Spesialis Memaksa

1410 Words
Entah mengapa hatiku terenyuh saat melihat Mas Dion pergi meninggalkanku. Aku merasa bersalah karena tidak sempat membaca pesan singkat darinya. Itu benar-benar diluar kesengajaanku. Jam sudah menunjukkan pukul empat sore, dan aku berinisiatif untuk mengirim pesan singkat kepada Mas Dion. Ya, seharusnya aku meminta maaf padanya, 'kan? Asha “Mas pulang kerja barengan atau nggak?” Aku mengetuk pelan meja dengan telunjukku sambil memandangi layar ponselku yang tergeletak di atas meja kerjaku. Ting! Aku meraih ponselku dengan cepat dan membuka balasan pesan singkat dari Mas Dion. 082368xxxxxx “Ya.” “Ya ampun, Mas … Mas, beku, nih, ponselku terima pesan dari kamu,” gumamku seorang diri. Setelah jam kerja berakhir, aku berpamitan dengan Mas Abi. Dengan langkah cepat, aku bergegas keluar kantor, tidak sabar untuk bertemu Mas Dion. Namun, langkahku terhenti tiba-tiba ketika Mas Rayyan meraih tanganku. “Ay.” “Loh, Pak.” Aku melirik ke segala arah, berusaha melepaskan diri dari genggaman tangan Mas Rayyan. “Pak, tolong lepas. Saya tidak mau ada yang salah paham dengan—” “Saya perlu bicara dengan kamu, Ay.” Mas Rayyan mengatakan itu sambil melepaskan genggamannya. “Pak, tidak ada yang perlu dibicarakan lagi. Hubungan kita tidak akan berjalan baik, lagi pula kita juga belum memulai—” “Kamu mungkin belum mencintai saya, tapi bagaimana dengan saya?” Aku menatap Mas Rayyan, tak percaya dengan apa yang baru saja diucapkannya. “Bagaimana dengan saya yang sejak lama menunggu momen ini? Ini hanya pernikahan bisnis, Ay. Saya bisa membuat perjanjian pernikahan dengan wanita itu—” “Pak!” Aku menggeleng. “Tidak perlu sampai seperti itu.” “Ay—” “Ayasha.” Aku dan Mas Rayyan kompak menoleh ke arah panggilan itu. “M—mas Dion.” “Sudah lama menunggu? Ayo, kita pulang.” Aku berpamitan pada Mas Rayyan, menegaskan lagi penolakanku terhadap idenya sebelum akhirnya memutuskan untuk pergi. Mobil sudah meninggalkan pelataran kantor, tapi baik aku maupun Mas Dion tetap terdiam. Tanpa menunggu di halte, Mas Dion meminta aku naik ke mobilnya yang terparkir di halaman kantor. Untungnya, kantor terlihat sepi sore ini, mungkin karyawan lain sudah pulang. Aku memang keluar sedikit lebih lama. “Saya tidak sengaja bertemu Mas Rayyan di depan kantor.” Aku mulai bersuara, menjelaskan kejadian tadi padahal dia tidak bertanya. Entah kenapa, aku hanya tidak ingin dia salah paham. “Hm.” “Mas, jangan diam aja, dong. Saya takut masa.” “Saya dengar apa yang kalian bicarakan tadi, Sha.” “Oh, ya?” Mas Dion menoleh ke arahku dan mengangguk. Ada rasa lega begitu mendengar ucapan Mas Dion. Aku berusaha menjaga hatinya agar tidak salah paham, karena sebelumnya dia meminta aku untuk menjauhi Mas Rayyan, alasannya pasti sama dengan Mas Abi, ‘kan? Dia tidak ingin aku tersakiti oleh sikap Bu Anggita lagi. Aku menatap bingung jalanan di sekitar, tidak tahu ke mana Mas Dion akan membawaku. “Mas, kita mau ke mana?” “Butik Mama. Jam delapan malam ini, temani saya ke acara opening hotel sahabat saya.” “Mas, ih.” Aku mendengus kesal, Mas Dion ini memang spesialis memaksa orang, dan anehnya, aku mau-mau saja. Aku memberitahu Bude bahwa aku akan pulang sedikit lebih malam karena akan menghadiri acara pembukaan hotel klien bersama Mas Dion. Aku tidak sepenuhnya bohong, tapi aku yakin Bude pasti heran. Atasanku 'kan Mas Abi, kenapa aku malah pergi bersama Mas Dion. Tak apa, nanti setiba di rumah, jika Bude membahasnya, aku akan jujur. Aku sengaja memasang wajah tak enak dipandang, biarkan saja. Aku memang kesal padanya. Setelah sampai di butik, aku langsung masuk ke kamar pas. Aku membawa tiga baju yang sudah disiapkan oleh staf Bu Ara, sedangkan Mas Dion menunggu di sofa depan kamar pas. Aku mengikat rambutku asal dan memakai long dress merah dengan belahan bagian bawah hingga ke atas lutut. “Not bad.” Aku membuka tirai, memanggil Mas Dion. Dia terdiam sesaat, lalu berkomentar. “Kamu mau menggoda siapa, Sha?” “Mas Dion.” Aku mengedipkan sebelah mataku padanya, lalu terkekeh saat melihat dia menggelengkan kepalanya melihat keusilanku. “Bercanda, Mas, serius amat. Jadi ganti, nih?” “Ganti!” titahnya. Baju kedua adalah sabrina dress berwarna hitam, panjangnya mencapai lutut. Aku merasa ini cocok untukku. Namun, begitu keluar, belum sempat mengatakan apapun, Mas Dion sudah menggeleng tak setuju seraya berkata. “Ganti.” Kali ini aku menolak, karena percuma saja aku mencoba baju terakhir. One-shoulder dress. Aku memperlihatkan baju ketiga pada Mas Dion. Dia meletakkan iPad-nya dan berjalan ke arah deretan baju yang tergantung di dekatnya sambil menggerutu. “Jualan apa sih di sini? Mama ini kekurangan modal apa gimana, hampir semua bajunya kurang bahan,” gerutunya sambil memilah baju di hadapannya. “Mas, ini saja, saya suka kok baju yang ini.” Aku menunjuk sabrina dress yang saat ini aku kenakan. Mas Dion menoleh, lalu kembali mengalihkan pandangannya. “Saya tidak mau kamu jadi pusat perhatian buaya di sana.” Aku menelisik wajah Mas Dion dari samping hingga seutas senyum terbit begitu saja. “Kamu suka yang ini, Sha? Tidak terbuka di bagian atasnya, tapi tetap elegan.” Aku tak menjawab, masih asyik menikmati pahatan wajahnya yang enak dipandang. “Sha,” panggilnya. “Suka, Mas.” *** Aku mengenakan dress pilihan Mas Dion, model a-line yang melebar ke bawah. Bagian pinggang dress ini dihiasi dengan aksen kerutan di pinggirnya. Sementara itu, bagian lengannya didesain dengan model balon yang pendek, lengkap dengan kerutan di ujungnya. Dress berkerah v-neck ini berwarna dongker, senada dengan jas yang dipakai Mas Dion. Aku menggerai rambutku dan memoles wajahku se-natural mungkin. Aku tersenyum memamerkan gingsulku padanya, dan dia hanya mengangguk. Lalu, kami melangkah masuk ke dalam mobil. Mobil sudah terparkir di halaman hotel. Mas Dion membukakan pintu mobil untukku. Ini pertama kalinya dia melakukannya. “Jangan jauh-jauh dari saya, Sha.” Aku mengangguk. “Jangan makan dan minum selain yang saya berikan kepada kamu,” sambungnya. Kali ini aku tidak mengangguk, tapi menghentikan langkahku. “Kok serem, sih, Mas. Ini opening hotel atau acara apa, sih?” Mas Dion memegang tanganku, menarik dengan lembut, dan menuntunku masuk ke dalam lift. “Mas.” “Turuti saja.” Begitu keluar dari lift, kami langsung berada di sebuah ballroom yang megah. Aku mengamati setiap tamu yang datang, hampir semua wanita yang hadir mengenakan outfit yang luar biasa. Tidak jauh dari ketiga dress yang telah aku coba tadi, hanya warna dan modelnya yang bervariasi. Aku selalu mengagumi karya terbaik dari para desainer. “Ih, insecure saya. Cantik dan anggun semua coba.” Aku menunjuk rata tamu yang memenuhi ruangan. “Saya hanya ingin ditemani kamu, Sha. Bukan mengajak kamu kontes busana.” “Ah, Mas, mana paham,” gerutuku. Mas Dion mengajakku bertemu dengan pemilik hotel ini, temannya yang bernama Lukas. “Bro—Wow, beautiful.” Pria di hadapanku mengulurkan tangannya untuk berkenalan, tetapi Mas Dion menepisnya. “Namanya Ayasha, sekretaris Mas Abi.” “Oh, come on. Btw, kenapa sekretaris Mas Abi bersama kamu?” “Ada yang melarang?” Oh, ya ampun, Mas Dion, ternyata sikapnya memang begini pada siapapun. “Wait, sekretaris Mas Abi yang kemarin—” “Congratulations, Lukas,” pangkas Mas Dion kemudian menyalami Lukas. Aku benar-benar tidak diizinkan Mas Dion jauh darinya meski lima langkah sekali pun. “Mas.” “Hm.” “Saya mau ke toilet.” “Baik, saya antar.” “Mas, nggak cukup ngintip saya di toilet kantor?” “Sha.” Akhirnya setelah menang berdebat dengan Mas Dion, aku diperbolehkan pergi tanpa ditemaninya. Setelah menuntaskan keinginanku dan merapikan penampilanku, aku keluar dari toilet. Di ujung lorong, aku melihat seorang pria yang sedang memainkan ponselnya. Begitu aku melewatinya, dia menghalangiku, tersenyum, dan mengulurkan tangannya. “Sejak tadi saya memperhatikan kamu. Saya Bimo, boleh berkenalan ‘kan? Siapa namamu?” Aku menjawab tanpa menyambut uluran tangannya. Aku hanya menganggukkan kepalaku saja. “S—saya Ayasha.” “Ayasha, kamu lebih cantik setelah dilihat dari jarak sedekat ini.” Pria bernama Bimo ini mendekatiku, dan aku mundur beberapa langkah menjauhinya. “Maaf, Mas, saya harus kembali ke aula.” Aku mencoba melewatinya, tapi dia meraih lenganku dan menarikku hingga tersandar ke dinding. “Mas, jangan macam-macam!” Aku mencoba melepaskan genggamannya dari lenganku. Sakit, semakin aku berusaha melepaskan diri, semakin kuat dia meremas lenganku. “Mas? Aku suka panggilan itu. Apa kamu juga memanggil Dion dengan sebutan yang sama?” “Tolong! Mas Dio—” Bugh! Ah!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD