1. Pertemuan Tidak Terduga
Dalam sebuah gedung sekolah swasta ibukota Jakarta, gadis cantik dan semampai tengah melakukan pertemuan dengan seorang guru di ruang tata usaha. Mereka membicarakan mengenai biaya sekolah sang adik yang sudah menunggak sejak tiga tahun terakhir. Jika tidak dilunasi, maka tidak bisa mengikuti ujian akhir untuk mencapai kelulusan. Pihak sekolah tidak bisa memberikan keringanan lagi, sebab sudah cukup selama beberapa semester ini diberi kebijakan agar adiknya tidak ketinggalan kelas. Keringanan sebelumnya diberi karena mempertimbangkan sang adik cerdas dan beberapa kali menyumbangkan piala untuk sekolah dengan prestasinya.
Gadis ini bernama Calandra Grizelle Bitari berusia dua puluh tiga tahun. Bekerja tetap di salah satu pabrik tekstil, dan mengambil kerja part time di sebuah kafe. Kadang-kadang dia juga mengambil kerja sampingan menyapu jalanan di waktu pagi. Bagi Calandra lumayan uangnya untuk tabungan biaya hidup sehari-hari. Apalagi dia memerlukan banyak uang untuk melanjutkan pendidikan adiknya hingga menjadi seorang dokter yang hebat.
"Saya akan mengusahakannya, Bu. Akhir bulan nanti saya siapkan uangnya sebelum ujian di mulai. Terima kasih banyak atas kebijakan sekolah selama ini untuk Cilla, Bu. Saya pastikan dia akan mengikuti ujian akhir dan lulus dengan nilai yang memuaskan seperti biasanya." Menundukkan kepalanya sopan, lalu mengulas senyum ramah.
Setiap kali membicarakan biaya sekolah dan hidup sang adik, Calandra selalu bersedih hati. Kadang dia merasa gagal sebagai seorang kakak, tidak bisa melakukan yang terbaik seperti janjinya pada kedua orangtua sebelum mereka tiada.
Calandra dan Cilla anak yatim piatu sejak delapan tahun yang lalu. Orangtuanya mengalami kecelakaan tunggal di sebuah jalan tol menuju Bandung. Nyawa mereka hilang saat dilarikan ke rumah sakit, hanya Cilla yang bisa diselamatkan. Waktu itu Calandra sedang mengikuti ujian akhir semester, terpaksa tidak bisa ikut mengunjungi kediaman sang Nenek. Calandra ingat sekali bagaimana sedihnya dia saat mengetahui orangtuanya sudah tiada. Benar-benar seperti mimpi buruk yang tidak pernah dia harapkan akan terjadi secepat dan setragis itu.
Sang Nenek juga dinyatakan tutup usia tidak lama setelah pemakaman orangtuanya, Calandra langsung putus asa. Dia kehilangan banyak orang yang disayangi, bahkan sempat tidak memiliki gairah hidup. Tapi setelah melihat Cilla siuman dan menatap binar indah kedua matanya yang tidak berdosa, saat itu Calandra menemukan kehidupan baru yang harus dia perjuangkan. Tidak untuk dirinya, tapi untuk Cilla. Dia bertekad akan berhasil meski tidak ditemani siapa pun. Dia akan membesarkan dan membahagiakan Cilla. Menjadi kakak sekaligus orangtua pengganti yang terbaik.
Terbukti sekarang, bisa dikatakan jika Calandra tidak memiliki celah gagal sebagai seorang kakak dan orangtua untuk Cilla. Dia tidak malu bekerja serabutan sambil menuntut ilmu di sekolah. Mengorbankan banyak waktu bermain untuk mencari uang. Dan ya ... lihat hasil keringatnya, Cilla berhasil duduk di bangku sekolah menengah atas hingga semester akhir. Sebentar lagi akan lulus berkat kegigihannya.
Tidak hanya Cilla, Calandra pun mampu membiayai sekolahnya sendiri hingga mendapatkan ijazah sekolah menengah atas. Menurutnya itu sudah pencapaian yang sangat bagus. Dia diterima bekerja di pabrik dengan mengandalkan pendidikan terakhir. Upahnya lumayan, bisa ditabung untuk keperluan hidup mereka.
Setelah berpamitan dengan guru tersebut, Calandra langsung menemui adiknya. Mereka hanya terpaut usia lima tahun. Keduanya sama-sama memiliki kulit putih bersih dan berpostur tinggi. Jika Calandra lebih mirip sang ayah dengan lesung pipi dan dagu belahnya, berbeda dengan Cilla yang mewarisi wajah mendiang ibunya dengan mata sipit dan rambut lurus sebahu hitam legam.
"Cilla, sudah Kakak urus semuanya. Kamu nggak usah mikirin yang aneh-aneh, fokus aja sama sekolah dan ujian kamu nantinya. Kakak bakal usahain cari uang buat kamu. Jangan khawatir."
Gadis dengan nama panjang Cillandra Garvita Bitari itu menekuk wajah tidak bahagia. "Uang tunggakannya banyak banget. Kita nggak punya banyak tabungan sebanyak itu, Kak. Dari dulu Kakak nggak pernah bolehin aku ikut kerja, aku selalu ngerepotin. Aku nggak mau Kakak menghabiskan seluruh waktu untuk kerja dan kerja. Kakak bisa sakit kalau nggak istirahat. Dari dulu aku cuman punya Kakak, aku nggak mau hidup sendirian di sini." Hanya satu yang Cilla takuti, dia kehilangan kakak sekaligus teman terbaik dalam hidupnya. Mereka saling menyayangi, melindungi dan mengasihi setiap hari. Calandra sudah bekerja keras untuk menghidupi Cilla, maka sebab itu dia selalu melakukan yang terbaik pada nilai-nilai sekolahnya. Berusaha memberikan rasa bahagia untuk mengurangi lelah sang kakak.
Calandra terkekeh, mengusap pipi adik kesayangannya. Tidak terasa bayi kecil yang sering kali menangis ini sudah menjelma menjadi seorang gadis cantik yang begitu dewasa. "Jangan khawatir, sudah seharusnya Kakak memberikan yang terbaik buat kamu. Apa pun yang kamu butuhkan, sebisa mungkin Kakak penuhi. Kakak baik-baik aja." Meski rasanya ingin menyerah karena rasa lelah, tapi Calandra kembali ingat jika masa depan adiknya harus lebih baik daripada dirinya. Calandra tidak mau adiknya kerja serabutan, Cilla harus memiliki gelar kedokteran dan mengabdikan diri untuk membantu orang banyak yang lebih membutuhkan.
Sebab dulu mereka pernah berada di masa yang sangat sulit. Cilla demam tinggi, tapi Calandra tidak bisa membawakan ke rumah sakit karena terhalang biaya yang cukup banyak. Untung saja tetangga mereka ada yang berbaik hati meminjamkan uang, Cilla berhasil disembuhkan sebelum alerginya parah dan membahayakan nyawa. Dari sana Calandra sadar, uang memang bukan segalanya, tetapi segalanya memerlukan uang. Jika tidak ada kertas bernominal itu, semuanya serba susah.
"Setelah lulus, aku nggak mau melanjutkan pendidikan ke dunia perkuliahan. Aku nggak pengin nyusahin Kakak lagi. Sudah cukup lulus SMA aja, aku bisa nyari kerja pabrik kayak Kakak. Atau jaga toko roti kayak tetangga sebelah. Bisa juga di toko bunga."
"Enggak, nggak boleh ngikutin jejak Kakak. Kamu dari dulu pengin jadi dokter, pokoknya harus tercapai cita-cita kamu. Kakak usahain sebelum masuk kuliah, uang biaya pendidikan kamu sudah terkumpul. Kakak akan selalu mengusahannya. Jangan putus asa dong, Kakak aja semangat banget biar kamu sukses. Kamu harus percaya kita bisa melewati ini semua. Pengin banget Kakak liat kamu memakai jas kedokteran dan bisa menyembuhkan banyak orang."
Cilla menyusap air matanya, lalu tersenyum. "Aku hanya membutuhkan Kakak di sisi aku, sehat dan kita bisa hidup sederhana. Bahagia aku itu bersama Kakak. Aku janji aku nggak bakal boros dan ngerepotin lagi. Sekolah dokter itu lama dan butuh biaya yang nggak sedikit, aku nggak mau bikin Kakak meninggal karena kelelahan nyari uang. Buat apa aku sukses kalau Kakak menderita? Aku sering liat Kakak nangis diam-diam di kamar, aku tahu Kakak mikirin masa depan aku. Lelah kerja tapi upahnya kadang nggak sesuai harapan." Bibir Cilla semakin bergetar, Calandra langsung memeluknya untuk memberikan rasa tenang. "Jangan terlalu memaksakan, Kak. Aku nggak masalah kerja di mana pun, asalkan nggak jadi beban Kakak lagi. Cukup buat kita makan, bayar sewa rumah, dan jajan keperluan lainnya setiap bulan terpenuhi. Nggak usah Kakak korbankan semua masa muda Kakak buat aku. Harusnya Kakak juga memiliki waktu bersenang-senang, nggak cuman mikirin masa depan aku."
"Itu pikiran yang salah. Selagi Kakak masih bisa mengusahakannya, Kakak akan terus melakukannya. Asal kamu tahu, kesenangan Kakak itu bekerja. Kakak suka uang, makanya memilih gilaa kerja daripada gilaa main sama teman. Nggak ada hasilnya. Kamu ini adalah investasi seumur hidup, Kakak nggak bakal rugi sekolahin kamu setinggi langit. Kebahagiaan Kakak itu ada di kamu, Cilla. Jangan pernah berpikir jika kamu beban Kakak, enggak sama sekali. Kamu hanya perlu fokus sekolah dan belajar yang bener. Kakak gagal menjadi orang sukses, setidaknya jangan untuk masa depan kamu ya." Mengecup pipi Cilla, mengusap rambutnya. "Jangan nangis, cengeng banget. Nggak malu nanti diliat temen kamu mata dan hidungnya memerah?"
Cilla berdecak, bibirnya cemberut seperti bebek. "Terima kasih banyak, Kakak. Maaf kalau selama ini belum bisa memberikan yang terbaik. Aku janji akan menebus semua kelelahan Kakak di masa depan nanti. Aku nggak bakal ngecewain Kakak."
Calandra memeluk Cilla sekali lagi, mengecup tengkuknya. "Pasti, kamu harus bayar semua kelelahan Kakak ya. Cukup menjadi anak yang baik dan sukses. Itu udah bikin Kakak bangga dan bahagia banget." Mencubit ujung hidung Cilla, lalu keduanya terkikik geli. "Kakak mau pulang dulu, kamu lanjutin lagi belajarnya. Kakak percaya kamu bisa. Kamu pinter banget, harus menjadi seseorang yang berhasil di kemudian hari. Semangat adik Kakak yang cantik ya. Kumpulin prestasi kamu sebanyak-banyaknya, biar nanti menjadi nilai tambah ke bangku perkuliahan."
"Iya, Kakak. Kakak hati-hati di jalan, nanti pulang sekolah aku masakin makanan kesukaan Kakak sebagai rasa terima kasih aku."
"Wah, boleh banget. Nggak usah beli kangkung lagi, Kakak udah belanja sayuran tadi pagi. Ada di lemari pendingin ya, kamu cari aja bahan-bahannya di dalam sana."
Meski mereka selalu kekurangan uang, Cilla tidak pernah melihat kakak mengeluh. Lihat saja contoh kecil seperti sekarang, Calandra masih bisa berbelanja stok makanan. Padahal tadi pagi Cilla lihat dalam dompet kakaknya cuman ada dua puluh ribu yang diberikan padanya untuk uang jajan di sekolah.
Cilla selalu berdoa agar kakaknya sehat, pekerjaannya lancar, dan dimudahkan segala urusan Calandra dalam hal apa pun. Takut sekali kakaknya kesusahan, dia sering tidak bisa tidur hanya memikirkan kebahagiaan Calandra yang harus dikorbankan untuk masa depan dirinya. Semoga kerja keras ini membuahkan hasil yang manis, Cilla akan selalu berusaha memberikan yang terbaik.
***
Selesai semua kerjaannya di pabrik, Calandra segera berkemas barang-barang dan berniat pulang ke rumah. Cilla pasti sudah menunggu dengan beberapa menu spesial untuk makan malam mereka. Adiknya yang manis, selalu bisa melepas rasa lelah Calandra usai pulang bekerja. Semua terbayar lunas hanya dengan melihat senyum Cilla yang merekah.
Namun belum sempat Calandra menyeberang jalan dengan mulus, seorang anak kecil berlarian lincah dari arah seberang. Dia mengenakan dress bunga-bunga berwarna merah muda, lalu rambutnya rapi dengan bandana kupu-kupu senada.
Anak siapa yang berkeliaran malam-malam sendirian?
Mata Calandra membola saat mobil dari arah kiri melaju cukup kencang, anak itu bukannya melanjutkan langkahan malah berjongkok di tengah-tengah jalan. Entah apa yang sedang dia pikirkan. "Hei, bocil! Ngapain kamu di sana, udah bosan hidup, eh?" Calandra refleks menjerit cukup kencang, lalu dengan cepat menarik dan membawanya ke pinggiran jalan.
"Astaga bocah nakal ini!" gerutunya di penghujung napas terakhir. Calandra hampir saja mati, dia rela mempertaruhkan nyawanya untuk menyelamatkan bocah berbulu mata lentik ini. "Ngapain jalan sendirian? Di mana orangtua kamu? Bisa-bisanya dia ninggalin anak kecil sendirian di pinggiran jalan gedhe begini. Bisanya cuman bikin anak doang, jagainnya nggak becus!" Dia mengomel tanpa henti, wajahnya sudah memerah cemas. Setidak pedulinya Calandra dengan orang lain, dia tidak mungkin membiarkan anak sekecil itu mati mengenaskan. Jadi teringat kecelakaan orangtuanya, begitu menyedihkan. Apalagi Calandra dulu pernah melihat kondisi Cilla yang lumayan parah lukanya. Kasihan sekali.
Bukannya menangis atau merasa bersalah, anak itu malah mengerjap tanpa dosa. Dia masih duduk di pangkuan Calandra, menatap gadis itu seolah kagum dengannya. "Mama nggak ada." Lalu menaikkan bahu, bibirnya mulai cemberut masam.
"Nggak ada gimana? Kamu nyasar atau pergi sendirian dari rumah begitu? Astaga bocil, kamu kabur diam-diam ternyata ya!" Calandra menyentil hidungnya, lalu terlihat marah. "Di mana rumah kamu, biar aku antarkan pulang. Ini sudah malam, nanti kamu diculik."
"Aku Aluna." Dia mengulurkan tangan, tersenyum tipis. Anak ini kira-kira usianya baru empat atau lima tahun. Sangat cantik dengan pipinya yang berisi. Sejak tadi yang begitu mencuri perhatian adalah bulu matanya yang panjang dan lentik.
Calandra menerima uluran tangannya. "Aku Calandra, panggil aja Cala."
"Nona Cala?"
"Bukan, nggak usah pakai Nona. Aku bukan keturunan konglomerat yang patut dihormati dengan panggilan kayak gitu. Cala aja, nggak usah pakai Nona."
Aluna menggeleng. "Kata Papa aku boleh memanggil semua orang dengan sebutan Nona. Hem ... ini apa? Kenapa bolong ya? Apa kamu sakit gigi?" Menunjuk ke arah lesung pipi Calandra. Aluna seperti terpesona, sebab sebelumnya dia tidak pernah melihat orang dengan pipi seperti itu di kediamannya.
Calandra menghela napas panjang. Emosinya seketika hilang melihat kepolosan anak satu ini. Selain manis, dia cerdas juga ternyata. Anak yang memiliki banyak rasa penasaran biasanya pintar. "Namanya lesung pipi. Nggak sakit kok, emang udah dari lahir begini. Ayo pulang, aku antarkan. Aku mau cepat-cepat balik rumah juga, Cilla sudah menunggu."
"Cilla itu siapa?"
"Aduh banyak tanya ya kamu. Ayo aku antarkan pulang dulu. Lewat mana rumah kamu?"
Belum sempat mengajak Aluna melangkah, seorang pria jangkung mendekati mereka. Dia menatap Calandra sinis.
Kalau dilihat dari pakaiannya, Calandra tahu jika pria di hadapannya ini berbau uang. Wanginya menguar dan semerbak.
"Papa, ini Nona Cala." Aluna tersenyum, dia menggoyangkan tangan Calandra. "Tadi aku duduk di sana." Menunjuk tengah jalan, tempatnya barusan yang hampir saja bertemu Tuhan. "Ada serangga."
Calandra melepaskan tangan Aluna, lalu melipat kedua tangannya di depan dadaa. "Cih, orangtua nggak becus!" gumamnya cukup terdengar di telinga tajam pria itu.
"Saya masih bisa mendengarnya. Kamu mengatai saya secara terang-terangan."
Aluna menatap Papanya dan Calandra secara bergantian, bingung. "Papa, jangan marah. Nona Cala yang menggendong aku. Tadi ada mobil. Nyussss, gitu!" Mencontohkan bagaimana lajunya mobil itu hampir menabraknya. Aluna kaget, tapi langsung tenang saat Calandra memeluknya.
"Jaga baik-baik anak kamu, Pak arogan. Nggak perlu bilang makasih, aku udah ikhlas nolonginnya. Meski di dunia ini nggak ada yang gratis." Menaikkan bahu, lalu menyuruh Aluna melangkah pada Papanya. "Kamu jangan lagi jalan sendirian, bahaya. Kecuali kamu udah bosan hidup."
Mata pria itu membulat. "Hei, jaga ucapan kamu. Jangan sembarangan!" Dia memperingati begitu tegas, lalu menggendong Aluna--putri kesayangannya. "Berapa uang yang kamu perlukan sebagai ganti rugi telah menolong putri saya? Jangan berbasa-basi, saya tidak berminat dengan kebaikan palsu kamu." Mengeluarkan beberapa lembar uang ratusan ribu, memberikannya pada Calandra.
Calandra tersenyum, dengan senang hati dia menerimanya. Pria itu sangat mudah masuk perangkap Calandra. Sudah dibilang dia bukan orang sembarangan, aroma uangnya tercium wangi.
Jangan pernah lupa, Calandra sangat mencintai uang. Tidak peduli soal harga diri, kebetulan dia lagi kekurangan duit untuk bayar tunggakan sekolah Cilla. "Lain kali lepas aja anaknya, biar saya tolongin lagi. Lumayan kertas merahnya ini." Menaikkan bahu, menyimpan uangnya dengan wajah berseri. Lalu dia tertawa miring sebelum berlalu begitu saja tanpa dosa.
"Wanita aneh!"
"Huts! Papa nggak boleh ngomong gitu." Aluna memperingati, mengalungkan kedua tangannya pada leher pria itu.
"Ken, ngapain di sini? Aku nyariin kamu. Kalian tiba-tiba menghilang, ninggalin aku sendirian." Seorang perempuan menghampiri mereka dengan membawa tas mewahnya. Dia mengenakan pakaian ketat, dipadukan dengan heels hitam yang memanjakan kaki jenjangnya. Rambutnya light grey bergelombang sebahu.
Kenny Ryder, seorang duda berusia dua puluh delapan tahun. Cucu sekaligus satu-satunya penerus perusahaan keluarganya, Kender Group yang bergerak di bidang industri tekstil. Pria ini pernah menikah lima tahun silam, namun sayang istrinya telah meninggal dunia saat melahirkan putri mereka empat tahun yang lalu. Sejak kecil Aluna tidak pernah mendapatkan perhatian dari sosok seorang ibu, hanya Kenny yang setia merawat dan menyayanginya.
"Aku nggak sengaja liat Aluna kabur dari restoran. Katanya dia baru saja hampir tertabrak, untung tidak kenapa-kenapa. Maaf meninggalkanmu secara tiba-tiba." Mengecup pipi kekasih yang amat dia sayangi, Faradilla.
Wajah ceria Aluna hilang seketika saat melihat kedatangan Faradilla, Aluna tidak pernah menyukai wanita itu. Faradilla selalu mencuri perhatian Kenny, kadang sampai lupa dengan kehadiran Aluna. Tadi yang menyebabkan Aluna bosan berada di restoran tidak lain ialah karena Faradilla. Kenny terpaksa harus menerima telepon untuk membicarakan pekerjaan, lalu Faradilla juga sibuk dengan ponselnya. Beberapa kali Aluna panggil, tapi tidak menyahuti. Wanita itu hanya menyayangi Papanya, tidak berniat menjadi ibu sambung yang baik untuk Aluna.
"Aluna, lain kali nggak boleh kayak gitu. Bahaya, Sayang." Lantas menatap Kenny. "Tadi dia bilang hanya ingin melihat bintang, aku izinin dia jalan-jalan sebentar biar nggak bosan di kursi doang nungguin kamu. Aku nggak tahu kalau dia akhirnya kabur ke luar restoran."
Aluna tidak menyahuti, malah menaikkan bahu tidak senang. Dia memeluk Kenny, menenggelamkan wajahnya di ceruk leher pria itu. Lihat bukan, bahkan Faradilla tidak mengaku salah saat mengabaikan Aluna tadi.
"Nggak pa-pa, Sayang. Yang penting Aluna sudah ketemu dan baik-baik saja. Ayo ke restoran lagi, kamu belum makan sejak tadi. Maaf sudah membuat makan malam kita berantakan."
"Langsung pulang aja, Ken. Aku masakin buat makan malam kita dengan menu sederhana. Aluna kayaknya nggak betah ada di restoran tadi. Kesian dia."
Kenny tersenyum, mengangguk saja mengiyakannya. "Boleh, Sayang. Aluna harus berterima kasih sama Tante Fara, dia begitu perhatian sama kamu."
Masih tidak ada sahutan, Aluna rupanya sudah tidur dengan nyenyak. Gadis kecil yang begitu aktif, menyukai banyak hal yang menurutnya asik. Selalu ingin tahu dan senang belajar alat musik. Pertemuannya dengan Calandra tidak mudah dilupakan, apalagi lesung pipi yang telah mencuri perhatian Aluna tadi.
Semoga mereka bertemu kembali.