Hari ini Kalia memakai setelan abu gelap sehabis mandi sore dengan rambut dikucir kuda, dia gendong tas selempang kecil memuat ponsel dan uang saku saja. Tas itu warna putih, selaras dengan flat shoes-nya. Kalia turun dari boncengan mamang ojol.
"Makasih, ya, Pak."
Ojol itu melaju selepas membalas ucapan Kalia. Oh, benar. Sore itu Kalia benar-benar memilih datang ke gedung pencakar langit ibu kota alih-alih kediamannya didatangi pemuda. Bahaya, Sis! Risikonya besar kalau Mas Langit datang ke sana. So, biarlah Kalia yang datang ke apartemen gerangan.
Bismillah.
Kalia tepat berdiri di depan pintu itu. Tak terasa, kaki telah membawanya tiba di sana. Kalia lekas memencet belnya.
Demi apa pun, ini jantung melupakan cara bertedak normal. Akhir-akhir ini jantung Kalia suka sekali berdetak melebihi ritme wajarnya. Duh ....
Pintu itu terbuka. Sejenak Kalia menahan napasnya, sosok Mas Langit berkaus hitam dengan kolor di atas lutut membuat Kalia mundur selangkah tanpa sadar. Kalia mendelik ngeri. O-ototnya ....
Masih soal itu.
Kalia belum terbiasa, Bestie! Laksana balonku, tali tas selempangnya Kalia pegang erat-erat. Ya Allah!
"Masuk."
A-apa nggak pa-pa dia masuk? Bahkan suara batin pun ikut-ikutan gagap cem suara Kalia andai dia loloskan dari lisan. Kalia menciut, menunduk tak berani menatap perawakan lelaki di depannya. Jujur! Mata Kalia ganjen jadi ingin lihat-lihat yang lain, selain betis dan paha, selain bisep dan bidangnya d**a, ada satu bagian yang tampak menarik sebab jelas menonjol di depannya. Kalia kontan menelan saliva.
"Masuk!"
Oh, ngegas. Buru-buru Kalia memasuki apartemen itu, melewati tubuh Mas Langit yang berdiri di dekat ambang pintu.
Suara ditutupnya daun pintu itu sukses membuat seluruh rambut di tubuh Kalia berjengit sebadan-badan. Sampai akhirnya Kalia dipersilakan duduk, sofa yang beberapa waktu lalu pernah Kalia tempati itu kini dia duduki lagi.
Yang tanpa bertanya Kalia suka atau biasa minum apa, Mas Langit sudah meletakkan dua botol air mineral murni di meja sebagai sajen untuk teman duduk Kalia di sana. Mas Langit pun duduk kemudian.
"Saya baru mau olahraga."
Oh ... itu, sih, Kalia nggak nanya. Tapi apa olahraganya pakai kolor alih-alih celana training? Apa belum ganti?
Mas Langit membuka tutup botolnya, Kalia pun hendak mengambil botol air miliknya, tetapi terlambat oleh gerak tangan Mas Langit. Botol pertama yang telah dibuka tutupnya itu diletakkannya ke hadapan Kalia, lalu Mas Langit ambil botol lain dan dia buka lagi tutupnya, kemudian beliau meneguk isinya.
Fine. Kalia ambil botol yang sudah dibukakan tutupnya, dia teguk perlahan dengan jantung bergemuruh kencang. Perihal botol saja panjang pembahasannya.
"Kalia--"
Uhuk, uhuk!
Batuk, cui. Baru juga dengar namanya disebut. Iya, namanya. Bukan lagi 'Nadila.'
"Rileks," kata masnya.
Kalia teguk lagi air itu. Tak lama, Kalia berdeham, menatap Mas Langit. Percayalah, wajah Kalia sudah memerah. Well, coba beri tahu Kalia, gimana caranya biar dia bisa rileks di saat tatapan Mas Langit setajam itu?!
Sekarang malah hening. Kalia melengos malu, tatapan Mas Langit seperti sedang menguliti, bahkan seolah tengah meneropong sampai ke lubang pori-pori. Argh! Kalia hiperbola.
"Kalia."
Ehm!
"I-iya?" Kecil banget, Kalia tercekat, melirik Mas Langit lagi. Namanya disebut-sebut terus dari tadi.
"Buka baju kamu."
Satu detik.
Dua.
Kalia mengerjap.
"Hah?"
"Bajunya, buka."
