5. Kamu yang Mana?

2173 Words
"Kal, hape lo geter!" "Iya, bentar!" Saling sahut berteriak di kediaman itu, tak kencang memang, tetapi mesti begitu agar satu sama lain mendengar sebab posisinya berada di ruang berbeda. Yang mana Kalia di kamar mandi, sedang ponselnya di ruang tamu bersama kawan sekelompoknya itu. Kalia menitipkan ponselnya kepada Putri selama dia buang urine di dalam. "Geter terus, Kal! Ada telepon!" "Iya, iya, bentar. Ini udah!" Sambil berjalan menuju ponselnya, lalu pamit mau angkat telepon dulu. Tanpa tahu, Eca menatap gerak-geriknya. Kalia pun lengser ke kamar. Tentu saja, tempat boboknya barengan dengan kelompok putri, ini pun mengerjakan tugas rancangan kegiatan untuk besok hari pertama KKN, lokasinya di tempat tinggal putri. Yang putra beda lagi. Lingkungan ini menyediakan dua rumah untuk masing-masing gender. Sekarang berkumpul karena sedang mengerjakan tugas kelompok KKN yang diketuai oleh Resa. Yup! Sebab dia tertua, anak BEM juga, hingga mantan gebetan Kalia itu dipilih sebagai ketua kelompok mereka. Di kamar, Kalia angkat teleponnya. Nggak salah sama sekali, itu memang benar dari Mas Langit. Sudah Kalia save nomornya. "Halo, Mas. Ada apa?" "Memastikan. Ini benar nomornya Nadila, kan?" Kalia mengerjap, terdiam sesaat, lalu berdeham singkat. "Iya ... kenapa, Mas?" "Ya sudah. Selamat malam." Lho? Panggilan itu dimatikan, jelas bukan sama Kalia, dia melongo menatap layar datar di depan matanya. Sudahkah? Itu saja? Ew, nggak penting banget! Kalia berdecak selepasnya. Dia pun berbalik hendak kembali ke tempat kawan-kawannya, tetapi sebelum itu Kalia tercenung. Suara anak-anak dari mananya coba?! Sekali mendengar suara mas-mas taarufannya Mbak Dila dari seberang telepon sana, rahim Kalia langsung hangat, tahu! Untung tadi tak begitu fokus ke sana sehingga rahimnya aman-aman saja. "Siapa, Kal?" Ini lagi! Kak Eca. Penting banget nanya? Kalia baru saja mendudukkan pantatnya di ruangan itu. Yang lain fokus memantau laptop sambil usul ide, lain dengan Resa yang alihkan fokusnya kepada Kalia. "Temen." Kak Eca nggak perlu tahu! Sekarang cowok itu tampak manggut-manggut. Kalau boleh jujur, hati Kalia masih belum benar baik-baik saja. Melihat sosok Resa yang pernah selama 3 bulan itu dekat dengannya, ada dongkol yang bercokol, ada sesak yang menggelayut, mengingat kedekatan 3 bulan itu tak berakhir baik sebab Resa malah jadian dengan yang lain, padahal mesranya sama Kalia saat itu. Tapi masih untung yang sekelompok dengan Kalia adalah Resa, bukan kekasih lelaki itu. Mungkin dongkolnya akan berlapis-lapis. Satu bulan. Selama itu Kalia harus perbanyak sabar sebab sepanjang hari, bahkan sampai malam, sosok Resa dia lihat dan luka-luka itu kembali menyapa. Itu, lho, cowok yang kamu suka. Itu, lho, cowok yang sedang dekat dengan kamu. Itu, lho, cowok yang sudah kamu panggil sayang. Itu juga, lho, cowok yang esoknya malah jadian dengan cewek lain. Jadi, selama kedekatannya dengan kamu itu ... ngapain? Kalia mendesah di kala kalimat tersebut meninju hatinya. Ah, sudahlah! "Kal, besok agendanya jalan santai." Tanpa terasa sudah tiba di pertengahan bulan KKN. "Nanti kamu yang pegang kupon sama aku, ya," kata Kak Eca. Di situ Kalia menyahut, "Apa nggak lebih baik aku yang ditempatin di posisi awal pemberangkatan aja, ya?" Kak Eca diam. Menatap Kalia yang tak mau Kalia tatap balik, dia menyibukkan diri dengan hal lain. "Kal." Kali ini tangan Kalia dicekal, membuatnya henti berkutat dengan ponsel. Jujur, Kalia hanya menggulir beranda sosmed. Dan ngomong-ngomong, selepas pesan berikut telepon dari Mas Langit hari itu, sampai detik ini ruang obrolannya tetap sama begitu. Tidak ada pesan baru, tidak ada telepon baru pula. Ya, Kalia tidak heran, sih. Sudah sering Mas Langit begitu, alasannya pasti sibuk. Memang dasar lelaki kang timbul-tenggelam. Tapi kenapa Kalia harus kepikiran? "Kenapa, Kak?" Tangannya Kalia tarik dari cekalan Eca. Di sana Resa tampak ingin bicara, tetapi seperti suatu hal yang tak bisa dikatakan entah apa, Resa cuma bilang, "Ya udah, biar yang jaga pos kupon aku sama Egi aja." Kalia pun mengangguk. Jika memang itu yang mau dikata, tangan Kalia tak perlu dicekal, kan? Resa melenggang dari sana. Ah, hati .... Sudah tidak seberdebar dulu terhadap lelaki itu, tetapi hati ini masih tahu siapa yang sudah membuatnya terluka. *** "Ibu!" "Mbak Dila!" Ya ampun! Waktu cepat sekali berlalu. Dunia perkuliahan Kalia berjalan dengan baik sampai hari ini, di mana dia sedang pakai sepatu, sudah rapi mau ke kampus untuk lanjut urus-urus berkas PPL. "Apa, sih, teriak-teriak?" sahut ibu, beliau membawa sepatula. "Kunci motor Mbak Dila, mana? Kalia mau berangkat." "Kamu naik ojol aja, ya! Motornya mau Mbak pake!" teriak Mbak Dila dari dalam. "Yah ... ya udah, deh." Sekadar informasi, Mbak Dila ada rencana untuk membuat kafenya sendiri, tetapi dia masih perlu belajar dengan mencari pengalaman sebagai barista berikut meneliti entah apa, makanya dia ambil pekerjaan di kafe Universe. "Kalia berangkat, Bu." "Hati-hati." Kalia pun berjalan ke gerbang depan sambil pesan ojol dan menghubungi teman-teman. Lain dengan KKN, PPL ini jumlah orang di kelompoknya hanya 6. Sekarang rencananya mau ambil berkas di kampus, lalu pergi ke lokasi PPL untuk penyerahan surat tugas sekalian tanya-tanya sistem kerja di sana. Bedanya lagi dengan KKN, orang-orang dalam kelompoknya dipilih sendiri sehingga Kalia sudah mengenal baik teman satu kelompoknya ini. "Kal, nanti lo aja yang nyerahin berkasnya, ya? Lo, kan, lebih tau daripada kita. Secara, tempat ini juga atas rekomendasi lo yang mana kakak lo kerja di sana. Oke?" "Tapi jangan aku sendirilah. Anter. Masalahnya ini ketemu petingginya." Tepat di depan bangunan Universe, Kalia turun dari boncengan Selila. Teman satu kelompoknya. Oke, sudah lewat segmen di kampus tadi, sekarang sudah tiba saja lagi di lokasi PPL. Wah .... Kalia berdecak kagum dalam hati, tempatnya sedap dipandang, padahal ini perusahaan. Di sebelah parkiran ada tempat duduk serupa taman mini. "Berdua sama Ica, ya." "Dih, kok gue?" Ica protes. "Ca, plis, Ca. Lo, kan, pemberani." "Ya, tapi ... semua aja ikut." "Nah, bener," sahut Kalia. "Yang penting bukan aku, ya. Lagi sakit gigi masa pemulihan soalnya," tutur Dena, memegang pipi. Mereka masih rundingan di bawah sana. Ini pagi menjelang siang, pukul 10. "Ya udah, deh, ya udah. Masuk aja dulu, kalo udah masuk, gimana nanti aja," tukas Atika. "Ck! Iya, iya." Ica, Selila, Miran, Atika, Dena, dan Kalia masuk ke sana. Sayang, Nada tak ikut kelompok mereka. Namun, pertemanan 4 serangkai itu tidak berubah, kok. Ingat, kan? Atika, Dena, Kalia, dan Nada personilnya. Oke, sekarang kaki mahasiswa PPL itu sudah mulai memasuki area lantai dua. "Kata Mbak Dila, bosnya ada tiga. Nah, kita ketemu sama yang di lantai dua dulu. Nanti diajak ke lantai empat buat ketemu sama founder tertinggi." Tentu saja, sebelum ke sini, Kalia sudah banyak dapat informasi dari mbaknya. Selepas KKN hanya jeda seminggu, habis itu langsung masuk mata kuliah PPL ini. Waktu seminggu itu Kalia lewati dengan banyak tanya perihal Semesta Media. Namun, Kalia lupa nggak tanya siapa nama-nama bos mbaknya. Sekadar tanya bagaimana nanti kalau Kalia dan teman-teman tiba di sana, harus melangkah ke mana dulu, lalu sistem kerja di SM itu seperti apa, spill-spill sedikit sebelum nanti Kalia tahu jelasnya dari si bos. Oke, sip. "Mahasiswa PPL, ya?" Wow! Rupanya sudah ditunggu hingga kedatangan Kalia dan kawan-kawan disambut seseorang. "Iya, Mbak." "Mari, ikut saya." Adalah detik di mana jantung Kalia berdegup kencang, tak hanya Kalia juga sepertinya, tangan Kalia digandeng Dena. Yang lain pun saling gandeng. Terlebih ... kenapa manusia-manusis di sini good looking semua?! Kalia melewati kubikel para pekerja hingga tiba di depan sebuah pintu. "Silakan." Pintu itu sudah diketuk, kini terbuka, dan teman-teman Kalia mendorongnya lembut untuk masuk lebih awal mengikuti jejak pekerja perempuan tadi. Dena bahkan sudah melepaskan gandengannya, Kalia cemberut. Dasar, ya, mereka itu harus di-hih! Sebal. Mau tak mau, Kalia jalan memimpin teman-temannya. "Permisi, Pak Awan. Ini mahasiswa yang mau PPL di sini." Oh, Awan toh namanya. Dalam hati Kalia menggumam. Ganteng. Nggak kelihatan kalau sudah bapak-bapak. Kalia pun tersenyum, persis teman-temannya yang lain begitu tatapan Pak Awan menerjang mereka. "Silakan, silakan. Duduk dulu. Saya selesaikan ini sebentar, ya. Nggak apa-apa, kan?" "Oh, iya, Pak. Nggak apa-apa. Terima kasih," sahut para mahasiswa, termasuk Kalia. Ramah, cui! Kalia berdecak kagum. "Ya sudah, saya tinggal, ya. Mari, Adik-Adik." "Ah, iya, Mbak. Terima kasih." Mbak itu pun pamit kepada Pak Awan juga. Kalia dan kawan-kawan duduk manis di sofa, menunggu selesainya pekerjaan Pak Awan di sana. Duh, Kalia deg-degan! "Dari kampus mana?" Tentu, Kalia yang jawab sebab teman-temannya hanya senyum. Dia berkuliah di kampus kenamaan ibu kota. "Jurusan apa?" "Akuntansi, Pak," jawab Kalia, perwakilan. Tepatnya, dia mendadak jadi juru bicara. Pak Awan pun menghampiri, duduk di sofa tunggal, lalu bilang, "Coba saya lihat berkasnya." "Oh, iya. Ini, Pak." Kalia sodorkan map biru. "Sebelumnya sudah tahu soal Semesta Media, belum?" "Sudah, Pak." Jelas, cuma Kalia yang bilang. Dia tahu soal perusahaan ini dari Mbak Dila. "Yang lain, tahu?" "Iya, Pak," jawab mereka serentak. Tentunya sebelum datang ke sini, mereka sudah searching dulu soal perusahaan berbasis digital ini. Jika Kalia punya Mbak Dila, mereka punya google. Entah pengetahuannya lebih banyak siapa soal SM. Pak Awan senyum. Ya Allah, manis bangeeet! Sisi dedek girang dalam diri Kalia meleyot lihatnya. "Kalau akuntan, berarti nanti ditempatkan di bagian finance. Kebetulan, saya kepalanya." Mereka ber-oh ria, manggut-manggut takjub. "Nah, ruang kerja anggota finance ini adanya di lantai tiga." Sambil senyum bilang gitu, masya Allah. Senyum orang tampan memang efeknya melemahkan. Kalia salah fokus, astagfirullah. "Ya sudah, yuk, ikut saya." Yang Kalia tahu, lantai dua ini berisikan tim marketing. Konon, Semesta Media punya 4 bisnis berbeda, yakni kafe, game, komik, dan n****+. Well, yang ketiga terakhir berbasis online. Hanya kafe yang ofline. Kemudian lantai tiga, seperti yang dibilang Pak Awan, itu isinya kubikel tim keuangan. Namun, ada yang tidak sinkron. Ini kenapa Pak Awan membawa mereka ke lantai 4? Persis begitu bisik-bisik teman Kalia, yang tentu Kalia jawab berbisik pula. "Ketemu sama founder utama dulu." Para mahasiswa itu melangkah di belakang Pak Awan. Teman-teman Kalia pun mengangguk-angguk. Oh, kehadiran mahasiswa di sana menjadi pusat perhatian. Namun, tak seberapa di banding para pegawai yang otomatis mendapat lirikan-lirikan dari teman-teman Kalia. Ya, Kalia juga mencuri-curi pandang, sih. Gelaseh! Pegawainya kinclong-kinclong semua. Apa saat perekrutan salah satu syarat kerjanya adalah good looking? "Tunggu di sini sebentar, ya," ucap Pak Awan, menyeret fokus mereka, terkhusus Kalia. "Baik, Pak." Tepat di depan pintu ruangan itu. "Semoga gue bisa cinlok selama PPL di sini. Guys, bantu aminin!" bisik Atika. Kalia terkekeh. "Badas-badas semua anjir pegawainya. Jadi mau satu." Dena berhaha-hihi. "Yeu! Sebelum cinlok sama kalian, yang ada mereka cinlok sama sesama pegawainya dulu, Bambang! Nggak liat, tuh, yang badas bukan cowoknya aja? Ceweknya juga yahud!" "Ah, kita mah apa atuh ...." "Cuma bisa berharap," ringis Selila. Atika bilang, "Jangan berharap, deh. Nanti kayak si onoh yang--" Dipelototi Kalia. Oke, Atika langsung mingkem. Bertepatan juga dengan pintu ruangan yang terbuka sehingga mereka henti mengobrol, padahal masih banyak yang harus mereka diskusikan. Terkait si onoh dan pegawai-pegawai good looking di sini, misalnya? "Yang masuk perwakilan saja, Dek. Ketuanya yang mana?" "Ini, Pak." "Kalia, Pak." Yang ditunjuk-tunjuk. Lho?! Mau memberengut, malu, ada bos di depannya. Kalia tersenyum saja. "Yang lain tunggu di sini, ya? Itu di sebelah sana ada bangku. Dan ketuanya, mari ikut saya." Tentu, memasuki ruangan itu. Kalia mendelik dulu sama teman-teman soliminya. Mereka cengengesan dan ngibrit ke bangku tunggu. Ugh! Melilit. Efek mau bertemu orang penting, mahapenting malah! Kalia menyesal tidak tanya-tanya dulu soal-- Bugh! Kalia tersentak mundur detik itu, saat di mana tubuhnya telah masuk ke ruangan founder utama, ditutup pintu itu oleh Pak Awan, lalu mata Kalia jatuh tepat di depan sana, hal yang membuat punggungnya menubruk daun pintu, Kalia membatu. Sedang Awan berbalik, melihat suara apa itu. *** "Mbak, jelasin soal Semesta Media, dong." "Oh, jadi nanti aku ketemu owner yang pegang keuangan dulu, habis itu dihadapkan sama petinggi utama, ya? Kenapa nggak langsung ke bos utama itu aja, Mbak?" "Oh, gitu? Owner-nya ada tiga, ya? Nanti dikenalin juga sama owner yang kedua, nggak?" "Ngomong-ngomong, Semesta Media ini detailnya berbisnis apa, sih? Selain tempat kerja Mbak." "Orang-orangnya ramah nggak, Mbak?" Sebatas itu, hingga kini Kalia membeku di saat melihat siapa gerangan pemilik ruangan ini. "Dek?" Menggigil. Tatapan Kalia fokus pada sosok yang kini berdiri, berjalan menghampiri, Kalia sampai tak sadar bila sejak tadi Pak Awan memanggilnya, sampai-sampai melambaikan telapak tangan di depan netra Kalia, barulah tersengat kesadarannya. Kalia terkesiap. Apalagi saat orang di depan sana, yang bukan Pak Awan, tengah memegang map biru, membacanya dengan ucapan, "Atika, Dena, Ica, Kalia, Miran, dan Selila ...." Napas Kalia tercekat. Suara berat-berat becek itu lanjut berucap, "Kamu yang mana?" Dengan tatap setajam elang melihat mangsa di depan. Oh, Kalia berdiri tertekan. Dia mangap, mingkem, dengan tubuh yang kebas terasa. Kehadiran Pak Awan di dalam sana pun seolah alih wujud jadi gaib. Yang jelas hanya raga itu, yang kini tersenyum sebelah bibir. "Langit!" Iya, itu. Pak Awan sampai merangsek maju, menepuk bahu alot mas-mas itu, menegur. Ibuuu! Kalia lemas terduduk. "Lho, Dek?!" Kalia menciut detik itu. Sumpil! Nggak cuma Pak Awan yang kelihatan boloho, di situ Kalia juga sama. Yang tidak tahu apa-apa. Ya Allah, Kalia mau log out saja dari dunia ini ... saat melihat Mas Langit, orang yang sama dengan yang ... argh! Mana tombol log out-nya?! Derita manusia yang terjebak dalam miskomunikasi dan missing-missing lainnya. Iya, Kalia. Yang Langit julurkan tangannya mendahului Awan di sana. Asli, kalau begini ... apa nggak sebaiknya Kalia pura-pura pingsan saja? ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD