Elena Versus Fadiya

2050 Words
"Jangan mencoba mendekatinya. Banyak sekali yang suka padanya." Itu bukan dibisikkan padanya melainkan ya pada prang di sebelahnya. Ia hanya tak sengaja mendengar. Memang banyak yang mendekati Fiandra. Gadis itu selalu dikerumuni para lelaki namun ia tak melakukannya. Ia akan melakukan dengan caranya. Bagaimana caranya? Ketika satu mata kuliah selesai, ia buru-buru beranjak. Ya bukan untuk menyusul Fiandra. Tapi ia justru dengan sengaja menjatuhkan gumpalan kertas di dekat kaki Fiandra ketika berjalan melewatinya. Padahal ia bisa lewat barisan bangku lain. Namun begitu sengaja lewat di sampingnya. Ia memang punya alasan kan? "Hei. Sampahmu!" Tentu saja Fiandra akan menegurnya. Ia sudah menduga. Ia sangat ahli dalam urusan ini kan? Ohoo menggaet wanita adalah salah satu keahlian yang ia punya. Hahahaha. Ia menghentikan langkah lalu menoleh ke belakang dengan dramatis. Ia menatap Fiandra dengan wajah dinginnya. Hal yang membuat Fiandra merasa aneh dengannya. Cowok itu memang dingin. Ia tahu itu. Tapi ia merasa hanya kedok kan? Ia tak yakin kalau kepribadiannya memang sedingin itu. Ia merasa memang ada yang disembunyikan. Apa? Entah lah. Mungkin kepribadiannya? "Untukmu." Ia malah mengatakan itu. Hal yang tentu saja membuat Fiandra jengkel. Sampah ini diberikan padanya? Apa maksudnya coba? Ia mengambil sampah itu. Tadinya mau ia lempar ke arah Adhiyaksa yang sudah berjalan meninggalkan ruangan. Namun akhirnya, gerakan tangannya malah terhenti di udara. Ya karena tak sengaja melihat gambar bunga. Bunga yang digambar dengan pulpen. Sebenarnya rangkaian bunga liar yang seolah merayap di dinding. Tapi digambar begitu bagus oleh Adhiyaksa ketika ia membuka lembaran yang memang berantakan. Walau begitu, bunganya tetap indah kok. Apakah ada tulisan di atas kertas itu? Atau puisi seperti yang lainnya? Ohooo. Yang namanya Adhiyaksa tak akan mungkin sepicisan itu. Ia justru membuat gambar Fiandra yang memakai rok bunganya. Ya memang rok bunganya ada banyak sehingga itu dianggap khas Fiandra oleh anak-anak. Roh bunga yang panjangnya sekitar 3/4. Memang tepat di bawah lutut. Aah lewat sedikit dari lutut kok. Lantas? Hanya gambar Fiandra? Ya. Hanya gambar Fiandra. Baru kali ini dalam sejarah Adhiyaksa yang biasanya selalu tidur kini mendadak membuka matanya di sepanjang perkuliahan. Walau ya tangannya tak berhenti menggambar. "Aneh...." Ia bergumam sendirian. Teman-temannya jelas menoleh ke arahnya. Ia buru-buru menyimpan kertas itu di dalam tasnya. Walau tertangkap basah oleh tatapan mereka, ia tetap bersikap berpura-pura tak ada yang terjadi. "Itu sampah kok dimasukkin ke dalam tas, Fi?" "Eh-oh....enggak kok. Aku salah nyobek catatan." Aaaah begitu. Teman-temannya mengangguk. Mereka mengajaknya beranjak dari bangku. Perut lapar. Kan perkuliahan dimukai sekitar jam sepuluh tadi. Sekarang sudah siang. Saatnya makan. Tapi Fiandra berpisah sejenak. Ia pergi ke masjid fakultas untuk solat. Tak begitu banyak yang solat di masjid fakultas. Yang ia tahu meski kebanyakan muslim di sini ya banyak yang tak berminat. Sehingga yang rajin solat ya masih bisa dikenali siapa saja. Fiandra menghentikan langkahnya ketika melihat cowok aneh yang menganggu pikirannya justru menjadi imam dalam solat zuhur. Ia hanya tak sengaja melihat ketika hendak masuk masjid. Kagum? Penampilannya jauh dari kata agamis. Kalau dibilang urakan ya memang benar. Tapi gaya pakaiannya lumayan rapi lah. Sebenarnya ya ganteng walau ia tak menonjol seperti lelaki lain. Namun Fiandra merasa kalau cowok ini sebenarnya sedang menyembunyikan diri. Ya kan? Betul tidak Haaah. Ia menghela nafas. Masih tak yakin juga. Usai solat, ia keluar dari masjid. Ya baru sampai teras dan menemukan Adhiyaksa sedang duduk di atas tangga teras masjid itu. Ia tampa terkekeh. Mendengar suara kekehannya bahkan lebih mengerikan bagi Fiandra. Ya memang aneh. Karena cowok ini bahkan tak pernah memberikan ekspresi apapun loh. Kok bisa sih menjadi seperti ini? Ia makin terdiam karena mendadak merasakan getaran aneh memenuhi dadanya. Dari pada kerasukan usai solat, ia memilih untuk segera pergi dari sana. Perutnya juga sudah keroncongan. Tiba di kantin..... "Tumben para pengawalmu tak terlihat hari ini, Fi." Aaah itu? Ia tentu sudah protes pada Ayahnya. Kakaknya tak diikuti lagi loh. Hanya ditahun pertama. Jadi ya harusnya ia juga tidak kan? "Ya aku malas dengan keberadaan mereka. Hanya membuatku tak bisa bergerak ke mana pun." Teman-temannya terkekeh. Di luar sana bahkan mungkin banyak yang ingin menggantikannya. Dengan para pengawal yang tak berada di sekitarnya jelas membuat peluang para lelaki untuk mendekatinya sangat besar. Bahkan ketika mereka sedang makan begini, ada saja yang datang menghampiri. Kali ini salah satu kakak tingkat yang baru saja datang dan berhenti tepat di depan Fiandra dan ketiga kawannya. Mereka kompak mendongak. "Roy," tukasnya. Ia bahkan mengulurkan tangan di depan Fiandra. Tentu memasang wajah ganteng. Ya tipikal anak Kedokteran tapi bukan yang kutu buku. Ia justru tampak kece dengan tampilan mirip artis. Ya katanya memang anak artis sih. Tapi Fiandra tak tahu karena tak pernah kenal sebelumnya. Ini juga baru terlihat walau beberapa kali katanya kirim salam. "Fiandra." Ia membalas dengan sopan. Ya bukan berarti tertarik. Hanya bersikap biasa saja. "Pulang, boleh aku anter?" Ia bahkan dengan santainya bertanya. Ketiga teman Fiandra jelas menoleh. "Wah kalo masih mau panjang umur sih mending gak usah deh, Kak." Melati langsung melarang. Aling ikut mengangguk. "Memangnya kenapa?" "Aku gak bisa," potong Fiandra. Ia tahu kalau Ayahnya sangar. Bahkan para pengawalnya sangat ketat. "Ada pacar?" "Iya ada." Orang lain yang menyahut. Jelas saja mereka menatap ke arah cowok yang baru saja muncul. Siapa? Adhiyaksa. Cowok aneh yang mendadak mengaku-ngaku jadi pacarnya. Santai pula ia menatap Roy yang jelas mengerutkan kening. Tak pernah mengenal sosok Adhiyaksa karena cowok itu memang tak begitu menonjol. Namun anehnya, ia mendadak ingin menjadi pusat perhatian. Sebenarnya, ia hanya ingin menarik hati Fiandra. Tujuannya jelas kan sejak awal? Ya, Fiandra. Ayahnya Fiandra. Ia ingin mencari jawaban yang belum ia temukan. "Lo.....pacarnya?" Adhiyaksa hanya menatapnya sekilas dan berjalan meninggalkan panggung perhatian itu. Teman-teman Fiandra jelas melongo. Sementara Fiandra menahan tawa. Sejujurnya, ia memang paling tak suka didekati cowok. Terlalu banyak yang harus ia ladeni. Harus selalu membuat banyak alasan agar mereka tak mendekati lebih jauh. Satu kalimat yang keluar dari mulut Adhiyaksa jelas cukup mewakili semua pertanyaan yang keluar dari para lelaki. Pertanyaan yang Fiandra pun tak punya jawabannya. @@@ "Pacarmu tuh," tukas adiknya yang baru saja sampai di rumah. Ia berjalan kaki dari halte. Ia baru pindah setahun lalu ke Malaysia. Sebelumnya ya tinggal di Indonesia. Tepatnya di daerah Jakarta juga. Ikut nenek mereka. Tentu tak sendiri waktu itu. Ia juga bersama Manggala dan adik yang paling kecil. Terpisah dengan Adhiyaksa dan adik yang nomor empat yang ikut Ayah dan Ibu mereka untuk merantau di sini. Bukannya tak mau dibawa. Namun memang saat itu perekonomian mereka benar-benar berantakan. Ia mendengar Danapati menggerutu. Menggerutu kenapa? Ya karena ini entah untuk ke berapa kalinya, ia melihat Elena datang ke rumah ini. Ya, Elena. Pacarnya Manggala yang rela pindah kuliah di sini. Entah di kampus mana, ia juga tak tahu. Yang jelas tidak satu kampus dengan Abangnya ini. Menurutnya ya cewek bodoh. Kalau sudah tahu tak dicintai, kenapa masih mau bertahan? Dan kakaknya ini pun tak berani jujur sama sekali soal perasaannya. Ia tahu kok kakaknya ya memang sebrengsek ini. Setidak konsisten ini. Dan juga seplin-plan ini dalam urusan perempuan. Elena. Memang cantik. Tapi terlalu agresif dan ya Ibu mereka juga tak menyenanginya. Karena apa? Ya karena selalu menghampiri Manggala. Apa tak bisa fokus dengan masa depannya? Rela ikut ke sini dan mengorbankan masa depan dan keluarga ya bodoh. Kampusnya saja tak jelas. Hanya bisa menghabiskan uang orangtua untuk cowok yang belum tentu menjadi jodohnya. Ya kan? "Siapa lagi yang datang?" Ibu mereka jelas bertanya. Danapati bahkan hanya menghela nafas dan Ibunya langsung tahu. Ya tak menegur. Capek juga menegur dan menyindir. Hanya mengintip dari balik tirai lalu membalik badan. Danapati terkekeh melihat wajah ibunya ditekuk. "Ibu tuh pengennya Abang kamu fokus dengan masa depannya. Tahun lalu sudah jadi pembelajaran besar untuknya. Menyianyiakan satu tahun tertinggal dibandingkan yang lain. Hanya sibuk pacaran. Sibuk mengurus perempuan itu dan abai dengan masa depannya." Danapati menghela nafas. "Aku juga baru tahu, Bu. Tahun lalu itu ternyata Abang sibuk mengurus cewek itu kabur dari diskotik kan? Jadi sales rokok kan? Keluarganya kaya, Bu di kampung halaman sana. Dia saja yang suka berulah. Udah dikuliahkan juga tahun lalu tapi malah sibuk bersenang-senang begitu." Danapati memang tipikal cowok yang paling lurus di dalam keluarga ini. Ia paling tegas. Ia juga yang paling tidak suka bersenang-senang. Sosok yang hanya memikirkan masa depan. Walau begitu, ia tetap menghormati dua kakak lelakinya. Ah ya, di rumah ini memang tak ada perempuan kecuali sang ibu. Jadi ya kadang memang ia merasa agak sepi di rumah. Terlebih anak sableng yang paling suka bersosialisasi dan sangat manja padanya sedang tak di sini. Kalau ia bertanya bagaimana kabarnya ya yang menjawab pasti suaminya atau anak sulungnya. Entah apalagi yang dilakukan anak keduanya di negara seberang. Ia jelas khawatir. Jadi susah tidur juga memikirkannya. Sementara itu.... "Kamu jangan sering ke sini." "Kenapa? Ibu kamu gak suka? Justru aku ke sini, biar bisa dapetin hati Ibu kamu. Udah berapa tahun kita pacaran coba? Tapi Ibu kamu gak pernah bisa terima aku." Manggala menghela nafas. Ia mengajaknya menjauh dari rumah dari pada nanti melihat muka bete Ibunya. Ibunya tak pilih-pilih soal menantu itu memang kebohongan. Wajar kan kalau seorang Ibu ingin perempuan baik, yang bisa menjaga harga dirinya dengan tidak sering ke rumah lelaki, yang serius belajar dan memikirkan masa depannya, yang memikirkan perasaan orangtuanya di kampung halaman sana karena sudah menghabiskan banyak uang mereka namun tak ada apapun balasan untuk mereka. Memang kewajiban orangtua untuk membiayai anak. Namun menurutnya, perempuan ini hanya terfokus pada Manggala. Hanya terlalu fokus pada cinta. Tak memikirkan masa depannya sama sekali. Sudah kuliah di Jakarta malah pindah seenaknya ke sini. Kuliah di sana pun tak lama. Ditinggalkan begitu saja dan sibuk menjadi sales rokok padahal ia yakin gak kekurangan uang. Karena setahunya, orangtua gadis itu adalah pengusaha kelapa sawit. Tapi ya kalau orang yang terlalu bucin ya memang sangat susah untuk disadarkan. "Aku kurang apa sih memangnya? Aku udah kuliah sekarang. Udah fokus kok sama perkuliahanku. Aku gak ngaku-ngaku lagi jadi anak Salemba. Kampus aku di sini memang gak dikenal. Tapi yang penting kan aku kuliah." Manggala hanya diam. Walau ia tahu alasannya. Di mata Elena, Ibunya terlalu banyak menuntut. Padahal intinya memang bukan soal Elena pernah membohongi orang-orang dengan mengaku kuliah Kedokteran di Universitet Indonesia. Bukan juga soal ia pernah mengaku-ngaku kuliah Sastra Inggris juga di kampus swasta. Ia tahu ia salah. Namun bagi Manggala memang hal yang paling krusial ya soal Elena yang sangat gila mengejarnya. Sangat posesif. Takut sekali ia diambil gadis lain. Ya Manggala akui juga. Dari sekian banyak perempuan yang menjadi barisan mantannya, Elena tak ada bedanya dengan mereka. Dan dari sekian banyak perempuan termasuk Elena, baginya yang paling luar biasa itu hanya satu perempuan. Karena perempuan itu belum bisa dikalahkan yang lain bahkan oleh Elena. Ya memang Elena bukan apa-apa dibandingkan perempuan itu. Kalau hanya modal kaya dan cantik, perempuan itu juga punya. Sayangnya, Elena tak punya attitude, Elena tak anggun, Elena lebih gampang didekati dan didapatkan, dan Elena juga tak pintar sama sekali kalau dibandingkan dengan perempuan yang satu ini. Siapa? "Kamu masih berhubungan sama cewek itu?" Ia sungguh galak kalau soalnya cewek yang satu itu. Yang sudah dua kali menganggu hubungan mereka. Jika selama ini pelakor berada di bawah pacar resmi. Maka kali ini berbeda. Dan mungkin itu yang membuatnya teramat gelisah. Karena cewek ini cantik. Ia juga anak pejabat. Ia juga kaya. Namun ia jauh lebih pintar dan terdaftar sebagai mahasiswa Kedokteran universitas ternama di Indonesia. Jadi kalau mau bersaing? Ia jelas merasa kalah. Kalau dibawa berhadapan dengan Ibunya Manggala, ia yakin Ibunya Manggala akan memilih perempuan itu untuk dijadikan menantu. Kenapa? Hanya karena ia kalah pintar? Ia tak tahu. Ia hanya berpikir perempuan itu memang tak hanya disenangi para lelaki tetapi juga ibu-ibu yang mencari menantu. Ya dia....Fadiya. Kakak kandung Fiandra yang memang banyak digilai lelaki. Kalau Fiandra tampak lebih ramah dengan orang-orang. Kalau Fadiya? "Kalo berani ya pinjem bukunya dia aja.....," tukas salah satu perempuan. Dibandingkan angkatan Fiandra, jumlah perempuan di angkatan Fadiya sedikit lebih banyak. Ya total ada enam perempuan dan Fadiya termasuk di dalamnya. Sehingga ya ada empat orang yang menjadi satu geng. Fadiya? Ya hanya bersahabat karib dengan Betrana. Si cewek bule yang sebenarnya blasteran Jawa-Belanda. Sebenarnya Fadiya bukan bermaksud untuk membedakan grup atau kelas sosial jika dibandingkan dengan cewek-cewek lain di angkatannya. Namun karena ia pernah mendengar hinaan mereka soal ia anak orang kaya dan juga pejabat. Apa salahnya coba? Ia juga tak bisa memilih untuk lahir dari rahim siapa kan? @@@
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD