Semakin Lekat

1447 Words
Ayasha’s POV “Sha, duduk di sini,” titah Pakde. Huh, sepertinya aku tahu topik yang akan dibahas oleh Pakde. Aku duduk di bangku teras depan bersama Pakde, sementara Bude sudah masuk ke dalam rumah lebih dahulu. “Kamu akrab dengan Pak Dion?” Nah, benar ‘kan. Pakde ini bukanlah tipe orang yang suka basa-basi. Aku menceritakan kedekatan antara aku dan Mas Dion hanya karena selalu membantunya atas permintaan Bu Ara. Saat menjelaskan ekspresi wajah Pakde, sulit kuartikan. Meskipun wajahnya terlihat jutek, sebenarnya pakdeku ini baik dan ramah, lho. Setelah selesai bicara dengan Pakde, aku undur diri dan masuk ke dalam kamar. Tok, tok, tok! “Sha.” Kali ini suara Bude menyapaku dari luar kamar. “Loh, belum mandi, Sha?” tanya Bude begitu pintu terbuka. “Sebentar lagi, Bude.” Bude masuk ke dalam kamar setelah meminta izin padaku, dan aku bergelayut manja memeluknya sambil berjalan ke arah kasur. Begitu Bude duduk di pinggir kasur, aku menariknya, berbaring dan meletakkan kepalaku di pahanya. Bude mengelus lembut kepalaku, dan aku memejamkan mata karena merasakan nyaman yang luar biasa. “Sha.” “Iya, Bude,” jawabku masih memejamkan kedua mataku. “Pak Dion kok bisa ganteng begitu, ya?” Mendengar pertanyaan Bude, aku membuka mata dan memicingkan mata ke arah Bude. “Mana anaknya sopan lagi,” tambah Bude. “Nggak mungkin ‘kan Bude suka dengan Mas Dion? Ingat suami Bude.” “Hus! Kamu ini.” Aku terkekeh saat Bude memukul gemas lenganku. “Kamu memangnya nggak suka dengan Mas Dion?” Aku menimbang-nimbang pertanyaan dari Bude juga perasaanku, tapi tak kunjung mendapat jawabannya. Suka seperti apa yang Bude maksud? Siapa yang tidak menyukai Mas Dion? Fisiknya saja membuat wanita manapun tak memalingkan pandangan saat di dekatnya, meskipun sikapnya dominan ketus, dan tak bersahabat. Namun, aku tidak memiliki perasaan spesial lainnya. Sejujurnya, aku heran dengan sikap Bude dan Pakde. Mereka tampak menerima Mas Dion dengan biasa saja. Padahal, aku sempat mengkhawatirkan sikap mereka pada Mas Dion. Berbeda dengan dulu saat aku pernah mengajak teman sekolahku mampir saat dia mengantarku pulang. Sejak saat itu, Pakde menegaskan aku tak diperbolehkan berpacaran, padahal saat itu aku dan Rendi hanya berteman saja. Memang Rendi menyukaiku, tapi saat itu dia tak menuntutku lebih, hanya mengutarakan perasaannya begitu saja. *** Pagi ini, aku sudah menunggu Mas Dion di dekat gang masuk rumahku. Semalam, dia memaksaku untuk berangkat bersamanya. Lalu tadi, dia mengabari kalau sudah dekat. Ada apa dengannya? Sikapnya aneh menurutku. Oh, ya, sikap yang tak kalah aneh adalah Bude. Tiba-tiba pagi ini, beliau menitipkan sarapan untuk Mas Dion, padahal aku sudah bilang sebelumnya bahwa Mas Dion dan aku tidak memiliki hubungan apa pun, dan dia bukan atasanku. Mas Abi saja yang sudah tiga tahun menjadi atasanku belum pernah mendapat perhatian seperti ini. Begitu mobil melaju, aku mengeluarkan kotak sarapan berisi roti lapis. “Mas, sudah sarapan?” Mas Dion menggeleng. “Bude bawain, Mas, sarapan, nih.” “Untuk saya?” tanyanya tak percaya, dan aku menjawab dengan anggukan. “Kamu sudah sarapan?” “Sudah—ini mau disimpan di mana, Mas?” tanyaku sambil mencari tempat yang tepat untuk meletakkan kotak sarapan ini. “Saya mau makan sekarang, Sha, tadi tidak sempat sarapan.” Aku membuka kotak sarapan dan mengambil satu roti lapis. Saat aku mendekatkan roti itu ke arahnya, Mas Dion langsung melahap dari tanganku. “Loh, nggak pegang sendiri?” “Susah sambil nyetir.” Tanpa protes, aku kembali mendekatkan roti pada Mas Dion. Kali ini lebih dekat agar dia tidak kesusahan. Mas Dion sudah menghabiskan dua dari tiga roti lapis yang Bude bawakan. Mobil berhenti begitu sampai di halte, Mas Dion mengambil roti terakhir dan kembali melahapnya. Aku mengeluarkan air mineral dari tasku dan memberikan padanya, bersamaan dengan Mas Dion yang mengarahkan potongan terakhir roti lapisnya ke mulutku. “Kenyang,” ujarnya. Begitu aku menerima suapannya, Mas Dion juga menerima air mineral dariku. “Saya turun, ya, Mas. Terima kasih tumpangannya.” Aku menerima botol air dari Mas Dion sebelum keluar dari mobilnya. *** Pagi ini, meeting divisi pemasaran dipimpin langsung oleh Mas Abi. Meeting yang seharusnya kemarin dijadwalkan ulang pagi ini. Pembahasannya tentang strategi pemasaran terbaru. Mas Abi lebih dulu keluar dari ruangan begitu meeting selesai. Setelah mengirim notulen rapat hari ini kepada Mas Abi dan manajer pemasaran, aku mengangkat sambungan dari interkom yang masuk. “Ke ruangan saya, Aya,” titah Mas Abi. Setelah mengakhiri panggilan, aku bergegas menuju ruangan Mas Abi. Mendengar sahutan dari dalam ruangannya, aku pun membuka pintu dan menghampiri meja kerja Mas Abi. “Iya Pak?” Mas Abi mengembuskan napas panjang. “Duduk, Aya.” “Bagaimana keadaan kamu sekarang? Sudah lebih baik?” Aku mengangguk. “Saya sudah lebih baik, Pak. Maaf membuat Bapak khawatir, lagi, untuk kesekian kalinya.” “Saya bersedia menemani kamu bertemu dengan kenalan Mama yang bisa membantu mengatasi traumamu, Aya.” Aku hanya diam. Ini bukan tawaran pertama dari keluarga Bu Ara, tapi lagi-lagi aku merasa tidak membutuhkannya. “Saya tidak memaksa kamu,” lanjutnya. “Terima kasih pengertiannya, Pak.” Mas Abi melirik jam yang melingkar di tangannya. “Temani saya makan siang, ya,” pintanya. Aku tersenyum juga mengangguk bersamaan. Sepanjang jalan menuju lift kami masih sempat bersenda gurau. “Mau ke mana, Mas?” Aku menatap Mas Abi dan Mas Dion bergantian. Lalu, melempar senyum ramah pada Mas Dion. Bukannya balasan senyuman yang aku dapatkan darinya, melainkan tatapan yang menyeramkan. “Makan siang, ikut yuk,” ajak Mas Abi. “Lanjut saja, Mas.” Aku dan Mas Abi masuk ke dalam lift direksi, begitu juga dengan Mas Dion. “Mau makan siang di mana memangnya?” tanya Mas Abi pada adiknya. “Belum tahu. Tadi, aku ngajakin seseorang, tapi sepertinya dia tidak mau. Membaca pesan singkatku saja tidak,” ujarnya tanpa menatap siapa pun, pandangannya tetap lurus ke depan. Aku mengangguk-angguk saja mendengar pembicaraan adik dan kakak ini. Aku merogoh ponselku di dalam tas, ingin kembali mengecek reservasi restoran langganan Mas Abi yang akan kami datangi siang ini. Sebentar, aku melipat bibirku, melirik ke arah Mas Dion yang mengamati pergerakanku, dan menatapku tajam. Ternyata, dua puluh menit yang lalu, dia mengirim pesan singkat padaku yang isinya mengajakku makan siang bersamanya. Bukan mengajak, pesan singkat yang dia kirim lebih kepada memaksa. Berarti seseorang yang dia maksud tadi aku ‘kan? “Yakin tidak mau ikut?” tawar Mas Abi sekali lagi begitu kami sudah berada di lobi kantor. “Tidak, Mas.” Setelah berpamitan pada Mas Dion, aku melangkah menuju ke mobil Mas Abi. Sepanjang perjalanan pembahasan kami tak jauh-jauh dari pekerjaan, aku tak heran untuk yang satu ini. Begitu sampai di restoran, kami langsung memesan menu makan siang andalan Mas Abi. “Nah, ini kesukaan kamu.” Mas Abi memberikan potongan paha bebek goreng ke piringku. “Terima kasih, Mas.” “Sambalnya jangan banyak-banyak!” Aku meringis saat Mas Abi meninggikan suaranya ketika panik melihatku mengambil sambal lebih banyak. Berulang kali aku mengecek ponselku, pesan yang telah aku kirim untuk Mas Dion sudah dibaca, tapi belum juga ada balasan. Padahal, tadi aku sempat melihat bahwa dia sedang online. “Aya.” Aku mengangkat pandanganku saat Mas Abi memanggilku. “Saya ingin menyarankan sesuatu pada kamu, boleh?” “Apa itu, Mas?” “Jauhi Rayyan, saya tidak mau hal seperti kemarin terulang lagi.” Aku mengiyakan ucapan Mas Abi, jelas aku menerima sarannya. Aku memang tak menjelaskan detail keputusanku membuka hati untuk Mas Rayyan, aku hanya menegaskan bahwa aku tak memiliki perasaan apapun terhadap Mas Rayyan. Mas Abi mengutarakan kekesalannya atas sikap Ibu Anggita dan memintaku untuk menjauhi ibu juga anaknya. Aku sangat bersyukur dikelilingi orang-orang yang baik salah satunya Mas Abi. Dia adalah Bos juga merangkap seperti kakak yang peduli terhadap adiknya. Jam istirahat kantor sudah berakhir, aku dan Mas Abi juga sudah kembali ke kantor. Begitu keluar dari lift, Mas Abi pamit lebih dulu karena dia harus menemui Mas Nadeo. Aku melambatkan langkahku saat melihat Mas Dion duduk di pantry. “Mas,” panggilku saat memasuki pantry. Mas Dion menoleh lalu memalingkan wajahnya lagi. Begitu mendekat, aku melihatnya tengah menyantap roti sambil sibuk memainkan ponselnya, sepertinya sedang berkirim pesan dengan seseorang. Dan ada sekaleng kopi instan di hadapannya. “Mas udah makan atau belum?” “Ini lagi makan.” “Roti?” Mas Dion melahap potongan terakhir roti di tangannya, lalu meraih kaleng kopi, tapi aku menahannya. Aku memberikan botol air mineral padanya. “Saya pesankan makan siang, ya, Mas.” Aku mengeluarkan ponselku, kali ini gantian Mas Dion yang menahanku. “Tidak perlu, saya tidak lapar. Sudah waktunya kembali bekerja, Sha.” Mas Dion mengelus kepalaku sebelum pergi meninggalkanku. Entah kenapa hatiku terenyuh melihat dia pergi meninggalkanku. Mas Dion.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD