Ini kedua kalinya selama seminggu terakhir Nandika membuatnya terkejut. Saat ini pukul enam pagi. Bahkan Bi Umi belum bangun dan menyiapkan sarapan untuknya. Tapi sekarang laki-laki itu berdiri di depan pintu dengan motor besarnya yang terparkir di belakangnya. Ia tersenyum ketika melihat Elian. Senyum yang cukup manis untuk mengobati paginya yang menyedihkan.
Hari ini hari pertama ia melakukan praktikum. Elian dari dulu tidak menyukai segala hal yang berbau jas lab, gelas kaca, dan laboratorium. Kenapa sih praktikum konyol itu harus dilakukan sepagi ini? Elian meragukan anak-anak pintar itu bisa fokus sedangkan dirinya sekarang masih ingin kembali ke tempat tidurnya dan berbaring manja.
"Ngapain lo di sini?" tanya Elian, mencoba tidak memedulikan laki-laki itu yang sedang mengambil helm kecil di belakang motornya. "Asal lo tau ya, gue gak mau pagi-pagi naik motor. Dingin."
Laki-laki itu memegang dadanya dengan ekspresi terluka. Elian hampir saja tidak bisa menahan senyumnya. Sebagai laki-laki yang mencoba mendekatinya, Nandika cukup menggemaskan.
"Kamu bener-bener kejam, El. Aku udah bela-belain ke rumah kamu pagi-pagi begini, meskipun tadi malem kamu tolak sekalipun." Nandika menaiki motor besarnya dan memberikan helm pink itu kepada Elian. "Cepet naik. Kamu bisa peluk aku kalo kedinginan."
Elian tampak berpikir beberapa detik. Pak Broto yang keluar dari mobilnya mendekatinya dan mengatakan bahwa mobilnya sudah siap. Elian menatap Nandika yang masih memegang helm bewarna pink gemas - yang membuat Elian tak kuasa menolaknya. Setelah mempertimbangkan bagaimana usaha Nandika untuk menjemputnya, yang tidak pernah dilakukan oleh mantan-mantannya dulu karena rumahnya yang tergolong di jauh dari kota, akhirnya Elian mengalah dan ikut Nandika.
"Jadi, lo beneran mau ngajak gue pacaran?" tanya Elian tiba-tiba di tengah perjalanan yang panjang dan dingin.
"Bisa gak sih El, kamu jangan mendahuluiku ngomongin hal itu. Aku mau nembak kamu di tempat yang lebih baik daripada di jalan yang sepi kayak gini."
Elian mengeratkan pegangannya saat Nandika menyalip mobil dengan motor besarnya. Angin pagi membuat kulitnya merinding kedinginan. Ia sempat menyesali keputusannya untuk ikut Nandika daripada naik mobilnya yang hangat. Namun melihat wajah Nandika yang mengerucut menggemaskan di balik kaca spion motornya membuat Elian tersenyum kecil.
"Oke, gue minta maaf. Lo boleh nembak gue lain kali. Anggap aja gue gak tau saat ini lo sedang pdkt ke gue," kata Elian setengah bercanda.
Mereka sampai di kampus yang masih sepi. Hanya beberapa orang yang sudah bergerombol di depan Gedung Laboratorium Teknik Kimia Selatan. Kebanyakan wajah di sana sudah Elian kenal. Ada juga Keisha yang melongo saat melihatnya turun dari motor Nandika. Elian memang belum memberitahu Keisha tentang upaya Nandika untuk mengulang kembali kisah cinta mereka yang sempat tertunda dulu. Mungkin kalo dia mengatakan padanya, Keisha akan kembali merespon seperti tiga bulan yang lalu, saat ada anak dari jurusan arsitektur yang menembaknya.
"Gue heran kenapa sih banyak banget cowok ganteng yang suka sama lo? Padahal nih el, gue juga gak jelek-jelek amat. Kecuali satu, t**i lalat di dagu gue yang nggak pada tempatnya. Tapi dari sepuluh cowok yang mendekati lo, harusnya ada dong satu orang yang nyantol ke gue? Tapi mana? Semuanya tertarik sama lo dan bahkan lo gak menanggapinya. Gue kesel lama-lama ada di deket lo."
Saat itu, Mendengar tak ada tanggapan dari Elian, Keisha kembali berkata," Tuh kan, lo tuh gak pernah peka. Gue saat ini minta lo buat cariin gue pacar El. Gue juga pengen dong ditembak sama cowok ganteng sesekali."
"Lo mau balik?" tanya Elian ketika Nandika memakai kembali helmnya dan menyimpan helm Elian di belakang.
"Aku nggak ada kelas pagi ini," kata Nandika sambil berdiri di depan Elian.
Elian cukup tahu beberapa orang di depan laboratorium sedang melihat mereka dengan tertarik. Karena cowok di depannya ini cukup terkenal di golongan perempuan di Gedung 1, yang kebanyakan perempuan berasal dari jurusannya. Terlebih Raisa, si dewi kecantikan yang sekarang mengerling pada Nandika lalu menatap Elian dengan tajam seperti mendeklarasikan peperangan.
"Soal tadi, lo tau kan gue cuma bercanda, Nan?" Elian melihat jam tangannya dan masih ada waktu sepuluh menit tersisa sebelum praktikum sialan itu di mulai. "Sebenarnya gue lagi gak ingin menjalin hubungan sama lo. Setidaknya untuk sekarang."
Nandika mengacak-acak rambut Elian seperti anak kecil dan baru berhenti ketika Elian memelototinya. "Kamu beneran mau bahas ini sekarang, El?"
"Oke deh. Maafin gue. Tapi gue minta lo gak usah jemput gue kayak tadi. Gue ngerasa gak enak."
"Elian, aku terpaksa ngomong ini sekarang karena sepertinya kamu mikir aku bercanda. Aku serius dengan perasaanku, El. Aku ingin mencoba. Kita udah kenal dua bulan lalu dan ketika itu aku yakin kamu juga tertarik sama aku."
Sudut matanya melihat si b*****t Raken muncul dari balik tembok gedung 1 dan melewatinya dengan santai tanpa menatapnya. Laki-laki itu mungkin mendengar pembicaraannya dengan Nandika. Elian melihat senyum lebar laki-laki itu untuk teman-teman seangkatannya yang duduk di kursi tunggu.
Seperti biasa, ketika melihat Elian, senyum yang seperti mengejek mengganti senyum lebarnya itu yang seperti haram untuk Elian lihat. Senyum itu entah kenapa membuat Elian marah. Kenapa dia selalu berhasil menempatkan Elian seperti orang kalah bahkan sebelum permainan dimulai. Mungkin laki-laki itu mengira dirinya masih belum melupakannya. Mungkin laki-laki itu masih menganggap Elian perempuan yang tergila-gila setengah mati padanya hingga tidak melihat semua kebohongannya dulu.
Tiga tahun lalu.....
"Bilang kalau yang diomongin Dimas itu nggak bener, Ken. Kamu nggak mungkin kan melakukan itu sama aku? Kamu nggak mungkin sejahat itu sama aku."
Beberapa teman sekelas Raken mengitari mereka seperti tontonan gratis di awal minggu yang berat menuju Ujian Nasional. Mereka baru saja melakukan tryout dan mendapati drama percintaan yang penuh tangis ini cukup menjadi bahan yang bagus untuk dibicarakan.
Elian melihat beberapa orang yang dikenalnya, termasuk Keisha yang berdiri di depannya tepat di tepi lingkaran manusia yang mengitarinya itu. Beberapa hari kemudian ia menyumpahi orang-orang yang dianggapnya teman itu karena tidak menarik Elian dari kejadian yang mempermalukannya itu.
"Katakan semua itu nggak bener dan aku akan percaya sama kamu."
Segila itu Elian dulu kepada laki-laki berparas rupawan di depannya yang hanya menatapnya dengan senyum mengejek yang tidak pernah Elian kira akan selalu Elian lihat bahkan di kuliah nanti.
"Gue pengen kita putus."
Suara pertama laki-laki itu hari ini kepadanya membuat Elian menitikkan airmata. Keisha berjalan mendekatinya dan mengucapkan perkataan halus yang mengajaknya untuk meninggalkan kerumunan itu. Sedangkan Elian menatap tak percaya pada Raken yang hanya menatapnya datar tak berperasaan.
"Kamu nggak bisa mutusin aku sepihak kayak gini. Aku mau mendengar penjelasanmu, Raken. Katakan kalau temen-temenmu bohong. Kamu pernah janji nggak akan buat aku sedih. Apa itu juga bohong? Apa semua ini emang kebohonganmu? Hubungan kita hanya karena benda ini, hah?"
Elian mengambil ponsel keluaran terbaru yang di pegang Raken dan melemparkannya hingga membuat orang-orang di sekelilingnya menjerit karena ponsel yang harganya lumayan mahal untuk kantong anak SMA itu hancur berkeping-keping. Elian sungguh tidak peduli. Raken melihatnya seperti menahan kemarahannya dan Elian sungguh tidak peduli.
"Elian, ayo pergi!"
Seseorang menarik tangan Elian. Ia melirik ke sampingnya sekilas dan menemukan Kenan melihatnya dengan khawatir. Elian melepas tangannya dari pegangan Kenan. Menatap Kenan tak kalah sengitnya seperti teman-teman Raken yang sudah membuatnya menangis hari ini.
"Jangan pura-pura baik ke gue. Lo juga ikut dalam taruhan ini, kan? Lo dan temen b******k lo yang lain. Gue nggak nyangka. Gue kira lo beneran pengen jadi temen gue, Ken. Gue nggak..."
"Kenan nggak ada hubungannya dengan masalah ini," kata Raken.
Elian menitikkan airmatanya yang kedua kalinya melihat Raken yang membela temannya di saat ia tidak peduli dengan perasaan Elian sekarang. "Gue benci sama lo."
"Dengar dulu, Kenan nggak ada hubungannya sama taruhan ini. Gue hanya melakukannya dengan Hendra dan Dimas," kata Rekan dengan wajah datar lainnya. "Taruhan itu udah berakhir. Lo liat sendiri gue pemenangnya. Gue berhasil buat lo jadi pacar gue kurang dari sebulan gue kenal lo. Gue minta maaf, tapi gue anggap kita impas. Karena lo udah ngerusak hadiah kemenangan gue hari ini. Gue nggak akan minta ganti rugi. Jadi ayo kita akhiri permasalahan ini dengan bersih, El. Gue, Hendra, sama Dimas minta maaf sama lo. Gue tulus minta maaf."
Seperti mewakili perasaan Elian, Kenan meninju wajah Raken hingga laki-laki itu jatuh ke belakang. Elian hanya bisa menangis sesenggukan di pelukan Keisha dan berharap ia bisa pulang, tidur, dan melupakan semua itu setelah terbangun. Sebelum Keisha menarik tangan Elian. Perempuan itu menatap tajam pada Raken yang wajahnya babak belur karena pukulan sahabatnya sendiri.
"Lo laki-laki terbrengsek yang pernah gue kenal. Gue menyesal setengah mati menghabiskan waktu gue hanya untuk menangisi lo selama ini. Gue menyesal ngomong ke lo kalo gue suka sama lo. Gue menyesal telah mengenal lo." Elian mengusap airmatanya dengan kedua tangannya. "Gue benci lo. Jangan pernah muncul dihadapanku gue lagi, b*****t. Dasar b******n Sialan! Anjing lo."
Setelah mengungkapkan semua kemarahan dan kekecewaannya siang itu, Elian mengurung diri di rumahnya selama beberapa hari dan membolos sekolah. Orangtua Elian tahu bahwa anaknya dan Raken sudah putus dan mewajarkan kegalauan anak mereka tanpa bertanya lebih lanjut kepada Elian. Hampir setiap hari Keisha menemaninya sepulang sekolah dan menceritakan semua kejadian di sekolah selama dirinya tidak masuk. Di hari ketujuh setelah kejadian itu, Elian meminta Keisha menjemputnya untuk berangkat sekolah bersama.
"Ternyata gue nggak sesuka itu sama cowok b******n itu," kata Elian pada Keisha di perjalanan.
Setelah kejadian itu, Elian tidak pernah menyebut nama Raken, tapi menggantinya dengan si cowok b******n, b*****t, k*****t, atau menyebut Raken dengan anjing. Keisha hanya tertawa mendengar hal itu. Sudah sepantasnya Elian bersikap seperti itu. Kalau ia jadi Elian, mungkin Keisha akan menyewa pembunuh bayaran untuk melepaskan kemarahannya pada cowok itu.
"k*****t itu pantas mati, tapi gue memberi kesempatan untuknya hidup karena suatu saat nanti akan ada kesempatan di mana gue akan membalas dia. Sama sakitnya dengan gue seminggu yang lalu."
Saat bertemu Raken pertama kalinya tiga bulan yang lalu, ia sedikit kaget tapi ternyata kebenciannya kepada laki-laki itu sedikit memudar. Namun tetap saja melihat laki-laki itu cukup membuatnya marah dan ingin meluapkan kata-kata kotornya di depan wajahnya dan membuat ia mati sesak napas.
Elian berniat menyudahi emosi itu karena ia tahu bahwa emosinya pada Raken hanya menyusahkannya saja. Tapi melihat laki-laki itu mengejeknya dengan senyum miring seperti terakhir kali ia melihatnya di tengah lapangan basket sekolahnya dulu sudah cukup untuk menyulutkan amarah Elian. Cowok itu memang tidak bersungguh-sungguh dengan permintaan maafnya waktu itu. Buktinya sekarang ia masih sok kenal dengannya dan mengawasinya dengan diam seperti sekarang.
Raken berdiri di pinggir pintu, berjarak tak kurang dari sepuluh meter dari tempatnya berdiri sekarang. Dari sudut matanya Elian dapat melihat b******n itu menunggunya menyudahi pembicaraan dengan Nandika. Tangan kekarnya terlipat di dadanya, raut wajahnya serius. Beberapa orang sudah mulai naik ke atas, terutama teman angkatan Raken yang merupakan asisten praktikumnya nanti. Namun cowok itu tetap di sana dan mengalihkan perhatian Elian dari cowok di depannya yang juga ikut menatap Raken dengan raut bingung.
"Oke," kata Elian tiba-tiba kepada Nandika.
Nandika tidak bisa menyembunyikan kebingungannya, "Oke apanya, El? Bahkan aku belum nembak kamu."
"Gue mau jadi pacar lo."
"Kamu serius?"
Nandika tersenyum lebar, lalu meredup kembali ketika melihat Elian tidak ikut tersenyum padanya. Perempuan itu hanya menatapnya datar. "Kenapa? Kenapa tiba-tiba kamu mau pacaran sama aku? Kamu baru bilang lima menit yang lalu kalo kamu gak nggak lagi pengen pacaran."
Elian mendorong d**a Nandika kembali ke motornya, "Anggap aja gue gak bisa menahan kegantengan lo dan gue pengen pamerin lo ke temen-temen gue. Lo tau kan banyak anak tekkim yang suka sama lo?"
Nandika naik ke motornya, tangannya mengacak-acak rambut Elian seperti anak kecil lagi. "Apapun alasan kamu, makasih ya karena udah kasih kesempatan buat aku. Jadi hari ini hari pertama kita jadian, kan?"
Elian mengangguk dan Nandika tersenyum lebar. Laki-laki itu mencium tangan Elian lalu pergi meninggalkanya. Elian naik ke lantai tiga dimana praktikumnya dimulai. Saat menaiki tangga, Elian dikejutkan dengan tatapan meminta penjelasan Keisha yang diikuti dengan banyak pertanyaan dari mulut kecilnya.
"Sejak kapan lo deket lagi sama cowok botak itu? Lo pacaran sama dia? Sejak kapan? Lo nggak ngasih tau gue, sahabat lo yang paling deket ini dan membiarkan gue nggak bisa menjawab pertanyaan temen-temen gue tadi. Lo pacaran sama Nandika, El?"
"Iya," jawab Elian singkat.
"Sejak kapan?"
"Tadi."
Mereka sudah sampai di lantai tiga dan mendapati semua mahasiswa sudah memakai jas lab dan atribut praktikum yang lain.
"Tadi? Maksudnya tadi di parkiran? Dia nembak lo di parkiran tadi pagi? Nggak romantis banget tempatnya, yaelah," kata Keisha dengan tawa menggelegar yang membuat semua pasang mata melihat ke arah mereka berdua dengan sinis.
"Gue kok yang nembak dia."
"Nggak mungkin. Mana mungkin lo nembak duluan cowok, Neng. Harga diri lo setinggi Monas."
Mendapati Elian hanya diam sambil memakai jas labnya, Keisha melanjutkan omongannya. "Serius? Ngebet banget pengen pacaran sama Nandika sih, El. Oke, Nandika emang gantengnya naudzubillah, sih. Tapi nggak lo juga kali yang nembak dia."
"Yaudahlah. Ini kan udah jaman kebebasan wanita berekspresi. Mana ada larangan perempuan nembak duluan, hah?"
Mereka memasuki laboratorium dan mendapati semua asisten angkatan 17 sudah siap di mejanya masing-masing. Sedangkan di pojok ruangan berdiri bapak dosen muda Haidar yang dengan sinis melihat satu persatu mahasiswanya. Elian baru ingat kalau di laboratorium ini ada ruangan Pak Haidar yang dulu pernah ia masuki.
"Jadi kapan lo mau ngenalin gue ke kenalan lo ganteng, hah?" tanya Keisha sambil menyenggol lengan Elian.
"Katanya lo suka Pak Haidar?"
Keisha tampak sedih lalu menjawab, "Ada rumor kalo dia udah dijodohin sama orangtuanya."
"Hah? Norak banget sih udah tua gitu minta dijodohin. Kalo gue sih nggak bakal mau dijodoh-jodohin sama orang tua gue sampe kapanpun. Itu kayak menegaskan kalo dia nggak laku tau. Memalukan."
"Lo keterlaluan juga ya ngehina dosen sembarangan," cetus Keisha.
Nama Keisha dipanggil yang berarti beberapa menit lagi ia akan maju untuk penentuan asisten pada praktikum semester ini.
"Jadi, kapan lo mau nyariin gue pacar? Terserah lo bilang gue nggak laku atau apa, gue nggak peduli. Gue pengen punya pacar, El. Udah sembilan belas tahun gue hidup menjomblo, beberapa hari lagi gue nggak mampu hidup seperti ini."
Sedetik kemudian, nama Elian dipanggil oleh salah satu mahasiswa angkatan 17 yang duduk paling tengah. Cowok itu tinggi, dengan wajah yang lumayan dan bulu mata yang tebal. Ia melihat Elian saat menyebut namanya menandakan bahwa cowok itu sudah tahu dirinya. Elian tidak tahu namanya, tapi ia bersyukur setidaknya bukan si b*****t yang menjadi asistennya nanti.
"Jadi gimana, El?"
"Berisik," kata Elian ketus karena Keisha sepertinya tidak sadar bahwa pembicaraan mereka dapat didengar oleh anak-anak lain di sekitarnya. "Oke, nanti gue minta Nandika buat ngajak temennya waktu kita jalan. Gue minta Nandika buat ngenalin lo ke salah satu temennya."
Percakapan itu berakhir dengan tawa kegirangan Keisha, membuat beberapa orang menoleh pada mereka berdua lagi hingga Pak Haidar mendekati kerumunan itu dan menatap Elian marah.
"Elian Ratu Sangkara! Bisa diam tidak?" katanya mengalahkan ketusnya ayahnya saat Elian memberitahu nilai kuisnya kemarin.
Kenapa selalu gue yang kena? Emang tuh orang gak liat apa kalo yang ngakak berisik tuh manusia di samping gue? Apa karena si Keisha tingginya hanya 155cm makanya tuh manusia menyebalkan kedua di ruangan ini nggak ngeliat si biang masalah saat ini?
Elian ingin keluar dari ruangan ini dan menunjukkan jari tengahnya ke manusia di dalamnya tapi ia menahan diri. Biarlah manusia itu mendapat hukuman di akhirat saja.
Sekarang, ayo berdoa untuk keinginanmu yang belum terwujud, El. Karena kata uztad di kompleks yang dulu pernah lo dengar ceramahnya waktu kecil, doa orang terdzolimi itu cenderung akan dikabulkan oleh yang di atas. Amiin. Batin Elian yang mencoba tenang.
Setelah membuka mata, hal pertama yang dilihat Elian adalah senyum itu lagi. Senyum miring k*****t yang sekarang melihatnya dengan terang-terangan. Seperti sangat menghibur ketika melihatnya dipermalukan seperti tadi.
Elian keliru, seharusnya ia tidak berdoa agar tahun ini ia diterima di jurusan DKV di perguruan tinggi di Yogyakarta. Seharusnya ia berdoa semoga manusia bernama Ossama Raken Fernando kembali masuk ke dalam rahim ibunya, terpisah dari sel telur ibunya, dan kembali menjadi s****a yang tidak mampu membuahi apapun hingga ia tidak lahir di dunia ini.
Benar, lain kali saat Pak Haidar bertingkah menyebalkan seperti tadi, ia akan berdoa persis seperti apa yang ia pikirkan saat ini.