Pangeran Kucing

2449 Words
    Akhirnya Aisyah dapat bernapas lega, dua jam terakhir di dalam otaknya hanyalah benang kusut. Aisyah tak habis pikir jika ia benar-benar harus pulang bersama Alex, menggunakan motor ninja. Aisyah akan kesulitan jika duduk di atas motor gede dengan rok panjang dan semua yang tak bisa ia bayangkan. Tapi beruntungnya semua itu tidak terjadi, Aisyah tidak pulang bersama Alex dengan motor gede melainkan dengan taksi. Ya, meskipun Aisyah masih tetap pulang bersama Alex.      Aisyah sengaja menaruh tas di tengah mereka, penghalang antara dirinya dan Alex. Alex menatap ke arah luar jendela taksi, berpura-pura tidak peduli, meski pada kenyataannya ia sangat terganggu oleh ulah Aisyah yang mempersempit tempat duduk. Tidak ada percakapan di dalam taksi itu, mereka sibuk dengan pikirannya masing-masing.  “Stop!” ujar Aisyah lembut, namun berefek besar di telinga sopir.  “Ada apa, Neng?” tanya pak sopir bingung, Alex melirik sekilas ke arah Aisyah tanpa niat bertanya.  Aisyah pun tersenyum lebar, “Pak, bisa tunggu saya sebentar,” katanya seraya membuka pintu. Sopir itu mengangguk kaku, masih bingung. Aisyah segera keluar. Satu menit kemudian pintu kembali terbuka, menampilkan Aisyah dan sosok mungil di gendongannya. “Kucing!” Alex beringsut menjauh, wajahnya terlihat ketakutan. Aisyah terkejut melihat reaksi Alex. Alex tak peduli dengan apa yang Aisyah pikirkan tentangnya, yang jelas ia sangat takut dengan makhluk berbulu itu. Alex mengibas-ngibas tangannya ke arah kucing mungil itu, ”Hus! Hus! Pergi ...” “Kamu takut kucing?” Tanya Aisyah bingung. “Gue ... gue. Nggak takut cuman gak suka aja.” Sangkal Alex berusaha untuk mengendalikan dirinya, meski kini wajahnya terlihat tidak setenang tadi. “Lebih baik aku turun di sini saja.” Tangan Aisyah hendak meraih pintu taksi. “Udah gue bilang, gue gak takut,” tegas Alex berusaha yakin, membuat Aisyah mengurungkan niatnya dan hanya bisa menunduk. “Meong ....” Suara kucing itu langsung membuat Alex meloncat, alhasil kepalanya beradu dengan atap taksi. Aisyah terkejut, tanpa sadar tawa keluar dari mulutnya, “Kamu nggak papa, kan?” tanya Aisyah berusaha mengendalikan tawanya, melihat tingkah Alex yang berubah 180 derajat. Alex kikuk, wajahnya memancarkan ketakutan berlebih pada hewan kesayangan nabi Muhammad saw, “Jauhin kucing itu dari gue!” perintah Alex. Lelaki itu semakin tidak tenang saat melihat kucing mungil di pangkuan Aisyah meloncat ke arahnya. “Meong ...” “Huss, sana pergi.  Alex mengibas-ngibas tangannya. “Meong ....” “Pergi! Pergi! Please pergi!” Alex histeris melihat kucing itu semakin mendekat ke arahnya. Runtuh sudah harga diri yang Alex bangun selama ini, kandas tertimpa bulu kucing. Aisyah tertawa tak mampu menahan rasa geli yang begitu menggelitik perutnya. Alex yang menyadari akan hal itu mendesah kesal, “Jangan beritahu siapa pun tentang ini,” perintah Alex sekaligus ancaman, namun Aisyah hanya terkekeh pelan. “Hus ... hus sana. Jauh-jauh dari gue. Dasar bulu berjalan,” umpat Alex menatap geram makhluk mungil di hadapannya.   ***   “Uh.” Alex menghela napas kasar, ia tidak suka semua keramaian ini. Semua orang yang terus bergoyang mengikuti dentuman musik. Alex benci pesta, tapi ia lebih benci dengan pria itu. Sebenarnya apa yang di lakukan Troy tidaklah salah, selama ini Alex tidak pernah mau ikut pesta tahunan yang selalu diadakan di SMA Gangnam. Dan kali ini dengan terpaksa, Alex harus mengikuti keinginan Troy, sesuai dengan pasal tiga dalam perjanjian. Alex menduduki bokongnya di sofa lembut yang berada di sebelah kolam renang, ia lantas meneguk hingga tandas jus di gelasnya. Bosan mulai menghampiri, matanya menatap jengah sekeliling pesta, tak ada satu pun yang mampu menarik perhatiannya. Seolah semua kemeriahan pesta malam ini tidaklah berarti apa-apa, bahkan segerombolan gadis berpakaian minim yang tersenyum ke arahnya pun tak mampu menarik perhatiannya. Alex memijat kepalanya pelan, terdengar beberapa siswa berbisik-bisik seru, hal itu jelas menarik rasa ingin tahu Alex.  Alex mengedarkan pandangannya ke seluruh arah, matanya menangkap seorang gadis yang berpakaian kontras dengan yang lain. Gamis biru dengan jilbab senada dan tak lupa cadar yang menutupi wajahnya, inerbeuty benar-benar terpancar dari gadis itu, namun hanya orang-orang tertentu yang mampu melihatnya. “Ih liat deh cewek aneh itu, ternyata dateng juga.” “Iya aneh banget, ke pesta pake gamis, dipikir mau pengajian kali, udah gitu mukanya pake acara ditutup-tutupin lagi. Jendela kali ah,” kekeh mereka. “Gue rasa wajahnya kutilan deh.” “Hahha. Gue rasa juga gitu.” Aisyah menunduk dalam, semua hinaan yang tertuju untuknya berusaha ia abaikan. Jika bukan karena ingin mengembalikan sapu tangan itu, mungkin Aisyah tidak akan datang ke pesta ini. Aisyah berjalan, menepi dari keramaian, tapi entah mengapa ia merasa sedang diawasi. Aisyah mengedarkan pandangannya, tanpa sengaja mata cokelat manik tertangkap basah tengah memperhatikannya, ia menatap lekatnya. Aisyah segera menundukkan pandangannya. “Astaghfirullah,” ucap Aisyah pelan. Kemudian ia berjalan bingung tanpa arah dan tanpa sengaja, ia malah masuk kerumunan orang yang tengah asik bergoyang. Alex tersenyum miring memperhatikan Aisyah dari jauh, “Hiburan yang menyenangkan.” Memikirkan hal-hal itu membuat Alex merasa sangat senang, seketika rasa benci pada pesta malam ini setengah menguap dari pikirannya. Alex berjalan mendekat ke arah Aisyah, tentunya dengan rencana usil di pikirannya. Aisyah yang sedang sibuk mencari celah keluar dari keramaian tidak menyadari hal itu. Alex bersedekap d**a menunggu Aisyah keluar dari kerumunan itu. “Aduh.” Aisyah mengelus kepalanya pelan, seketika jantungnya hampir saja lepas dari posisinya, gadis bercadar itu sadar ia telah menabrak sesuatu yang cukup keras, tapi itu bukan tembok, Aisyah tahu jelas itu bukan tembok. Aisyah mundur satu langkah menjauh. “Maaf,” ujarnya pelan. Alex berdehem keras.“Lo gak punya mata ya!” cercah Alex tajam. Aisyah diam, ia memang salah. “Maaf,” ulangnya lagi. Alex tersenyum sinis, “Kalo kata maaf lo bisa nyelesein semuanya, pasti nggak ada yang namanya hukum!” “Gue bakal maafin lo, asal lo ...” Alex diam sejenak menunggu respon gadis dihadapannya, lalu kembali menyunggingkan senyum jahatnya.   ***   “Gue rasa tu cewek udah gila deh.” “Dia gak gila, cuman kurang waras aja.” “Hahahaha.” “Gue rasa dia kesambet setan deh.” “Dasar cari perhatian aja tu cewek.” Alex tersenyum bahagia mendengar celotehan semua orang mengenai Aisyah. Pesta kali ini cukup menyenangkan baginya. Dalam diam Aisyah menunduk dalam, menyembunyikan tiap tetes air mata yang keluar begitu saja. Air mata itu terus keluar dari kelopak matanya, tapi tak ada yang menyadari akan hal itu, karena semua orang tak bisa melihat kesedihan yang Aisyah rasakan. Penampilan gadis konyol dengan kostum badut hanya itu yang mampu mereka lihat sekarang dari Aisyah. Seolah tak cukup dengan semua itu, tiba-tiba seorang gadis berambut panjang mendorong keras bahu Aisyah.“Eh lo!” “ARGH s**l, mata itu lagi.” Alex mendengus kesal, dari jauh ia tak sengaja melihat air mata jatuh dari mata biru hazel Aisyah. Alex tertekan, ia tak sanggup menahan dirinya untuk berpura-pura tidak peduli melihatnya. “Gak usah sok lugu deh lo! Gue tahu lo itu cewek tipe murahan, lo cuman sembunyi di balik cadar biar nutupin muka busuk lo! Lo itu cuman jadiin cadar lo sebagai penutup aib lo, kan?” cibir gadis berambut panjang itu, kembali mendorong Aisyah. “Maaf kak, kakak boleh hina saya, tapi jangan pernah hina cadar saya. Bagi saya cadar adalah harga diri saya, saya tidak pernah mencoba menyembunyikan dosa saya di dalam cadar ini. Saya hanya mencoba menjadi manusia yang lebih baik, dan saya tegaskan pada kakak untuk tidak lagi menghina cadar saya,” kata Aisyah tegas. Gadis itu menggeram kesal, “Lo ngancem gue!” Tangan gadis itu lantas mengambil kue cokelat dan hendak melemparnya pada Aisyah BRUKK Kue itu malah mengenai Alex bukannya, ia sengaja melindungi Aisyah. “Lo!” Alex mendelik kesal, rahangnya mengeras, tangannya telah terkepal sempurna. Jika saja Alex lupa bahwa orang di depannya adalah seorang gadis, mungkin sekarang pipi mulus gadis itu sudah lembap dan biru. “Gu ... gue. Gue gak sengaja” kata gadis itu ketakutan, “gue cuman mau kasih pelajaran buat gadis sok lugu ini!” “Udah gue bilang, lo nggak berhak ngapa-ngapain Aisyah, karena cuman gue yang berhak melakukan hal itu, Lo denger!” Alex sengaja menekan tiap kata dalam ucapannya. “Tapi Alex, gue—” “Sudahlah, lebih baik sekarang kita pergi,” bisik gadis berambut keriting di sebelahnya. Gadis itu menggeleng keras, dari raut wajahnya jelas sekali ia tak setuju dengan saran sahabatnya itu, tapi ia tak ada pilihan. “Ayo,” gadis itu menarik lengan sahabatnya yang enggan pergi bagai pecundang, “lo mau nyari masalah sama Alex?” Pertanyaan itu sepertinya menyadarkan sahabatnya itu dari selimut kesombongan. “Lo tahu kan apa akibatnya?” bisik gadis itu, lalu menarik tangan sahabatnya. Alex menatap Aisyah yang masih setia menunduk dengan kostum badut konyol. Alex mengembuskan napas jengah, entah kenapa ia sekarang benci melihat gadis ini menggunakan kostum konyol, “Dasar gadis bodoh!” umpat Alex pelan lalu melangkah pergi meninggalkan Aisyah. “Lex.” Suara pelan itu menghentikan sejenak langkah kaki Alex. Alex menoleh dan mendapati Aisyah berdiri jauh di belakangnya. Alex kembali melangkah tanpa memperdulikan Aisyah. “Tunggu!” Aisyah berlari kecil mengejar langkah kaki Alex, untungnya kini semua mata tak lagi tertuju padanya, semua orang tengah tenggelam dalam euforia pesta tahunan. Alex mengembuskan napas berat, “Apa?” tanyanya ketus. “Ehm ... ini,” jawab Aisyah kikuk sekaligus takut, ia menyodorkan sebuah sapu tangan. Alex menatap tajam sapu tangan itu. “Gue nggak butuh,” kata Alex penuh penekanan. “Tapi baju kamu kotor dan ini punya kamu, aku hanya ingin mengembalikan.” Alex sekilas menatap jengah gadis di depannya, terutama sapu tangan hitam berpadu merah yang masih setia tergantung di tangan Aisyah, ia lantas menarik keras sapu tangan itu. “Apa lagi?” tanya Alex kesal, karena gadis itu tak kunjung pergi. “Ehm. Sebenarnya aku mau ngucapin terima kasih.” Alex terkekeh, ia menatap Aisyah.“Lo gila ya, lo ngucapin terima kasih karena gue udah bully lo!” ejek Alex. Aisyah tersenyum di balik cadar, mata biru hazel miliknya terlihat sangat indah saat menyipit terimpit pipi. “Ehm, tapi kamu kan udah nolongin aku dua kali,” jawab Aisyah jujur. “Dasar aneh,” ejek Alex tak habis pikir. “Terima kasih, karena selalu menolongku,” ucap Aisyah tersenyum simpul. “Lo pikir semua itu gratis?” Dahi Aisyah berkerut, “Maksudnya?” “Lo harus balas budi!” “Hah?”  “JADI GURU PRIVAT NGAJI GUE. SEKARANG!” Perkataan Alex sukses membuat mata Aisyah melebar, ia terdiam. Aisyah bingung dengan semua sikap Alex, semua mengenai dirinya bagaikan bom yang selalu berhasil meledakkan logika. “Lo gak perlu mikir, karena jawaban lo, harus 'Ya',” sahut Alex tajam. Aisyah hanya diam menunduk, menyembunyikan mata biru hazel-nya. Tanpa berniat menghiraukan perkataan Alex.  “Maaf” jawaban itu keluar begitu saja dari mulut Aisyah tanpa komando, rasa sakit masa lalu menyeruak di hati Aisyah, membuat tubuhnya bergetar hebat. Peristiwa itu kini kembali berputar di pikiran Aisyah, “Gue gak suka penolakan!” jawab Alex  tajam, seketika menyadarkan Aisyah. Tapi Aisyah tidak peduli dengan kemarahan Alex yang jelas ia tidak akan menerima permintaan atau pun paksaan dari Alex.“Aku enggak bisa,” ulang Aisyah tegas. Rahang Alex seketika mengeras mengatakan hal itu. “Lo nolak gue?!” “Kita bukan mahram, tidak akan baik jika aku menjadi gurumu. Akan banyak timbul fitnah terlebih lagi jika kita hanya berdua.” Seketika Alex tersenyum miring.“Kalo gitu, mari kita menjadi mahram,” Alex kembali menampilkan senyum piciknya. “MENIKAHLAH DENGAN GUE!!” Aisyah mendongak, ia tak percaya dengan apa yang Alex katakan. Begitu mudah Alex mengatakan hal itu seolah hanya permainan baginya. Aisyah diam membisu, kemeriahan pesta seolah angin lalu yang tak memberikan dampak apa pun pada gadis itu, yang mampu ia dengar hanyalah embusan napas teratur dari Alex. Alex berada begitu dekat dengannya, spontan kaki gadis itu mundur dua langkah menjauh darinya. “MENIKAHLAH DENGAN GUE.!!!!” “Enggak. Maaf! “MENIKAHLAH DENGAN GUE AISYAH!” desis Alex, suaranya terdengar begitu jelas di telinga Aisyah. Aisyah masih diam membisu. Sampai tiba-tiba Aisyah terbelalak tak percaya saat Alex hendak memeluknya, tanpa sadar tamparan hebat mendarat di pipi Alex. Tamparan itu bukan saja sukses membuat pipi Alex memerah, tapi juga membuat tangan gadis bercadar itu gemetar hebat. Ia tak percaya dengan apa yang telah dilakukannya barusan. Perlahan Aisyah mundur, langkanya membawa ia berlari, menjauh dari semua keramaian. Mata gadis itu mulai memanas perlahan, air mata membasahi cadarnya, tangan yang masih bergetar adalah alasannya, segera ia hapus kasar air mata di pipinya. “Apa yang telah ia lakukan adalah benar, Alex harus mengerti batasan dari semua tingkah lakunya,” teriak batin gadis itu. Pikiran Aiysah kembali jernih. Ia tak boleh lemah dan tak boleh takut dalam menegakkan perintah Allah. Tangannya harus terbiasa melawan kebatilan. Alex harus tahu perempuan muslimat bukanlah benda di toko yang dengan mudahnya dibeli dan diperlakukan seenaknya. Perempuan muslimat adalah mawar merah di tepi jurang yang tidak akan mudah dipetik. Peraturan Allah adalah jurang pembatas yang akan menjaga setiap muslimat dari tangan-tangan jahil yang ingin merusak keindahan bunga mawar.   ***   Suasana perkotaan memang sangat berbeda dengan di desa, meski jam telah menujukan pukul 11.00 WIB daerah di jalan masih terlihat ramai, dengan lampu warna-warni yang memperindah jalan ibu kota, membuat kota Jakarta seolah kota yang tak pernah lelap. Aisyah sudah berada tepat di depan jalan menuju kompleks rumahnya, ia harus berjalan cukup jauh melewati perkampungan terlebih dahulu karena jalanan kompleks sedang direnovasi dan hanya jalan inilah alternatif hingga renovasi selesai. Jika saja telepon Aisyah tidak terjatuh sewaktu ia berlari dari pesta, pasti sudah ia telepon Abi dan Uminya. “Umi dan Abi pasti cemas,” gumam Aisyah pelan, lantas mempercepat langkahnya. Jalan terlihat sangat gelap, hanya cahaya rembulan dan sorot lampu dari rumah penduduk yang kini menerangi langkah Aisyah. Lampu jalan di perkampungan sudah hampir satu minggu rusak akibat tersambar petir. Di kegelapan malam, terdengar derap langkah tidak teratur mendekat ke arahnya. Aisyah sangat takut, tapi sebisa mungkin ia berhusnuzan. Ternyata salah besar keputusan Aisyah, karena kini tiba-tiba Alex langsung menarik keras lengan baju Aisyah mengikuti langkahnya menuju kebun. “Lo tahu gak?!” bentak Alex melepas genggamannya pada lengan baju Aisyah, bau alkohol menyeruak ke indra penciuman Aisyah. “Astagfiruallahalazim, Alex kamu minum alkohol?” “Kalo iya kenapa? Lo gak suka? Ini semua gara-gara lo!” bentak Alex, pria itu terlihat sempoyongan. “Maaf, Alex.” Aisyah hendak melangkah pergi tapi Alex langsung menghalanginya. “Alex biarkan aku pergi, enggak baik di sini berduaan. Akan menimbulkan banyak fitnah.” Aisyah berucap pelan, berharap Alex mengerti. “Apa peduli gue sama tuh fitnah, lo udah nampar gue, lo udah ninggalin bekas tangan lo di pipi gue.” Alex pun marah, kemudian menarik tangan Aisyah untuk menyentuh pipinya. “Alex! Hentikan!” bentak Aisyah mulai kesal dengan ulah Alex yang di luar batas. “Kenapa? Lo gak mau pegang pipi gue?” Kali ini Alex menarik tangan Aisyah. Aisyah marah, ia berusaha sekuat tenaga melepaskan tangannya. Alex malah memperkuat pegangannya, dan tanpa sengaja lengan baju Aisyah tersobek sedikit akibat cengkeramnya. “Hei, kalian ngapain?” Suara pria paruh baya menghentikan Alex. Pria itu berjalan mendekat ke arah Alex dan diikuti banyak orang mengekor di belakangnya. “Jangan-jangan dia mau memperkosa perempuan ini!” duga salah satu di antara mereka. “Ya betul, liat aja kayaknya nih anak mabuk deh.” “Orang kayak dia harus dikasih pelajaran biar gak ngerusak nama baik kampung kita!” “Setuju. Dasar lelaki gak punya adab!!” Mereka mulai mengeroyok Alex. Aisyah ketakutan, ia menangis tak tega melihat Alex dipukuli masa. “Berhenti!” pinta Aisyah di sela tangisnya, tapi tak ada satu orang pun yang peduli. Mereka semua sudah tersulut emosi. “Berhenti !! Saya mohon berhenti ... jangan pukuli dia ....” “Dia ini mau ngelecehin kamu, dia ini nggak bisa dimaafkan,” sahut salah satu pria di sana. “Saya mohon berhenti, Pak.” Aisyah kembali mengulang perkataannya. “Dia ... dia calon ... suami saya.” Suara Aisyah bergetar, seketika semua berhenti memukul Alex dan menatap hina ke arah Aisyah. “Oh jadi dia calon suami kamu,” sahut salah satu  di antara mereka, tajam. Aisyah mengangguk lemah. “Kalo begitu, berarti kalian ingin berbuat m***m di kampung kami ya,” tuduh pria berambut cepak. “Tidak, Pak. Tadi Alex hanya ...” “Sudah, jangan banyak alasan! Kalian harus segera dinikahkan, biar nggak mencemarkan nama baik kampung kami!” “Tapi, Pak ...” “Itu konsekuensi kalo kalian berbuat m***m di kampung kami!” Aisyah menggeleng kuat. “Tidak, Pak. Kami tidak berbuat mesum.” Pria itu menatap tajam Aisyah, “Lalu ngapain kalian di sini, di kebun berdua kalo nggak m***m. Terus baju kamu itu kenapa?” Aisyah menunduk lemas, semua bukti menyudutkannya. “Ayo, mari kita bawa mereka ke balai desa,” seru pria berwajah oriental, mereka lantas mengangkat tubuh Alex yang tergolek lemah di tanah. “Mereka harus  MALAM INI JUGA.” Putus mereka.   ************
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD