"Kalia?"
"Kal?"
"Eiy!"
"Astaga ... Kaliaaa!"
"Aduh, Mbak! Sakit!" Kalia usap-usap lengannya yang mendapat cubitan maut dari sang kakak.
"Ya, kamu dipanggil-panggil nggak nyaut! Bengong terus! Kenapa, sih?" Kesal dia.
Yang mana kini, di kamar Kalia, Nadila sedang lakukan interogasi terkait kejadian beberapa jam lalu. Bisa-bisanya antar kue saja hingga lebih dari dua jam! Ibu jadi makin kesenangan, mengira bahwa Nadila dan mas-mas taarufan berjalan sesuai keinginan gerangan. Kiranya tadi itu sekalian ngapel.
"Tadi ngapain aja sama masnya?" Nadila duduk di depan sang adik, bersila mereka.
Kalia hempaskan punggung ke kepala ranjang, menerawang.
Ngapain, ya, tadi?
"Kok nggak dimakan?"
Mari kita mundur ke beberapa jam sebelum ini. Sore. Dua jam di apartemen Mas Langit. Ketahanan organ vital Kalia diuji, imunnya diperangi, hingga jantung dan paru-paru melemah kondisi sehatnya.
Jujur, Kalia sesak napas, hiperbolisnya demikian. Oleh sebab napas itu di beberapa momen dia tahan, yakni ketika dengan percaya dirinya Mas Langit keluar ruangan gym hanya dengan celana training tanpa atasan, jalan ke dapur dan ambil minum, di situ Kalia lupa cara bernapas.
Well, selama Mas Langit nge-gym, Kalia duduk tertekan di sofa yang letaknya menghadap tepat ke ruangan itu. Ada kaca transparan. Jangan tanya kabar jantungnya, Kalia kerepotan.
Terlalu cepat, terlalu menggebu.
Punggung itu, tangannya, bisep, naik lagi ke bahu, lebar. Begitu berbalik ... tampak jelas d**a Mas Langit. Beuh! Perutnya, aduh ... Kalia nggak tahu sudah berapa menit dia belum berkedip. Yang tanpa sepengendalian Kalia, ini mata sudah semakin turun saja. Kalia memeluk diri.
Ngeri!
Dia pun melengos dan kipas-kipas wajah sambil berikutnya beranjak dari sana.
Sudah cukup zina matanya!
Habis itu, Kalia betulan "bebas mau ngapain aja" karena Mas Langit benar-benar tak menggubris keberadaannya. Tidur pun kayaknya Kalia nggak akan diganggu, makanya saat itu Kalia memilih sibuk memperhatikan detail isi apartemen tersebut.
Hal yang membuat Kalia semakin ragu jika Mas Langit kerjanya serabutan, di apartemen itu memperjelas kalau lelaki ini punya pekerjaan mapan.
Wah ....
Kalia pegang figura.
"Ganteng."
Dia manggut-manggut dan menggumam pelan, melihat foto Mas Langit di balik meja kerja.
"Kalo Mbak Nadila tau seperti apa wujud pasangan taarufnya, dia bakal ninggalin Mas Wisnu nggak, ya?"
Kalia mengedikkan bahu. Oh, itu bukan urusannya. Yang penting itu tiket konser, album, dan seperangkat merchandise para ayang. Kalia cukup jalani saja peran ini. Dia letakkan lagi figuranya.
"Laper, nggak?"
Allahu!
Kalia berjengit dan berbalik. Kaget.
"Saya mau pesan makanan, kamu mau sekalian?"
Kalia pun berdeham. Yang tadi gumamannya nggak kedengaran, kan?
"Boleh, Mas. Gratis tapi, ya." Dia pun memilih duduk di sofa yang tadi. Mas Langit mengikuti, sudah tampak segar sekarang. "Mas mandi?"
Langit melirik. "Iya."
Kalia lihat jam dinding. Astagfirullah! Satu jam sudah berlalu ternyata.
"Mau pesan apa?" tanya Langit.
"Samain aja." Kalia bingung juga mau apa.
Ya, begitu. Sampai saat makanannya datang, Kalia melongo, di situ Mas Langit bertanya, "Kok nggak dimakan?"
Duh ... ini, sih, makanan kesukaan Mbak Nadila! Sate usus, hati dan ampela disemur, juga capcai diorak-arik telur.
Ibuuu!
Kalia mau pulang saja jika menunya begitu. Lagi pula, pesan makanan di mana coba ini?!
Yang kemudian Kalia tatap Mas Langit, orangnya sedang makan dengan tenang, juga tatapannya yang tak lepas dari Kalia.
"Ng ... aku ...."
"Simpan aja, nggak usah dimakan kalau nggak suka. Nanti saya pesankan yang baru. Oh, ya, jangan bilang samain aja, nyatanya selera orang nggak sama, kan?"
Kalia garuk tengkuk.
Langit pun ambil ponsel, betulan memesan menu baru.
"Ini Mas beli di mana emang? Kayak masakan rumahan."
"Ada. Langganan."
"Oh ...." Kalia manggut-manggut. Akhirnya, dia pun makan. Yang kemudian dia tatap lagi Mas Langit. "Kenapa liatin aku kayak gitu?"
"Kenapa? Gugup saya liatin?"
Alih-alih gugup, Kalia justru merasa ciut. Eum ... tatapannya itu kayak apa, ya? Kalia bingung menjabarkan. Hingga berikutnya Kalia cuci piring atas inisiatif sendiri, padahal tak diizinkan, tetapi Kalia maksa, dan saat itu ....
Sekian, terima kasih. Kalia menutup wajah ketika mbaknya terus meneror apa yang terjadi di beberapa jam sebelum ini. Argh!
"Kalia!"
Plis, deh.
"Hayooo ... ngapain aja itu dua jam? Sampe merah gitu mukanya. Kalia, ish!"
***
Esok hari, Kalia ke kampus seperti biasa. Semalam dia diberi petuah oleh Mbak Nadila terkait perlindungan tubuh perempuan. Dan jika tercemar sekali, Kalia disuruh langsung menuntut pertanggungjawaban kepada pelaku. Kalau Kalia tetap bungkam, maka besok Nadila akan lapor ke ibu.
Huh, kiranya apa coba?
Yang tentu saja Kalia buka suara, dua jam itu dia menunggui si masnya olahraga sebagai alibi bahwa itu adalah periode kencan. Cerita itu Kalia akhiri dengan semengada-ngadanya adegan. "Gincu aku yang agak luntur karena makan nempel di kaus putih masnya, Mbak. Malu."
Soalnya saat itu ....
"Aw!"
Kalia pegang bibir.
Kok bisa mendarat lebih dulu?
Tepat jatuh di d**a kiri Mas Langit. Kalia nggak tahu jika orang itu sedang berjalan mendekat, hingga saat Kalia berbalik dengan sembrono, ya, dia nabrak area tubuh yang terasa alot itu.
"Sakit?" tanya Mas Langit.
Agak membungkuk demi melihat bibir Kalia yang kepentok d**a yahud. Dan di situ tanpa disadari jarak mereka sedekat nadi. Ehm. I mean, hanya jarak beberapa senti. Bibir Kalia ditiup-tiup.
Percaya, deh!
Sekali tiup, wajah Kalia merah padam detik itu.
Fine, jawaban Kalia ke Mbak Dila agak direka-reka. Sebetulnya, ya, itu tadi.
Kalia stop mengingat-ingat lagi. Dia tutup wajahnya dengan buku. Malu. Padahal kejadiannya, kan, sudah berlalu. Yang mana kini Kalia sedang berada di perpustakaan kampus.
"Eh, Kal, ssst!"
Ditowel-towel lengan Kalia. Dia menoleh. Bukunya diturunkan.
"Bukannya itu Kak Eca, ya?"
"Mana?"
Bicara pelan.
Atika menunjuk ke pojokan.
"Anjir ...." Ini Dena.
"Mereka jadian?"
"Bukannya Kak Eca lagi pedekatein kamu, ya, Kal?"
Si pujaan hati. Kalia terdiam menatap lurus ke sana. Sungguh, alasan dia kebal pesona lelaki lain, ya, itu ... Resa. Eca adalah sebutan sayangnya. Mata Kalia berkaca-kaca.
"Eh, Kal, tunggu!"
***
Sebulan kali, ya? Kalia nggak ingat kapan tepatnya dia dekat dengan kakak tingkat anak BEM di jurusannya. Dan dengan alasan organisasi itu, Kak Eca sibuk sehingga beberapa hari ini memang agak renggang berkirim pesan dengan Kalia.
Jangankan pesan, makan di kedai dekat kampus saja sudah jarang.
Sibuk.
Padahal sebelumnya rutin sampai sering antar-jemput juga. Tiga bulan. Kurang-lebih dan selama itu sudah punya panggilan sayang, bahkan sudah sayang-sayangan. Katanya, sih, jalani saja dulu. Berhubung Kalia naksir cowok itu, ya, dia hayu ... mau.
Sampai kedekatan itu membuat Kalia lupa jika antara dia dan Kak Eca tak ada status yang mengikat, Kalia telanjur nyaman, telanjur merasa memiliki. Hingga saat ini dia hampiri dua manusia itu, tepat berdiri di depan Kak Eca. Sosoknya sedang senyum pada Kalia.
"Eh, Kal--"
"Bisa ngobrol bentar? Di luar."
Nggak enak bisik-bisik di perpus.
Resa mengangguk. Yang dia ikuti maunya Kalia. Namun, di situ Kalia melihat jemari tangan Resa menggenggam perempuan di sebelahnya.
Siapa?
"Pacar."
Jawaban saat sudah di luar. Kalia diam. Bergantian menatap Resa dan ... siapa tadi?
Pacar.
Oh ... pacar, ya?
"Kabar ibu sehat, Kal?"
Dengan tampang tanpa dosa, Resa pun tampak berbisik kepada perempuan yang dia sebut pacar, kedengaran oleh Kalia, Resa bilang, "Yang, tunggu aku di dalam, deh. Nanti aku ceritain kalau udah."
Membuat Kalia mengepalkan tangan. Melengos. Ada Atika dan Dena yang geleng-geleng kepala di titik lain lingkungan perpustakaan.
"Sejak kapan?"
Kembali pada Resa.
"Hm?"
"Kalian pacaran, sejak kapan?"
Mata mereka saling bertatapan. Jujur, Kalia dan lelaki ini bahkan kedekatannya sampai sudah--
"Dua minggu lalu."
Plak!
Jelas Kalia menamparnya detik itu. Emosi.
Dua minggu lalu?!
Bahkan saat itu Kalia membawa Resa ke rumah, mengenalkan ke ibu. Meski dengan embel-embel teman, tetapi baru lelaki ini saja yang Kalia hadirkan pada ratu di rumahnya. Sungguh, kedekatan itu sudah saling kenal dengan orang tua, bahkan Kalia pun di dua minggu lalu pernah diajak Resa kenalan sama ibu dan ayahnya.
Gila.
Kalia melenggang tanpa berucap apa-apa lagi.
***
"Dasar guguk!"
Keluar sudah kata-kata itu.
Kalia teriak keki.
"Cowok berengsek!"
AAA!
Begitu.
Kalia pupus air matanya. Kesal. Dua minggu, lho, ini. Dan selama itu Kalia ngapain coba?
"Bego! Bego! Bego!"
Untunglah kedap suara. Oh, tak sendiri dia. Dena dan Atika menemaninya sampai ke tempat karaoke ini. Sedang teman Kalia yang satunya tak bisa ikut, Nada sakit.
Kalia menangis tanpa harus merasa malu. Atika dan Dena pun merangkulnya, mengusap-ngusap bahu.
"Inisial R emang berengsek," ucap Dena.
"Udah, Kal. Kehilangan buaya nggak ada artinya, kita cari ikan aja. Oke?"
Kalia tetap menangis.
Ditepuk-tepuk bahunya. Ditenangkan.
"Sakit banget ini hati ...."
Dua minggu, lho, Bestie!
Buang-buang waktu.
"Ya, untungnya keburu ketauan, kan, itu. Udah, ambil sisi baiknya aja. Masih untung belum jadi."
Tapi, tapi, tapi ... tiga bulan ini--ah!
Yang tak dapat dipungkiri, Kalia suka cowok itu walau akhir-akhir ini dia juga teralih pada sosok mas-mas taarufan mbaknya. Namun, hati dan perasaan Kalia lebih condong di Resa. Kehadiran Mas Langit mah apa atuh, cuma sekolebat dan secuil hiburan dalam hidup saja. Kalia juga tahu diri untuk tidak lebih dari sekadar kagum pada calon jodoh kakaknya. Jadi atau tidak mereka, intinya si pengalih dunia Kalia itu tak sampai bisa membuat hati ini tidak terluka akibat ulah Kak Eca.
"Betewe, ini kita ke tempat karaoke, Mbak lo nggak akan tiba-tiba ngegerebek kayak waktu itu, kan?" tanya Atika.
Oh, pernah terjadi.
Itu gara-gara posisinya dilacak dengan ponsel. Ya, soalnya waktu itu Kalia memang keasyikan main sampai lupa pulang.
"Nggak." Kalia susut ingusnya dengan tisu. "Aku ke toilet dulu."
"Perlu kita anter?"
"Thanks. Sendiri aja."
Dalam sebuah mal besar, Kalia cari toilet di lantai itu. Harusnya nggak jauh. Dan begitu ketemu, Kalia lekas masuk dalam bilik, tak lupa dia becermin. Wajahnya kusut dan keruh. Dia cuci muka. Sembap dan memerah. Ah, Kalia susah hilangkan jejak tangis tadi. Untungnya Kalia bawa tas juga ke sini, sengaja, dia poles make up sedikit. Ini perlu, apalagi gincu.
Oke, sip.
Habis itu, Kalia keluar dan kayaknya mau mampir dulu cari makanan. Biarlah kawan-kawannya menunggu.
"Astagfirullah, hape!"
Tertinggal di meja karaoke.
Untung tidak dengan dompetnya. Segera saja Kalia kembali. Melewati area time zone, Kalia bergegas, tetapi belum sampai di depan pintu sana, tangannya dicekal seseorang.
"Siapa, Bang?"
Nyaris membuat keributan andai yang mencekal bukanlah sosok yang dikenal. Namun, tetap, Kalia melotot.
Mas Langit bilang, "Kenalan Abang."
Nggak ada yang salah dengan itu.
"Oh .... Cakrawala." Sambil menjulurkan tangannya.
Satu demi satu semakin banyak orang yang Kalia bohongi dengan, "Na-Nadila."
Identitasnya.
"Mau ke mana? Sendirian?"
Kembali ke Langit, yang sudah melepas cekalan tangannya. Kalia pun mangap dan mingkem lagi, kayaknya nggak tepat kalau jujur.
"Iya ... lagi main aja. Hm, sendirian."
"Ya sudah, gabung aja."
"Yuk, Kak! Serial After katanya udah tayang dan ada di bioskop ini."
Oke, sebentar.
Panjang kalau dijelaskan.
After adalah judul dari film romansa ala barat. Setahu Kalia, series romantis jebolan bumi sana agak-agak erotis. Dan, ngapain coba masnya dan adiknya mau nobar itu?
Namun, tahu-tahu Kalia duduk di situ, di barisan pojok dekat tembok, nggak tahu juga kenapa di sini. Yang mana di sebelahnya adalah Mas Langit, lalu di sebelah sana ada Cakrawala, baru kenalan tadi. Mereka fokus menonton, tatapan lurus ke depan. Oh, apa cuma Kalia yang grasak-grusuk nggak keruan?
YA ALLAH. INI FILM MACAM APA?!
Dalam gelisah, Kalia menoleh ke Langit, mana tahu kalau masnya juga sedang menoleh, bahkan agak condong seperti mau berbisik, alhasil ....
Ci-ci-ciuman pertama aku!!!
Kalia berdiri detik itu.
Langit?
Entah.
Sebab Kalia buru-buru kabur selepas dia geplak pipi kanan Mas Langit.
Yang lain?
Sungguh, Kalia spaneng sampai tak tahu dan tak mau tahu kondisi selepas bibir ini tak perawan lagi.