memiliki teman setua kamu. Aluna bisa bermain dengan anak seusianya."
Calandra memukul punggung Kenny dengan tas baju Aluna. "Mulut kamu kurang ajar banget! Kalau aku tua, berarti kamu sudah menjadi kakek."
"Cih! Beraninya mulut kamu menjawab. Sudah sana, melihat kamu lama-lama bisa membuat saya hipertensi. Tidak baik buat kesehatan."
Seperginya Calandra, Aluna mencubit Kenny. "Ish! Papa nakal lagi. Nona Cala itu baik. Aku mau berteman sama dia."
"Nona Cala itu udah tua. Nanti diomelin Mamanya kalau temenan sama anak sekecil kamu."
Aluna menaikkan alis. "Mama Nona Cala? Nggak ada tuh. Nona Cala juga nggak ada Mama, dia cuman berdua sama Cilla."
"Ada, di kampung."
"Papa bohong."
"Kamu juga tahu dari mana kalau Nona Cala nggak punya Mama. Nggak usah sok tau anak kecil."
"Nona Cala bilang Cilla sedih kalau ingat orangtua. Berarti dia nggak punya Mama dan Papa kan? Kata ibu guru, orangtua itu Mama dan Papa. Tapi Nenek dan Kakek juga bisa."
Kenny terdiam sebentar, lalu menaikkan bahu. "Nggak tahu, Papa nggak kenal sama orangtua Nona Cala. Nanti coba kamu tanyain lagi. Lagian Nona Cala juga harus kembali bekerja, nanti jadi gembel kalau nggak nyari duit. Kesian, bisa mati Nona Cala kalau nggak makan berhari-hari kan?"
"Papa jangan doain Nona Cala mati, nggak boleh. Nanti aku ngambek nih!" Kenny langsung minta ampun, dia salah bicara lagi. "Uang Papa banyak, kasih dong buat Nona Cala. Nggak boleh pelit. Kesian Nona Cala capek kerja."
"Semua orang yang udah dewasa harus kerja, Sayang. Papa juga capek kerja, Aluna nggak kesian sama Papa?"
Aluna menaikkan bahu, menatap Kenny dengan seksama sebelum akhirnya kembali melayangkan pertanyaan. "Kenapa Papa cuman sayang sama Tante Fara? Sayangi Nona Cala juga dong biar adil!"
"Hei, nggak bisa gitu. Bisa mengamuk Tante Fara kalau Papa menyayangi wanita lain. Lagian Nona Cala itu bukan anak kecil seperti kamu, dia perempuan dewasa. Nggak seharusnya juga ada di sini lama-lama, nanti Papa berantem sama Tante Fara."
"Tante Fara pemarah, aku nggak suka. Nona Cala baik, dia sayang Keli juga."
"Tante Fara juga suka Keli."
Ngomong-ngomong, Keli ini adalah nama untuk kelinci putih milik Aluna.
"Enggak. Tante Fara nggak pernah main sama Keli, artinya nggak suka Keli. Dia cuman suka Papa, nggak suka aku juga." Menaikkan bahu dan mengerjap polos. Aluna selalu jujur memberitahu perasaannya pada Kenny tentang Faradilla. Mereka memang tidak memiliki kecocokan dalam banyak hal. Aneh sekali.
Kenny sampai lelah menyatukan keduanya. Dalam setiap momen pertemuan mereka pasti ada saja cekcok yang akhirnya membuat Aluna tidak senang dengan Faradilla.
"Aku mau ke kamar dulu samperin Nona Cala. Dia pasti sedih habis dimarahi Papa." Lantas beranjak pergi, berlarian kecil menuju kamarnya. Kenny mengerjap kaget, Aluna dengan senang hati meninggalkannya demi Calandra. Tumben sekali. Biasanya Aluna selalu menempel dengan Kenny, tidak mau berpisah.
***
"Nona Cala, ambilin boneka dolphin aku di kamar tamu dong. Ketinggalan di sana, kemarin habis bobo siang sama Mbok Neni. Bulunya lembut, Nona Cala pasti suka juga."
"Kamar tamu yang mana? Rumah kamu sebesar ini, banyak kamarnya. Nanti aku malah nyasar."
Aluna terkikik geli. "Di kamar atas, samping ruang bermain aku. Tolong ya, Nona Cala, aku sudah ngantuk nih. Males jalan ke lantai atas." Anak itu sudah bersiap tidur sambil memeluk gulingnya.
"Pintunya dikunci nggak?"
"Enggak kok. Biasanya yang dikunci cuman kamar Papa. Jangan lama-lama ya, Nona Cala. Nanti aku ketiduran. Nona Cala sudah janji mau memelukku kan?"
"Iya, iya. Aku ambilin dulu."
Karena masih jam setengah sembilan, lampu ruang depan kamar Aluna belum dimatikan. Tadi Calandra sudah takut duluan, biasanya kalau malam hari rumah sebesar ini pasti terlihat menyeramkan. Kadang ada baiknya punya rumah kecil, mau ke mana saja gampang. Tidak perlu capek turun naik tangga dan menyusuri ruangan yang terlampau luas.
Kesan pertama saat Calandra menginjakkan kaki di kediaman Ryder ialah terpukau. Dari depan gerbang saja sudah bisa dibayangkan jika kediaman Aluna sebesar ini. Bahkan halaman luar bisa membangun beberapa petak kontrakan. Orang kaya memang berbeda. Calandra sampai geleng-geleng.
Pintu kamar tamu dibuka, aroma segar dari pewangi ruangan menyambut kedatangan Calandra hingga membentuk senyuman manis. "Kamar tamu aja lebih luas dari kontrakan aku. Ck, entah sebanyak apa uang mereka. Pasti enak hidup dengan uang berlebihan gini ya. Tidur nyenyak tanpa mikirin utang dan besok bakal dikejar-kejar rentenir."
Usai mengagumi setiap sudutnya, mata Calandra tertuju pada boneka dolphin yang ada di atas tempat tidur. Kesadarannya langsung kembali. Dia harus segera kembali, sebelum Aluna merajuk.
"Aaaaaaa!" teriak Calandra nyaring. Dia langsung menutup wajah, berjengkit kaget sampai terjungkal. "Ngapain kamu di sini?!" Berdecak sebal sambil mengaduh sakit pada mata kakinya yang tidak sengaja terbentur ranjang.
Niat awal hanya ingin mengambilkan boneka Aluna, malah apes lagi nasib Calandra.
Kenny ada di kamar mandi, posisi pintunya sedang terbuka lebar. Dia berdiri di depan meja wastafel, membersihkan wajah setelah menggosok gigi. Hanya menggunakan handuk abu-abu selutut yang melilit di pinggang, membiarkan tubuh atletis bagian atasnya terekspos sempurna. Kulit kecokelatan itu terlihat seksi sekali, mata polos Calandra teracuni akibat ulah Kenny.
Air di kamar utama kebetulan sedang bermasalah, katanya besok baru bisa diperbaiki oleh para teknisi. Karena berkeringat banyak setelah nge-gym, Kenny terpaksa menggunakan kamar mandi tamu.
"Harusnya saya yang tanya, ngapain kamu berkeliaran di sini? Mau mencuri, huh?" Kenny menaikkan alis, ikutan kaget dan bingung melihat Calandra. Wanita itu masih saja menutup wajah, mematung di tempat. Secuil ide muncul di kepala, Kenny jahil mendekati Calandra yang ketakutan. "Atau sengaja mau mengintip saya?"
Calandra mendesis. "Weh, ngapain kamu mendekat. Jauh, jauh. Aku mau lewat. Jangan menghalangi jalanku!"
"Kamu ke sini mau mengintip saya kan? Kenapa sok-sokan malu gitu?"
"Sintingggg! Aku nggak berminat mengintip pria jelek kayak kamu. Jangan kepedean!" Belum sempat Calandra melarikan diri, Kenny duluan mencekal pergelangannya. Wajah Calandra memerah, dia ketahuan sedang malu. "Mesumm! Lepasin nggak, aku bakal teriak sekencang-kencangnya biar semua orang bangun dan menggebuki kamu!" Berusaha berontak, sampai hampir jatuh lagi.
Calandra lupa, jika ini adalah kediaman Kenny. Dia berhak ada di mana pun dan melakukan apa saja. Para pekerja di sana juga tidak mungkin berani menggebuki Tuan rumah mereka. Kecuali memang sudah bosan bekerja, bahkan bosan hidup.
"Ngapain kamu?"
Calandra tidak menyahut. Setelah berhasil mengambil boneka dolphin Aluna, dia langsung berlari meninggalkan Kenny. "Dasar pria idiotttt!"
"Kurang ajar kamu ya!" Kenny refleks mengejar Calandra, jengkel. Membuat wanita itu mempercepat larinya untuk menghindar. Hanya Calandra yang menganggap seorang Kenny jelek, dan berani melempar ucapan tidak sopan.
Saking gugupnya, Calandra sampai salah mengambil haluan. Harusnya dia belok ke arah kanan, menuju tangga yang akan membawanya ke lantai dasar. Tapi nasib malang, Calandra malah ke kiri yang menyebabkan tersesat lebih jauh di lantai atas.
Sampai ujung, Calandra berniat mengamankan diri dengan masuk ke sebuah kamar yang kebetulan tidak terkunci. Satu-satunya tempat persembunyian yang masih ada. Tidak tahu apa isi dalamnya, ruangan itu gelap yang lagi-lagi membuat Calandra menjerit takut.
Brugh!
Calandra terjerembap tepat di depan pintu kamar itu, mengenaskan hingga keningnya mencium ubin. Boneka dolphin milik Aluna terlempar cukup jauh.
"Nggak jelas!" Kenny berkomentar sambil melipat kedua tangan di depan dadaa. Tanpa sadar, mereka berdua baru saja berlarian seperti anak kecil di bawah ruang temaram. Lampu bagian kiri memang sering dipadamkan, karena beberapa kamar hanya berisi buku-buku atau majalah lama dan berkas yang sudah tidak terpakai lagi. "Ayo berdiri, saya bantu. Harusnya sembunyi aja di dalam, ngapain keluar lagi. Kualat kan jadinya!"
"Gelap. Rumah kamu ini horor, banyak hantunya!"
"Konyol. Ayo cepat berdiri, saya bantu." Masih mengulurkan tangan, merasa iba.
"Nggak, nggak mau. Kamu kurang ajar. Mesumm!"
"Saya tidak mesumm."
"Tadi siang kamu bercint--" Calandra langsung menutup mulut, mengutuk dirinya yang sudah keceplosan mengingat kejadian tadi siang.
Kenny tersenyum jahat, lalu membangunkan Calandra dengan paksa. "Oh, kamu memang mempunyai hobi mengintip ya?"
Calandra mendengkus, berusaha melepaskan diri meski Kenny mengurung pergerakannya. "Kamu yang membuat ulah siang bolong. Aku nggak mau mengintip, kurang kerjaan aja. Lagian kamu itu udah tua, bisa-bisanya nggak hati-hati. Gimana kalau Aluna yang lihat? Memang nggak becus jadi Papa, heran!"
Setelah mengatai Kenny, tubuh Calandra langsung terhimpit ke dinding, Kenny memojokkannya.
Di bawah pencahayaan remang-remang, Calandra masih bisa melihat bagaimana wajah tegas dan badan besar milik Kenny. Aroma maskulin menyeruak mengisi penciuman. Keadaan yang sangat canggung hingga membuat keduanya membisu dalam sesaat. Hanya debaran dadaa yang terasa begitu dominan.
Bibir kemerahan Calandra terbuka kecil, helaan napas gugup terasa hangat membelai kulit Kenny. Mereka saling menatap, sampai lupa bahwa sebelumnya tengah melakukan perdebatan sengit.
"M-minggir!" Calandra sadar duluan, mendorong tubuh Kenny hingga tercipta jarak. Dia mengambil boneka Aluna, melangkah lebar meninggalkan Kenny.
Kenny menghela napas sekali lagi, mengusap rahangnya. "Dasar wanita aneh!" gumamnya pelan.