Mulanya memang hanya menempel, tetapi lama kelamaan didukung dengan tatapan syahdu membuat bibir itu banyak tingkah dengan sesekali memberi lumatan, pelan, tak terasa sampai menyecap dengan begitu terperinci, kepala pun sampai miring kanan miring kiri, bahkan tangan ikutan beraksi, menekan tenguk agar kepala tak lari, seakan ada sesuatu yang sedang dikejar, dua pihak pemilik bibir itu tampak jelas saling menginginkan hal yang lebih dari ini. Membuat Kalia meremas pinggiran kursi dengan bibir terkatup rapat, dibarengi bayang-bayang bibir si onoh yang kemarin bersirobok dengan pucuk bibirnya ini.
Argh!
"Mulai nakal, ya, kamu nonton yang begituan?"
Allahu!
Kalia tersentak, lekas menutup laptop, detik di mana dia berbalik dan mendapati Mbak Nadila yang bersedekap sambil geleng-geleng kepala di belakangnya.
"Mbak kapan masuk? Kok nggak ketuk pintu dulu?" protesnya.
Nadila berdecak. "Itu film, Mbak bilangin ibu, ya. Tontonan kamu jelek banget!"
"MBAK!"
Panik, Guys! Kalia cekal lengan kakaknya, lalu memelas. "Aku cuma lagi hipotesis aja, kok."
"Ndasmu!"
"Serius!" Agaknya tangan Kalia menjadi dingin sebab rasa paniknya, belum lagi bekas analisis perihal ciuman--mendadak Kalia penasaran, jadi tadi dia searching perihal kiss dan kepergok Mbak Dila. Uh, salah-salah dia fokus, pintu dibuka sampai tak sadar dirinya.
Tatapan Nadila masih belum melunak, dia pun lepaskan cekalan Kalia, lalu berdecak. "Kalo ibu tau, kamu pasti habis. Laptopnya kena sita, uang jajan dikorting setengahnya, ditambah hape kena geledah."
"Makanya, Mbak, ibu jangan sampe tau. Toh, aku nggak gimana-gimana, kok, sama tontonan tadi. Aku cuma lagi--"
"Mustahil."
"Mbak ...."
Nadila kibaskan tangan, dia melenggang, yang Kalia buntuti sampai langkah mbaknya terhenti.
"Oh, iya, sampe lupa." Detik itu Nadila berbalik, bertatapan dengan Kalia di depan pintu kamar yang terbuka. "Soal kuliah kamu, yang tempat PPL itu, Mbak udah tanya ke bos. Katanya boleh misal nanti ada anak kuliahan yang mau PPL di SM."
"Eh, beneran?!"
Mata Kalia berbinar. Oh, sampai lupa. Kapan hari sebelum aksi taaruf disebut, Kalia sempat minta tolong Mbak Dila untuk menanyakan di lokasi kerjanya apakah bisa menerima mahasiswa PPL atau tidak.
Well, memang betul Mbak Dila kerja di kafe, tetapi kata Mbak Dila, kafenya tepat bernaung di bawah kantor pusat perusahaan berbasis digital. Kebetulan, Kalia semester 6, di mana saat semester itu berakhir nanti akan ada kegiatan PPL dari kampusnya. Sistemnya, mahasiswa yang mencari sendiri lokasi untuk PPL mereka nanti, yang penting sesuai jurusan. Kebetulan lagi, Kalia jurursan Akuntansi, dan di perusahaan itu pasti ada bagian finance, kan? So, Kalia ngobrol-ngobrol sama Mbak Dila. Sekarang dia senang sekali. Tinggal tunggu tanggal PPL-nya saja, meski itu masih beberapa bulan lagi. Bulan depan Kalia mesti KKN dulu.
"Makasih, Mbak."
"Sama-sama. Tapi nggak gratis, lho. Yang tadi juga kalo kamu mau Mbak tutup mulut, ada biayanya."
Seketika Kalia mencebik. Perhitungan! Padahal, kan, Kalia cuma mau tahu tentang kiss yang ... ah, sudahlah. Kalia mengulum bibirnya sebelum bilang, "Apa itu, Mbak?"
"Ya, biasa. Kawal Mbak sama Mas Wisnu sampai halal. Artinya, andai nanti ibu berulah lagi ngenal-ngenalin Mbak ke cowok pilihannya, kamulah yang turun ke lapangan gagal-gagalin itu. Tau, kan? Mbak belum bisa bawa Mas Wisnu ke rumah soalnya ...."
Yang Kalia tahu, hubungan Mbak Dila dengan kekasihnya memang agak rumit, tetapi komitmen mereka kuat untuk terus menjalaninya sampai menemukan titik terang, atau bahkan titik jenuh. Ah, Kalia tak mau pusingkan itu. Bukan urusannya. Dia cukup bilang oke dan masalahnya pun selesai sudah. Betul, Miskah?
Toh, cuma menggagalkan niat baik seseorang terhadap usulan ibu untuk mbaknya, kan? Seperti yang sudah-sudah, dan semoga endingnya tidak sama seperti itu, ciuman pertama Kalia hangus dilibas mas-mas taarufannya Mbak Nadila!
***
Ugh.
Erangannya, desah gelisahnya, sampai pada ringisan lirih yang membisik di telinga, sudah lama Langit tidak memimpikan hal segila malam itu. Malam di mana dia pulang dengan tampang linglung dan repetan tanya dari Cakrawala terkait 'Pacar Abang, kok, pergi? Kok, lama? Dia nggak balik lagikah? Bang? Kok malah bengong? Mbaknya nggak dicari? Ditelepon?'
Dan Langit simpulkan, Wala begitu fokus pada layar datar di depan yang sedang menampilkan aksi erotis di mobil, sampai tidak tahu bahwa sudah terjadi tragedi besar pada Langit di sebelahnya. Sadar-sadar saat Kalia berdiri dan pergi dari sana, Wala baru menoleh, di situ Langit yang cengo.
Sepulang dari bioskop, Wala bawel menotice Kalia, yang Wala sebut sebagai pacar abangnya. Langit? Dia diam saja. Otak jeniusnya mendadak tumpul, lebih-lebih Langit tidak punya nomor perempuan itu. Tidak tahu juga kabur ke mana si pencuri ciuman pertamanya, yang justru malah Langit ditabok. Ow, s**t! Langit elus-elus pipinya.
Asli, dia nggak bisa tidur. Guling kanan, guling kiri, telentang, lalu telungkup. Langit frustrasi. Dia pun duduk dulu di kursi kerjanya, buka laptop, Langit mencari video edukasi yang setidaknya kantuk bisa datang dengan itu. Namun, yang menari-nari di kepala malah wajah Nadila KW.
Langit pun ambil jaket, yang kemudian dia keluar lari-lari di sekitar kompleks sampai tubuhnya merasa lelah dan butuh istirahat. Malam itu. Iya, malam di mana papi bertanya-tanya ada apa dengan Langit Tri Semesta.
Habis lelah, Langit basuh tubuh dengan air hangat, kemudian rebah dan pejamkan mata. Bagus, lama demikian hingga tepat pukul setengah dua belas malam Langit baru benar-benar terpejam. Masih malam itu.
Di mana berikutnya, Langit syok sebab tiba-tiba ada yang memasuki kamarnya. Perempuan. Persis seperti nyata. Yang tersenyum kepada Langit dan berakhir menggelayut.
"Kok, cuma nempel, Mas?"
Asli! Mirip banget suaranya. Langit tahu itu mimpi, tetapi Langit tidak tahu bagaimana cara mengakhiri mimpinya ini. Oh, ya, di malam itu. Yang sedang Langit ingat-ingat lagi.
Tahu-tahu bibir Langit dihinggapi bibirnya, dengan orang yang sama seperti saat di bioskop, tetapi kali ini ... tangan Langit bahkan meraba-raba. Demi apa pun, terasa jelas walau itu hanya mimpi belaka.
Lenguhannya.
Langit sampai tidak mau bangun atau memang dia sudah larut dalam buaian mimpinya, yang sudah rebah dan dia berposisi mengungkung tubuh perempuan itu di bawahnya. Langit juga nggak paham di mana letak korelasinya sehingga bisa pas seperti ini waktunya; antara tragedi di bioskop dengan mimpi enaknya. Mimpi itu seolah melanjutkan dua bibir yang berjumpa sebelumnya.
Dalam.
Tubuh Langit yang ternyata tampak besar jika dibandingkan dengan tubuh Kalia ... fine! Langit sebut namanya. Yang sedang Langit coba tancapkan patoknya di lahan Kalia. Iya, wajah perempuan yang ada di bawahnya. Sudah tanpa busana dengan kening mengernyit seiring usaha Langit ketika semakin melesakkan diri ke dalam sana.
"Sakit?"
Kalia tampak tegang.
Langit nggak bilang apa-apa lagi di mimpi itu. Yang membuat Langit di masa kini menjambak rambutnya kesal, terngiang-ngiang, celananya sampai basah saat bangun kesiangan di hari yang seharusnya dia bangun pagi.
"Kamu sehat?"
Satu pertanyaan lolos dari papi, Langit terkesiap. Kesadaran menyeretnya di kenyataan hari ini. Bye, mimpi!
"Sehat, Pi." Langit pun berdeham, ambil air minum, dia sedang sarapan. Bisa-bisanya terbayang mimpi semalam, tentang tubuh perempuan yang dia makan. "Uhuk-uhuk!"
Tak ada angin tak ada hujan, Langit batuk. Padahal Papi Alam menegur sudah dari beberapa menit lalu, batuknya telat banget.
"Beneran sehat?" Papi mengusap punggung Langit. "Kalau nggak enak badan, di rumah aja. Nggak usah ke kantor."
"Semalem juga Langit kayak yang banyak pikiran," imbuh mami. "Bener kata Papi, di rumah dulu aja. Toh, di sana ada Awan sama Guntur, kan?"
Yang mana di ruang makan itu terdapat Langit, papi, dan mami. Penghuni kediaman utama keluarga Semesta sudah bubar sejak pukul setengah tujuh pagi, ini saja sarapan yang kedua kali bagi papi dan mami, demi menemani Langit katanya.
"Langit sehat, kok."
Badannya bongsor, otot juga besar, tetapi di mata papi, Langit itu adalah bayinya. Ah, nggak cuma ke Langit, di mata papi semua anak-anaknya tetaplah masih bayi dan balita.
"Langit berangkat dulu, Pi," pungkasnya.
"Bener nggak pa-pa? Wajah kamu merah gitu."
Jelas saja, erang dan desah semalam terngiang-ngiang. Langit paksakan senyum dan bilang, "Papi tenang, Langit baik-baik aja. Ya udah, otewe dulu, ya, Pi."
"Sarapannya nggak dihabiskan? Mau Mami buatkan bekal, Lang?"
Selalu begitu. Langit senang, sih. Meski tiri, tetapi orang yang dulu dia sebut 'Kak Rana' itu sebegini perhatian sama dia yang jelas bukan anak kandung gerangan. Langit pun kembali berpamitan sampai akhirnya benar-benar hengkang.
Yang mana di kantor, Langit dapat pertanyaan dari Bang Awan bahwa, "Ada pegawai yang nanya ke Abang, Lang. Katanya boleh nggak kalau mahasiswa ikut magang di sini, buat tugas kampusnya, PPL."
"Ya, boleh aja."
Hari itu.
"Memang jurusan apa?"
"Akuntan."
Langit manggut-manggut. "Ya udah, nanti urusannya sama Abang. Masuk finance. Mintai aja surat tugas dari kampusnya."
***
Akhirnya, tiba juga saat KKN untuk mahasiswa semester 6, gerombolan Kalia. Seperti pada umumnya, Kalia ditempatkan di pelosok walau itu masih kawasan ibu kota. Dari kelasnya, Kalia sendirian, sisanya campur dari berbagai fakultas. Berisi 9 orang, perempuan 4 dan laki-laki 5.
Tak lama, KKN-nya hanya 1 bulan. Habis itu tentu dilanjut dengan PPL, tak ada jeda untuk libur di pergantian menuju semester tujuh. Detik-detik sibuk. Belum lagi nanti habis PPL, Kalia akan dihadapkan dengan skripsi. Oh, risiko mahasiswa semester tua. Semoga dia tak stres saja.
"Kalia berangkat, ya, Bu, Mbak."
Papanya tidak ada. Kalia cium tangan mereka, dia gendong tas ranselnya, lalu naik ke jok mamang ojol. Harusnya Kak Eca yang jemput, andai lelaki itu tidak ... Kalia benci mengingatnya. Lebih lagi ternyata dia satu kelompok KKN dengan lelaki itu, yang konon di semester lalu Kak Eca tidak ikut KKN periodenya.
Entah sudah berapa minggu berlalu dari terakhir kali Kalia galaukan pria itu, juga entah sudah berapa lama Kalia bebas tugas--yang sepertinya sukses besar dia membatalkan niat baik dari taarufan itu. Selepas bibir ini kehilangan kata pertama untuk sebuah ciumnya. Mas Langit hilang tanpa ada kabar-kabari, sekadar apa gitu ... nothing sama sekali!
"Kal, bonceng sama aku, ya?"
Oh, tahu-tahu Kalia sudah di kampus, sudah beres acara seremonial pembekalan dan pemberangkatan mahasiswa KKN, tinggal bubar jalan ke lokasi tugas. Yang mana pihak perempuan kebanyakan tidak membawa kendaraan, hingga pihak lelaki banyak yang menawarkan dalam kelompok masing-masing. Di situlah mantan 'jalani aja dulu' Kalia memberi penawaran.
"Makasih. Tapi aku udah sama Egi, Kak."
Ya, jutek dia. Mana sudilah Kalia baik-baikin lagi cowok itu. Yang sudah membuat hatinya kecewa.
Oke, kalau begini, entah kenapa Kalia merasa bersyukur bila ciuman pertamanya diambil oleh Mas Langit, selagi bukan Kak Eca, Kalia tak sedongkol yang seharusnya.
"Kal."
Lengan Kalia dicekal, praktis Kalia menoleh dan menarik lembut lengannya. "Kenapa, Kak?"
"Aku minta maaf soal waktu itu ...."
"Lho? Buat apa, Kak?" Kalia sunggingkan senyum tipisnya. "Emang dasarnya kita nggak ada hubungan apa-apa, kok. Jadi sah-sah aja kalau endingnya Kakak bukan sama aku."
Mau marah juga nggak berhak, kan? Karena marahnya sudah saat itu, saat di mana Kalia menampar dua cowok berbeda dalam satu hari yang sama. Marahnya Kalia terhadap Eca begitu masuk akal hari itu, tetapi akan cacat logika jikalau sekarang Kalia terkesan marah juga. Nanti kiranya di hati ini masih ada nama Resa. Memang tak terima diberi harapan palsu, tetapi nggak etis juga kalau sudah minggu-minggu berlalu Kalia masih terpuruk di masalah itu.
"Kal, ayo!"
"Oh, iya, Gi! Bentar." Kalia alih lagi ke Eca seraya bilang, "Aku duluan, ya, Kak."
Yang sudah memilih perempuan lain di saat sedang dekat-dekatnya dengan Kalia. Asli, sakit hati kalau diingat-ingat lagi.
Sampai kini Kalia tiba di lokasi, daerah pelosok yang syukurlah masih ada signal Telkomsel di sana, Kalia mendapat pesan baru yang disusul oleh telepon saat itu. Jelas saja, diangkatnya.
"Halo. Kenapa, Mbak? Ini aku baru mau telepon ibu, baru aja nyampe."
Dari Mbak Dila. Sosoknya yang sekarang bilang, "Gawat, Kal! Gawat!"
Dengan signal yang timbul-tenggelam, Kalia mengernyit. Setidaknya telepon itu masih bisa terhubung.
"Maksudnya?"
Mbak Dila kedengaran panik. Berkata bahwa, "Cowok itu minta ketemu!"
Cowok itu?
"Mas-mas taarufan maksudnya?" Memang sampai detik ini Kalia tidak pernah sebut merek. Ibu pun sejak tahu jika sering terjadi pertemuan antara Mbak Dila dan mas-mas itu, beliau jadi tidak lagi menotice.
Namun, satu yang Kalia bingungkan, kenapa pula Mas Langit eksistensinya sering timbul-tenggelam kayak signal di pedalaman?
"Iya, dia bahkan nelepon Mbak terus, nih. Malesin! Suaranya kayak anak kecil."
Kalia mengernyit mendengarnya. "Masa, sih?"
Perasaan, suara Mas Langit itu--
"Iya, makanya Mbak kasih nomor kamu ke dia. Alasannya Mbak ganti nomor. Apa dia udah nelepon kamu? Nggak mungkin chat, ya, soalnya tiap nelepon selalu pake nomor telepon rumah."
Kalia langsung cek jejak panggilan. "Nggak ada, Mbak."
"Alhamdulillah, berarti belum. Mbak udah waswas aja, takut dia nelepon kamu sebelum Mbak ngasih tau ini. Bisa gawat misi kita!"
"Intinya Mbak mau aku ngapain lagi, nih?" Mari langsung ke inti.
Kalia mendesah berat saat Mbak Dila kian menjadi-jadi, Kalia diminta untuk terus pura-pura sebagai sosoknya. Padahal Kalia pernah berpikir, bukankah jika kebohongan ini terbongkar itu bagus? Mas Langit pasti akan murka, lalu ibu tahu dan kecewa, dengan begitu taarufan ini batal sepenuhnya tanpa harus berlama-lama Kalia menjadi Nadila.
Namun, aneh. Entah apa yang Mbak Dila jaga, pokoknya Kalia mesti nurut saja dulu dengan segala caranya.
"Ya udah, iya. Paham, Mbak. Udah dulu, ya? Aku harus kumpul anggota. Oh, ya, bilangin sama ibu, Kalia udah nyampe dengan selamat ke tujuan."
Detik itu, teleponnya Kalia matikan. Namun, belum-belum Kalia kantongi ponselnya, layar datar itu menampilkan satu pesan baru. Yang Kalia baca ....
[Save. Langit.]
Dengan jantung yang tiba-tiba hadir gemuruhnya. Ini ... normal, kan?
***