PARTE 2

2026 Words
Sepertinya berhadapan dengan Pak Haidar bukan sesuatu yang gampang. Rupanya dosen muda itu seorang yang pendendam dan tidak mudah memaafkan. Berdiri di ruangannya tiga puluh menit bukan hal yang mudah bagi Elian apalagi sekarang dia berada di lab teknik kimia yang pengap dengan bau amoniak yang menyengat sampai ke hidungnya. Untaian napas dari Elian yang ia buat sedemikian keras sehingga dosen muda di depannya itu mendengarnya tidak cukup mempan untuk membuat manusia itu bersuara kepadanya dan menyudahi segala ketidaknyamanan eksistensinya di ruangan ini. "Permisi, Pak," ujar Elian dengan nada sesopan mungkin. Sayangnya dosen muda itu masih asik dengan kertas putih tebal di depannya yang sesuai ekspektasi Elian, berisi soal-soal kalkulus dan jawaban yang saat ini sedang dikerjakannya sampai lupa ada makhluk hidup di depannya yang hampir mati karena bosan. Bisa nggak sih tuh soal disingkirin dulu sebentar dan lihat gue sedikit aja? Pak Haidar ini kayak cowok yang ngambek karena chat-nya nggak gue balas tadi malam. "Permisi, Pak!" panggil Elian lagi sambil memberanikan diri mendekati meja Pak Haidar yang berisi kertas penuh coretan yang sepertinya berharga sekali untuk diloakkan. Elian merasakan kembali perasaan senang sekaligus terharu ketika dirinya membuka web SBMPTN dan menemukan namanya berhasil masuk ke universitas terbaik di Indonesia itu ketika Pak Haidar melihatnya dengan kacamata yang hampir jatuh dari hidungnya. Seolah penantiannya selama ini tak sia-sia dan Elian bisa segera pergi dari ruangan ini untuk mandi kembang tujuh rupa. "Loh, kok kamu ada di sini?" tanya dosen muda itu dengan muka tak bersalah sambil membenarkan kacamata bundarnya. "Sejak kapan kamu di sini? Kenapa nggak ketuk pintu dulu? Kamu nggak tau saya sedang sibuk membuat soal?" Apa? Apa dia mencoba bercanda ke gue? Seingat gue tadi dia bilang 'masuk' ketika gue ketuk pintu ruangannya tiga puluh menit yang lalu. Elian hampir saja memaksakan tawanya agar dirinya tidak terkena karma karena tidak menanggapi guyonan dari dosen yang terlampau tinggi untuk ia cerna. Namun, mulutnya yang sudah terbuka lebar seketika menutup kembali saat dosen muda itu menatap Elian serius. "Lain kali jangan masuk sembarangan ke ruang dosen. Kamu nggak liat saya lagi bikin soal buat UAS kelasmu nanti?" Elian hanya membuka mulutnya tak percaya dan berharap ada kamera tersembunyi di ruangan ini. Mungkin saja ia sedang dipermainkan seperti acara-acara prank di televisi. "Saya maafin kamu karena kamu masih mahasiswa baru." "Tapi, Pak, saya tadi udah ketuk pintu, kok. Pak Haidar juga udah bilang masuk tadi," ucap Elian sambil mempertahankan mulutnya agar tidak mengumpat di depan dosen muda ini. Emang bener kata Pak Paulus Wiratno, tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini. Selalu ada keburukan di tengah kelebihan seseorang. Apalagi dengan orang super pintar seperti Haidar ini, pasti Tuhan memberikan ganti atas kejeniusannya itu ke sikapnya yang menyebalkan dan telingannya yang agak b***k. Kalau tidak, Elian dari dulu pasti akan menjadi pengikut abadi dosen muda itu apabila ia sedikit saja mempunyai rasa kemanusiaan dan humor. Karena ketahuilah, di umurnya yang mungkin sekitar 30-an itu, Pak Haidar ini masih terlihat sedikit tampan dan sedikit ... maskulin, mungkin? Tapi, wajahnya benar-benar tidak memalukan untuk Elian ajak ke reuni SMA dan ia pamerkan pada teman-temannya. Elian tahu dosen itu sedikit terkenal di antara cewek-cewek jurusannya. Tentu saja, Elian bukan salah satu pemuja Pak Haidar. Elian lebih suka untuk menjadi pemuja setan daripada harus berurusan dengan dosen muda yang otaknya se-kompleks Game Expander itu. Pak Haidar membuka kacamatanya lalu menatap Elian dengan datar. "Ngapain kamu di sini?" "Eh- itu, Pak. Saya mau minta maaf atas kejadian tadi pagi." Haidar mengerutkan keningnya beberapa detik, lalu mengambil selembar kertas putih dari balik lacinya. "Ini ada tugas buat kelas 3B. Kamu kasih ini ke mereka sekarang. Dikumpulkan besok. Kalau besok jam enam pagi belum ada di meja saya, itu semua salah kamu." Maksudnya apa coba? Kok bisa salah gue? "Maksud, Bapak?" tanya Elian tidak percaya. Apa ini balasan untuk maba tidak tahu sopan santun sepertinya? Tidak bisa. Elian tidak bisa menerima eksploitasi tenaga dan waktu yang semena-mena ini dengan mudah. Besok Elian mulai kuliah jam dua siang. Artinya, datang pagi-pagi ke kampus hanya untuk mengumpulkan tugas kating angkatan 17 ke dosen sialan di depannya ini benar-benar tidak lebih penting dari tidur siangnya. Serius jam enam pagi? Emang siapa yang mau ke kampus jam segitu, sih? "Kamu kasih ini ke ketua kelas 3B. Besok kamu harus mengantarkan hasilnya ke ruangan saya. Harus kamu, tidak boleh diwakilkan. Saya rasa itu cukup jelas," katanya dengan santai lalu memakai lagi kacamatanya dan kembali asik dengan lembar kalkulusnya. Nggak masuk akal. Gue yakin nih dosen ngerjain gue. Kenapa harus gue yang ngumpulin sedangkan ada anak-anak 17 yang lain? Dia nggak tau apa kalau rumah gue 15km dari kampus? "Tapi- " "Kamu boleh keluar sekarang." Oke. Rupanya dosen sialan di depannya ini tidak memiliki masa remaja yang menyenangkan. Mungkin semasa hidupnya sampai sekarang hanya diabadikan untuk menghitung kecepatan air mengalir dari bak mandi yang bocor karena dimakan tikus. Terlalu lama berteman dengan kalkulator membuat otak dosen ini tidak berjalan dengan normal. Lebih baik ia segera meninggalkan ruangan ini dan tidak mencari masalah lagi dengannya. Kalau perlu ia akan duduk paling depan di kelas matematika besok agar tidak tertidur lagi dan tidak membuat kesalahan yang kedua kali dengannya. Elian mengambil kertas soal yang berada di meja Pak Haidar. "Permisi, Pak," ucapnya lalu pergi dari ruangan itu sebelum ia keracunan gas sianida dan ditemukan tewas bersama dosen gila itu. Kalau dipikirkan lagi, hidupnya di sini terlalu tidak bermakna, tidak jelas, dan tidak pernah berpihak padanya. Elian ingin pindah jurusan tahun depan, tapi mengingat soal-soal SBMPTN kemarin, Elian menggelengkan kepalanya kuat. Ia sudah membakar buku-bukunya tanpa tersisa selembar pun sekarang. Waktu itu benar-benar masa paling kelam dalam hidup Elian. Ia harus mengerjakan semua soal di buku 1120 halaman itu dengan diawasi ibunya yang tidak bosan melihatnya belajar sampai malam. "Nanti dulu main hpnya, Yan. Kan Mami udah bilang setelah jam 12 kamu bisa ngapain aja. Lima jam ini kamu harus fokus belajar," ucap Maminya dulu ketika Elian mengambil ponselnya diam-diam. Bahkan untuk menghubungi temannya pun Elian tidak diijinkan. "Kamu bisa tanya Bang Vio. Dia lebih pintar dari teman-temanmu." Bayangkan Elian dikarantina setiap malam dari 19.00 WIB sampai 00.00 WIB selama 30×3 hari. Bagaimana Elian bisa melewati hari-hari itu? Elian-pun tidak tahu. Meskipun di saat-saat seperti itu ibunya akan siap siaga menyediakan segala makanan yang Elian mau, tapi percayalah, melihat barisan angka tak terdefinisi akan membuat nafsu makanmu hilang seketika. Sepertinya waktu itu bukan jiwa Elian yang ada di tubuhnya. Karena meskipun dengan belajar se-ekstrim itu, Elian tetap saja bodoh seperti sekarang. Lagian, sepertinya Elian tidak diizinkan masuk ke jurusan desain visual. Orangtuanya, meskipun berpendidikan tinggi tapi tetap saja menganggap kuliah desain itu tidak terjamin masa depannya. Elian sebenarnya cukup heran, bukankah desain itu lebih keren daripada jurusannya yang hanya melahirkan b***k korporat ini. Setidaknya di desain, Elian bisa berkarya dengan tangannya sendiri. "Kamu jangan begitu. Kamu di Teknik Kimia itu bukan hanya akan menjadi pegawai pabrik. Kamu bisa mengembangkan ilmu yang kamu terima itu untuk membuka pabrik baru, sedikit demi sedikit dan membuka peluang kerja bagi orang lain. Betapa mulianya hal itu, Yan, kamu menyelematkan banyak orang di negara ini," tambah kakaknya yang membuat Elian mengerutkan keningnya heran. Mana bisa kalimat seperti itu keluar dari mulut konyol kakaknya yang tidak lulus TPQ itu? Dari tampangnya yang sekarang mengedipkan sebelah matanya kepada Elian, dia tahu kakaknya itu pasti hanya pencitraan di depan orangtuanya. Pasti ada maunya. Dasar si Jarwo! "Darimana lo?" tanya Keisha yang berdiri di luar lab proses dengan setumpuk kelas folio lusuh di tangannya. "Dari ruangan Pak Haidar," jawab Elian dengan lemah. Kemudian Elian menatap Keisha dengan serius. "Gue yakin Pak Haidar masih jomblo, Kei." Keisha terlihat terkejut dengan mata berbinar menatap Elian penuh perhatian. "Hah? Serius lo? Tahu darimana? Masih ada kesempatan buat gue, dong?" Elian mendesah melihat Keisha yang sedang dikelabuhi oleh hormon oksitosin itu. "Gue yakin tuh orang masih jomblo karena nggak mungkin lah ada cewek normal yang mau sama dia. Lo belum tau aja sikap aslinya kayak gimana. Gue peringatin lo ya, mending lo deketin si Seno, anak mesin yang selalu pake sarung ke kampus itu daripada Pak Haidar. Seno seratus kali lebih baik," kata Elian berapi-api. "Gila lo, ya! Lo satu-satunya cewek yang nggak suka sama Pak Haidar di kampus ini, El. Lo kenapa sih dendam banget sama dosen ganteng itu? Gue nggak rela ya lo jelek-jelekin Pak Haidar gue tanpa alasan yang jelas. Meskipun lo sahabat gue, tapi lo nggak lebih penting dari Pak Haidar, calon suami gue." Keisha memasang muka menyebalkan lalu berkata lagi, "Gue hanya akan menyerah sama Pak Haidar kalau gue tau ternyata dia penganut poligami. Itu aja." Elian memutar matanya jenuh melihat sahabatnya itu. Tidak perlu indera keenam untuk menebak bagaimana rumah tangga Keisha dan Pak Haidar kelak jika mereka menikah. Mungkin mereka akan mendiskusikan teori kuantum mekanik di meja makan setiap pagi dan menghiasi dinding kamar mereka dengan rumus-rumus sialan yang bahkan membuat nyamuk enggan masuk kedalamnya. Elian tersenyum geli memikirkan hal itu sampai ia merasakan kepalanya terantuk sebendel folio yang dibawa Keisha. "Mikirin apa sih lo sampe senyum-senyum kayak gitu?!" Elian berhenti tersenyum dan menatap Keisha serius. "Ketua kelas 3B siapa ya, Kei?" tanya Elian ketika ia teringat bahwa dirinya harus memberikan soal yang dipegangnya itu kepada anak kelas 3B. "Kenapa emangnya?" Elian mendesah pelan. "Gue disuruh dosen kesayangan lo itu buat ngasih soal ini ke kelas 3B," jawab Elian sambil menunjukkan selembar soal tugas yang diberikan Haidar. "Raken." Elian mendelik tak percaya. "Siapa?" "Raken. Ketua himpunan kita," ucap Keisha santai sambil mengambil ponselnya dari saku kemejanya. "Mantan lo, masa lupa?" "Kok dia sih, ogah gue. Mending gue kasih ke anak 3B lain atau lo yang ngasih soal ini ke dia. Ya, Kei? Sumpah gue lagi nggak pengen ketemu k*****t itu," ucap Elian sambil memegang tangan Keisha dengan tatapan memohon. "Tolong gue lah, Kei," mohon Elian lagi ketika Keisha terlihat tak peduli. "Gue sebenarnya pengen ya ketemu cowok ganteng nan manis yang sayangnya mantan lo itu, tapi gue harus ketemu Pak Bregas buat ngasih tugas ini sekarang. Dan gue ada kuis setelah ini. Jadi mending lo temuin Raken sendiri. Kalian bisa mengenang masa lalu sambil minum es teh di kantin. Kelihatannya menyenangkan, El," ucap Keisha yang membuat Elian memelototinya dengan horror. "b*****t lo." Keisha melihat jam tangan putih yang bertengger di tangan kanannya. "Gue harus pergi sekarang. Oh ya, tadi gue sempet liat Raken lagi di studio baca sendirian. Samperin aja. Semoga aja lo nggak baper lagi ya, El. Bye." Keisha benar-benar meninggalkan Elian sendiri yang tengah bingung apakah ia harus memberikan soal ini kepada si k*****t itu atau tidak. Sebenarnya Elian tidak punya pilihan lain karena bahkan ia tidak mengenal satupun kakak tingkat 2017 yang bisa dihubunginya. Tidak usah kaget. Elian selalu berhasil izin ketika ada acara jurusan dan kumpul-kumpul yang bertujuan untuk mengakrabkan diri kepada kakak tingkat lainnya. Elian hanya merasa, sebuah keakraban dan pembicaraan yang asik itu tergantung kepribadian orang masing-masing, kecocokan amunisi pikiran mereka dan hal itu tidak bisa dicapai dengan hanya acara-acara singkat satu malam yang hanya menyita waktu Elian untuk melakukan hobi desainnya yang baru saja ia kembangkan. Elian sebenarnya tipe orang yang lebih suka mengerjakan sesuatu sendiri dan ia sadar lingkungan yang ia tinggali sekarang ini bertolak-belakang dengan keinginannya itu. Kesolidan yang dibanggakan anak-anak teknik ketika ospek itu kadang-kadang membuat Elian terkekang dan ia benci harus diatur-atur untuk selalu berkumpul satu angkatan dan membuat waktu untuk dirinya sendiri berkurang. Apalagi di tempat asing yang bahkan tidak Elian tahu secara pasti apa yang dipelajarinya ini. Mungkin Elian akan terus membujuk orangtuanya agar mengizinkannya pindah jurusan tahun depan. Di sini benar-benar bukan dirinya dan Elian merasa bosan, apalagi dengan adanya laki-laki k*****t yang sekarang menatapnya dengan alis badainya yang berkerut itu. "Ngapain kamu ke sini? Jangan bilang kamu kangen sama aku?" kata k*****t tak tahu diri itu ketika Elian masuk dan menghampirinya dari sekian banyak orang di studio baca itu. Sumpah. Elian ingin menumpahkan segelas Americano yang ia bawa itu ke laporan praktikum berjudul 'Operasi Teknik Kimia' yang sedang k*****t itu kerjakan. Tidak perlu segelas. Mungkin setitik noda akan membuat k*****t itu gelagapan. Patut dicoba. Siapa tahu k*****t itu bisa segera sadar bahwa dirinya hanyalah butiran biskuit yang bahkan hanya dilewati oleh segerombolan semut di lantai. Tidak penting. Juga tidak membuat kenyang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD