PARTE 3

2200 Words
Tangga putih itu terlihat penuh dengan orang-orang berkepala botak yang sedang berjalan bergerombol. Para laki-laki itu memakai kemeja biru hitam seragam, masing-masing dari mereka membawa beberapa tumpuk kertas HVS yang sudah penuh dengan gambar yang cukup memusingkan meskipun Elian hanya melihat dari jauh. Ekspresi wajah mereka yang seperti menelan segenggam pil brotowali membuat Elian bisa menebak dengan mudah, mereka pasti para anak mesin yang akan melakukan responsi. Elian tersenyum miris dalam hati. "Permisi!" Elian dengan muka menunduk membelah lautan para laki-laki botak itu dengan cepat. Tidak peduli bahwa dirinya sedang berada di tengah para laki-laki yang mungkin otaknya sedang tidak waras karena akan melakukan praktikum yang sepertinya tidak manusiawi. Elian dapat merasakan mereka melihat dirinya dengan tatapan kosong namun sedikit memancarkan ketertarikan. Mungkin di kelas mereka nggak ada cewek secantik gue. Batinnya percaya diri. Setelah melewati gerombolan anak mesin itu, Elian melihat jam tangannya. "Sialan!" Jam tangannya menunjukkan pukul 05.55, artinya lima menit lagi dirinya harus turun dari lantai tiga untuk kembali ke ruang pengajaran yang ada di lantai bawah. Meskipun ia memiliki baling-baling bambu dan terbang dari lantai tiga pun, Elian tidak yakin ia bisa mengumpulkan tugas para kakak tingkat sialan itu tepat waktu di meja Pak Haidar yang sama sialannya bahkan lebih sial itu. Akhirnya Elian berpikir, daripada dirinya memaksakan diri menaiki tangga terakhir ini dengan berlarian dan menghabiskan tenaganya apalagi dia belum sarapan, Elian pun memilih berhenti sebentar di Kantin Kejujuran yang berada di lantai dua. Kantin itu menjual berbagai makanan ringan dan juga gorengan, tapi karena masih pagi, mungkin penjualnya belum bangun, pikir Elian. "Hai, Elian!" Elian menoleh ketika mendengar suara berat namun lembut dari seorang laki-laki yang menyebut namanya. Para gerombolan anak mesin itu sudah sampai di depannya. Mereka menatap Elian dengan tidak ragu-ragu lagi menunjukkan ketertarikannya. Kemudian, seperti dalam adegan sinetron india yang sering di tonton ibunya, Elian melihat seorang laki-laki botak tinggi dan berhidung tajam itu keluar dari gerombolan menghampiri Elian sambil tersenyum hangat. "Apa kabar Elian?" tanya laki-laki di depan Elian itu. Seketika Elian bisa mendengar sorakan para lelaki botak di depannya. "Langsung tancap gas, Dhik." "Siap, Pak Korti. Orang ganteng mah bisa gas kapan aja dan dimana aja. Jangan khawatir responsi hari ini, Dik. Pak Bregas bisa gue atur." Masih banyak lagi yang para lelaki botak itu katakan, tapi Elian memilih tidak mendengarkannya dan menatap fokus pada laki-laki k*****t kedua di hidupnya selain si k*****t lain yang namanya bahkan tidak pantas Elian sebut. Rambut laki-laki itu lebih pendek dari terakhir kali Elian melihatnya. Katanya dulu, setelah ospek, anak-anak mesin itu harus membotaki kepalanya dua kali. Mungkin ini kedua kalinya mereka memotong rambutnya. Elian sangat tidak peduli lagi pada laki-laki di depannya ini, tapi wajahnya yang bahkan tetap terlihat menarik meskipun tidak berambut itu membuat Elian tidak bisa dengan mudah mengacuhkannya. Elian juga perempuan biasa yang butuh asupan vitamin A untuk matanya yang sudah terlalu lama panas melihat rumus perpindahan energi. "Ada apa?" tanya Elian dengan santai. "Udah lama aku nggak ngeliat kamu." Ya iya lah, kan lo manusia berkaki lima yang bisa dengan mudah pindah ke planet mars yang belum ada koneksi internetnya. Mungkin lo nganggap gue media pemanfaatan kuota agar tidak terbuang cuma-cuma karena masa aktifnya yang hanya satu bulan. Setelah satu bulan, lo pergi. Padahal kan, kuota gue masa aktifnya tiga bulan. "Gimana kabar kamu selama ini?" lanjutnya lagi ketika melihat Elian tidak menanggapi omongannya. "Baik." Laki-laki itu tersenyum manis yang mungkin dapat melelehkan karamel coklat yang ada di tangan Elian. "Nanti malem ada waktu nggak? Aku mau ngajak kamu jalan," katanya dengan wajah malu-malu. "Gue sibuk." "Sibuk apa? Aku denger tekkim baru UAS dua minggu lagi," tanyanya dengan kening berkerut. "Emang lo pikir gue di sini cuma kuliah aja? Gue punya kesibukan yang lain, yang sudah pasti lebih bermanfaat daripada buang-buang duit bareng lo. Dan asal lo tahu, belajar dua minggu itu nggak cukup bagi gue." Elian dapat melihat Nandika sedikit termenung mendengar sarkasme Elian sebelum kembali berkata," Aku pikir kamu bukan tipe cewek yang belajar sampai segitunya." "Terus, lo ngeliat gue kayak cewek seperti apa? Cewek cantik yang bisa lo pamerin ke temen-temen botak lo itu lalu lo tinggalin begitu aja? Gue ngomong gini bukan karena gue baper atau apa sama lo, gue cuma udah kehilangan respect sama cowok kayak lo. Jadi, jangan sok kenal lagi sama gue." Sebuah tawa bukan sesuatu yang Elian duga dari seorang Nandika di saat seperti ini. Dia pikir ini lucu apa? "Kamu marah karena aku ninggalin kamu tanpa kabar, El? Serius? Bukannya kamu yang pergi tanpa kabar?" ucapnya sambil menggaruk kecil kepalanya yang hampir tidak berambut itu. Melihat Elian diam, Nandika berkata lagi, "Setahuku, kamu yang blokir nomor WA- ku dulu. Kamu juga nggak bales pesanku di i********:. Dan kamu nggak punya Line jadi aku nggak tahu harus gimana lagi menghubungi kamu saat itu. Kamu selalu menghindari aku di kampus. Aku yakin kamu melakukan itu buat nolak aku dan aku nggak mau ganggu kamu lagi. Karena itu aku juga memilih menghilang dari kamu." Memang benar Elian telah memblokir nomor Nandika seminggu setelah laki-laki itu tidak memberi kabar dan ia melihat laki-laki itu naik motor berdua dengan perempuan berjilbab ketika ia membeli cilok di depan kampus. Elian tidak merasa perlu memberi penjelasan kepada laki-laki itu, Elian pikir Nandika hanya sedang bermain dengan dirinya dan ia memilih segera menjauhi Nandika sebelum dirinya benar-benar terjerat dengan pesona laki-laki itu. Lagipula, Elian tidak merasakan usaha Nandika untuk memperbaiki hubungan mereka yang bahkan belum dimulai itu. Beberapa bulan ini, Elian terlalu asik memikirkan apa yang harus dilakukan kepada si k*****t yang pernah menghinanya dan membohonginya saat SMA dulu. Apakah ia harus tidak memedulikannnya ataukah ia harus membalaskan dendam kesumatnya pada k*****t bernama Raken itu. "Udahlah. Gue ada urusan." "El. Sumpah ya, saat itu aku bener-bener sibuk ngurusin ospek. Kamu tau kan jadi koordinator tingkat jurusan yang isinya cowok-cowok k*****t itu nggak gampang? Aku lupa kalau ada janji nonton sama kamu karena ada tugas dadakan malam itu. Untuk pertama kalinya, aku di beri amanah yang besar kayak gini dan aku nggak bisa acuh tak acuh sama hal itu. Maafin aku, ya?" Elian memicingkan matanya pada kotak sampah yang berada sekitar lima meter di depannya. Seperti atlet panah yang membidik sasaran dengan tepat, Elian tersenyum kecil ketika kemasan coklat karamel itu tepat masuk ke dalam tempat sampah. "Yes!" kata Elian sambil menatap Nandika datar. "Kamu maafin aku?" tanya Nandika memastikan. Elian mengangkat alisnya yang tebal. "Terus, lo mau apa sekarang?" tanyanya. "Aku mau ngajak lo nonton. Ada film horor bagus nanti malam. Anggap aja sebagai permintaan maafku karena nggak hubungin kamu waktu itu." Elian mendesis tidak suka. "Kan udah gue bilang hari ini gue sibuk." "Oke. Besok kalau kamu nggak sibuk bisa, kan?" "Tergantung. Tapi bisa gue usahain," kata Elian yang langsung membuat Nandika tersenyum lebar. Elian membenarkan kacamatanya, merasa salah tingkah sendiri di depan laki-laki botak yang baru ia kenal beberapa bulan ini. Ia seperti remaja yang baru pertama kali berbicara dengan laki-laki dengan ketampanan di atas normal. Padahal, Elian sudah memperingatkan dirinya sendiri berulang kali bahwa laki-laki semacam Nandika ini, tak kurang tak lebih adalah produk yang sama seperti Raken. Mereka hanyalah benih-benih laki-laki berengsek di masa depan. Tapi, kenapa kini Elian menampakkan wajah t***l dengan muka yang ia yakin memerah di depan Nandika seperti ini? Elian merasa percaya diri tidak akan terpengaruh pada kata-kata Nandika, setidaknya sampai sepuluh detik yang lalu, sebelum laki-laki itu tersenyum tipis. Memperlihatkan lesung pipinya yang tampak secara malu-malu, terlihat menggemaskan di mata Elian. Sepertinya Elian sudah gila. Ia tak mungkin suka sama laki-laki secepat itu, kan? "Oke. Aku tunggu kabar dari kamu nanti. Aku harus pergi sekarang sebelum Pak Bregas mencoreng namaku dari daftar mahasiswanya. Sampai jumpa, Cantik," ucap Nandika masih dengan lesung pipinya yang nampak semakin jelas lalu berlari meninggalkan Elian. Nandika berhenti berlari dan memutar tubuhnya menghadap Elian. "Oh ya, tolong jangan blokir lagi nomorku dong, El. Kalo kamu blokir, aku ngehubungin kamu gimana, dong? Masa kita surat-suratan kayak Habibie-Ainun?" kata Nandika dengan nada bercanda. Tak bisa ditahan, Elian tertawa oleh guyonan Nandika. Elian melihat punggung Nandika semakin menjauh. Laki-laki itu menaiki tangga dengan langkah panjangnya hingga bayangannya hilang dari pandangan Elian. Hati Elian melonjak. Sesuatu yang memang sering ia rasakan ketika bersama Nandika dulu mungkin mulai merangkak kembali ke dalam d**a Elian. Ayolah, Nandika bukan seberengsek yang gue pikir selama ini, kok. Coba aja, El. Siapa tau jodoh. Pikir Elian. Elian terkejut dan melonjak pergi ketika mengingat tujuannya datang pagi-pagi ke kampus. Perempuan itu melihat kembali jam tangannya yang kini menunjukkan pukul setengah tujuh. Pak Haidar mungkin akan membuat Elian menunggu di ruangannya yang bau itu selama dua jam jika tahu Elian telat mengumpulkan tugas angkatan 17. Itu adalah hal terakhir yang Elian inginkan di dunia ini. Ia lebih baik mendengarkan ibunya mengoceh ketika Elian tidak bisa membedakan garam dan gula ketika di dapur daripada hal itu terjadi. Dengan kesal, Elian menaiki tangga satu persatu seperti ada batu besar yang menyeretnya untuk kembali ke bawah. Ia lupa bahwa masuk ke kelas yang ada di depannya ini, artinya dia akan bertemu k*****t berkepala bundar yang tak tahu diri itu dan membuat paginya semakin buruk. Lupakan Pak Haidar sebentar, sepertinya ia harus meluapkan semua kekesalannya pagi ini pada k*****t di depannya. "Selamat pagi!" kata Elian dengan nada ketus.Tak peduli pada teman-teman k*****t di depannya yang kini menatap Elian bingung. Sepertinya mereka tidak sadar bahwa ada adik tingkat sekeren gue di jurusan ini. Mata semua orang terlalu di penuhi Raisa, teman angkatannya yang menarik semua laki-laki di jurusannya itu. Raisa, perempuan yang katanya tercantik di angkatannya itu memang cantik, Elian mengakuinya. Bahkan perempuan itu menjadi 'Ratu Teknik' tahun ini, sebuah acara tidak bermutu yang di adakan fakultasnya untuk menentukan perempuan tercantik di fakultas. Katanya, seleksinya sangat ketat, para angkatan atas telah membidik beberapa perempuan-perempuan elit semasa ospek, mengadakan voting online berskala universitas, dan dengan tidak terduga, Raisa ini menjadi pemenangnya. Membuat perempuan itu semakin berani berkeliaran di kuliah dengan pakaian yang cukup minim dan bukan rahasia lagi kalau perempuan itu sering menjalin hubungan dengan beberapa kakak tingkatnya dalam satu waktu. Meskipun Elian jarang bertemu apalagi berbicara dengan teman satu jurusannya itu, Elian cukup khatam dengan segala jenis kehidupan borjuis dan romansanya yang sudah menyebar di fakultas secara global. Darimana lagi kalau bukan Keisha, sahabat yang kadang membuat Elian kesal setengah mati itu selalu menggosipkan Raisa ketika bersama dirinya. Keisha punya dua keahlian sekaligus yang cukup mendominasi hidupnya, yaitu kalkulus dan gosip. Jadi, kenapa Elian betah mendengarkan segala macam genre gosip dari mulut Keisha setiap pagi? Karena Elian lebih baik mendengarkan hal itu daripada mendengarkan Keisha yang mulai melantur membahas bagaimana teori penurunan rumus kinetika kimia di depannya. "Padahal, menurut analisa gue yang cukup obyektif. Lo lima belas persen lebih baik daripada si Raisa itu, El. Lo pernah mendengar golden ratio wajah nggak? Wajah lo itu punya proporsionalitas yang hampir sempurna, gue bisa melihat hidung lo itu berdiri dengan cakupan 1/3 dari batas horizontal wajah lo, tegak lurus dengan sudut 90°. Perfect. Sempurna, El. Sedangkan si Raisa itu, gue perhatiin hidungnya agak bengkok ke kanan sedikit, terus lo ngerasa nggak sih kalau kupingnya itu terlalu deket ke matanya? Agak aneh gitu." Yah, meskipun penjelasan Keisha kala itu agak sedikit gila. Tapi, Elian cukup bangga mendengarnya. Kembali lagi ke awal, kenapa Elian tidak terpilih menjadi 'Ratu Teknik'? Singkat saja, Elian tak mau menguras tenaga untuk menghadiri acara tak bermutu itu. Elian juga tak ingin menjadi ratu, Elian lebih suka menjadi rakyat biasa - karena ia tak ingin menjadi pusat perhatiaan. Kalau Keisha mempunyai dua keahlian, Elian hanya punya satu keahlian yang cukup ia banggakan, yaitu mengumpat. b*****t, berengsek, anjing, k*****t, k*****t dan masih banyak lagi adalah kata-kata favoritnya dari dulu. Dan Elian tidak akan sungkan-sungkan meneriakkannya di depan orang berengsek seperti laki-laki di depannya ini. "Cepat, dong. Gue udah telat ini, k*****t! Gue bakal diamuk sama Pak Haidar lagi! Lo mau tanggung jawab?! Sial-an!" kata Elian ketika melihat Raken menata jawaban teman-temannya dengan lambat. "Kebiasaan kamu nggak berubah dari dulu," ucap si k*****t dengan santai. Laki-laki itu selesai mengumpulkan jawaban teman-temannya dengan rapi lalu menyerahkannya pada Elian dengan wajah yang membuatnya kesal. "Kamu telat 30 menit, El. Perlu aku temenin buat ketemu Pak Haidar? Aku bisa sedikit menjinakkan dosen muda itu kalau kamu mau," kata Raken. Tawaran itu cukup menggiurkan bagi Elian. Tapi Elian sudah berjanji tak akan menerima bantuan apapun dari Raken. Dan soal jinak-menjinak, si k*****t itu tidak sadar bahwa dia yang harusnya Elian jinakkan saat ini. Menjinakkan seorang Raken Hernando? Mungkin Keisha akan menertawakannya berkali-kali. Seorang Raken yang terkenal ambisius, percaya diri, sekaligus berengsek dengan segala kelebihannya itu tidak akan mungkin bisa ia jinakkan. Lebih masuk akal kalau Elian yang akan jatuh terlebih dahulu sebelum menjinakkan laki-laki di depannya ini. Buktinya, Elian laki-laki itu yang menolak dirinya lebih dulu. Satu-satunya lelaki yang membuat Elian merasa rendah diri dan patah hati untuk pertama kalinya. Elian tak akan melupakan perasaannya saat Raken memutuskannya dulu. Entah kenapa, dulu, ketika mendengar langsung penolakan dari k*****t tak berperasaan di depannya ini, da-da Elian berdenyut sakit. Mengingatnya pun sama sakitnya hingga sekarang. Keparat itu. Elian tidak tahu apa yang Raken pikirkan saat bertemu dengannya lagi. Yang pasti, Elian setengah mati tak suka bertemu dengannya lagi. "Lebih baik gue dimarahi Pak Haidar daripada menerima bantuan dari lo!" kata Elian lalu pergi dari kelas Raken.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD