“Bunda, Papa telepon,” teriak Naura ketika Siva tengah berada di kamar mandi.
Naura tidak berani mengambil ponsel milik Siva yang berada diatas meja. Meski sikapnya pecicilan dia tipe anak kecil yang selalu bertanya jika akan meminjam barang orang lain.
“Siapa yang telepon?” Tanya Siva setelah keluar dari kamar mandi.
“Papa telepon Bunda. Ayo kita jawab. Aku kangen sama Papa,” jawabnya sambil melompat-lompat.
“Iya, Sayang. Naura naik ke atas ranjang dulu.”
Naura mengambil hijab instan lebih dulu sebelum melompat ke atas ranjang. Memakainya dengan tergesa hingga tak beraturan bentuknya. Wajahnya terlihat bahagia karena akan menceritakan kegiatannya hari ini pada Papanya.
Semenjak bangun tidur Naura mengikuti semua kegiatan yang dilakukan oleh Siva. Mulai dari membersihkan rumah, mencuci pakaian, memasak hingga belanja di tukang sayur keliling.
“Assalamualaikum, Asyva,” sapa Gio dengan senyuman manis.
“Wassalamualaikum, Om.”
Setelah menjawab salam, Siva ikut naik ke atas ranjang. Mengarahkan layar ponsel pada Naura yang sedang menunggu disapa oleh Papanya.
“Halo, Sayang,” ujar Gio ketika melihat wajah cantik putrinya.
Naura memasang wajah kesal. Bukan sapaan itu yang ditunggunya. “Assalamualaikum, Papa.”
“Waalaikumsalam, cantik,” jawab Gio sambil terkekeh pelan.
“Nah, gitu dong! Papa suka lupa ucap salam kalau telepon Naura.”
“Maaf, Sayang. Mulai besok Papa akan mengingatnya dan janji tidak akan lupa lagi.”
“Harusnya Papa bilang ‘Insyaallah, Papa tidak akan lupa lagi’ gitu,” omel Naura.
Siva menyandarkan punggungnya pada kepala ranjang. Merapikan hijab yang dipakai Naura lalu menarik selimut untuk menutupi tubuh keduanya.
“Sayang, enggak boleh bicara ketus sama Papa. Misal mau mengingatkan orang tua pakai suara lembut. Jangan teriak-teriak seperti panggil Abang Siomay.”
Naura tersenyum lebar sambil mengedipkan kedua matanya lucu. Pandai sekali membuat luluh hati Siva. “Maaf, Bunda,” ujarnya dengan suara khas anak-anak.
Siva membawa si kecil kedalam pelukannya. Keduanya kini tengah berpelukan sambil menatap ke arah layar yang menampilkan wajah Gio.
Pemandangan yang menyejukkan mata, hati dan pikiran Gio. “Kalian sudah makan malam?”
“Sudah,” jawab Naura. “Eyang Uti masak makanan enak. Naura makan banyak sampai perutnya penuh.”
“Wah, anak Papa saat pulang ke Jogja pasti tambah chubby pipinya.”
Naura cekikikan sambil mencubit pipinya sendiri. “Aku enggak mau pulang, wleee. Mau tinggal di sini sama Bunda, Eyang Uti dan Eyang Akung.”
“Papa sedih kalau Naura tidak pulang. Nanti Papa sendirian di rumah. Terus kucing-kucing Naura siapa yang kasih makan?”
“Mbak Feni yang kasih makan kucingnya. Terus Bik Yuli yang bersihin kandangnya."
Gio tidak akan pernah menang jika berdebat dengan putrinya. Naura berusia 5 tahun, bicaranya sudah lancar dan dia termasuk anak yang cerdas. “Hari ini Naura nakal apa tidak?”
Sebelum menjawab Naura membisikkan sesuatu pada Siva. Setelah itu, cekikikan sendiri ketika melirik ke arah Papanya. Kelakuan Naura membuat Gio khawatir. Takut jika putrinya membuat masalah hingga menyusahkan Siva.
“Siv, Naura tidak nakal ‘kan?” kini Gio memilih bertanya pada Siva.
“Alhamdulillah, sejak pagi Naura menjadi anak yang baik. Membantu menyelesaikan pekerjaan rumah. Dia juga ikut pergi ke kebun sama Bapak.”
“Naik apa?”
“Jangan pura-pura tidak tahu, Om! Bukannya Om telah membelikan Bapak motor roda tiga? Sampai membuat heboh para tetangga.”
“Aku yakin kamu tidak akan membelikan Bapak motor itu jadi aku minta Pak supir yang membelinya.”
“Naura sama Eyang Uti naik dibelakang. Pergi ke kebun sambil nyanyi. Terus, Naura juga bantuin panen singkong juga pisang. Pokoknya Naura nggak mau pulang ke Jogja,” ujar Naura dengan riang.
Gio merasa lega jika putrinya bersikap baik selama di rumah Siva. Tidak seperti saat di rumah yang selalu berteriak dan lari-larian hingga membuat pengasuhnya kelelahan.
“Naura harus sekolah,” sahut Siva.
“Sekolahnya sama Bunda.”
“Iya, Sayang. Bobok ya sudah malam besok lanjut telepon sama Papa lagi.”
Naura menganggukkan kepala. Semakin mengeratkan pelukannya pada Siva, kemudian menutup kedua matanya. Lupa jika belum mengucapkan selamat malam pada sang Papa.
Gio pun tidak bicara lagi. Hanya memperhatikan Siva yang tengah menidurkan putrinya diseberang sana. Sengaja menunggu si kecil tidur karena ingin bicara dengan gadis kesayangannya.
“Sudah bobok, Siv?”
“Iya, Om. Tadi siang tidak mau tidur karena sibuk bantuin Bapak cabut jahe dibelakang rumah.”
“Naura tidak nakal ‘kan?” tanya Gio lagi untuk memastikan jika putrinya tidak menyusahkan keluarga Siva.
Dengan perlahan Siva membuka hijab yang dipakai oleh Naura. Lalu melepaskan ikat rambut dengan lembut agar kepalanya tidak sakit ketika bangun tidur. “Nggak nakal, Om. Baik banget mau bantuin pekerjaan aku, Bapak dan Ibu. Dia bahkan sudah punya teman bermain.”
“Pantas saja bilang tidak mau pulang ke Jogja.”
“Di rumah dia tidak punya teman. Kalau disini banyak anak-anak kecil yang mengajaknya bermain. Lagipula ini pengalaman pertamanya liburan ke desa jadi banyak hal baru yang bisa dicoba.”
“Terima kasih, Siv. Lagi-lagi aku merepotkan mu.”
“Sudah bertahun-tahun Om sering merepotkan ku. Entah berapa banyak ucapan terima kasih yang telah aku dapatkan. Sepertinya lebih dari 10 truk.”
“Kamu dikasih uang marah hingga mendiamkan ku selama satu minggu. Dikasih hadiah berupa barang-barang dikembalikan dengan alasan mahal. Eh, maunya dibelikan bubur ayam dan sate ayam. Terlalu murah dan mudah bagiku, Siv.”
“Harusnya aku minta kapal pesiar biar bisa keliling nusantara ya,” jawab Siva, tak serius hanya mengajak Gio bercanda.
Bukan Gio namanya jika mengabaikan begitu saja ucapan dari gadisnya. Dia langsung berkata akan membeli kapal pesiar agar Siva bisa keliling nusantara. Tentunya bersama dengannya dan Naura juga. “Berapa sih harganya? Sepertinya tidak mencapai 100 milyar.”
“Berapa?!” tanya Siva dengan meninggikan suaranya. Lalu, menutup mulutnya takut membangunkan Naura. “Om, aku hanya bercanda.”
“Semua yang berkaitan denganmu pasti aku anggap serius, Siv. Lagipula aku juga belum punya kapal pesiar.”
Gio mengatakan ingin membeli kapal pesiar seperti akan membeli kacang goreng. Jangankan ratusan milyar, puluhan milyar pun Siva tak bisa membayangkan seberapa banyak angka nol-nya.
Suasana mendadak canggung ketika keduanya terdiam karena kehabisan bahan obrolan. Siva ingin mematikan panggilan video tapi sungkan dengan Gio.
Sementara Gio ingin bertanya soal ucapan Siva tadi pagi. Namun, dia ragu. Takut membuat gadisnya kembali bersedih.
“Om enggak ngantuk?” tanya Siva memecah kesunyian dan kecanggungan yang tercipta.
“Aku tidak bisa tidur, Siv.”
“Ada masalah di kantor?”
Gio pun mengangguk. “Hanya masalah kecil namun Restu tidak mau menolong.”
“Kalau boleh tahu masalah apa? Siapa tahu setelah menceritakan masalah yang tengah Om hadapi membuat hati sedikit lega.”
Belum sempat Gio menjawab, ada suara perempuan yang berdiri tepat di belakangnya. Membuatnya kaget hingga menjatuhkan ponsel yang ada di tangannya.
Saat ini dia tengah duduk di balkon kamar. Mencari udara segar setelah seharian sibuk meeting dengan kliennya.
“Gio, aku juga tidak bisa tidur,” ujar Tamara.
“Kenapa kamu bisa ada di sini?!”
“Pertanyaanmu aneh, Gio. Kamu bicara seolah-olah belum bertemu denganku hari ini. Padahal kita berangkat dari Jogja ke Singapura satu pesawat, hingga hotel pun sama dan kamar sebelahan.”
Siva penasaran dengan wajah Wanita yang tengah bicara dengan Gio. Sayangnya ponsel masih tergeletak diatas lantai. Selama mengenal Gio baru kali ini dia mendengarkan Gio bicara dengan suara tinggi pada seorang wanita.
“Kamu sedang menelepon Naura?”
Gio tidak mau menjawab. Mengambil ponselnya lalu masuk ke dalam kamar. Menutup rapat pintu dan memastikan jika sudah terkunci dengan benar. Dia takut jika Tamara diam-diam masuk dan berbuat macam-macam padanya.
Setelah mendaratkan b****g pada sofa, dia baru mulai bicara lagi pada Siva. “Ada sedikit gangguan tadi. Maaf ya,” ujarnya dengan suara lembut.
“Hmmm.”
“Jangan cemburu! Dia hanya rekan bisnisku.”
“Ye, memangnya aku bilang kalau cemburu?”
“Jawabanmu hanya gumaman. Biasanya jawabnya lumayan panjang jika aku meminta maaf.”
“Tergantung masalahnya apa dulu.”
“Kalau cemburu kamu makin kelihatan cantik.”
“Aku nggak cemburu!”
“Iya, Bunda. Kamu tidak cemburu hanya sedikit panas saja hatinya,” goda Gio.
Siva mencebikkan bibirnya. Mirip sekali dengan Naura ketika kesal dengan Papanya. “Aku ngantuk,” ujarnya ketus.
“Siv, terima kasih untuk hari ini. Sedari pagi hingga malam aku sibuk sampai tidak memiliki waktu istirahat. Rasa lelahku seketika menghilang ketika melihat wajah cantikmu dan Naura.”
“Kalau begitu kita akhiri panggilan agar Om bisa segera istirahat.”
“Tapi, aku ingin menemanimu tidur.”
Siva terlihat kaget hingga kedua matanya membola. “Ih, ngomongnya!”
“Taruh saja ponselnya di atas nakas. Namun, tetap arahkan kamera pada kalian berdua. Aku ingin memastikan kamu dan si kecil tidur nyenyak sebelum aku istirahat. Hanya itu yang bisa aku lakukan saat ini, Siv.”
“Om, jangan mulai membahas hal sensitif bagi kita.”
“Mana bisa, Siv? Kita sudah kenal selama dua tahun dan hubungan kita masih jalan ditempat. Mau sampai kapan kita seperti ini? Asal kamu tahu Siv. Aku kesulitan tidur setiap malam karena takut kamu bertemu Pria yang cocok dan seiman denganmu.”
Siva menaruh ponselnya pada nakas yang ada di sebelah ranjang. Lalu menutup mulutnya ketika air matanya mulai membanjiri wajah cantiknya. Dia pun sama seperti Gio. Takut jika pria yang dicintainya menemukan wanita yang seiman dengan.
“Om, pernah berpikir apa tidak jika kita sedang diuji oleh sang pencipta?” tanya Siva tanpa melihat ke arah Gio. “Sepertinya sang pencipta sedang menguji kita dengan rasa cinta, hanya untuk memastikan kita lebih memilih sang pencipta atau ciptaannya.”
“Sejak awal aku yang bersedia mengalah. Beri sedikit waktu lagi untuk meyakinkan kedua orang tuaku, Siv.”
“Pikir ulang keputusan yang akan Om ambil. Aku lebih baik tidak menikah seumur hidup daripada menikah dengan Pria yang pindah agama hanya karena aku.”
“Siv ... sampaikan salamku pada tuhanmu ketika kamu sedang sholat. Katakan juga jika aku bersungguh-sungguh ingin memeluk agamanya. Bukan karena aku jatuh cinta denganmu melainkan aku mulai tertarik mempelajari ajarannya.”
Siva turun dari ranjang dengan perlahan. Menahan tangis yang mulai tak bisa ditahannya. Ucapan Gio barusan membuat hatinya sakit. Bagaimana perasaan orang tua Gio ketika tahu dia akan berpindah keyakinan?
“Siva, katakan sesuatu agar aku bisa melanjutkan langkahku,” ucap Gio lagi dengan suara bergetar.
Keduanya sama-sama sedang menangis. Bingung dengan hubungan yang tak direstui oleh semesta. Mereka ingin melangkah bersama tapi memiliki jalan yang berbeda.
“Aku bingung. Harus gimana lagi aku menjelaskan pada Om Gio? Jangan merubah keyakinan hanya untuk menikahi ku! Pikirkan perasaan orang tua dan keluarga Om. Mereka pasti marah dan kecewa.”
“Siva aku butuh waktu. Sebentar saja, Siv. Tidak akan lebih dari 6 bulan. Aku akan membuktikan jika aku sungguh-sungguh dengan ucapanku.”
Siva menundukkan kepalanya dan menangis sesenggukan. Hatinya semakin sakit setelah melihat wajah lelah Gio yang berlinang air mata. “Sudah malam, Om. Kita butuh istirahat dan menenangkan hati.”
Tanpa menunggu jawaban dari Gio, Siva langsung mematikan panggilan setelah mengucap salam. Dia tidak akan sanggup mendengarkan kalimat permohonan dari pria yang teramat dicintainya.