Seperti itu. Jelas, Kalia langsung memeluk ngeri dirinya sendiri. "Mas jangan macem-macem!"
Tatapan Mas Langit kini tampak datar. "Nggak tertarik," katanya. Kemudian Mas Langit berdiri dan bilang lagi, "Buka saja, di kamar yang itu, ganti. Ada baju olahraga punya adik saya, pake. Saya tunggu di ruang kaca."
Sekian, Mas Langit melenggang. Ruang kaca adalah tempat di mana Kalia gulirkan tatapannya ke arah sana, ruang olahraga. Jadi, maksudnya ....
Kalia berdecak malu, merah lagi pipinya, dengan raut memberengut. Dasar Mas Langit! Sistem bicaranya tidak etis, harusnya to the point saja bilang dengan tidak setengah-setengah seolah sengaja ingin mencipta suasana ambigu. Cewek mana yang nggak syok disuruh buka baju?!!!
Kalia pun ikuti saja alurnya, dia lengser ke salah satu kamar yang beliau tunjukkan. Sial! Kalia terpesona.
Ini kamar, ya?
Bagus.
Kalia pun melahap semua pemandangan indah di balik bintu bercat putih ini, ternyata super girly kamarnya. Pink semua dong, ya. Epic banget. Alih-alih kamar adik, ini sih andai Kalia tidak tahu pasti akan mengira kamar anak sulungnya Mas Langit. Bedeuh!
"Adik Mas suka warna pink?"
Tahu-tahu Kalia sudah ganti baju dan dia hampiri sosok Mas Langit di ruang kaca, ternyata Mas Langit sendiri sudah ganti dengan celana training.
Langit menoleh, melihat Kalia yang mengenakan baju adiknya. Muat ternyata, sesuai dugaannya selepas menelaah tubuh perempuan itu. Ehm!
"Dia maniak pink," sahut Langit.
Kalia manggut-manggut. "Kamarnya bagus."
"Suka?"
Mas Langit mendekat, Kalia menggeleng. "Aku nggak se-girly itu, tapi kamarnya tadi memang bagus. Cuma bukan selera aku."
"Selera kamu yang bagaimana?"
Kalia terdiam. Bukan! Bukan karena bingung mau jawab apa, tetapi karena d**a montok--eh, maaf--Mas Langit tepat di depan matanya. Seketika Kalia merasa insecure! Kalia menunduk, melihat dadanya sendiri, lalu menatap lurus lagi ke d**a Mas Langit. Ish!
Hingga tanpa sadar, dagu Kalia diangkat dengan jari telunjuk gerangan, Kalia mengerjap, mendongak menatap wajah masnya.
"Selera kamu yang bagaimana?"
Blank!
Kalia kehilangan kendali atas segala hal di tubuhnya, dia menahan napas. God! Terlalu dekat. Kalia sesak, persis seperti nasib kemeja Mas Langit. Begitu saja Kalia memilih pejamkan mata. Rapat. Serapat mungkin. Bedug di d**a makin gila bertabuh. Dag-dig-dug. Sampai Kalia tak lagi merasakan deru napas dan sentuhan telunjuk di dagunya seiring dengan suara Mas Langit yang bilang, "Perhatikan baik-baik. Jangan merem."
Eh?!
"Kakinya dibuka."
Kalia kembali terjaga, matanya mendelik sebal. Nggak tahu kenapa, Guys! Dia kesal.
Sekarang kaki Mas Langit tampak sedang memperlebar jarak kaki kanan dan kiri Kalia, dibuka katanya, jangar rapat.
"Kita lakukan pemanasan."
Argh!
"Harus banget, Mas?" cicit Kalia. Dia berdiri dengan kaki terbuka, berjarak.
"Harus. Biar nggak kaget pas mulai, apalagi saya maunya sampai klimaks ...." Dengan tatapan menghujam tepat di bola mata Kalia.
Merinding diskolah dia. Gila! Klimaks banget dong bahasanya.
"Lakukan gerakan ini. Ikuti saya."
Ta-tapi, kenapa harus begini? Kenapa harus olahraga? Bukankah yang pagi tadi Mas Langit bilang, pertemuan ini ada karena butuh bicara? Sebentar, Kalia masih loading.
"Mas."
"Jangan banyak bicara kalau sedang olahraga, nanti stok napas kamu habis dan cepet capeknya."
Oh, ya?
Kata siapa?
Kalia memberengut.
"Terus lakukan gerakan itu," katanya. Mas Langit seketika jadi pemandu pemanasan Kalia saat ini.
Well, Kalia masih belum tahu di mana korelasinya 'we need to talk' dengan 'kita yang berolahraga sore dalam ruangan.'
Mas Langit tampak mengambil barbel, lalu menghampiri Kalia, kemudian diserahkannya benda berbobot 5 kilogram itu padanya.
"Pegang."
"Berat, Mas." Kalia tampak ogah-ogahan. Lagi pula, ini sedang apa coba, Bestie?!
Tangan Mas Langit merangsek maju meraih lengan Kalia, lalu dicekalkannya benda berat itu dan mau tak mau Kalia menggenggam besi pegangannya. Asli, 5 kilogram.
"Untuk ukuran tubuh kamu, lima kilo itu harusnya nggak ada apa-apanya di antara yang delapan, sepuluh, dan yang itu juga itu." Ditunjuk-tunjuk deretan barbel lainnya, Kalia makin menekuk wajah.
"Bukannya kita perlu bicara?" Kalia letakkan barbel itu. Dia sembunyikan tangannya di belakang tubuh. "Lagian Mas bahas soal ukuran tubuh aku, kayak yang iya tau aja!"
Langit tersenyum. Namun, seram, Pemirsa! Asli, lebih baik Mas Langit nggak senyum. Itu ... senyum jenis apa?! Psikopat?
"Kamu sudah membohongi saya, ingat?"
Kalia mingkem, memalingkan wajah. Ingat sekali!
"Katakanlah, saya lagi hukum kamu sekarang atas itu."
Oh, jadi ....
"Tapi ngehukumnya jangan olahraga juga dong, Mas." Kalia memelas. "Aku minta maaf."
"Memangnya kenapa kalau olahraga? Kamu merasa tersiksa? Terbebani? Tentu, itu tujuan saya, Kalia."
Si paling berat-berat becek suaranya. Kalia tergelitik, jujur. Rahimnya sering hangat kalau Mas Langit bicara dengan nada rendah penuh penekanan. Eh, eh, salfok.
Ah, Kalia punya ide!
"Selain olahraga yang kayak gini, dong, ngehukumnya."
Mas Langit tampak menaikkan alis. "Lalu, mau olahraga yang kayak gimana? Lari? Push up? Sit up?"
Kalia tediam. Ada nggak, sih, olahraga yang enak dan tanpa membuat badan ini pegal-pegal di hari kemudian?
"Atau--"
"Olahraga yang enak!"
Mas Langit langsung mingkem, tatapannya tajam tak suka. Idih, sabodoh amatlah, ya. Si amat saja tidak peduli, apalagi Kalia. Karena dia punya ide setelahnya.
"Kalau nggak, kalau Mas mau aku lakoni hukuman nggak manusiawi dari Mas tadi itu, ada syaratnya!"
Mas Langit mendengkus. "Ini hukuman, Kalia. Bukan--"
"Penuhi syarat atau olahraga enak?" tuntutnya memangkas. Mas Langit tampak makin tak suka, makin tajam pula tatapannya. Kali ini Kalia tebalkan keberanian demi ide cemerlang tadi.
"Syarat."
Bagus!
Mas Langit pintar pilih itu, soalnya memang sepemikiran Kalia; nggak ada yang namanya olahraga enak. Olahraga semuanya itu capek, lelah, letih, pegal, dan sebangsanya. So ....
"Janji sama aku," ucap Kalia, menjulurkan jari kelingkingnya, "Mas Langit bakal nolak sepenuhnya perihal taarufan Mas sama Mbak Dila. Dan itu Mas akan bilang ke ibu kalau Mas menolaknya. Janji?"
Dengan begitu, Kalia tidak akan diteror oleh mbaknya lagi atas segala apa yang berhubungan dengan taarufan Mbak Dila bersama Mas Langit. Setidaknya, Kalia dibebastugaskan dari berhadapan dengan lelaki ini kelak karena ibu tak akan menyodor-nyodorkan gerangan lagi. Habis penolakan, Kalia akan membumbui ibu bahwa perjodohan atau taaruf begitu bukan metode tepat untuk Mbak Dila, biar ke sananya Kalia atur strategi baru sampai ibu kapok mengenalkan lelaki ke Mbak Dila, atau bahkan--amit-amit--kepada dirinya juga; jika memang iya.
Lama menunggu, akhirnya kelingking Mas Langit pun mengait di kelingking kecilnya. Kalia tersenyum puas. Sedikitnya, dia salfok. Ini baru kelingking, tetapi ukurannya sudah seperti ibu jari Kalia. Eh, atau apa? Apa kabar dengan jempol-jempol Mas Langit lainnya, termasuk jempol di antara dua belah paha?
Allahu!
"Sekarang angkat barbelnya."
Ah ... Mas Langit nggak seru!
***
"Demi apa?!"
"Iya, Mbak. Sumpah! Mas Langit udah janji mau batalin perjodohan--eh, pertaarufan maksud aku. Mbak bener-bener bebas sekarang! Keren, kan, aku?"
Malam hari, sepulang Kalia dari kandang Hulk versi soft di buminya manusia, dia cepat-cepat lapor kepada mbaknya.
"Mas Langit?"
Lho?
Kok syok gitu mukanya?
Kalia mengangguk. "Eh, aku baru bilang, ya, kalau nama masnya itu Langit?"
Di kamar Nadila, perempuan pemilik kamar ini tiba-tiba menerjang adiknya, mencekal dua bahu Kalia sampai meringis.
"Mas Langit?!"
"I-iya, Mbak ...."
"IBUUU!"
Kalia terjungkal di kasur selepas Mbak Dila serang begitu saja. Sang empu kamar melenggang keluar meneriaki ibu mereka.
"Apaan, sih! Untung nggak jatoh," gerutu Kalia, dia beranjak pula dari sana. Kesal.
Respons Mbak Dila di luar dugaannya. Ekspektasi Kalia sepulang dari apartemen Mas Langt tidak begini, harusnya Mbak Dila jingkrak-jingkrak kesenangan, lalu memberi bonus tambahan sebagai upah sukses kepada Kalia, bukannya malah membuat dia terjungkal. Ya, walau di kasur, sih.
"Bu!"
Kedengaran sampai sini, Kalia cekal gagang pintu kamarnya.
"Cowok yang Ibu taarufin sama Dila itu anak bos Ibu yang mana?"
Sampai-sampai Kalia urung memasuki rumah. Menoleh pada keberadaan ibu dan Mbak Dila entah di mana, suaranya saja yang santer terdengar.
"Emang Ibu punya bos berapa, sih, Dil? Anaknya Pak Alamlah, siapa lagi?"
"Mas Langit?!"
Mbak Dila tampak memekik.
Aduh, berisik!
Namun, Kalia mendekat. Kepo. Sejak Kalia sebut nama itu, Mbak Dila jadi beda reaksinya. Ah, apa karena sekarang Mbak Dila tahu siapa gerangan yang sebenarnya ibu kenalkan? Yakni bos besar di Semesta Media, tempat Mbak Dila bekerja. Ya ampun ....
"Ibu kenapa nggak bilang kalau anaknya itu Mas Langit?!"
"Lho, kenapa Ibu harus bilang kalau seharusnya kamu juga akan tau dari pertemuan kalian kapan hari itu? Dan bukannya sudah klop?"
Tampak Mbak Dila menyugar rambutnya. "Kacau."
"Eh, lho, Nadila!"
Mbak Nadila sudah lengser lagi ke kamar, ibu memanggilnya, pun Kalia mengekor. Ngomong-ngomong, orang tua Kalia dan Nadila itu lengkap. Hanya saja ayah mereka merantau jauh, jadi jarang pulang.
"Mbak kamu itu, lho, Kal. Kenapa dia?"
Kalia mingkem saja seraya mengedikkan bahunya. Ibu pun balik ke dapur.
"Mbak?"
Antara kacau karena menyesal terlambat tahu bahwa cowok itu adalah Mas Langit, atau kacau karena Mbak Dila bimbang dengan keberadaan Mas Wisnu yang sebisa-bisanya dia perjuangkan. Kalia tidak tahu pasti.
Oh, akhirnya ....
Semua sudah tahu siapa gerangan pria yang selama ini menjadi subjek taarufan.
Sejenak Kalia berdiri di depan pintu kamar mbaknya, tak ada sahutan maka Kalia pun beranjak ke kamar sendiri, lalu dia raih ponsel yang bergetar di nakas. Tak lama getarannya, pasti itu notifikasi pesan baru masuk. Yang Kalia buka, dari Mas Langit, dia pun membaca.
Langit: Besok-besok, jangan pakai yang busa.
Sekali lagi, Kalia baca. Keningnya mengernyit.
Ini ... a-apanya yang busa?!