6. Kita Perlu Bicara

1178 Words
"Sudah merasa baikan?" Pak Awan, Mas Langit, dan Kalia duduk bertiga di dalam ruangan itu. Dengan Kalia yang disuguhkan air hangat, sedang Kalia pangku gelasnya. Menunduk. Dia juga mengangguk. Yang sedikit-sedikit Kalia mendongak, menatap Mas Langit yang tengah duduk bersedekap, menatapnya. Ya Allah .... "Jadi kalian sudah saling kenal?" Kalia nggak berani menatap Pak Awan. Entah bagaimana tatapan beliau sekarang. Mendadak pikiran Kalia napak tilas ke hari pertama dia bertemu dengan lelaki yang dikenalkan ibu untuk Mbak Dila. Penampilan Mas Langit memang persis seorang bos besar, tetapi logika Kalia menolak menerima bahwa itu boleh saja fakta. Kalia lebih condong pada pemikiran: Tidak boleh menilai orang dari cover-nya, tampak keren bukan berarti benar kehidupan bagian dalamnya keren juga, apalagi untuk temu pertama. Bisa saja, kan, menyengaja berpenampilan rapi laksana bos besar biar taarufannya berjalan lancar dan pihak perempuan terpikat? Ditambah lagi, tak pernah sekali pun Mbak Dila sebut siapa gerangan nama bosnya. Bahkan Kalia sendri bisu soal nama gerangan yang jadi pasangan taaruf mbaknya. Pun, ibu juga begitu, tak ada sebut perihal nama gerangan putra dari bosnya. Gila, sih. Dipikir lagi, Kalia mau terbahak dengan air mata berlinang. Sialan! Ehm. Pak Awan berdeham, di situ Kalia meringis pelan. "Sa-saya minta maaf ...." Jelas, itu suara cicitan Kalia yang tak bertenaga, dia meremas gelas dalam pangkuan. Demi apa pun, Kalia nggak berani mendongak. Melihat Mas Langit yang tengah bersedekap. "Sepertinya saya kembali ke ruangan saja." Suara Awan, dia melirik adiknya. "Untuk sistem PPL dan sebagainya nanti biar Mas Langit yang jelaskan." Awan pun alih pada Kalia yang menunduk dengan tertekan. Yakin, pasti ada sesuatu. "Kalau betitu, saya tinggal dulu." Langkah demi langkah yang terdengar derapnya seiring dengan detak jantung Kalia yang semakin berpacu sampai akhirnya Pak Awan meninggalkan ruangan disertai suara pintu ditutup, Kalia panas-dingin di tempatnya. Hening. Hanya ada Kalia dan lelaki berotot alot di depannya. Sofa ini berhadapan, warnanya hitam, dan Kalia tahu ini tidak penting untuk dia kabarkan. Ya Tuhan .... Belum Kalia bernapas lega, dalam tundukkannya, ada map biru yang beliau letakkan di atas meja. "Sampai kapan mau diam?" Oh, suaranya berat dan rendah. Kalia menelan ludah. "Mau pakai sistem tanya-jawab atau narasi pengakuan?" Ya Allah .... Kalia menggigit bibir bawahnya, tanpa dia tahu bahwa Langit memperhatikan itu. "Di antara Atika, Dena--" "Kalia, Mas." Oh, kecil. Kecil sekali volumenya. Kalia memejam rapat, takut. Jujur, dia ciut sekali saat ini. Padahal Langit sudah tahu. "A-aku Kalia ...." Ya, Langit tahu. Kalia mengaku. Namun, tak ada sahutan berarti dari sosok itu, membuat Kalia beranikan diri mendongak didorong rasa penasaran atas reaksi gerangan. Patah-patah Kalia naikkan pandangan. Di sana Mas Langit menatapnya. "Siapanya Nadila?" Singkat, Kalia gigit lagi bibirnya, kian tajam tatapan Mas Langit untuknya. Makin ciut Kalia mencicit, "A-adik ...." Ketakutan. Yagelaseh! Di depannya itu kembaran Hulk versi soft, asal kalian tahu! Begitu Langit di mata Kalia, yang selalu saja kemeja beliau tampak sesak menutupi tubuh alot penuh ototnya. Kebayang itu kalau meluk Kalia pasti Kalia remuk. Eh! Mas Langit tampak diam, entah sedang memikirkan apa, dengan tatap setajam elang pada diri Kalia di depannya. Jantung oh jantung. Ruang ini begitu sepi, deru napas pun rasanya jelas terdengar, semoga tidak dengan detak jantung. Sementara itu, Langit tampak begitu santai. Hanya tatapannya saja dan tidak. Menelisik dari atas sampai bawah sosok Kalia, tampak risi perempuan itu ditatap seperti ini olehnya. Wajar. Langit pun ambil kembali map yang tadi, dibacanya. Membiarkan Kalia bernapas lega setelah sekian lama tegang dan napas ditahan-tahan. "Kalia Locita." Tegang lagi, Kalia duduk penuh tekanan. Percayalah! Padahal Mas Langit cuma bergumam membaca silabel namanya. "Waktu itu ...." Langit tidak lupa, yang dia tatap Kalia selepas ditutupnya map tadi. "Kenapa kamu nampar saya?" "Hah?" "Bioskop." "Oh, itu ...." "Kamu juga main pergi aja setelah mencuri ciuman saya." "C-ci-ciuman?!" Alis Mas Langit menukik, tampak menuntut, lain dengan Kalia yang mulai memerah pipi-pipinya. Tadi disebut ciuman, di sini Kalia yang sudah mulai lupa malah kembali teringat. "Memang apa kalau bukan ciuman? Bibir kamu--" "Mas!" Nggak sadar Kalia memekik, jantungnya berdetak panik, Kalia memelas. "Maaf, bisa kita bicarakan hal lain aja?" "Kenapa berperan sebagai kakak kamu?" Aduh! "Tujuannya apa?" Ya ampun. Kalia belum siapkan kunci jawabannya. Apa tidak bisa di-skip? "Nggak bisa jawab atau nggak mau jawab?" Sindiran keras. Kalia teguk lagi air dalam gelas di atas pangkuan. Mas Langit menghela napas pelan. "Ya sudah. Mulai besok kamu dan teman-teman kamu itu sudah mulai masuk kantor. Aturannya datang sebelum jam delapan, pulang jam empat sore. Nanti kalian ditempatkan di bagian finance, Pak Awan yang kawal. Orang yang tadi itu." Alhamdulillah ... Kalia mendesahkan napas lega. Pembahasannya betul-betul diganti. "Baik," cicitnya. Namun, apa dengan begini, nggak sebaiknya Kalia ganti tempat PPL saja? Kalau dia di sini .... "Sudah saya tanda tangani." Nggak sopan juga kalau Kalia bilang nggak jadi PPL di sini. Ah, sudahlah! "Terima kasih, Pak." "Kenapa jadi Pak?" Eh, iya! Lolos begitu saja karena ternyata beliau adalah bos. Di situ Mas Langit menatapnya, meletakkan kembali map di meja, Kalia dapat melihat betapa sesaknya kemeja Mas Langit. Apa di rumah beliau yang terhormat ini tak punya kemeja lain selain kemeja-kemeja sesak napasnya? Jujur, Kalia gemas! "Panggil Mas aja. Pegawai di sini pun begitu. Kecuali kalau sama yang tadi, Pak Awan." "Ah ... baik." "Ada lagi yang mau dibicarakan soal PPL kamu?" Kalia basahi bibirnya. Aduh! Rahang masnya tampak mengetat garang, Kalia mengerut seketika. "S-sudah. I-itu aja ...." Sampai suaranya metamorfosis jadi gagap. Mas Langit pun mengangguk. "Eh ... a-anu, Mas." Kembali tatapan mereka berjumpa. Demi Tuhan, ini lidah Kalia kenapa? Tanpa sadar Kalia meremas jemari selepas dia letakkan gelas di meja. Kalia gugup maksimal, wahai kekasih Matilda! "Pakaiannya ... em ... seragam kerjanya, apa kami juga--" "Bebas saja." "Oh, baik." Kalia pun pamit. "Kalau begitu ... sudah, Mas. Terima kasih." Yang Kalia julurkan tangannya. Niatnya, sih, hendak salim: I mean, cium tangan bos dengan takzim gitu, lho. Namun, alis Mas Langit tajam menukik, matanya menatap juluran tangan Kalia. "I-itu ...." Masa harus dijelaskan kalau Kalia mau cium tangan?! Apa sebaiknya dia tarik saja lagi julurannya ini? Allah! Kalia terkesiap. Digenggamnya telapak tangan itu, Kalia mengerjap. Alot, Guys! Keras banget! Ini baru tangan, jangan coba-coba membayangkan area di sekitar s**********n. Zina otak, Bosku! Di situ tangan Kalia tampak kecil sekali. Dan dengan gerakan kaku, Kalia merunduk hendak mencium punggung tangan itu. Sumpah! Detak jantung Kalia tidak baik-baik saja, sampai akhir keningnya menempel dengan punggung tangan itu. Dingin! Tangan Mas Langit dingin sekali, sedingin telapak tangan Kalia. Namun, why ... tak kunjung beliau lepaskan? Saat Kalia mendongak dalam tundukkannya menatap Mas Langit, orang itu lagi-lagi secara tajam menatapnya. Ugh! Tangan Kalia pun terasa diremas. "Mas ...." Langit lepaskan tangan itu. Kalia gugup selalu. Lain dengan Langit yang tampak biasa, tetapi juga galak tatapannya di saat-saat tertentu. "A-aku permisi. Sekali lagi, terima kasih." Kalia pun beranjak pergi, buru-buru dia ambil tas dan map di meja, lalu membungkuk sopan tanda bahwa dia akan segera hengkang. Namun, baru Kalia pegang handel pintu itu, suara Mas Langit menginterupsi. "Nanti sore, mau saya yang datang ke rumah kamu, atau kamu yang temui saya di apartemen." Kalia membeku. Menoleh pelan. Mas Langit lanjutkan, "We need to talk, right?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD