Seperti Racun

2039 Words
"Padahal aku tuh udah berusaha loh biar keluarganya Manggala bisa nerima aku." "Bertahun-tahun pacaran tapi mentoknya cuma berhubungan sama restu orangtua. Masa susah banget sih dapatin restunya, El?" "Ya kalo gampang, aku gak bakal curhat gini lagi lah." Temannya terkekeh. "Terus gimana kuliahan? Dari Sastra Inggris malah pindah masuk Hukum?" Ia terkekeh. Ya itu urusan gila. "Aku gak yakin deh bakal bener-bener kerja di bidang hukum nantinya." "Karena mau jadi pasangan Manggala yang bakal jadi pebisnis begitu?" Ia tertawa. "Aku lagi cari celah dan mau fokus untuk dapetin restu orangtuanya Gala. Terutama ya Ibunya. Kamu tahu dari dulu, aku susah banget. Kamu tahu kan aku sampe pura-pura jadi anak kuliahan di Universitet Indonesia. Eeh ketahuan semuanya." Temannya terbahak. "Lagian kamu bohongnya sampai ngaku-ngaku gitu. Jelas aja lah Ibunya Gala gak bakal percaya. Dia pasti tahu kalo kanu b**o dalam urusan belajar." "Parah. Aku gak b**o-b**o amat loh." Mereka tertawa bersama. Ya kalau soal keilmuan, mereka ya sebelas dua belas lah. "Ya kan intinya mungkin kamu memang belum memenuhi ekspektasi Ibunya Gala. Yaaa mungkin dia nyari yang kayak itu tuh musuh kamu tuh." "Iiih gak lah. Gak mungkin." Ia berusaha menyangkalnya. "Ya gak mungkin sih kayaknya gak gitu juga lah, El. Kamu tahu kan dia juga cantik. Suka juara kelas. Kamu kalah deh soal itu. Gak hanya itu juga. Dia ya kaya juga. Selain itu ya, dia masuk tuh jadi mahasiswi Kedokteran di kampus yang kamu ngaku-ngaku itu. Aku dengar dari beberapa adik kelas kita dulu." "Oh ya? Kok makin kesal ya jadinya?" Temannya terkikik. Ya pasti kan? Karena selalu kalah saing. "Tapi yang penting, aku yang jadi pacarnya Gala sekarang dan bukan dia. Dia bahkan gak pernah jadi pilihan buat Gala kok." Ia sangat percaya diri. Ya tanpa tahu kalau Manggala baru kembali ke rumah dan Ibunya sudah menunggu di ambang pintu. Ya seolah sudah menanti kepulangannya. Pasti tahu kan ia dari mana? "Ibu mau bicara sama kamu." Ini tampaknya lebih pelik dari biasanya. Ia menarik nafas dalam. Ya mau tak mau tentu mengiyakan. Tak ada pilihan lain juga kan? "Ibu mau bicara apa?" Ia bertanya hati-hati. Ya tak perlu ditanya pun, ia pasti sudah tahu kan apa yang ingin dibicarakan oleh Ibunya? "Kamu sudah membuang waktu berapa tahun sebelum akhirnya benar-benar bisa melanjutkan sekolahmu?" Gala menunduk begitu mendengarnya. Ya ia sudah membuang waktu satu tahun. Satu tahun terbuang sia-sia. Ia memang gagal dalam berbagai ujian masuk kampus. Karena apa? Ya sibuk memgurus Elena di Jakarta sana. Sibuk membantu gadis itu masuk kampus lah. Menemaninya ujian lah. Nguber-nguber Elena yang sering kabur dari perkuliahan. Ya memang tak jelas sekali yang ia lakukan. Mau-maunya disuruh Mamanya Elena untuk mengawasi gadis itu. Padahal ia sendiri sudah muak dengan hubungannya yang hanya membawa racun di dalam hidupnya. Dulu, Gala itu termasuk yang pintar kok. Ia sempat menyabet ranking 3 di kelasnya. Tapi nilainya terus menurun hingga lulus SMA ya karena berpacaran dengan Elena. Ia sibuk mengurus Elena yang sekolahnya awut-awutan. Semasa Elena kuliah lebih dulu selama satu tahun juga sama. Ia hampir tidak lulus SMA gara-gara gadis itu. Ia terlalu mengorbankan banyak hal untuk gadis itu. Hal-hal yang jelas tak berguna. "Kamu tahu bagaimana keuangan keluarga kita sekarang. Adikmu juga kuliah. Malah mengambil Kedokteran di Indonesia sana. Bayarannya mahal, Gal. Kamu juga kuliah di sini. Setelah susah payah kamu belajar akhirnya bisa masuk ke sana. Ibu cuma mau kamu fokus kuliah. Jangan sampai gara-gara perempuan itu lagi, hidup kamu berantakan lagi. Cukup setahun kamu gak jelas, Gala. Jangan buang-buang waktu lagi." Ibunya memang benar soal itu. Hidupnya memang gak jelas setelah berpacaran dengan Elena. Awalnya mungkin senang karena ia tergila-gila pada perempuan itu. Mengejarnya juga mudah. Hanya dalam waktu singkat bisa mendapatkan hatinya. Tapi begitu dapat malah tak terasa menyenangkan lagi. Ketika hatinya teralih pada Fadiya, sebenarnya hal yang terjadi sangat sederhana. Ia hanya melihat gadis itu menerima penghargaan saat mereka duduk di kelas 1 SMA. Di situ, ia baru tahu ada gadis seperti Fadiya. Ya cantik. Ya pintar. Ya baik juga. Maksudnya, Elena jelas kalah telak dari segi prestasi. Tak banyak menurutnya, gadis yang tak hanya cantik tetapi juga pintar. Mengejar Fadiya tak mudah. Berkali-kali ia mengirim salam lewat teman sekelasnya Fadiya tapi tak peenah ada jawaban. Ya baru lewat kegiatan menginap di sekolah, ia bisa mendekati Fadiya yang bertepatan dengan putusnya hubungan asmaranya dengan Elena kala itu. Sialnya, pendekatan itu belum selesai dilakukan. Sekalipun ia sudah menyatakan cintanya. Mamanya Elena meneleponnya berulang kali kala itu. Elena yang sudah duduk di kelas 3 SMA sementara ia duduk di kelas 2 SMA. Elena dianggap perlu perhatian kebih dan hiar bisa fokus dengan ujiannya, beliau meminta ia kembali pada Elena. Ya lucu memang karena ia mau menurutinya karena memikirkan ujian Elena. Namun ternyata, selanjutnya ia menjadi pengecut. Ia masih mempertahankan Fadiya. Ia mengimingi gadis itu untuk nanti bisa putus dengan Elena begitu Elena selesai dengan ujiannya. Tapi ternyata tak sampai ujian, hubungan mereka yang bukan teman tapi juga bukan pacar itu malah kandas karena tentu banyak yang tahu. Karena beberapa kali ia sering mendatangi kelas Fadiya. Ya walau beralibi menemui teman yang lain. Namun jelas lah, ia ingin melihat Fadiya. Ia tak bisa melihat Fadiya setelah kejadian itu. Tak bsia berbuat apa-apa untuk Fadiya juga. Sampai akhirnya lulus SMA dan terputus dengan kabar Fadiya. Ya masih mendengar tentunya kabar gadis itu melanjutkan kuliah Kedokteran di kampus ternama Indonesia. Tapi hanya sebatas itu. Ya walau ia sempat bertemu lagi dengan Fadiya dan ya memang mendekatinya dan belum lama kandas kok. Kenapa kali ini? Ia merasa kecil. Merasa tertampar. Ia belum jadi apa-apa sementara Fadiya akan menjadi calon dokter. Ia sibuk dengan asmara yang tak jelas masa depannya dengan Elena. Namun setidaknya kebersamaan dengan Fadiya yang hanya hitungan minggu itu membawa pada semangat untuk lulus ujian kampus. Dan apakah berhasil? Jelas. Ia masuk kampus ternama di Malaysia dengan mengambil jurusan bisnis. Ia memang lebih berniat dalam urusan bisnis. Lalu? Sekarang ia harus fokus dengan kata-kata Ibunya. "Kamu dengar kata-kata Ibu, Gala?" Ia mengangguk. Tentu saja ia mendengar dan bahkan mengilhami dengan apa yang terjadi padanya. "Ibu memang tak suka dengan kepribadian gadis itu. Seorang gadis harus punya harga diri. Dia terus datang ke rumah laki-laki bahkan dulu pernah seharian kan di kamarmu ketika Nenekmu tak ada di rumah?" Ya dulu ia tinggal di Jakarta dan menetap di rumah sang Nenek. Kemudian ia memutuskan untuk pindah ke sini karena Ibunya juga yang meminta. Ya salah satu alasan juga biar biaya hidup lebih murah. Kampusnya juga tak begitu jauh dari rumah. Dan kalau soal harga diri dan etika memang benar. Elena tak pernah keluar negeri. Tapi gadis itu memang mengadopsi gaya hidup Barat. Baginya hidup harus bebas makanya ia tak bisa tinggal di rumah Om-nya dulu. Karena merasa terlalu dikekang. Masa jam 9 malam sudah harus di rumah? Masa sepulang sekolah tak boleh ke mana pun kecuali pergi ke tempat les? Itu kan tak seru. Ia tak bisa hidup seperti itu walau sepupunya yang lelaki justru santai dan bisa didisiplinkan dengan baik seperti itu. Ya memang permasalahan itu ada pada kepribadiannya yang sulit diatur. Bahkan Gala juga tak bisa mengaturnya hingga sekarang. Ketika cowok itu memberitahu kalau ia akan kuliah di Malaysia, ia malah mau ikut. "Aku gak masalah ngulang lagi kok." Begitu ucapnya. Ya bukan pindah kampus. Tapi ia mencari kampus baru dan mengambil jurusan baru. Ia tinggalkan begitu saja kampus lamanya dan juga jurusannya. Baginya uang bukan masalah karena Mamanya sangat menuruti keinginannya. Pasti mau dan lihat lah sekarang terbukti kan? Manggala mengakui kalau Elena memang tak punya keseriusan dalam urusan perkuliahannya dan masa depannya. Yang ia peduli kan hanya urusan cinta. Keluarga? Waaah. Yang penting Ibunya selalu menuruti keinginannya. Ya sebagai anak bungsu, memang paling menyenangkan berbuat semena-mena. Tapi penilaiannya akan berbeda jika berhubungan dengan Mamanya Manggala ini. Karena perempuan itu harus punya prinsip. Tidak bisa bergantung pada orang lain. Elena tak punya itu. Ia juga hanya memikirkan soal cinta. Ia tak tahu bagaimana perasaan orangtua yang harus membesarkannya susah payah sementara ia hanya sibuk mengurusi soal perasaan. "Kamu putusin dia. Kamu harus fokus dengan masa depanmu, Gala." Mamanya menginginkan itu. Ia juga maunya begitu. Berharap bisa melakukan itu dengan lebih tegas. Tapi kalau ia melakukannya, ia tahu Elena akan merongrongnya. Akan beralasan lagi kalau hanya ia yang dapat membuatnya serius belajar. Hanya dengannya pula ia mau. Kalau tak berhasil membujuknya, Mamanya pasti akan menelepon Gala lagi. Membujuk Gala lagi dengan lagu yang sama. "Tante mohon, Gal. Kasihan Elena. Dia butuh kamu. Cuma kamu yang bisa bantu dia fokus sama perkuliahannya. Bantu lah, Gal." Ya entah Fadiya akan percaya atau tidak dengan realita ini. Kenyataannya, memang ini lah yang terjadi. Kenapa ia terlalu lemah? Tak bisa membuat dirinya sendiri untuk keluar dari hubungan yang seperti racun ini. @@@ Adik..... Itu pembukaan surat dari Manggala yang baru saja ia terima. Ia memang sudah meninggalkan tempat tinggal lamanya. Ia baru menemukan tempat ini. Tapi tadi mendapatkan telepon dari Bapak yang punya kontrakan rumah lamanya itu soal surat yang baru saja datang untuknya. Apa isi surat itu? Ya kakaknya yang meminta untuk ia segera pulang ke Malaysia. Tapi yang namanya Adhiyaksa ya begitu deh. Gak akan mau pulang begitu saja tanpa membawa apapun. Ia tak begitu perduli dengan perkuliahan ini. Karena baginya ya yang terpenting adalah mencari tahu siapa dalang yang ingin Ayahnya ah bahkan keluarga mereka hancur. Rahasia apa yang dipegang Ayahnya hingga orang itu tampak ketakutah. Ia tak tahu apa-apa soal itu karena hingga sekarang, Ayahnya memang tak berbicara apapun. Ayahnya ingin menutup buku tentang semuanya. Namun bagi Adhiyaksa, apa yang dilakukan Ayahnya tak berguna sama sekali. Dari pada mereka yang mati, lebih baik ia yang menghajar mereka lebih dulu. Gara-gara surat disuruh pulang itu, Adhiyaksa sampai pergi ke telepon umum khusus yang bisa menyambungkan telepon hingga ke luar negeri. Bayarannya tentu mahal. Tapi harga bukan masalah. Ia bisa membiayai hidupnya sendiri lebih dari cukup karena ia punya pekerjaan sampingan yang yah cukup berbahaya. Tapi gajinya besar jadi ya layak menurutnya. Karena ia mempertaruhkan nyawanya. "Aku tak akan berhenti sampai berhasil menghajar mereka lebih dulu." Manggala tentu sudah menduganya. "Tapi Ayah rak mau kamu terlibat." Ya karena sangat berbahaya. Makanya Ayahnya tak mau. Ayahnya memilih untuk mengikhlaskan. "Ayah kerja apa sekarang?" Hutang mungkin lunas tapi mereka menjual banyak aset untuk menutupi hutang itu. Jelas saja, itu bukan sesuatu yang bagus kan? Mereka seharusnya bisa berbuat banyak hal dengan aset yang tak seharusnya dijual. Karena ya untuk sekian kalinya, bisnis itu gagal karena tipuan dan segala macam fitnah yang menghampiri Ayahnya. "Ayah jadi supir angkut barang." Adhiyaksa menghela nafas. "Aku minta nomor rekeningmu." "Kamu bekerja?" Ia hanya berdeham. "Kalau uang haram, jangan berikan pada kami." "Menurutmu begitu?" "Aku hanya memberitahu, Dhy." Ia tak mau adiknya salah langkah. Tapi ya bagi Adhiyaksa, mau jalan apapun yang ia tempuh, yang penting ia bisa menghasilkan uang. "Sudah lupa dengan apa yang diajarkan kyai saat di pesantren?" Ia tentu ingat. Tapi ya mau bagaimana? Ia tak bisa bekerja di restoran kan? Menjadi pelayan begitu? Mana cukup untuk bayar kuliahnya semester depan? Ia berada di sini memang dalam misi. Tapi kuliahnya tak boleh berhenti. Harus tetap berlanjut kan? Justru itu semua memang untuk menyokong rencananya di sini. Ia juga harus bertahan hidup. "Aku tahu pasti sukit bekerja di sana. Nama kita akan tercium oleh geng mereka. Begitu juga dengan di sini. Ayah sampai harus memalsukan data diri agar bisa bekerja sebagai sopir. Pengaruh mereka sangat kuat walau aku juga tak tahu siapa saja yang terlibat. Tapi jangan kamu gadaikan keimananmu untuk semua hal itu. Ingat lah apa yang sednag diperbuat Ayah dan Ibu untuk kita di sini." Ya oke. Ia sedih mendengarnya. Tapi ia tak bisa begitu. Hidup mereka sangat sulit gara-gara mereka. Mereka yang juga menjadi tanda tanya baginya. Siapa saja mereka? Kenapa Ayahnya begitu keras kepala tak ingin ia terlibat? Tak ingin menceritakan yang sebenarnya? Ya ia tahu. Jawabannya mungkin hanya satu. Karena sosok mereka yang terlalu berbahaya. Lihat lah bisnis Ayahnya yang untuk ke sekian kalinya hancur. Mereka tidak hanya memulai lagi dari nol, tetapi dari minus. Ia tak mau bertahan seperti yang ayahnya lakukan. Karena ia yakin, mungkin ia lulus dan masuk kuliah di sini. Tapi begitu ketahuan, ia pasti akan dikeluarkan tanpa alasan. Ia yakin, Manggala juga tak aman sekalipun kuliah di negara seberang. Karena mereka pindah ke sana juga tak menemukan ketenangan sedikit pun. @@@
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD