Chapter 8

1511 Words
Hari pernikahan pun tiba, Liora di bantu oleh seseorang untuk memakai gaun pernikahan berwarna putih tulang rancangan Karin yang tepat di tubuh Liora. Kini Liora telah tampil cantik, ditambah make up dewasa yang di poleskan di wajahnya menambah kesan kecantikan gadis itu semakin banyak. Pernikahan di gelar tidak begitu mewah, hanya beberapa orang yang di undang, dan acara pun hanya akan berlangsung sampai sore hari. Harusnya saat hari pernikahannya ini, ibunya ada untuk memuji dan ayahnya ada untuk menggandeng tangan Liora. Namun, kenyataan bahwa ia hanya sebatang kara kembali membuat Liora kembali sedih. Tak lama Kevin datang, Liora menoleh ke arah suaminya yang sudah berpenampilan tampan lengkap dengan setelan tuksedo berwarna putih dan dasi kupu-kupu hitam melingkari lehernya. Sangat tampan. Beruntungnya Liora akan menjadi istri dari lelaki seperti Kevin. Di lain itu Kevin hanya berdiri di depan pintu menatap takjub dengan sosok Liora, gadis mungil nan cantik itu akan menjadi istrinya. Tak pernah terbayangkan oleh Kevin sebelumnya jika ia akan menikahi seorang gadis dengan wajah seperti boneka. Mengenyahkan pikiran yang takjub melihat Liora, Kevin mengulurkan tangan agar ia menuju ke tempat di mana akan melakukan sumpah pernikahan. Dengan di saksikan oleh beberapa orang dan tamu undangan, acara sakral tersebut akhirnya berjalan dengan lancar. Tak berhenti sampai di sana, detak jantung Liora tak pernah berhenti berdebar-debar gugup, tak terasa jika saat ini Kevin sudah menjadi suaminya, beberapa orang tamu undangan menjabat tangan Kevin guna mengucapkan selamat atas pernikahan. Liora hanya diam, jika ia di datangi oleh seseorang maka Liora hanya akan menjabat tangan orang tersebut sambil tersenyum tanpa menanggapi ucapannya. Tanpa sengaja, sepasang mata Liora bertemu dengan Karin yang tersenyum dari tempat wanita itu dan suaminya duduk. Hanya berjarak kurang dari dua bulan, apa yang Karin katakan waktu itu sungguh terjadi saat ini. Menjadi ratu di hari pernikahannya. Kini Liora merasakan apa yang sempat Karin rasakan. Namun, tak ada senyum yang Liora berikan. Bukan ia tidak ingin tersenyum tapi saat ini Liora sedang menahan diri oleh sesuatu yang bergejolak di dalam perutnya. “Liora.” Panggil Kevin. Liora diam, masih menahan diri agar tidak mempermalukan Kevin di hari pernikahan tersebut. “Kamu gak papa?” Kevin mendekat dengan wajah khwatir, Liora menggeleng sembari menutup bibir dan hidungnya ketika aroma parfum Kevin tiba-tiba saja membuatnya ingin muntah saat itu juga. Dari samping Sandra memperhatikan menantunya itu dengan kening mengernyit, ketika ia sadar akan sesuatu, Sandra menghampiri Liora menjauh dari kevin. Buket bunga yang sempat Liora pegang di letakkan begitu saja di atas meja dan ia berlari untuk mengeluarkan apapun yang bergejolak ingin di muntahkan. Sandra menunggu di luar toilet, mendengar suara Liora dari luar dengan pikiran yang tentu saja akan orang pikirkan mengenai keadaan Liora saat ini. Tak lama Liora keluar, Sandra menatap Liora dengan khawatir. “Nak, kamu hamil?” pertanyaan itu keluar dari bibir Sandra. Liora mendelik. “Aku ...,” “Jadi Kevin ngotot mau nikahin kamu karena kamu hamil?” katanya lagi. Liora tak bisa menjawab, kenyataannya itu memang benar. Deru langkah terdengar, Kevin menghampiri dengan wajah cemas. “Liora, kamu kenapa?” tanya nya. Namun, aroma parfum Kevin kembali membuat Liora menutup hidung, entah kenapa Kevin yang selalu wangi kini terasa mengganggu indra penciuman Liora sehingga Liora kembali masuk ke dalam toilet. Saat Kevin akan masuk ke toilet juga, Sandra menahan lengan Kevin sampai putranya itu berbalik. “Apa itu anak kamu?” Diam. Kevin menoleh perlahan ke arah mamanya. “Jawab Mama, Kevin.” “Iya. Itu anak Kevin.” Jawab Kevin. Sandra refleks bergerak mundur dan bersandar di dinding. “Jadi ini alasan kamu mau cepat-cepat nikahin Liora? Mama gak nyangka Vin, kamu sampai buat anak orang hamil duluan.” Pintu toilet kembali terbuka, kondisi Liora saat ini sangat kacau, riasan di wajahnya sudah rusak. Dengan kondisi seperti ini Kevin tentu saja tidak akan kembali ke tempat acara. Karena acaranya hanya sampai sore dan tamu undangan sedikit, pesta lebih cepat selesai dari dugaan. Kevin membawa Liora pulang, di sepanjang jalan tak berhenti Liora menutup hidung bahkan mual-mual tanpa mengeluarkan apapun dari mulutnya. Mereka tiba kembali di rumah besar kedua orang tua Kevin. Tanpa permisi Kevin menggendong Liora naik ke lantai dua, ia tidak ingin Liora menaiki tangga di saat kondisinya seperti itu. Tapi, Liora justru semakin tersiksa dengan aroma parfum yang di pakai oleh Kevin. Tepat menginjakkan kaki di lantai dua, Liora meminta turun lalu mendorong Kevin, setelahnya bergerak menjauh dari Kevin dengan tangan di depan seolah menyuruh Kevin jangan mendekat. Kening Kevin mengernyit. “Aku salah apa?” tanya nya. Liora menggeleng. “Aku gak tau, tapi kamu jagan dekat-dekat aku.” Setelahnya Liora berlari ke kamar lalu menuju kamar mandi dan kembali muntah di sana. Kevin buru-buru menyusul sampai Liora kembali keluar dengan lemas. “Liora.” “Kamu bau! Aku gak suka sama bau kamu!” sahut Liora, dan tentu saja sambil menjauh dari Kevin. Kevin menghirup bau badannya. Wangi. Lalu kenapa Liora bilang bau? Kevin pun kembali mendekati Liora, spontan Liora menutup hidung dan kembali mual-mual. Kevin pun berhenti mendekat dan kembali mundur. Sungguh menyiksa, Liora tidak mengerti kenapa aroma parfum Kevin sampai membuatnya tersiksa. Lemas, Liora bersandar lemas hingga duduk di lantai dingin. Melihat kondisi Liora yang seperti itu, tanpa berpikir dua kali Kevin melepas setelan tuksedo yang ia pakai sampai hanya menyisakan celana kain panjang. Tuksedo dan kemeja ia lempar ke sofa, setelah itu menghampiri Liora dan membopong istri kecilnya itu ke tempat tidur. Sepertinya Liora tidak tersiksa lagi dengan aroma di tubuh Kevin, buktinya Liora tenang ketika Kevin mendekat dan menggendongnya. Perlahan Kevin menyelimuti Liora sebelum memanggil dokter untuk memeriksa, Kevin takut terjadi sesuatu dengan Liora dan bayinya. Kevin menawarkan air minum, Liora menggeleng, Kevin menghela nafas sembari meletakkan gelas kembali ke meja. Liora mengatur nafas dengan mata terpejam, keringat memenuhi kening sampai Kevin berinisiatif membersihkan keringat tersebut. “Kamu mau aku bantu ganti baju? Sebentar lagi dokter mau datang buat periksa keadaan kamu.” Liora menggeleng. “Aku bisa ganti baju sendiri.” “Kalau gitu aku ambilkan baju kamu dulu, ya.” Liora hanya mengangguk lemah, matanya bahkan sampai tidak mau di buka karena terlalu berat. Sekian menit Liora memaksa membuka matanya kembali, Kevin membawa pakaian Liora di tangannya dengan keadaan tidak memakai baju, memamerkan tubuh yang cukup atletis itu di depan Liora. Sesaat Liora tertarik untuk merasakan bagaimana rasanya menyentuh kulit tubuh Kevin. Segera Liora menggeleng mengenyahkan pikiran, kenapa otaknya tiba-tiba berpikiran mesuum seperti itu. Tak lama Kevin duduk di tepi tempat tidur, Liora juga berusaha duduk dengan di bantu oleh Kevin. “Kamu yakin gak mau aku bantuin?” Kevin tulus menawarkan, tidak ada niat terselubung di hati Kevin saat menawarkan diri untuk membantu Liora berganti baju. Kevin hanya tidak tega melihat Liora yang kondisinya seperti ini berganti baju sendirian. Tangan Liora terulur mengambil pakaian di tangan Kevin, berusaha berdiri dan berjalan menuju kamar mandi untuk mengganti gaun pernikahan dengan pakaian yang lebih nyaman. Beberapa menit kemudian Liora keluar dari kamar mandi dengan pakaian yang Kevin berikan tadi, selain itu wajah Liora juga lebih fresh dari make up setelah di bersihkan. Saat keluar, kevin juga sudah memakai kaos hitam berlengan pendek duduk menunggu Liora datang dengan cemas. Tak ingin berlama-lama menunggu Liora jalan, Kevin mengangkat Liora dan kembali membaringkan di tempat tidur. Sekian menit Dokter pun datang memeriksa keadaan Liora. Kevin menunggu, berharap bayinya baik-baik saja. “Bagaimana keadaannya?” tanya Kevin. “Gejala seperti ini sudah biasa terjadi untuk ibu hamil, pak. Janin dan istri bapak sehat. Bapak tidak perlu khawatir, calon orang tua baru kebanyakan sering seperti ini karena khawatir.” Jawab dokter. “Jadi istri sama anak saya gak apa-apa ‘kan dokter?” Dokter megangguk. “Gak, Pak. Mereka baik-baik saja, apa vitamin yang saya berikan kemarin masih ada?” tanya dokter. “Masih, tapi sepertinya Liora gak mau minum.” Jawab Kevin. Dokter wanita itu tersenyum, Kevin dan Dokter itu pun berbicara di dekat Liora yang sedang berbaring lemas. Liora beranjak duduk, entah kenapa ia tiba-tiba ingin memakan buah rambutan dan mangga muda. Di lihatnya Kevin dan dokter masih berbicara sampai dokter pun pamit keluar. “Pak Kevin.” Panggil Liora. Kevin menoleh. “Kamu udah baik-baik saja?” Liora mengangguk. “Pak. Saya mau rambutan sama mangga muda, tapi mangganya harus langsung petik dari pohon ya, terus yang petik harus pak Kevin langsung dari pohonnya.” Ucap Liora tanpa beban, seolah ia sudah biasa menyuruh Kevin seperti itu. Setelah mengatakan apa yang Liora katakan barusan, Liora menutup bibirnya sendiri, ia tidak tau kenapa malah mengatakan hal seperti itu dengan mudahnya dengan Kevin, padahal lelaki itu baru menjadi suaminya beberapa jam yang lalu. Sedangkan Kevin mengedipkan matanya beberapa kali. “Memetik mangga langsung dari pohonnya?” katanya pelan, Kevin bahkan tidak pernah petik mangga apalagi harus manjat pohon mangga. Tapi Kevin tau dan sadar diri, jika Liora yang ingin mangga pasti tidak akan menyusahkan Kevin. Sepertinya ini adalah ulah bayi yang belum lahir itu. Kevin tersenyum, mengangguk mengiyakan. Masa bodoh jika hari ini adalah hari pernikahannya, yang jelas apa yang Liora butuhkan harus segera ia dapatkan. Tapi cara metik mangga langsung dari pohonnya itu gimana caranya? Ini sudah hampir malam.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD