Kurir Martabak

1479 Words
Sesampainya di Jogja, Siva langsung sibuk di toko. Melakukan interview pada calon karyawan barunya. Tim produksi kekurangan tenaga dan harus lembur hingga tak memiliki waktu libur. Sedangkan pesanan hijab meningkat pesat bulan ini hingga Siva memutuskan merekrut karyawan baru. Dia kasihan dengan penjahitnya yang sudah hampir sebulan tidak pernah libur. Setiap hari harus berangkat pagi dan pulang malam. Sudah pukul delapan malam, dia akan pulang ke rumah setelah memeriksa laporan penjualan bulan ini dan memeriksa kain-kain yang baru saja datang. “Sayang, pulang yuk,” ajaknya pada Naura yang masih asik menggambar dengan karyawannya. “Bunda sudah selesai kerjanya?” “Iya, Sayang. Sengaja ngebut kerjanya karena mau mengantar Naura pulang ke rumah.” Si cantik mencebikkan bibirnya. Memasang wajah sedih ketika akan dikembalikan pada Papanya. “Mau bobok di rumah Bunda,” rengeknya. Siva mengangkat tubuh Naura dan menaruhnya di pangkuannya. “Malam ini pulang ke rumah dulu ya. Akhir pekan nanti baru boleh menginap di rumah Bunda.” “Enggak mau pulang ke rumah Papa. Rumahnya terlalu besar bikin Naura capek.” Ada-ada saja alasan yang dibuat oleh Naura ketika harus pulang ke rumahnya. Biasanya dia membuat alasan kesepian, sedih karena tidak dipeluk Siva dan sekarang rumahnya terlalu besar. “Bukannya di rumah Naura ada liftnya?” tanya Dita, sekretaris Siva di toko. “Jalan dari pintu utama ke kamar aku jauh banget Ante Dita. Kaki aku sampai pegel-pegel.” “Oh, kasihan ponakan Ante. Kalau gitu bobok di kosan Ante saja yuk. Buka pintu, maju dua langkah sampai kasur, maju dua langkah lagi sampai kamar mandi. Naura enggak bakal pegal-pegal kakinya, haha.” Siva dan Naura tergelak dengan ucapan Dita. Selain handal dalam pekerjaan, Dita juga pandai menghidupkan suasana di tempat kerjanya. Meskipun toko selalu ramai setiap harinya, para karyawan tidak pernah mengeluh. Siva tipe bos baik hati dan tidak pelit. Selalu memberikan makan siang empat sehat lima sempurna. Menunya ganti setiap hari dan rasanya pun enak. Bonus yang diberikan bukan setiap akhir tahun namun setiap tiga bulan sekali. “Ih, gak mau! Kalau bobok di kos Ante Dita enggak muat. Nanti Naura ditendang dan menggelinding ke bawah,” jawab si cantik dengan wajah kesal. Teringat kejadian dulu ketika dia ikut pulang ke kosan Tante kesayangannya. “Ante sudah beli kasur yang lebih besar. Naura enggak bakal menggelinding lagi deh.” Naura menggoyang-goyangkan jari telunjuknya. “Pokonya enggak mau bobok di kos Ante Dita!” Terpaksa Siva membawa pulang Naura karena bersikeras ingin menginap di rumahnya. Percuma diantar pulang ke rumah Gio jika pada akhirnya si kecil akan menangis histeris karena tidak mau berpisah darinya. Pak Imam sudah bersiap mengantar pulang kedua majikannya. Memarkirkan mobil tepat di depan toko yang telah tutup sejak satu jam yang lalu. “Ke rumah ku ya, Pak. Naura enggak mau diantar pulang ke rumahnya.” “Siap, Non.” “Pak Imam nanti bilang sama Papa kalau Naura menginap di rumah Bunda ya,” ujar Naura sebelum duduk diatas car seat-nya. “Asiappp, Nona Kecil.” “Jangan sampai lupa! Nanti Papa sedih cariin aku,” ujarnya lagi sambil terkikik geli. Ah, kelakuannya sangat menggemaskan. Membuat Siva tak bisa menolak setiap permintaannya. Siva membelai lembut kepala si cantik yang sudah menutup kedua matanya. Menatap ke luar jendela melihat jalanan yang lumayan padat. Mungkin karena ini akhir bulan membuat orang-orang harus lembur seperti dirinya dan para karyawannya. Suara Dering ponsel membuyarkan lamunannya. Matanya mengerjap dan segera meraih ponsel yang ada di dalam tasnya. Dahinya berkerut saat melihat nomor yang mengirimkan foto-foto Gio dan Tamara. “Pak Imam,” panggil Siva setelah memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas. “Iya, Non.” “Om Gio kasih kabar sama Bapak atau tidak?” “Tadi sore kirim pesan dan berkata malam ini pulang larut karena harus lembur.” “Tolong sampaikan pada Om Gio agar tidak datang ke rumahku besok. Naura biar berangkat ke sekolah sama aku aja.” “Baik, Non,” jawab Pak Imam dengan menganggukkan kepalanya. *** Siva masih sibuk dengan ipad-nya karena bulan depan harus mengeluarkan desain hijab instan yang baru. Produk barunya bulan ini sudah terjual lebih dari 10 ribu picis. Selain bentuknya yang kekinian, bahannya juga bagus dan harganya pun terjangkau. Setelah stok kain habis, Siva tidak akan mengeluarkan seri lama. Setiap bulan akan mengeluarkan produk baru agar konsumen tidak bosan dengan model yang itu itu saja. Ting tong ... suara bel rumah berbunyi. Siva melihat jam yang menempel di dinding, sudah pukul 11 malam. Siapa yang datang bertamu selarut ini? Dia langsung membuka CCTV lewat ipad-nya untuk melihat tamunya. Ternyata Gio yang datang dan sedang berdiri di depan pintu gerbang. Siva menghela nafas lelah sebelum beranjak dari sofa. Om Duda memang tidak kenal waktu jika berkunjung ke rumahnya. “Assalamualaikum, Asyva,” ucap Gio ketika gerbang telah terbuka lebar. “Waalaikumsalam, Om. Mau apa datang selarut ini?” “Ngajakin kamu makan martabak telur,” jawab Gio dengan mengangkat kantong kresek yang dia bawa. “Hampir tengah malam. Harusnya Om langsung pulang ke rumah dan makan martabaknya sendiri.” Sebelum menjawab Gio memasukan mobilnya ke dalam carport rumah Siva lebih dulu. Jalanan di perumahan tempat tinggal Siva tidak begitu luas. Jika parkir di pinggir jalan akan mengganggu mobil tetangga yang akan lewat. Sementara Siva membawa masuk martabak telur yang dibawa oleh Gio. Menatanya ke atas piring dan menyiapkan minuman dingin untuk tamunya. “Kenapa tidak membalas pesanku?” tanya Gio setelah mendaratkan bokongnya pada sofa. “Aku menunggunya sejak pagi hingga membuat perasaanku gelisah.” “Oh, iya? Bukannya Om sedang sibuk meeting di cafe dengan Tante Tamara?” “Kamu tahu dari mana, Siv?” Gio merasa takjub ketika mendapatkan pertanyaan itu dari gadis kesayangannya. Baru kali ini Siva memperlihatkan rasa cemburunya. “Ada yang mengirimiku pesan gambar. Entah siapa orangnya? Karena saat aku tanya dia tidak membalas.” Gio menghentikan kunyahannya sejenak. Menatap lekat Siva namun tidak mengatakan apapun. Memilih melanjutkan kunyahannya dan menelan makanan lebih dulu. “Boleh pinjam ponselmu, Siv?” Siva langsung memberikan ponselnya pada Gio. “Buka saja tidak aku kunci,” jawabnya. Gio pun membuka aplikasi chat berwarna hijau yang ada di ponsel Siva. Mencari nomor yang telah mengirim pesan berupa foto-foto dirinya ketika bersama dengan Tamara. Dia tampak terkejut, tapi hanya sesaat setelah itu ekspresinya kembali seperti biasanya lagi. “Sepertinya ada yang sengaja mengambil foto dari arah belakang dan depan. Kemungkinan orang itu suruhan Tamara.” “Aku juga berpikir seperti itu. Tapi untuk apa Tante Tamara melakukannya?” “Ingin membuatmu cemburu,” jawab Gio sembari mengembalikan ponsel pada Siva. Siva hanya menganggukkan kepalanya sebagai jawaban. Hatinya seperti ada yang mencubit saat melihat foto-foto kebersamaan Gio dan Tamara. Apa itu yang dimaksud dengan cemburu? Dia tidak paham seperti apa konteks cemburu. “Memangnya Tante Tamara suka sama Om Gio?” “Bukan hanya suka tapi sudah tergila-gila, Siv. Dia saja sudah melamar ku lebih dari ratusan kali.” “Wow, benarkah itu? Terus Om jawab apa?” Gio menganga dan mengedipkan matanya berkali-kali saat melihat ekspresi Siva. Bukannya cemburu gadis itu justru penasaran dengan Tamara. “Siv, kamu baik-baik saja ‘kan?” tanya balik Gio. “Alhamdulillah, keadaanku baik-baik saja, Om.” “Makan dulu martabaknya. Aku butuh menghibur hatiku sejenak agar tidak terpotek-potek lagi.” Di suruh makan ya Siva langsung mencomot martabak yang ada di piring. Dia paling suka martabak telur dan Gio selalu membelikan martabak di tempat langganannya. Lama menunggu Gio menghibur hatinya sendiri membuat kantuk Siva mulai datang. Lagipula sudah pukul 12 lebih memang sudah saatnya dia istirahat. “Om Gio nggak ada niatan untuk pulang?” “Biarkan aku menginap di rumahmu malam ini, Siv.” “Heh, kok menginap? Nanti diomelin Pak RT lagi. Mending Om pulang sekarang deh.” “Capek badan aku, Siv. Kamu tidak kasihan denganku? Sejak pagi hingga malam aku bekerja tanpa istirahat. Sampai melewatkan makan siang dan makan malam.” “Om Gio belum makan malam?” tanya Siva, kesal dengan Om Duda-nya yang sering telat makan. Gio menggelengkan kepala. Kembali mengambil martabak yang masih tersisa banyak di atas piring. “Rencananya mau minta makan sama kamu sebagai imbalan telah menjadi kurir pengantar martabak.” “Yah, aku nggak masak, Om,” jawab Siva dengan wajah penuh penyesalan. Sebenarnya bukan salahnya tapi salah Gio sendiri yang tidak makan malam di kantor. “Aku buatkan fuyunghai sebagai pengganjal perut mau apa enggak?” “Mau mau mau,” jawab Gio dengan cepat. “Mendingan Om bersih-bersih dulu sambil menunggu masakan matang. Pakai kamar mandi yang ada dibawah tangga.” “Iya, Bunda. Eh, maaf maaf. Salah panggil,” jawab Gio sambil meringis. Sementara Siva membuang pandangannya ke samping untuk menyembunyikan wajahnya yang tengah merona. Dalam hatinya berkata ‘Apaan sih Om Duda! Bikin jantung aku jumpalitan’ Siva pun buru-buru masuk ke dalam menuju ke arah dapur. “Jangan gugup, Siv! Nanti masakan mu gosong,” teriak Gio ketika menyadari jika gadisnya sedang salah tingkah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD