Elian benar-benar terkejut ketika Nandika menelponnya dan mengatakan sudah berada di depan rumahnya. Elian gelagapan, bersyukur karena orangtuanya sedang tidak ada di rumah. Sebelum kakaknya turun dan mengintrogasi Nandika di bawah, Elian, yang masih menggunakan daster kebanggaannya segera turun. Melihat Nandika dengan motor besarnya yang terparkir di halaman rumah Elian. Dan yang Elian tidak sangka dilakukan oleh cowok botak itu adalah sekuntum bunga mawar yang ia pegang.
Cowok itu seperti sudah mencari tahu semua hal tentang Elian. Seingat Elian ia tidak pernah mengajak Nandika ke rumahnya atau memberitahu cowok botak itu alamat rumahnya. Lalu kenapa dia bisa langsung di depan rumah Elian sekarang? Dan bunga mawar itu, darimana dia tahu bahwa Elian sangat menyukainya?
"Ngapain lo kesini?" tanya Elian agak acuh.
Jujur saja, meskipun Elian sempat tertarik dengan penampilan Nandika karena laki-laki itu tipenya banget, tapi Elian tahu perasaannya itu hanya sebatas kagum. Elian pernah menyukai seseorang dan perasaannya saat itu ratusan kali lebih kuat dari yang ia rasakan sekarang.
"Kan kemarin aku udah bilang mau ngajak kamu jalan, El," jawabnya dengan senyum manisnya yang cukup berlawanan dengan kepala botaknya dan tubuhnya yang kelihatan sangar. "Aku kecewa karena kamu tetep blokir Instagramku dan nggak bales chat WA-ku."
"Bisa nggak sih gausah pake aku-kamu ke gue, kuping gue gatel dengernya," jawab Elian.
Perempuan itu bersandar pada dinding dan berdiri sambil menyilangkan kakinya. Elian menahan senyum ketika melihat Nandika menggaruk kepala botaknya. Kenapa sih tuh cowok suka garuk kepalanya sendiri? Ya kali cowok sekeren dia punya ladang kutu? Lagian juga kepalanya kan botak.
"Darimana lo tau rumah gue?" tanya Elian.
"Dari Keisha." Nandika menaiki tangga rumahnya lalu berdiri di depan Elian. "Nih! Bunga mawar buat lo."
"Di kasih tau Keisha juga?"
Elian menerima bunga mawar itu dengan wajah datar. Sebenarnya hatinya ingin melonjak senang karena adegan ini persis yang diimpikan Elian dulu ketika masih SD. Yaitu diberi bunga oleh laki-laki setampan Nandika. Ia ingin sekali mencium bau bunga mawar yang dikasih Nandika, tapi bukankah dirinya kelihatan sangat norak jika melakukan itu sekarang?
Pokoknya, Nandika tidak boleh tahu kalau dirinya baru pertama kali ini dikasih bunga mawar oleh cowok.
Sebelum pertanyaan Elian terjawab, sekelebat bayangan datang dari belakang. Elian menoleh dan melihat kakaknya, Virgo sedang melihatnya dengan tatapan curiga. Melihat tampang Virgo yang tersenyum miring dengan tatapan menggodanya, kakaknya itu pasti sedang merencanakan sesuatu yang jahat kepada Nandika.
Keisha menganggap sikap Virgo ini sangat menggemaskan dan marah pada Elian karena tidak bersyukur mempunyai kakak yang perhatian seperti Virgo. Namun percayalah, Virgo tidak bermaksud mengintrogasi cowok-cowok yang datang untuk melihat apakah mereka pantas untuk Elian atau tidak. Kakak itu hanya tidak ingin Elian senang. Kakaknya itu suka mempermainkan dan menganggunya. Elian merasa harus menjauhkan Nandika dari Virgo sebelum kakaknya itu berbuat konyol. Apalagi jika Virgo menceritakan kedatangan Nandika pada orang tuanya. Pasti ibunya akan mengintrogasi Elian semalaman nanti.
"Sebaiknya lo pulang, Nan. Gue masih banyak tugas. Besok gue ada briefing praktikum pagi banget, lo juga tau kan gimana ribetnya praktikum di teknik itu," ucap Elian berharap Nandika dapat melihat keputus-asaan Elian dan segera pergi dari rumahnya.
"Siapa dia, El? Lo nggak mau ngenalin gue ke temen lo itu?" kata Virgo sambil menyilangkan tangannya di d**a.
Elian menatap was-was pada Virgo, mendorong kakaknya itu memasuki rumah dan melambaikan tangannya pada Nandika. Cowok itu masih mematung bingung di depan rumah. Seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi Elian sudah lebih dulu menutup pintu rumahnya. Beberapa menit telah berlalu, Elian mengintip keluar melalui jendela dan tidak menemukan Nandika di luar.
"Siapa cowok itu? Pacar baru lo? Sumpah gue bakal laporin ini ke nyokap. Lo nggak akan selamat setelah ini. Lo kan baru aja putus sama Farel dua bulan yang lalu gara-gara nggak kuat LDR-an. Sekarang lo udah mau pacaran lagi?" omel Virgo dengan wajah menyebalkan.
"Eh, apasih urusan lo, hah? Bisa nggak gak usah ngurusin urusan orang lain. Mau dia pacar gue kek, pembantu gue, penggemar gue, apa urusan lo? Gue juga gak pernah ganggu hubungan lo dengan cewek yang lo suka."
Elian membuka pintu rumahnya lalu mengambil bunga mawar yang jatuh di depan rumahnya. Perempuan itu masuk ke rumah dan menemukan Virgo yang masih menatapnya marah.
Dia pikir gue takut dengan tatapannya itu? Dia nggak tau apa kalo yang paling gue takutin sekarang adalah berduaan dengan Pak Haidar di Laboratorium Proses? Batin Elian sambil mencium bunga mawar yang baunya sangat harum itu.
"Ya, dicium-cium terus bunganya. Sekarang lo nyesel kan nggak nerima ajakan cowok tadi buat jalan? Lagian lo tega banget nolak cowok yang rela jemput lo di rumah pelosok ini malam-malam begini," kata Virgo lagi.
"Pelosok apaan, sih? Rumah di pinggir jalan gede gini di bilang pelosok. Lo itu yang orang pelosok! Nggak pernah mandi!" teriak Elian lalu kabur ke kamarnya.
"Sialan lo, Elian! Berani-beraninya ngomong gitu ke kakak lo sendiri?" teriak Virgo.
Elian tak memedulikan teriakan Virgo. Perempuan itu memasuki kamarnya di lantai dua. Meletakkan bunga mawar yang masih terlihat segar itu di meja belajarnya. Ia mengecek ponselnya, menemukan pesan dari Nandika yang masuk lima menit yang lalu.
Elian merasa bersalah juga karena tidak membiarkan Nandika masuk sebentar ke rumahnya. Bukannya Elian jahat atau gimana, tapi duduk bertiga dengan Virgo saat pertama kali datang ke rumahnya bukan pilihan yang baik. Kakak sintingnya itu pasti akan membeberkan semua kejelekannya dari bayi sampai sekarang kepada Nandika, persis yang selalu ia lakukan kepada laki-laki yang pernah ia bawa ke rumah dulu. Sebut saja kakaknya memang kurang kerjaan, karena memang begitulah adanya.
Udah tidur?
Pesan pendek dari Nandika.
Lalu ponselnya berdering, Nandika menelponnya. Elian ragu ingin menjawabnya atau tidak. Tapi melihat foto profil Nandika yang sangat ganteng itu membuat Elian mengangkatnya di deringan keempat.
"Aku tau kamu udah baca pesanku. Tapi kamu kayaknya nggak berniat bales, jadi aku telpon deh," ucap cowok di seberang sana.
"Gue berniat bales kok. Lo aja yang gak sabar."
Terdengar tawa kecil di ujung sana, "Tapi lebih enak denger suara kamu langsung, sih. Maaf ya tadi aku pulang duluan. Adikku minta jemput di tempat les."
"Lo punya adik?"
"Yap."
Dahi Elian mengerut, "Kok bisa? Katanya lo anak tunggal dulu?"
"Orang tuaku cerai, El. Dia adik tiriku, jadi aku masih nggak suka ngenalin dia ke orang lain."
"Kenapa?" tanya Elian lembut.
"Aku nggak suka Ayah nikah lagi. Apalagi sama istrinya yang sekarang." Terdengar tawa tipis dari Nandika. "Udah jangan ngomongin ini, aku nggak mau nunjukin sifat kekanak-kanakanku ke kamu," kata Nandika.
Elian tidak pernah mendengar cerita ini sebelumnya. Nandika banyak cerita dengannya dulu waktu masih ospek tapi tidak sampai ke hal yang pribadi seperti ini. Mendengar ia bercerita seperti sekarang membuat Elian semakin tidak enak dengannya jika Nandika memang benar-benar menyukainya.
Elian mendengar Nandika berbicara dengan orang lain di seberang sana beberapa detik lalu kembali berkata kepadanya, "Aku nggak nyangka bisa ngobrolin hal ini di telpon sama kamu. Aku kira kamu bakal nolak telponku."
Elian terdiam sebentar, "Gue lagi senggang jadi ya gapapa lah kita bersilahturahmi setelah lo ninggalin gue diam-diam."
"Tadi kamu yang bilang lagi nyiapin materi buat briefing praktikum besok? Jadi tadi kamu bohong buat ngusir aku, El?" Elian mendengar Nandika tertawa kecil sebelu melanjutkan omongannya, "Sekalian aku perjelas lagi, ya. Aku nggak pernah ninggalin kamu lebih dulu. Kamu yang selalu pergi lebih dulu. Tiba-tiba menghilang. Kayak hantu."
"Nggak ada hantu secakep gue," ucap Elian sekenanya. "Sekarang lo dimana? Masih di luar?"
"Lagi makan ini sama adikku. Deket rumahmu sih, lumayan lah," Nandika seperti berbicara dengan adiknya lagi beberapa detik, lalu berkata," Mau main bareng aku? Aku jemput kalo mau. Tapi aku anterin adikku pulang dulu."
"Nggak ah, ntar lo bolak-balik," Elian bangun dari tempat tidurnya, berjalan menuju meja belajarnya, mengambil tasnya dan mengisinya dengan buku untuk kuliah besok pagi. "Udah dulu ya, Nan. Gue udah ngantuk."
Elian berniat mencuci muka ketika ia mendengar suara mobil di bawah. Ia turun ketika melihat orang tuanya datang. Mereka memang sudah seminggu tidak pulang karena ada seminar di Bali. Elian dan Virgo memang sering di tinggal ayahnya sejak kecil. Sedangkan baru kali ini ibunya ikut ayahnya untuk urusan pekerjaan. Sepertinya mereka menyempatkan liburan di Bali beberapa hari.
"Gimana seminggu tanpa ibu di rumah? Kalian masih hidup, kan?" Ibu Elian memeluknya dengan erat sedangkan Virgo menolak pelukan ibunya dan memilih memeluk singkat ayahnya. "Mami sampe nggak bisa tenang liburan di Bali gara-gara mikirin kalian."
Suran meletakkan tas bawaannya dan duduk di sofa ruang tamu. "Bagaimana kuliahmu, Elian?" tanya Suran.
"Baik-baik aja."
Mami Elian menggeleng pelan, "Nggak ada yang kamu pengen omongin ke Mami?"
"Tentang apa, Mi? Tentang nilaiku yang nggak memenuhi standar Mami atau tentang aku yang pengen pindah jurusan."
Mami Elian menggeleng lagi, "Mami pengen tanya karena Mami beneran penasaran. Kamu udah ketemu dengan Nak Haidar, kan?"
"Dia dosenku, Mi. Ya pasti sering ketemu di kampus. Emangnya kenapa?"
"Nggak apa-apa. Nak Haidar kan dosen baru di sana, jadi Mami khawatir dia ada masalah atau apa. Mami pengennya kamu bisa deket sama Nak Haidar. Itung-itung silahturahmi sama anak dari teman lama ayahmu. Kamu tau kan Nak Haidar itu agak kaku. Ayahmu akan senang jika kamu mendekatinya untuk membantunya. Bener kan, Yah?" tanya Suran ke suaminya.
"Udah ah, masa baru pulang langsung ngomongin Haidar. Ayah mau mandi dulu," kata Jamie lalu masuk ke kamarnya untuk mandi.
Suran mendelik kesal pada suaminya. "Pokoknya, Mami pengen kamu berhubungan baik sama Nak Haidar. Keluarganya itu baik baik sama kita dulu," kata Maminya.
Elian mengangguk patuh beberapa kali meskipun permintaan ibunya itu tidak akan dilakukannya. Meskipun laki-laki itu anak teman ayahnya sekalipun, tapi kalau sikapnya sangat menyebalkan, siapa yang akan mendekatinya?
Malam itu, Suran terus menceritakan tentang kehidupan Haidar. Mami terus bercerita tentang Haidar yang ternyata ayahnya orang berkuliah di kampus yang sama dengan ayahnya, lalu direkrut perusahaan di Seoul sambil sekolah S2 di institut teknik terbaik di Korea Selatan. Ayah Haidar yang bernama Mino itu akhirnya bertemu istrinya yang keturunan Korea. Mereka berdua mendirikan restoran di Gangnam dan sekarang menjadi restoran paling terkenal di sana. Karena itu Suran menyuruh Elian bersikap baik pada Haidar, karena keluarga Haidar sangat dihormati, baik di Indonesia maupun Korea Selatan sebagai pengusaha makanan yang sukses.
Mendengar semua itu, Elian hanya mengangguk-angguk. Tak begitu tertarik dengan cerita ibunya. Elian bahkan sengaja menguap, tapi ibunya masih asik bercerita tentang Haidar. Elian sedikit takjub apakah ibunya tak capek padahal baru saja pulang dari dari Bali? Apa Haidar semenarik itu bagi ibunya itu?
Elian bangkit saat Suran belum menandakan akan mengakhiri percakapan itu. Setelah mengatakan bahwa besok Elian akan berangkat pagi, Suran akhirnya berhenti bercerita dan membiarkan Elian masuk ke kamar. Elian segera naik ke lantai dua, menolak ajakan kakaknya untuk bergabung dan mencicipi segala macam makanan yang dibawa orang tuanya dari Bali. Prinsip Elian yang utama, tidak boleh makan apapun di atas jam sembilan malam.