Strategi Playboy

2036 Words
"Orang cakep bin kaya di mana-mana, hidupnya enak banget ya? Udah cakep ditambah kaya lagi. Bokapnya punya jabatan...." Ucapan itu terdengar bernada negatif. Ya beberap orang pasti memiliki sentimen terhadap mereka yang terlahir beruntung. Ya lebih beruntung dibandingkan orang-orang yang sedang berbicara mereka. "Tapi denger-denger, si kakaknya itu jadi penghancur hubungan orang tauk." "Siapa?" "Itu si Fadiya..." "Ah masa?" "Iyaa. Temen aku kan ada yang satu SMA sama mereka berdua tuh. Naaah si kakaknya ngetop banget itu. Dibilang penghancur hubungan orang ya meski katanya hubungan yang ia hancurkan itu gak hancur sih. Masih bertahan sampai sekarang. Cuma tetep aja kan judulnya ganggu hubungan orang." "Wah masa sih?" "Iya. Beneran." "Sayang banget ya, cakep-cakep begitu dan kelihatannya baik malah gitu." Yang lain mengangguk-angguk. Gosip dari mulut ke mulut yang akhirnya menyebar dan sampai ke telinga Fadiya. Ia tentu agak terganggu tapi beruya untuk tak ambil pusing. Teman-temannya yang turu mendengar juga menyuruhnya untuk tutup telinga saja. "Udah lah. Mereka juga gak tahu cerita yang benernya kayak apa. Lagian memangnya yang salah cuma kamu? Ceweknya salah tuh. Cowoknya juga." "Ceweknya salah apaan?" "Ya aku juga gak tahu ya si cowok itu jujur atau enggak. Tapi kalo emang si cowok udah gak sayang sih mendingan gak usah dipaksa." Ya lebih baik tinggalkan. Tapi mungkin berat juga. Karena Elena berada di posisi itu. Ia sangat enggan meninggalkan Manggala. Aah tapi ia masih berasumsi kalau Manggala sayang sekali padanya kok. Buktinya hubungan mereka masih bertahan sampai sekarang. Sementara ya Manggala dalam kedilemaannya sendiri. "Putus saja lah. Kalau ibumu yang menyuruh ya turuti saja." Ia curhat pada teman SMA-nya yang sudah lebih dulu masuk kampus ini dan mengambik jurusan yang sama dengannya. Mereka duduk di bangku kantin fakultas. Tak sengaja bertemu. Akhirnya malah makan siang bersama. "Sulit lah. Kamu tahu, dia sangat bergantung padaku. Apalagi dia sendirian merantau di sini." Temannya itu terkekeh. "Ini nih. Salahmu sendiri kenapa sulit berlepas dari perempuan itu. Kamu tuh harusnya ya lebih tegas. Tegas itu bukan berarti jahat, Gal. Namun untuk kebaikanmu sendiri juga. Lagi pula, memangnya kamu punya niatan untuk menikah dengannya nanti?" Ia menunduk. Menikah masih jauh. Ia juga tak berminat sama sekali. Apalagi jika dengan perempuan yang menjadi pacarnya. Lantas untuk apa ia pacari coba kalau begitu ceritanya? Ya entah lah. Sekarang ini, otaknya tak begitu beres. Ia juga bingung dengan dirinya sendiri. Ya apalagi mengurusi permasalahan asmara. Maunya bagaimana pun, ia juga bingung. Bagaimana kah seharusnya? "Enggak kan? Ya udah lah. Putusin aja dari pada buang-buang waktu." Namun ia bahkan sudah terbayang seperti apa jika ia mendadak memutuskannya. Elena pasti akan menangis lalu mendatanginya sampai ke rumah. Kalau tak berhasil, ia akan menelepon Ibunya. Pada akhirnya ya Manggala yang dikejar-kejar oleh Ibunya gadis itu. Kalau sudah begitu, bagaimana ia bisa putus? Paksaan orangtua? Maunya juga mengatakan itu. Tapi masih terlalu berat sekarang karena ia memikirkan Elena yang baru saja merantau ke sini dan memulai perkuliahannya lagi. Rencananya ya kalau Elena sudah menyelesaikan perkuliahannya. Tapi untuk ke sana, butuh berapa tahun lagi? Ah bukan hanya soal itu sih. Ia memang terlalu lemah pada perempuan itu. Jadi ya bingung juga akan bagaimana. "Gal....Gal.....yang lebih bagus malah dibuang." Ia hanya tersenyum tipis. Pasti ingin membicarakan Fadiya kan? Kini ia hanya merasa tak pantas untuk mendampingi perempuan seperti itu. Fadiya terlalu tinggi untuknya yang tidak punya kepercayaan diri ini. Ia memang pecundang bin pengecut kan? Kalau suatu saat nanti, ia dipertemukan lagi dengan Fadiya tapi dalam keadaan yang berbeda, apa yang akan ia lakukan? Entah lah. Ia tak tahu. Kalau perasaannya masih sama untuk gadis itu, ia mungkin akan mengejarnya lagi. Tapi bagaimana kalau Fadiya sudah membencinya? Ia mengusap wajahnya. "Ada kabar tentangnya?" "Pacar maksudnya?" Ia hanya diam. Temannya malah tertawa. "Kalau Fadiya punya pacar, kabar itu pasti sudah menyebar, Gal. Kamu tahu gimana populernya gadis itu. Dia dikejar banyak lelaki. Banyak yang menginginkannya." Ia juga tahu dan hal itu yang membuatnya khawatir. Tapi ya apa gunanya juga kalau memang bukan ditakdirkan untuknya? Kecuali mungkin Tuhan khilaf. Aah tapi Tuhan itu kan Maha Sempurna. Jadi tak mungkin khilaf apalagi mengatur soal jodoh hamba-hamba-Nya. "Karena banyak yang mau, pasti nudah juga baginya untuk mendapatkan lelaki." Temannya tertawa. "Mudah tapi dia tidak murahan. Ya maaf kalau ngomong begini. Dibandingkan pacarmu, Fadiya itu sulit didekati apalagi didapatkan. Butuh usaha ekstra tapi itu juga belum tentu berhasil. Buktinya sejauh ini, cuma kamu yang punya cerita tentangnya." Ya soal asmara Fadiya memang hanya berkutat pada Manggala. Manggala jelas tahu. Walau ya ia juga tahu Fadiya pernah menyukai cowok lain di sekolah. Tentu bukan dirinya. Ia juga kenal cowok itu kok. Tapi ya toh Fadiya yang justru ditolak secara tak langsung. Kenapa? Ya mungkin bukan tipe cowok itu. Meski Fadiya cantik. Namun kan belum tentu menarik dimata semua laki-laki. Masing-masing orang punya selera. Ya kan? "Dan sialnya ya karena deketnya sama kamu dan orang-orang gak pernah tahu kalau kamu sempat putus dari Elena dan kamu deketin Fadiya selama masa itu lalu mendadak balikan yaa orang-orang berpikir kalau yaa Fadiya memang mengganggu hubungan kalian. Apalagi kan Elena punya banyak teman dari semua tingkat kelas ada. Dia orangnya memang jauh lebih ramah dibandingkan Fadiya yang pendiam. Jadi ya yang jelek pasti Fadiya." Ya ia juga tahu. Ia tak bisa apa-apa soal itu. Selama satu tahun terakhir di SMA, ia merasa kalau Fadiya sangat memusuhinya. Ya padahal gadis itu masih menyukainya. Bahkan mungkin hingga sekarang? Namun karena sekarang ia baru merasa terpukul atas apa yang terjadi, Fadiya berjanji pada dirinya sendiri. Ia berjanji tak akan mau kembali pada Manggala dalam keadaan apapun. Sekalipun cowok itu sudah berubah? Ya. Sekalipun ia sudah putus dengan pacarnya. Ia tak akan mau. Lebih baik cari cowok lain. Lebih baik bersama orang baru yang mencintainya dengan tulus dan tidak mempermainkan hatinya. Ah yang paling penting itu adalah orang yang tegas dan konsisten. Ya kan? Fadiya mungkin belum move on sekarang. Tapi ia akan pastikan suatu saat nanti, ia akan melupakan Manggala. @@@ "Pulang?" Kalau cowok lain biasanya akan banyak merayu biar Fiandra mau diantar pulang oleh mereka. Lah cowok ini? Tahu-tahu datang menjajari langkahnya dengan motor gedenya itu. Ya keren sih. Tampak mahal juga. Anak orang kaya kah? Karena yang punya motor begitu biasanya memang anak orang kaya. Ya kalau cowok ini anak orang kaya lantas kenapa mengoloknya juga sih? Kan sama-sama anak orang kaya. Ya kan? Alih-alih menjawab, ia malah bertanya. "Anak orang kaya?" "Kenapa memangnya? Harus jadi kaya biar bisa anterin kamu pulang? Kenapa? Malu kalau motornya gak bagus?" Belum apa-apa sudah menyerocos begini. Cowok ini bukan hanya dingin tapi juga ketus ya? Tapi gimana sih ini konsepnya? Katanya mau pedekate tapi kok malah begini? Ia tak mengerti sama sekali jalan pikiran cowok yang satu ini. Jadi Fiandra menghentikan langkahnya. "Kamu maunya apa sih?" "Anterin kamu pulang...." Dengan santainya ia bicara begitu. Tapi Fiandra tak merasakan ketulusan atau semacamnya. Lantas untuk apa lelaki ini melakukan ini? Ia tak paham. Makanya ia hanya menatapnya. Mau bertanya lagi tapi bingung juga. Apa yang lelaki ini mau? Kebetulan hari ini Fiandra memang tak dijemput. Satu-satunya sopir di rumah itu sedang ikut Ibunya yang menghadiri sebuah acara penting lah. Sepertinya juga hingga malam. Ayahnya juga ada pekerjaan dan mungkin tak pulang. Fadiya? Fadiya sepertinya sudah pulang lebih dulu tadi. Karena ia tak melihat kakaknya itu bersama teman-teman yang biasanya bersama di kampus. Jadi ya asumsinya sudah pulang lebih dulu dan mungkin naik angkutan umum juga. Mau naik taksi? Ia sih sayang uangnya. Taksi kan lumayan mahal dan supirnya suka sembarangan mematok harga. Taksi argo di sini agak jarang. Paling banyak ya di bandara. "Terima kasih atas tawaran tumpangannya," ia menolak dengan sopan. Kemudian masuk ke dalam angkutan umum. Rumahnya tak begitu jauh kok dari kampus. Tapi kalau jalan kaki ya lumayan. Jadi lebih baik naik angkutan umum. Ketika ia menoleh ke belakang, ia mendapati Adhiyaksa mengikutinya dengan motor. Ia heran sekaligus bertanya-tanya. Cowok ini kenapa mengikutinya sih? Ia heran. Yaaa kalau tak terlihat suka tapi kok mengikut? Apa ia yang terlalu ge-er? Tapi enggak kok. Ketika si angkot berhenti di depan g**g besar rumahnya, Adhiyaksa juga ikut berhenti. Bahkan mengintilinya ketika berjalan kaki menuju rumah. Ia jadi makin bertanya-tanya. Makin tak mengerti. Sementara Adhi? Hanya sedikit penasaran tentang perempuan ini dan keluarganya. Ah bohong juga kalau hanya sedikit. Buktinya ia memang sedang mencari sesuatu di sini. Walau rasanya wajah Fiandra ini terasa familiar. Namun di mana ia pernah bertemu sebelumnya? Ia tak ingat. Dan lagi, daerah di mana Fiandra tinggal ini juga bukan daerah lama di mana ia dan keluarganya pernah tinggal kok. Dulu sebelum Ayahnya dapat rumah di komplek BIN, mereka tinggal di sebuah komplek perumahan biasa. Tapi rasanya hanya beberapa tahun kala itu. Kemudian ya pindah ke komplek istimewa itu hingga ya SMP. Ia lupa kelas berapa karena setelahnya mendadak ikut pindah ke Malaysia. Yang tinggal di Indonesia dan masih bersekolah di sini ya Manggala dan adiknya, Danapati. "Kamu tuh aneh. Apa sih yang kamu cari?" Akhirnya Fiandra bertanya juga. Adhi berdeham. Ya memang ya terlihat tak begitu tertarik pada Fiandra? Ya ia akui sih. Ia juga bingung bagaimana caranya mengejar perempuan seperti Fiandra. Aah bohong sih kalau ini. Hahahaha. Mantannya banyak. Bahkan dari zaman SMP tuh. Tapi jujur, sejak Ayahnya terkena kasus dan mereka pindah ke Malaysia, ia sudah tak terpikir untuk mencari perempuan yang bisa ia pacari. Ia malah terfokus dengan masalah yang tak kunjung selesai meski bertahun-tahun. Mungkinnsudah lebih dari lima tahun sekarang dan ia masih bergulat pada hal yang sama. Namun setidaknya, ia berhasil mengumpulkan nama-nama mereka yang bersangkutan dan juga foto-foto yang didapatkan dari majalah maupun koran. "Memangnya menurutmu apa yang aku cari?" Fiandra jadi senewen. Ya ia mana tahu lah. Mana ia bisa membaca pikiran laki-laki. Tapi menurutnya, Adhi ini termasuk lelaki yang tak begitu tertarik pada perempuan. Ya bukan berarti ia belok dari gairahnya. Bukan begitu. Hanya ia merasa Adhi tak benar-benar suka padanya lantas untuk apa mengejarnya? Padahal sebenarnya, Adhi hanya lupa caranya. Ia sudah lam tak mengejar perempuan dan memang tak ada perempuan yang ada di hati untuk saat ini. "Ya mana ku tahu. Tanya aja tuh sama rumput yang bergoyang." Adhi terkekeh. Receh sekali candaannya. Cuma begitu dan ia langsung tertawa. Fiandra melirik ke arahnya. Ya gengsi sih. Sedari awal kan ia memang mematok harga diri tinggi kalau berhadapan dengan laki-laki. Hahahaha. Apalagi yang satu ini. Mungkin karena diam-diam ia malah tertarik ya? Aah tapi ia tak mau jatuh cinta dulu. Harus cowok lah. Lah bisa begitu? Hahahaha. Kalau urusannya dengan Fiandra ya harus bisa. Tapi omong-omong kenapa cowok ini jadi membuatnya agak-agak tertarik? Apa karena tatapannya? Muka gantengnya? Rambut panjang yang membuatnya keren? Tatapan dinginnya dan sepertinya tak mendekati sembarang perempuan. Motor gedenya kah? Hahahaha. Ia bukan matre kok. Atau karena cowok ini bisa jadi imam solat? Aah tapi itu juga bisa dilakukan siapapun deh. Lantas apa dong? Fiandra berhenti di depan pagar rumahnya. Jalanan rumahnya ini cukup besar kok. Satu motor dan mobil bisa berjalan bersamaan. Ya kalau dua mobil memang agak susah. Tapi yang punya mobil di sekitar sini juga tak begitu banyak. Ia tak tinggal di komplek TNI. Kalau ditanya kenapa ya tak begitu nyaman saja karena orang-orang akan hormat dengan Ayahnya dan keluarganya. Ia hanya merasa tak nyaman kalau harus dihormati sedemikian rupa. Dan lagi, tak semua orang tulus ingin mendekati keluarganya. Beberapa orang ya ada maunya. "Aku gak bisa nawarin masuk loh." Ia blak-blakan. Adhi justru terkekeh lagi. Ini sudah kedua kalinya ya ia seperti ini. Hal yang kali ini membuat Fiandra entah kenapa terpesona dengan tawa itu. Ini jangan bilang ia sudah jatuh cinta sama cowok gak jelas begini loh. Hahahaha. Ya kan memang gak jelas. Ia gak mengenal Adhi ini seperti apa. Tapi masa iya sudah jatuh cinta? Jadi terkesan murah banget ini. Haha. Ohoo tak bisa begitu dong. Perempuan harus punya harga diri kan? Apalagi urusan jatuh cinta begini. Mahal baginya. "Ayahmu ada di rumah?" Fiandra terbatuk-batuk. Dari sekian banyak cowok, baru ini doang yang berani bertanya soal keberadaan Ayahnya. Eeh atau.... "Kenapa? Takut?" Ia menantang. Hahaha. Biasanya para cowok bertanya itu ya karena mau kabur. Tapi cowok ini tidak. "Ya kalau ada, aku mau ajak main catur. Mau bertarung. Yang menang, boleh deketin anaknya. Gimana?" Wajah Fiandra langsung memerah. Hahahaha. Adhi menahan senyumnya. Wooho. Ini taktiknya untuk mendapatkan perempuan. Aah ternyata strategi playboy-nya masih mempan untuk perempuan seperti Fiandra. @@@
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD