Semenjak di tinggal Aprin, yang Kasandra punya hanya Ayyan, tapi kini Ayyan anak lelakinya berniat ingin pergi mencari keadilan untuk keluarganya.
Kasandra takut jika terjadi hal-hal tak baik jika Ayyan sudah berada di Capital City nantinya.
Meskipun ia tak tahu sudah sejauh mana Ayyan mempersiapkan itu semua. Tetap saja ia merasakan khawatir.
Ia tak ingin melihat Ayyan seperti Aprin dulu, mati mengenaskan karena sebuah kebohongan yang mengatas namakan keadilan.
Padahal mereka juga tahu bahwa itu bukan sebenarnya yang terjadi.
Kasandra dan Ayyan dampak buruk dari sebuah keserakahan kekuasaan yang di lakukan adik iparnya sendiri, bahkan ketika ia dan sang anak di antarkan ke Loxeoxon tak ada yang tahu siapa sebenarnya mereka.
Jika penduduk kota kecil itu tahu siapa mereka mungkin keadaan akan semakin menjadi rumit dan lebih kacau lagi.
Meskipun ada beberapa orang yang tahu, yakni keluarga nelayan Andrus dan keluarga petani biasa Vivian yang tinggal tepat di samping rumah mereka, bahkan hampir sejajar tembok.
Kasandra belum bisa memejamkan matanya, ketika ingin dengan mantan suaminya Aprin Yaga jauh sebelum kejadian-kejadian mengerikan yang mengguncang keluarga mereka
23 tahun lalu setelah meninggalnya Derek sang mertua, Aprin naik takhta untuk menggantikan Derek menjadi presiden baru di Linkton.
Perjalanan menjadi presiden tidaklah mudah, banyak hal yang terjadi, bahkan percobaan pembunuhan dari siapapun itu orang yang tak menyukai kepemimpinan Aprin.
Bahkan kebanyakan dari mereka adalah orang yang membenci keluarga Yaga.
Tujuh tahun kemudian selama Aprin menjadi presiden, Lubes adik kandung Aprin melakukan kudeta bersama para militer yang mengatakan ada kebohongan yang selama ini di lakukan Aprin.
Kemudian Aprin di eksekusi mati, ia dan Ayyan yang masih berusia 10 tahun harus di asingkan dan tak boleh kembali lagi terlihat sebagai seorang dari keluarga Yaga.
Kasandra mengubah nama dirinya menjadi Andara dan Ayyan menjadi Ryan, selama belasan tahun mereka menggunakn identitas palsu itu.
Keesokan paginya...
Ayyan sudah bersiap untuk pergi ke Capital City, mungkin jaraknya tidaklah dekat.
Setelah berpamitan dengan sang ibu, ia mantap melangkah berangkat menuju Capital City untuk mencari keadilan yang selama ini hilang.
Dengan diantar anak Vivian menggunakan mobil yang nantinya akan berhenti di Stasiun kereta terdekat.
Anak Vivian memiliki usia yang tak jauh berbeda dengannya, hanya terpaut dua tahun dengan Ayyan yang lebih tua.
Sejak kepindahana Ayyan dan Kasandra, keluarga Vivian begitu baik padanya. Bahkan Lucas anak Vivian satu sekolah dengannya.
"Apa kau yakin pergi ke sana, Kak?" tanya Lucas kemudian saat mereka berada di dalam mobil di perjalanan menuju Stasiun kereta.
"Aku sudah sangat yakin Lucas, ini pilihan terakhirku untuk mencari keadilan," jawab Ayyan.
Lucas tak bisa banyak berbicara, karena ia tahu bagaimana sikap dan sifat Ayyan selama ia mengenalnya. Ayyan akan melakukan apa yang menurutnya benar dan menurut orang baik. Maka dari itu Lucas tak akan heran.
***
Sementara itu di waktu yang sama, tapi tempat berbeda.
Mauri tengah menikmati sarapannya dengan sang istri. Istrinya mengatur wajah sedemikian rupa agar terlihat baik-baik saja, tapi Mauri tahu itu.
Mauri berusaha meraih tangan sang istri sambil mencoba menenangkannya.
"Migel akan baik-baik saja," ujar Mauri.
Lian sang istri berusaha tersenyum, meskipun nampak bergetar saat tertarik. Kalimat yang sama yang Mauri ucapkan padanya saat anak pertama mereka juga ikut dalam ujian kelulusan dulu.
Meskipun sudah mengatakan hal itu, Mauri tahu Lian tak akan mudah menerimanya. Bagaimana mungkin seorang ibu tenang jika mendengar sang anak berada dalam keadaan hidup dan mati.
Lian kini hanya bisa pasrah, sekuat apapun posisi suaminya di pemerintahan tapi ucapan Lubes tak bisa di ganggu gugat lagi. Mungkin ia juga akan di paksa merelakan anaknya lagi seperti yang sudah pernah terjadi beberapa tahun lalu.
Ia hampir gila rasanya, kehilangan anak perempuan yang begitu ia sayangi, rasanya ia tak ingin hidup lagi. Tapi, saat ini hal itu akan terjadi lagi.
"Aku akan pergi," pamit Mauri pada Lian yang hanya di balas dengan anggukan kepala dan senyum yang masih di paksakan.
Senyuman paksa yang terjadi sejak Migel mendapatkan kartu identitas diri.
Mauri kini sudah berada di luar rumah, masuk kedalam mobil pribadinya yang kemudian di kemudikan oleh supirnya.
Selama berada di mobil ia masih memikirkan sang istri, jarang sekali Lian tersenyum sejak beberapa waktu lalu.
Meskipun ia sudah membawa Migel untuk berlatih beladiri, tapi ia sendiri masih ragu akan apa yang terjadi pada anaknya nanti.
Mobil itu terus melaju melewati geliat ibukota Linkton yang hampir jarang ada bangunan pencakar langit sebab tanah yang tak begitu stabil.
Mauri menatap semuanya seakan semuanya tak berarti. Entah sampai kapan permainan itu akan berhenti? Apa ketika Lubes tak lagi menjadi kepala negara semuanya akan kembali normal seperti saat Aprin menjadi presiden?
Semua orang berharap begitu, sayangnya hal itu tak semudah yang di bayangkan. Lubes seperti kebal penyakit dan panjang umur, Lubes layaknya makhluk abadi yang meski mendapat jutaan doa kematian ia tetap hidup.
Mauri tak ingin memikirkan itu lagi, ia berusaha menenangkan dirinya sendiri dengan meyakinkan bahwa anak lelakinya baik-baik saja.
Tak berapa lama ia sampai di gedung pemerintahan Capital City, tempat ia bekerja selama ini.
Setelah ia keluar dari mobil dan masuk kedalam kantor, Daren sudah menyambut. Salah satu anggota senat paling beruntung itu memang begitu beruntung bisa lolos dari ujian mematikan dan sekarang menjadi bagian dari pemerintahan.
"Anak-anak sudah mulai masuk karantina," ujar Daren memberitahu Mauri.
"Apa ada kendala?" tanya Mauri kemudian.
"Tidak ada, karena ini masih hari pertama mereka. Selama dua minggu mereka akan di sana, kita bisa pantai menggunakan kamera nanti," ucap Daren.
Mereka berbicara sambil berjalan, menuju ruang senat.
"Aku ingin melihat anak-anak dari Capital City mendapat lebih sorotan," kata Mauri. Ia ingin lebih banyak melihat anaknya.
Daren mengangguk, paham apa maksudnya. Mauri yang di tinggal sang anak ikut ujian mematikan itu memang seperti tak begitu semangat bekerja.
Setelah mengatakan hal itu Daren kembali bekerja dan Mauri memulai pekerjaanya.
Kembali bekerja di saat semua tak baik-baik saja mungkin tak semudah yang di bayangkan, itu yang Daren pikirkan sekarang.
Ia juga yakin Mauri sang atasan merasakan hal itu, satu anaknya sudah tiada kini satu anaknya lagi yang ikut ujian itu.
Jika ia sebagai orangtua mungkin akan pasrah saja, meskipun ia yang mendapat julukan si anak beruntung tak pernah merasakan hal itu.
Beberapa tahun selama Aprin menjabat sebagai presiden, ia merasa di untungkan juga beberapa kelulusan lainnya. Lebih banyak penduduk yang hidup dan bekerja dalam bidang yang mereka inginkan.
Daren adalah angkatan terakhir yang tak mengikuti ujian itu, setelahnya ujian kembali di lakukan dan lebih menakutkannya akan selalu menyisakan satu orang setiap provinsi. Bahkan provinsinya beberapa tahun terakhir tak menyisakan satu orangpun entah karena apa, padahal seharusnya ada satu orang lulus ujian.
Setelah sekilas memikirkan itu, Daren mulai masuk ke ruangan monitor yang juga di jaga ketat.
Ruangan itu terhubung pada televisi pegawai pemerintahan dan orang-orang kaya yang memberi sponsor pada ujian kelulusan.
Orang-orang yang Daren sebut sebagai 'gila' itulah yang terus membuat ujian kelulusan dilangsungkan. Menakutkan memang.