09

1341 Words
Hari pertama karantina berlangsung. Setelah bangun di pagi hari semua anak-anak yang akan mengikuti ujian itu berkumpul di aula, awal tempat mereka saat melakukan pertemuan. Andreas, Luis dan ketiga teman lainya (Ragel, Rui dan Sion) sudah keluar dari kamar menggunakan seragam rapi dari sekolah masing-masing lengkap dengan kartu nama mereka yang tertera di sana. Andreas ingat betul, satu malam sebelum ia pergi ujian. Mama menyiapkan semua perlengkapan, termasuk seragam yang di pakainya kini. Mama nampak sekali begitu sayang padanya, meskipun mama tak mengatakan itu dengan jelas. Jean juga membantunya berkemas saat akan pergi. Sementara Ron hanya diam, adik pantinya itu memang naif meskipun ikut khawatir. Kini Andreas sudah berada di lorong, lalu turun menuju Aula untuk berkumpul, sekitar 15 menit lagi acara akan di mulai. Ia tak tahu penyambutan apa yang akan terjadi, apa mereka akan melanjutkan memulai ujian? Tidak mungkin. Bukankah panitia mengatakan karantina akan berlangsung selama lebih dari dua minggu. Bukankah masih ada banyak waktu untuk menuju kearah kematian. "Kau kenapa?" tanya Luis pada Andreas yang sejak keluar hanya diam seperti memikirkan sesuatu. "Tidak apa-apa," jawab Andreas seperti biasanya. Meskipun Luis mencoba akrab dengan Andreas, tapi Andreas tetap saja bersikap kaku. Tak berapa lama mereka akhirnya sampai di Aula, di sana sudah berkumpul 60 orang dari sisa yang mengundurkan diri. Mereka yang mengundurkan diri terkena eksekusi lebih dulu. 60 orang yang ada di sana, dari berbagai tempat dan daerah. Dari regency dan distrik berbeda, bahkan provinsi berbeda. Mereka di pisah lalu di campur dengan sekolah dan tempat lainnnya. Seperti halnya Andreas yang tak menemukan satu teman sekolahnya pun di tempat karantinanya sekarang. Atau mungkin ia yang tak begitu mengenal mereka. Siswa pandai yang paling pendiam di sekolah mungkin tak akan ingat wajah teman sekelasnya, bahkan Andreas tak ingat yang terakhir kali menyapanya sebelum masuk keujian ini. Sebegitu pendiamnya ia. Beberapa menit berlalu, para panitia masuk kedalam aula yang mulai terlihat ramai dengan para siswa. Andreas merasakan aura tidak nyaman. Aura ketakutan yang serasa berwarna hitam kelam. Menyeramkan. Seorang ketua panitia yang masih sama saat seperti kemarin membuka pembicaraan, sambutan kecil-kecil, lalu mengatakan apa yang akan terjadi pada dua minggu kedepan. Mereka nantinya akan melakukan persiapan mulai dari belajar beladiri, pemilihan senjata, memasak, hingga cara mempertahankan hidup di alam bebas. Menurut panitia hal itu di lakukan agar ketika ujian berlangsung tidak akan ada yang mati konyol, seperti halnya kelaparan. Meskipun mereka dibawain perbekalan makan tapi itu sangat sedikit bahkan belum tentu cukup untuk mereka makan satu minggu. Setelah itu para panitia yang lain membagi kelompok masing-masing sesuai dengan kemar mereka, agar memudahkan untuk di beri pengajaran. Andreas satu kelompok lagi dengan Luis. Dan latihan pertama mereka adalah cara mempertahakan hidup dengan beladiri. Kelompok Andreas mendapatkan pengajar seorang pria, berpakaian militer tinggi besar, dengan wajah sangar. Di bajunya tertulis Noris La Moris, dari keluarga terpandang provinsi ke-26. Noris membawa kelima bocah tanggung itu keluar seperti halnya pengajar yang lainnya, tapi sebelum keluar seseorang menarik tangan Andreas. Andreas menghentikan langkahnya, menoleh dan mendapati kepala sekolahnya. "Miss, Marta," ucap Andreas berusaha ramah. Belum sempat menjawab Marta memeluk tubuh Andreas, dibarengi sesenggukan sedikit. "Kamu satu-satunya anak yang berada di provinsi ini, Nak. Miss harap kamu bisa memenangkannya, lupakan untuk menjadi yang terbaik. Yang paling penting kau harus lulus," ucap Marta sambil melepaskan pelukannya. Andreas berusaha tersenyum sambil mengangguk, kemudian melangkah pergi karena Noris sudah memanggilnya dengan suara berat nyaring. Andreas tak tahu harus berkata apa, meskipun kepala sekolahnya berusaha menenangkan dirinya. Ia masih saja terus kepikiran. Bagaimana tidak, ini ujian kematian bukan sekedar permainan. Andreas ingat betul, beberapa minggu lalu saat kepala sekolahnya memanggilnya keruangan. Dengan santai dan tak memikirkan apapun Andreas masuk kedalam ruangan itu. Sang kepala sekolah mengatakan bahwa ia akan mengikuti ujian. Hal itu membuat Andreas kaget, padahal sebelumnya kepala sekolah mengatakan bahwa ia akan mendapat penangguhan karena ia siswa berprestasi. Marta sang kepala sekolah juga mengatakan hal itu, ia berharap Andreas lulus ujian dengan jalur prestasi, tapi nyatanya pemerintah tak menyetujui hal itu. Mereka tetap kekeh mengatakan bahwa semua anak muridnya yang akan lulus harus mengikuti ujian kematian itu. Andreas paham apa yang di inginkan kepala sekolahnya, tapi mereka memang tak memiliki cara lain. Apalagi dalam tiga tahun berturut-turut Briana High School selalu keluar sebagai lulusan terbaik dalam ujian. Andreas tak begitu yakin lulus ujian itu, jika bukan dia mungkin teman-temannya yang lain akan bisa menggantikan mendapat gelar itu. Meskipun kepala sekolah tetap berharap padanya. *** "Perkenalkan nama saya Noris La Moris, dari nama saja kalian sudah tahu saya siapa. Saya di sini bertugas sebagai pengajar kalian," ujar Noris menggema, suaranya mirip bariton yang nyaris tanpa jeda, bahkan di tempat seluas taman. "Saya ingin kalian memperkenalkan nama dan asal sekolah terlebih dari dulu .... di mulai dari kau baju biru." Noris menunjuk Rigel yang berasal dari Tower High School, provinsi ke-16, kemudian Rui, Shion, Luis kemudian terakhir Andreas. Setelah perkenalan terakhir dari Andreas, Noris menatap Andreas begitu lekat seakan memikirkan satu hal yang hanya noris tahu. "Kau satu-satunya anak dari Briana, bukan?" sambung Noris sambil bertanya pada Andreas. Andreas mengangguk "Berapa SFS (Skor Finnal School)?" "Hah? 9,95," jawab Andreas yang awalnya bingung pada pertanyaan Noris. Setelah Andreas mengatakan SFS nya sontak saja hal itu membuat keempat kawannya termasuk Noris sendiri nampak sekali kaget dan tak percaya, bahwa ada anak yang bisa mendapatkan nilai hampir sempurna selama sekolah. "Seharusnya kau tak ikut ujian ini, jalurmu khusus. Tapi, karena kau sudah di sini tak apa," kata Noris lagi. Andreas tak menjawab ucapan itu, karena ia sudah mendengar hal yang sama jauh sebelum mulai mengikuti ujian gila ini. Setelah itu Noris mengajari kelima anak itu tentang tekhnik mempertahankan diri dengan beladiri. Regil dan Shion yang memang ahli beradiri tak begitu ragu mengeluarkan ilmu mereka, sedangkan Luis sejak tadi hanya terus bercanda dengan membuat gerakan itu seperti dance. Andreas bahkan tak tahu harus apa. Rasanya ia menyesal saat Ron mengajaknya untuk latihan beladiri ia selalu menolak dengan berbagai alasan. Sekarang ujian ini malah membuatnya harus belajar dari awal. "Cukup untuk pengajaran hari ini, besok kita akan mulai lagi. Silahkan kembali ke kamar kalian," ujar Noris menutup latihan hari itu. Setelah mengucapkan terima kasih kelima anak laki-laki itu mulai berjalan menuju kamar mereka. Sore harinya... Beberapa jam dari latihan beladiri tadi, tak terdengar lagi instruksi dari para panitia untuk mereka untuk melakukan latihan lain. Sesuai kesepakatan memang mereka tak akan di paksa secara berlebihan untuk melakukan sesi latihan demi mengurangi tenaga mereka. Seperti halnya tak ingin mati konyol karena kelaparan, panitia juga tak ingin mereka mati karena kelelahan. Selain itu di tiadakannya latihan malam karena udara Linkton yang masih kotor bercampur karbondioksida sangat berbahaya bagi pernapasan. "Aku benar-benar tidak bisa beladiri, Luis," ujar Andreas ketika mereka berada di dalam kamar. Rigel, Rui dan Shion juga berada di dalam sana. "Aku juga tak bisa, kau lihat gerakanku bukan," jawab Luis dengan santainya. Shion mendekat, "apa yang kalian tak bisa, kalian hanya perlu menggerakkan badan sesuai instruksi. Anggap saja kalian seperti sedang menari." "Aku tak pernah menari," kata Andreas. "Apa itu mirip Belli Dance (tari perut dari timur tengah)," ujar Luis. Shion terdiam mendengar jawaban konyol dari Luis. "Tekhniknya sama, sama-sama mengatur dan mengontrol pernapasan. Biar aku beri sedikit gambaran..." setelah itu Shion mengajar mereka tentang beladiri dari sudut pandangan sebagai orang awam. Shion memang ahli beladiri tingkat dua, seorang siswa yang hampir lulus dari Iriana High School provinsi ke-29 regency ke-4 dan ia tinggal di black distrik. Di sebut black distrik karena orang-orang di sana sangat pekerja keras dan kuat. "Kalau kamu tak bisa beladiri, harapan hidupmu sangat tipis, Andreas. Kita tak bisa bergantung pada keberuntungan saja," ucap Rigel kemudian yang mendekat sambil makan cemilan, pantas badannya tinggi-gempal. Bergantung pada keberuntungan, Andreas menggaris bawahi. Meskipun orang-orang mengenalnya sebagai anak beruntung, tapi ia tak yakin. Benar kata Rigel, ia harus bisa mempertahankan dirinya sendiri meskipun itu hanya sedikit. "Kita bisa belajar bersama jika ada waktu luang esok setelah latihan bersama pengajar," lanjut Rigel. "Aku setuju," ucap Rui, anak bertubuh kecil yang satu sekolah dengan Rigel. Mereka nampak akrab. Luis, Shion, dan Andreas juga setuju dengan usul itu. Karena mempertahankan diri adalah hal paling penting dalam ujian ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD