Menghibur Ayasha

1074 Words
Dion’s POV Sungguh, aku kesal bukan main dengan Ayasha, semudah itu dia menolakku. Namun, semudah itu pula dia menerima orang lain. Bukankah itu namanya pilih kasih? Sudah berbaik hati aku perhatian ingin mengantarnya. Sebentar, aku perhatian? Padanya? Sudah aku bilang Ayasha ini berbahaya. Dia sangat manipulatif, aku harus menghindarinya. Aku bersyukur dia sudah menemukan cara untuk membatalkan perjodohan kami, tapi ada rasa tak rela secara bersamaan saat tahu lelaki yang dia maksud adalah si Rayyan. Aku tidak suka melihat Ayasha bersama Rayyan. Aku tak melihat ketulusan di matanya, lebih kepada obsesi, ya, dia terlihat terobsesi pada Ayasha. Hari-hari yang aku lihat hanya pemandangan yang membuat mataku sakit, yaitu kedekatan Ayasha dengan Rayyan. Akhirnya aku memutuskan untuk mencari tahu sesuatu tentang Rayyan. “Ada apa dengan ini orang, bro?” tanya Lukas dari seberang telepon. “Gimana sudah dapat?” “Nggak susah carinya, secara Rayyan anak tunggal Pramudji pengusaha tersohor di Bandung. Mirip Mas Nadeo, baru banget diangkat jadi penerus papanya, lagi trainning-lah istilahnya.” Mendengar banyak informasi dari Lukas, aku semakin tak terima kalau Ayasha bersamanya. “Ada artikel yang baru di release, nih, aku kirim,” tambah Lukas. Begitu panggilan terputus, aku langsung memeriksa berita yang Lukas maksud. Aku menyeringai dan memuji instingku. Aku harus menemui Ayasha, dia harus tahu berita ini. Aku berjalan cepat menuju meja kerjanya, tapi langkahku terhenti saat mendengar tangisan yang terdengar begitu menyesakkan. Aku melangkah pelan menuju ruang VIP yang tertutup rapat dan membukanya perlahan. “Mas.” Aku melihat Mas Abi memeluk Ayasha yang terduduk di lantai, tubuhnya bergetar hebat. Mas Abi meletakkan telunjuk di bibirnya meminta aku untuk diam. Terlambat, Ayasha sudah mendengar suaraku, Ayasha melepas pelukan Mas Abi dan menghapus jejak air mata di pipinya. Aku melihat tangannya masih gemetaran. “Ada apa ini?” *** Mas Abi meminta aku duduk, saat ini aku sudah di ruangannya. Ayasha, begitu melihatku dia langsung keluar dari ruangan. Sepertinya menuju toilet, karena penampilannya tadi tampak berantakan. “Sudah bisa cerita, Mas?” Mas Abi mulai bercerita, tadi Rayyan meneleponnya, dia meminta Mas Abi menemui Ayasha di ruang VIP. Ayasha baru saja bertemu dengan Ibu Anggita Pramudji, ternyata beliau tidak suka dengan kedekatan anaknya dan Ayasha. Rayyan menerangkan sebelum dia meninggalkan Ayasha, dia sempat melihat tangan dan bibir Ayasha bergetar, tapi dia tak bisa tetap di sana karena Ayasha terus memintanya pergi. Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD)? “Bukan kali pertama Ayasha mengalami ini, jika dia melihat kejadian kecelakaan atau merasa tertekan, ingatannya akan kembali pada kejadian di mana dia mengalami kecelakaan dan kehilangan kedua orang tuanya.” Aku masih asyik dengan pikiranku. “Aku lihat kamu dekat dengan Ayasha.” “Dion! Melamun.” “Gimana, Mas?” “Aku lihat kamu dekat dengan Ayasha, padahal sebelumnya anti wanita.” Aku menelisik wajah Mas Abi, sepertinya dia tidak tahu perihal perjodohanku dengan Ayasha. Aku mengedikkan bahu acuh. “Kami tidak sedekat itu.” “Kamu ada meeting divisi, Mas, sore ini?” “Besok pagi.” Aku meninggalkan ruangan Mas Abi. Begitu melewati meja kerja Ayasha, aku melihat dia sudah di mejanya dan fokus dengan kegiatannya. Begitu sadar aku mendekat, dia berdiri menyapaku. “Nanti pulang dengan saya,” titahku. “Heh, nggak—” “Saya tidak terima penolakan.” “Saya meeting divisi, loh, Pak Dion yang ter—” “Meeting divisi diganti besok pagi.” “Heh? Benarkah?” “Saya tunggu kamu di halte.” Aku pergi meninggalkannya yang baru saja mengangkat interkom-nya, pasti dia ingin mengklarifikasi informasi dariku pada Mas Abi. “Ayasha sulit mengatasi perasaan dan kenangan traumatisnya.” Tok, tok, tok! Aku mendengar suara ketukan pada jendela di sebelah kiriku, memecahkan lamunanku, dan melihat Ayasha melambaikan tangan. Begitu pintu mobil terbuka, Ayasha masuk dan duduk. Dia tidak menyapaku atau sekedar basa-basi, hanya diam menatap lurus ke depan. Aku belum pernah diperlakukan seperti ini oleh wanita, sangat menguji kesabaranku. Aku mendekat ke arah Ayasha dan dia menjauh. “Mau apa, Mas?” Dia menjauh dan mengilangkan kedua tangannya di depan dadanya. “Saya kira kamu kode minta dipasangin seatbelt.” Ayasha mendorongku dan segera memakai seatbelt-nya sendiri. “Nggak lucu, Mas.” “Menurutmu begitu lucu?” Ayasha tidak menjawab, justru ekspresinya yang saat ini terlihat lucu di mataku, lihat saja lirikan mata dan bibirnya tampak kompak satu sama lain. “Saya mau ajak kamu ke suatu tempat.” “Nggak perlu—” “Sha, jangan menolak saya terus. Sekali-sekali menurut saja apa salahnya?” “Loh, ‘kan Mas yang minta saya buat nggak dekat-dekat, kalau belum punya cara batalin perjodohan. Saya gagal—” “Sha, it’s ok. Kamu tidak perlu mengkhawatirkan itu lagi.” “Beneran apa? Mas suka menyudutkan saya tiba-tiba, ngeselin.” “Saya minta maaf untuk itu. Kita jalan sekarang, ya.” “Tapi, Mas—” “Sha.” Dia meringis lalu menangguk patuh. Aku akan melupakan sejenak perjodohan itu, aku tak ingin membebaninya lagi. Nanti, aku sendiri yang akan memikirkan caranya. “Toko es krim?” Aku mengangguk dan mengajaknya turun. Aku sudah memarkirkan mobilku di depan toko gelato yang direkomendasikan Dito. Katanya selain rasanya yang tak diragukan, pilihannya juga bervariasi dan tempatnya bagus. Ayasha tampak antusias memilih rasa yang dia inginkan. Melihat senyumnya saat ini kalian pasti tak percaya bahwa tadi dia baru saja menangis hebat. “Mas mau rasa apa?” “Kamu saja yang pilihkan.” Sejujurnya aku enggan berada di keramaian begini, tapi kali ini tak apa, melihat Ayasha tersenyum bahagia karena semangkok es saja hatiku jauh lebih tenang. Kami memilih duduk di sisi luar, menikmati semilir angin sore ini. “Mas suka atau nggak?” Aku memicingkan mata padanya. Pertanyaan semacam apa ini? “Es krimnya, loh, Mas, es krim. Kenapa wajahnya galak amat, sih, Mas? Senyum gitu, loh, gini, ha.” Ayasha mempraktekkan cara tersenyum padaku. Memangnya aku anak kecil. “Dih, pelit.” “Saya suka, Sha.” “Apa?” ketusnya. “Ah, Mas, sakit.” Dia mengeluh sakit saat aku menarik pipinya. “Meskipun kamu menilai saya galak, tapi saya tidak keras kepala seperti kamu.” Ayasha tak menanggapi, dia lanjut menikmati es krimnya. Apa aku salah bicara? Wajahnya yang semula ketus berubah menjadi datar. “Sha.” “Hm?” “Saya tidak mau kamu dekat dengan Rayyan lagi.” Ayasha menatapku, tatapannya teduh juga menenangkan. “Lalu, saya bolehnya dekat dengan siapa?” “Saya, kamu hanya boleh selalu di dekat saya.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD