Masa liburan Siva telah berakhir. Waktunya dia kembali ke Jogja untuk bekerja dan mengurus usahanya. Langkahnya terasa berat saat ingin meninggalkan rumah yang menjadi saksi betapa kerasnya perjuangan kedua orang tuanya dalam membesarkannya.
Suasana tenang di desa membuatnya enggan kembali ke Kota. Namun, pekerjaan dan usahanya ada di kota itu. Jika dia tidak kembali lantas siapa yang akan menanggung biaya hidupnya dan kedua orang tuanya?
“Ibu dan Bapak jangan bekerja terlalu keras. Misal cuaca sedang buruk tidak usah pergi ke sawah atau ladang. Jalannya licin dan curam, Siva khawatir Bapak dan Ibu terpeleset lagi.”
“Iya, Nduk. Ibu dan Bapak akan lebih berhati-hati lagi saat pergi ke sawah atau ladang.”
“Oh, iya, bulan depan mulai renovasi bagian belakang rumah. Biar ada pondasi yang bisa menahan ketika banjir bandang datang.”
“Kalau soal itu biar Bapak yang mengurusnya. Hasil panen cukup untuk membuat pondasi dan membuat pagar. Uang kamu di simpan saja untuk membeli lahan. Katanya kamu butuh lahan untuk membangun rumah produksi yang lebih besar?”
“Alhamdulillah, tabungan Siva sudah cukup. Tanahnya juga sudah dapat yang harganya lumayan murah. Tiga bulan lagi baru mulai pembangunan tempat produksi yang baru.”
Ibu mengajak Siva duduk di samping mobil yang akan mengantarnya ke Jogja. Menunggu Bapak, Pak supir dan Naura sedang melihat rumah tetangga yang pondasinya hanyut terkena banjir bandang semalam.
Beliau ingin memberi nasehat untuk Siva yang tengah galau soal cinta. Sebagai seorang Ibu yang tinggal jauh dari anak gadisnya pasti ada rasa khawatir ketika putrinya dikejar oleh seorang pria mapan dan juga berstatus duda.
“Nduk, Ibu ingin menitip sedikit pesan. Mungkin akan membuatmu sedih tapi Ibu harus mengatakannya.”
“Katakan saja, Buk. Semua perintah Ibu insyaallah akan Siva lakukan.”
Sebelum mulai bicara, Ibu mengambil kedua tangan putrinya dan menggenggamnya dengan erat. “Jauhi Nak Gio untuk sementara waktu. Ibu takut dia mengikuti agama kita karena cintanya yang sedang menggebu.”
Jantung Siva terasa berhenti berdetak. Ditambah lagi kedua mata mulai memanas seolah memaksa untuk mengeluarkan air mata. Pembahasan tentang Gio terlalu sensitif baginya dan dia malas mendengarnya.
“Ibu hanya takut keluarganya menyalahkan mu, Nduk. Meski bukan kamu yang menyuruhnya pindah mereka tak peduli akan hal itu. Mereka taunya kamu yang menjadi alasan Nak Gio membuat keputusan itu.”
“Siva sudah berulang kali menjauhi Om Gio, Bu. Tapi dia dan Naura selalu datang ke rumah, ke toko bahkan sering menjemput ku ke sekolah. Dan, pada akhirnya kami kembali dekat lagi.”
“Dekat sebagai teman ‘kan?”
Siva mengangkat kepalanya. Kini tatapan matanya bertemu dengan sepasang mata teduh yang sudutnya telah dihuni oleh kerutan-kerutan samar. “Siva boleh jujur sama Ibu?” tanyanya dengan suara lembut.
“Ibu akan mendengarkan semua uneg-uneg yang ada di dalam hati dan pikiranmu saat ini.”
“Sebenarnya Siva pernah berkata pada Om Gio jika tidak mungkin pindah mengikuti agamanya. Setelah kejadian itu dia selalu berkata siap mengalah. Apa Siva telah melakukan kesalahan, Bu?”
Ibu menyentuh pipi Siva dengan tangan kasar yang mulai mengeriput. Seketika ada perasaan hangat menjalar pada hati gadis itu. “Saat itu kamu menolaknya atau mengatakan perasaanmu yang sebenarnya?”
“Siva menolak Om Gio.”
“Besok saat kamu bertemu dengannya ajak dia bicara baik-baik. Beri pengertian padanya jika kamu tidak bisa menerimanya. Jika masih dekat hanya sebatas teman tidak boleh lebih.”
“Iya, Bu,” jawab Siva, selepas itu memeluk Ibundanya dengan sangat erat.
Ketika keduanya telah mengubah topik obrolan yang lebih ringan. Bapak, Pak Supir dan Naura kembali dengan menaiki motor tua.
Suara melengking Naura memanggil-manggil Siva. Gadis kecil itu pasti akan menceritakan apa yang baru saja dilihatnya.
“Bunda, rumahnya Ante Nurul rusak,” ujarnya setelah turun dari motor.
“Rusak parah, Pak?” tanya Ibu dengan wajah cemas. Pasalnya Nurul adalah anak tetangganya yang tinggal berdua dengan Eyang Utinya. Kedua orang tuanya pergi merantau ke luar jawa dan tidak pernah memberi kabar atau mengirim uang.
Bapak mengangguk. Kemudian duduk di samping Ibu. “Pihak desa akan memberi bantuan untuk membuat pondasi. Kalau rumah belakang yang rusak harus di renovasi sendiri.”
“Bukannya ada program bedah rumah ya, Pak?” tanya Ibu lagi.
“Tahun ini sudah habis kuotanya. Rumah Yu Sumirah tahun depan baru dapat bantuan bedah rumah,” terang Bapak. “Pak RT sudah merencanakan penggalangan dana. Setiap warga boleh menyumbang seikhlasnya. Misal tidak memiliki uang boleh menyumbangkan tenaga."
Seketika senyum Ibu terbit. Beliau memang selalu memikirkan para tetangga yang sedang kesusahan. “Kalau butuh Bambu suruh ambil saja di kebun kita, Pak.”
“Iya, Bapak sudah meminta para pemuda desa untuk mengambil bambu di kebun.”
Siva bangga sekali dengan empati yang dimiliki oleh kedua orang tuanya. Di tengah keterbatasan masih sempat memikirkan dan membantu tetangga yang tertimpa musibah. “Semen dan batu biar Siva yang menyumbang.”
Siva mengambil dompetnya lalu mengambil uang pecahan seratus ribuan. Kemudian memberikannya pada Bapak. “Segitu cukup, Pak?”
“Ini lebih dari cukup. Sisanya nanti bisa untuk membeli batu bata biar rumahnya tidak dimasuki biawak dan ular.”
Karena hari sudah mulai siang, Siva pamit pada kedua orang tuanya untuk kembali ke Jogja. Nanti sore, dia akan melakukan interview pada para calon karyawan barunya.
Naura menangis tidak mau diajak pulang. Meski diiming-imingi es krim dia tetap memeluk kaki Bapak dengan erat.
“Sayang, kita harus pulang ke Jogja,” ujar Siva, berjongkok di depan si kecil yang sedang terisak.
“Mau sama Eyang. Enggak mau pulang ke Jogja. Huaaaaa ...”
Ibu pun ikut merayu si kecil yang telah dianggap sebagai cucunya sendiri. “Eyang Uti sama Akung gantian yang pergi ke Jogja. Nanti kita bisa bertemu lagi. Katanya Naura mau ajak Uti keliling Jogja naik andong?”
“Uti bobok di rumah Naura?”
Bapak menganggukkan kepala ketika Ibu menatapnya. Setelah itu baru Ibu menjawab, “Iya, Uti bobok di rumah Naura.”
“Yeay ...” teriak Naura sambil bertepuk tangan. Suasana hatinya seketika berubah. “Peluk Naura, Uti,” pintanya dengan merentangkan kedua tangannya.
Siva membiarkan si kecil berpelukan dengan Ibu dan Bapak sebelum kembali ke Jogja. Karena, dia tidak yakin mereka akan bertemu lagi setelah ini.
***
Perjalanan ke Jogja cukup lancar namun mobil yang ditumpangi oleh Siva dan Naura tetap melaju dengan kecepatan sedang. Hujan lebat semalam membuat jalanan licin dan rawan kecelakaan.
Belum ada kabar dari Gio sejak kemarin. Siva pun tidak berusaha menghubungi karena takut mengganggu pekerjaannya. Sementara si kecil sama sekali tidak menanyakan kabar sang Papa karena sibuk bermain dengan teman-teman barunya.
“Non Siva kalau mau tidur pembatasnya bisa saya turunkan,” ujar Pak Imam.
“Masih pagi gak boleh tidur, Pak.”
“Kayaknya Non Siva ngantuk.”
“Hehe, ditinggal tidur sama Naura suasana jadi sepi.”
Gio sengaja memberi pembatas antara kursi depan dan penumpang. Karena mobil milik Naura sering dipakai untuk mengantar jemput Siva. Seperhatian itu memang Om Duda dengan gadis kesayangannya.
“Oh, iya, Non. Tadi pagi Den Gio sempat tanya kabar Non Siva,” ujar Pak Imam lagi.
“Tumben nggak telpon langsung.”
“Katanya ponsel Non Siva tidak aktif.”
Siva langsung mengambil ponsel yang ditaruhnya di dalam tas. Pantas saja tidak ada satupun pesan dan panggilan yang masuk ternyata ponselnya mode pesawat. Mungkin tak sengaja kepencet semalam saat dia selesai mengangkat telepon dari Mimi.
Setelah dia mengaktifkan data internet. Ada puluhan pesan dan panggilan masuk dari karyawannya, sahabatnya, dan tentunya Gio.
“Eh, pesan dari siapa ini?” ucap Siva ketika ada pesan masuk dari nomor tidak dikenal.
Dia pun membuka pesan itu. Ada beberapa foto Gio dengan seorang wanita cantik sedang minum kopi di cafe yang tak jauh dari kantornya.
“Pak, boleh tanya sesuatu?”
“Boleh, Non.”
Siva memberikan ponselnya pada Pak Imam. “Bapak tahu Wanita yang ada di foto?”
“Iya, Non. Namanya Bu Tamara. Sering ke rumah Ibu ketika Non Naura masih tinggal di sana.”
“Oh, jadi dia yang namanya Tamara,” ujar Siva dengan suara lirih.