Layu Sebelum Berkembang

1665 Words
Aku memang belum mengiyakan ajakan dari Mas Rayyan, sejak awal aku sudah ragu saat dia menawarkan akan menjemputku di rumah Bu Ara. Pasalnya, jarak dari tempat tinggalnya ke sini sangat jauh, mana sudah malam begini. Aku menolak ajakan dari Mas Dion karena, ya, untuk apa? Aku hanya tidak ingin Bu Ara menyangka kami sedekat itu. Toh, pada akhirnya, aku akan menolak perjodohan ini. Aku bahkan berinisiatif untuk pulang naik taksi online, syukurnya Mas Abi menawarkan diri untuk mengantarku. “Loh, kamu yang antar Ayasha, Bi?” tanya Bu Ara sambil menatap aku dan Mas Dion yang sudah menaiki tangga. “Iya, Ma.” Bu Ara tampak kecewa. Aku yakin ini tak sesuai dengan rencananya. Aku tak seperti Mas Dion yang tak peka dengan keadaan. Hari ini, pasti Bu Ara sengaja membuat aku bersama Mas Dion. Saat mencuci piring tadi, aku memuji masakan, Bi Rina, beliau bilang menu makan malam tadi Bu Ara pesan dari temannya yang baru membuka usaha ketring rumahan. ART di rumah ini tak sesibuk itu hingga tak bisa membantu anak kesayangannya di apartemen. Bagaimana kalau pada akhirnya keputusan yang aku berikan tak sesuai harapannya. Aku harus mulai mencari kado terbaik untuk menggantikan permintaannya. Bu Ara menyiapkan bungkusan untuk Pakde dan Bude. Luar biasa baik beliau pada keluargaku. Mobil yang dikendarai Mas Abi meninggalkan halaman rumahnya. Aku memberitahu Mas Abi tentang ide Mas Rayyan yang ingin menjemputku, dan akhirnya aku menolak. Saya juga menceritakan alasan penolakanku. “Wah, Rayyan gentol banget ngejar kamu.” “Mas sendiri punya kekasih nggak bilang—M—mas.” Tiba-tiba, Mas Abi menginjak rem mendadak. “Maafkan saya, Aya—kamu nggak apa-apa?” Aku mengangguk. “Hati-hati, Mas,” lirihku. “Iya, iya, maafkan saya,” ucap Mas Abi, kemudian melajukan mobilnya. Suasana mendadak hening, padahal tadi ada saja yang kami ceritakan. “Perihal ucapan Mama—” “Nah, iya, siapa, Mas? Saya kenal atau nggak?” Mas Abi menghentikan mobilnya tepat di depan gerbang rumahku. “Sejujurnya kami belum resmi menjalin hubungan.” Mas Abi menghembuskan napasnya. “Doakan semoga perasaan saya ini berbalas, ya, Aya.” “Uuu … Semangat berjuang, Mas. Perlu tim sukses nggak, Mas? Saya bersedia.” “Tidak, Aya, tidak perlu. Kamu ini ada-ada saja. Sudah sana turun, saya langsung pulang. Kamu ‘kan selalu melarang saya menyapa pakde dan bude-mu.” Aku meringis, lalu keluar dari mobil. “Hati-hati, ya, Mas, terima kasih.” Mas Abi mengangguk. “Mas,” panggilku saat Mas Abi menaikkan kaca mobilnya. “Hwaiting!” Mas Abi tersenyum seraya menggeleng. Pantas saja Bu Ara tak khawatir dengan Mas Abi, ternyata dia sudah memiliki tambatan hati. Yang meresahkan itu Mas Dion, mana kemarin dia bilang enggan menikah. Memangnya mau jadi perjaka tua. *** Aku semakin dekat dengan Mas Rayyan. Sikapnya padaku benar-benar apa adanya. Perhatiannya, pengertian luar biasa, paket lengkap. Namun, jujur, sampai saat ini, aku belum merasakan sesuatu yang membuat hatiku menginginkannya. Bagaimana, ya, mendeskripsikannya? Belum klik, gitu, loh. “Pacar atau supir pribadi? Setiap hari antar-jemput.” Aku menoleh saat suara itu menyapa pendengaranku. Nah, dia, siapa lagi di kantor ini yang julid selain Mas Dion. Dia juga baru saja tiba di kantor. Sudahlah julid, sok tahu lagi. Mas Rayyan itu tidak setiap hari antar-jemput aku, tapi dia berusaha semaksimal mungkin untuk memanfaatkan waktunya agar bisa bertemu denganku, meskipun hanya sebentar. Aku memahami kesibukannya tidak jauh berbeda dengan Mas Nadeo. “Please, Mas, kurang-kurangi julidnya.” “Saya, kok, kurang suka, ya, lihat Rayyan. Kayaknya kurang cocok dengan kamu, coba cari yang lain, Sha.” Heh. Apa-apa dia ini, sempat menghilang bak ditelan bumi. Sekarang datang mengomentari sesuka hati. Kalau memberi saran tidak masalah, ini tahunya menuntut saja. “Saya nggak minta pendapat, Mas.” Aku mendorongnya saat dia hendak masuk ke dalam lift. “Mas udah punya fasilitas lift sendiri, bye, Mas.” *** Mas Abi ini workaholic-nya pakai banget. Dia nggak akan menyentuh makan siangnya kalau tidak dipaksa. Setelah memastikan Mas Abi melahap makan siangnya, aku juga ikut beristirahat di pantry. Menikmati makan siangku. “Halo, Mas,” sapaku pada Mas Rayyan. “Halo, Ay, sudah makan?” “Baru mau makan ini, Mas—sudah makan?” Aku sempat menjeda kalimatku saat melihat Mas Dion masuk ke dalam pantry. Dia menuju rak kopi. “Belum, masih tanggung.” “Tapi, Mas, sempat telepon saya.” “Harus, saya nggak tenang kalau nggak dengar suara kamu.” “Basi, Mas, udah, ah, saya mau makan.” “Ay, sebentar.” “Ya, Mas?” “Saya pengen ajak kamu makan malam dengan Mama, tapi saya harus pastikan jadwal beliau dulu, kamu mau?” Mendadak lidahku kelu, bukankah ini terlalu cepat? “Mas yakin?” “Saya memang mau meyakinkan kamu, Ay.” “Mas, kabarin kalau sudah ketemu waktunya, ya.” “Thanks, Ay. Sore ini saya nggak jemput. Besok kita ketemu lagi, ya.” “Iya, Mas.” Aku segera mengakhiri telepon dengan Mas Rayyan. “Mohon maaf, ini makan siang saya.” Aku mengetuk punggung tangan Mas Dion dengan telunjukku. Mas Dion ini makin ke sini makin meresahkan. Dengan tak tahu malu dia memakan bekal makan siangku, tanpa permisi. “Mas, saya belum makan,” rengekku. “Oh, kirain nggak mau makan. Soalnya nggak disentuh, asyik teleponan. Saya khawatir mubazir.” “Mas, nggak lucu.” “Saya memang sedang tidak melucu.” Mas Dion meninggalkan pantry membawa segelas kopi buatannya. Ngeselin, bener nggak, sih? *** Setelah makan siang, Mas Abi dan manager pemasaran meeting di luar. Beliau sengaja memintaku standby di kantor untuk mempersiapkan meeting internal dengan full tim divisi pemasaran sore nanti. Lita mengirim pesan singkat padaku. Aku membuka link berita yang Lita kirim. Aku menyeringai saat membacanya. “Berita Pertunangan Rayyan Pramudji Utama Group dengan Jaslyn Qinara Putri Bungsu Anugrah Group.” Belum selesai membaca berita itu, masuk panggilan telepon dari nomor Mas Rayyan. “Halo, Mas.” “Ay, saya perlu bicara dengan kamu, nanti sore saya jemput—” “Selamat, ya, Mas, atas pertunangannya.” “Ay, kita harus bicara, kamu harus dengar penjelasan dari saya.” “Mas, nanti telepon, lagi, saya ada panggilan kerja.” Begitu memutuskan panggilan dari Mas Rayyan, aku menerima panggilan dari resepsionis. “Iya, Ki?” “Aya, tamu VIP Ibu Anggita Pramudji, mau bertemu Pak Abi, udah naik lift direksi.” Deg. Ibu Anggita Pramudji? “Aku udah bilang Pak Abi nggak di tempat, tapi dia bersedia menunggu udah janjian katanya. Aya, kamu dengar?” “I—iya, thanks, Ki.” Aku menyambut Ibu Anggita begitu dia tiba di hadapanku. “Sore, Bu, saya Ayasha.” Aku mengulurkan tanganku dan beliau menyambutnya. “Oh, Ayasha, namanya cantik sama seperti orangnya.” “Mohon maaf, Bu, Pak Abi belum—” “Saya ke sini mau bicara dengan kamu, bisa?” Aku menyanggupinya dan menuntun Bu Anggita bersama, bodyguardnya, mungkin, karena postur badan dan penampilannya mendukung. Aku membawa mereka ke ruang tamu VIP. Hanya aku dan Bu Anggita, dia meminta lelaki yang bersamanya menunggu di luar ruangan. “Saya tidak mau basa-basi, singkat ceritanya saya tidak setuju dengan hubungan kamu dengan Rayyan. Saya sudah lama memperhatikan kalian, dan sepertinya anak saya sudah dibutakan oleh cinta. Atau mungkin pelet kamu manjur.” Terdengar kekehan diakhir ucapannya. “Harusnya kamu paham, ya, maksud saya. Tidak perlu ada drama saya merogohkan saku untuk menyuap kamu pergi dari Rayyan ‘kan?” “Oh atau kamu memang membutuhkan kucuran dana? Saya dengar kamu sedang melanjutkan sekolah di bidang fashion? Sebentar-sebentar.” Bu Anggita tampak mengecek ponselnya. “Ini, masukkan sendiri nomor rekening dan nominal yang kamu mau.” Beliau tersenyum sambil mendorong ponsel di atas meja ke arahku. “Bu, maaf, tidak perlu sampai begini. Saya lebih simpati kalau Ibu menyuarakan keinginan Ibu untuk meminta saya menjauhi Mas Rayyan, tanpa perlu mengatai saya seperti ini.” “Ih, bagus. Begini lebih jelas, saya suka kejelasan kamu. Saya minta maaf kalau kamu tersinggung, padahal—” “Lepas!—Ma, ngapain di sini?” Mas Rayyan datang dengan penampilan yang tampak berantakan. “Hai, ini lagi ngobrol dengan Ayasha. Sampai mana tadi? Oh, iya. Saya minta maaf kalau kamu tersinggung, padahal saya nggak keberatan berbagi pada anak yang ditinggal kedua orangtuanya sedari kecil, turut berduka, ya.” “Mama!” Tidak, tidak jangan sekarang, please, Asha. “Ayo, kita pulang, Ma.” “Padahal saya sudah paham, loh, maksud Ibu. Hubungan saya dengan Mas Rayyan belum sejauh itu, pun dengan perasaan kami, ya, ‘kan Mas?” “Ay.” Mas Rayyan menggeleng. “Orang tua saya meninggal bukan waktu saya kecil, Bu, tepatnya saat SMA, harusnya saya bisa disebut remaja saat itu.” “Saya juga nggak sesusah itu, kok, Bu. Saya memang sedang mendalami pengetahuan di bidang fashion, tapi tabungan dan gaji saya sudah lebih dari cukup.” “Ibu tidak perlu khawatir tentang perasaan saya pada Mas Rayyan, baiknya Ibu tanyakan saja perasaan Mas Rayyan pada saya.” “Stop, Ay, kita masih bisa bicarakan ini—” “Rayyan!” “Ma, I love her, please.” Tatapan Bu Anggita menyala, napasnya bahkan berderu ketika mendengar pengakuan putranya. “Pulang, kamu ada meeting setelah ini.” Bu Anggita pergi tanpa permisi. Begitu berdiri tepat di dekat pintu dia kembali bersuara. “Perusahaan atau Ayasha?” “Ma!” Aku meraih tangan Mas Rayyan hingga dia tersentak dan menoleh ke arahku. Mengisyaratkan padanya untuk segera mengejar mamanya. “Kita bicara lagi nanti.” “We’re done, Mas. Harusnya tak masalah, kita tidak menjalin hubungan apa pun.” “Kamu tegasnya kelewatan, Ay.” Mas Rayyan pergi. Sebenarnya aku hanya ingin mempercepat dia pergi dari ruangan ini. Tubuhku tak kuat lagi menahan getaran yang menyiksaku sedari tadi. Tubuhku terguncang hebat, secercah ingatan kecelakaan yang aku alami memenuhi pikiranku. “A—ambu, bapak.” Tangisku pecah bersama guncangan disekujur tubuhku. “Asha, Bapak! T—tolong! Tolong, anak saya.” “Ayasha!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD