Dion’s POV
“Sha.”
“Hm?”
Aku menyeka sisa es krim di sudut bibirnya. “Saya tidak mau kamu dekat dengan Rayyan lagi.” Dia terdiam, menatapku dengan tatapan teduh dan menenangkan.
“Lalu, saya bolehnya dekat dengan siapa?”
“Saya, kamu hanya boleh selalu di dekat saya.”
Kami saling menatap lekat, dan tiba-tiba, Ayasha menyemburkan tawanya. “Nah, ini baru lucu, Mas,” ujarnya disertai cekikikan.
“Menurutmu ini lucu?” Ayasha mengangguk berulang kali sambil menyantap kembali es krimnya. “Tertawalah, kalau itu bisa membuatmu lebih baik, Sha.”
“Mas, saya pengen cobain es krim, Mas, boleh?” Kali ini giliran aku yang mengangguk setuju.
“Hm … enak, Mas,” rengeknya, lalu mengecap seperti anak kecil.
Selain keras kepala, ternyata Ayasha juga memiliki sisi manja seperti anak kecil. Ini adalah sisi yang tak pernah malu dia perlihatkan padaku.
“Mas Dion.”
“Ya.”
“Mas lapar atau nggak?”
“Lapar.”
“Mas, demi apa? Kurang-kurangi—”
Kalimatnya terhenti sejenak ketika aku menyuapkan es krim ke mulutnya. Aku tahu dia ingin protes, alih-alih marah, dia malah tersenyum lebar. Matanya bersinar penuh kegembiraan, dan dia membuka mulutnya lagi, memberi isyarat agar aku menyuapkannya lagi. Tanpa menunggu waktu lama, aku kembali menyuapinya.
“Kita makan setelah ini.”
“Nggak mau.”
“Sha.”
“Gimana rasanya diketusin? Mas, ngomongnya lebih lembut coba,” pintanya.
“Ayasha, setelah ini kita makan, ya,” ulangku sekali lagi dengan kalimat yang sama, tapi dengan nada yang berbeda.
“Iya, Asha mau, Mas,” jawabnya tak kalah lembut. “Bentar-bentar, saya barusan lihat, Mas, senyum.”
Aku memalingkan wajahku, tetapi dia menarik lenganku seraya tersenyum.
“Mas! Beneran, tadi saya lihat, Mas, senyum, ya, ‘kan?”
“Nggak.”
“Tuh, iya, saya lihat. Ih, bener lagi, Mas.”
Kali ini, aku tak bisa menahan senyumku. Dan dia ikut tersenyum sambil menopang wajahnya dengan kedua tangannya menatapku. Lalu, aku menutup matanya dengan sebelah tanganku.
Ayasha, oh, Ayasha.
***
Kami sudah tiba di restoran yang direkomendasikan Ayasha. Dia sempat menawarkan untuk take away, tapi aku menolaknya. Dia seolah tahu keresahanku. Untuk kesekian kalinya, aku tak masalah berada di keramaian bersamanya.
“Mas mau pesan apa?” tanyanya begitu kami duduk di salah satu meja di sudut ruangan.
“Kamu saja yang pilihkan saya, Sha—kenapa?” Aku mengerutkan kening, saat melihat Ayasha menatapku sambil tersenyum.
“Begini seterusnya, ya, Mas. Bicaranya lembut seperti ini.”
“Tergantung,” jawabku kembali ketus. Dan dia menggerutu tak menentu, lucu sekali.
Begitu pesanan kami datang, Ayasha mengambil nasi dari bakul nasi yang disediakan, lalu memberikannya padaku. Dia juga mendekatkan sop iga ke arahku.
Saat dia ingin menuangkan air putih ke gelas, aku menahannya.
“Kamu makan saja, Sha.”
Terlambat, dia sudah menuangkan segelas air putih untukku.
“Iya, Mas. Saya yakin, Mas, pasti suka dengan menu yang saya pilihkan.”
Selanjutnya kami makan dengan khidmat. Benar kata Ayasha, aku suka dengan menu yang dia pilihkan. Lain kali aku akan datang lagi ke sini.
“Saya dengar kamu lanjut pendidikan desain mode?” tanyaku begitu makanan di hadapan kami habis tak bersisa.
“Keluar jalur, ya, Mas?” Dia meringis, sebelum menyesap minumannya. “Doakan, ya, Mas. Selama ini saya hanya otodidak, ikut beberapa kursus dan pelatihan begitu saja, Mas. Saya juga punya mentor di bidang ini.”
“Kamu mengubur impian kamu dengan menerima permintaan Mama dan Papa untuk mengambil jurusan bisnis?”
Itulah yang aku ketahui. Ayasha mendapat beasiswa dari Papa dan melanjutkan pendidikan di bidang administrasi bisnis.
Dia bercerita bahwa dia sangat suka menggambar. Ayasha bilang, dia bersyukur bertemu dengan Mama dan dapat bekerja di butik Mama. Dia bahkan mendapat kesempatan belajar dan dimentori langsung oleh desainer yang bekerja sama dengan Mama. Sebelumnya, Mama sempat ingin menyekolahkan Ayasha di bidang yang disukainya ini. Namun, dia menolak karena baginya mendapat beasiswa dari Papa saja sudah sangat dia syukuri. Hingga mendapat kesempatan mendampingi kedua anak Papa selama ini, Mas Nadeo dan Mas Abi, saat mengemban jabatan mereka.
Sedang asyik mendengar cerita dari Ayasha, tiba-tiba suara deringan telepon dari ponselnya mengintrupsi pembicaraan kami.
“Malam, Mas,” sapa Ayasha setelah izin padaku untuk menerima panggilan telepon dari Mas Abi.
Aku menggeleng heran melihat Mas Abi, tak ada habisnya dia mengejar Ayasha dengan tuntutan kerja bahkan hingga malam begini.
“Kita pulang sekarang, Sha?” tanyaku setelah panggilan Ayasha dengan Mas Abi terputus.
“Boleh. Ayo, Mas.”
Seperti biasa, aku hanya mengantar Ayasha sampai gerbang depan rumahnya.
“Sha.”
“Iya, Mas.”
“Saya serius dengan ucapan saya tadi. Saya tidak setuju kamu bersama dengan Rayyan.”
“Iya, Mas.” Ayasha sudah bersiap keluar dan melepas seatbelt-nya.
“Sha.”
“Iya, Mas, iya. Saya tidak akan lagi berhubungan dengan Mas Rayyan—” Ayasha menatapku, lalu aku memberi isyarat padanya untuk melihat ke arah seorang lelaki paruh baya yang saat ini berdiri di dekat gerbang rumahnya.
“Mas.” Ayasha meremas-remas tanganku, dia tampak panik. “Mas langsung pulang sekarang saja, ya. Hati-hati, Mas,” ujarnya.
Aku melepas seatbelt dan membuka pintu mobil.
“Mas!”
“Saya memang dikenal galak, tapi saya paham sopan santun, Sha.”
“Tapi—Pakde saya lebih galak.”
Aku keluar dari mobil bersamaan dengan Ayasha.
“Selamat malam, Pak,” sapaku pada lelaki yang wajahnya tanpa ekspresi.
“Malam.”
“Saya—”
“Pak Abi? Ini, loh, Pak, bosnya Ayasha,” sambung seorang wanita yang usia terlihat sedikit lebih muda dari lelaki di sebelahnya. Seketika, wajah yang tadinya datar menjadi lebih hangat, meskipun masih sangat kaku.
“Maaf—”
“Pakde, Bude, ini bukan Mas Abi. Ini Mas Dion, anak bungsu Bu Ara.” Pakde dan Bude saling menatap heran.
“Saya Dion, Pak, Bu.” Aku menyalami keduanya dengan takzim.
“I—iya, maaf, ya, Mas, kami tidak tahu.” Aku mengangguk paham.
Aku diajak masuk ke dalam rumah, padahal Ayasha sudah menolaknya. Ya, bukan aku yang menolak, tetapi Ayasha. Entah apa alasannya aku tidak tahu.
Ayasha terus berada di sampingku, hingga membuat pakde dan budenya heran.
“Sha, kamu ngapain di sini? Ya, dibuatin minum, masnya.”
“I—iya Bude.”
Sebelum meninggalkanku dia sempat berbisik. “Mas, jangan singgung soal perjodohan, ya.” Aku mengangguk paham.
Pakde dan Bude menyambutku dengan hangat, bertolak belakang dengan apa yang disampaikan Ayasha. Setelah bercerita banyak hal dengan keduanya, aku memutuskan untuk undur diri karena malam semakin larut.
“Mas Dion, lain waktu main ke sini, biar saya masakin. Ini, loh nggak dihidangin apa-apa. Saya kira Ayasha hari ini diantar supir Bu Aya lagi.”
“Supir? A—ah, Iya, Bu, tidak perlu repot-repot.” Aku melirik Ayasha yang sedang meringis.
“Panggil Bude juga, loh, Mas.”
“Iya Bude.”
Ayasha izin mengantarku sampai ke mobil. “Hati-hati, ya, Mas,” ujarnya.
“Kamu pernah diantar Pak Giyoto?” Ayasha menggeleng.
Pak Giyoto adalah supir pribadi Papa dan Mama, tapi dia dipanggil hanya saat-saat diperlukan saja.
“Lalu?”
“Jangan marah, ya, Mas,” lirihnya.
“Sudah tidak usah dijelaskan, besok saya jemput kamu pagi.”
“Kemana, Mas?”
“Kerja, bukannya kamu bilang saya supir pribadi yang selalu mengantar dan jemput kamu?”
“Bukan gitu, loh, Mas—”
Ternyata instingku benar, beberapa kali mengantar Ayasha pulang, dia mengaku pada Pakde dan Budenya kalau dia diantar oleh supir pribadi Mama, entah apa maksud dari kebohongannya.
“Tambahkan nomor ponsel kamu, Sha.” Aku memberikan ponselku padanya.
Dia hanya menekan nomor ponselnya tanpa menyimpannya. Setelah menamai kontaknya di ponselku, aku melajukan mobilku meninggalkan halaman rumah Ayasha.
***
Pagi ini, Ayasha kembali mengaturku. Semalam begitu sampai di apartemen, aku menghubunginya. Aku berinisiatif untuk menjemputnya di rumah dan berangkat bersama, tapi dia menolak. Dia memintaku menunggunya di gang dekat rumahnya. Dan sebelum tiba di kantor nanti, aku harus menurunkannya di halte.
Begitu masuk ke dalam mobil, dia mengeluarkan kotak sarapan berisi roti lapis.
“Mas, sudah sarapan?” Aku menggeleng. “Bude bawain, Mas, sarapan, nih.”