“Bismillahirrahmanirrahiim.”
Dia tersadar.
Tapi tidak terbangun.
Semula yang dilihatnya hanya gelap, perlahan tapi pasti cahaya temaram muncul di ujung jalan.
Telinganya menangkap suara asing yang melantunkan kata-kata yang tidak ia mengerti. Semula terdengar jelas, kemudian samar-samar, dan semakin menghilang.
Untuk sesaat dia tidak tahu apa dirinya, bukan siapa lagi. Pikirannya kosong, seperti kertas putih yang belum ternoda. Ketika matanya terbuka lebar dan suara yang ia dengar terhenti, tergantikan oleh dengungan yang memekikkan telinga, diikuti dengan sakit yang menghujam kepala. Tapi tubuhnya tidak bergerak atau bereaksi apapun. Sampai kemudian, semuanya menjadi hening. Dengungan di telinga itu hilang dan rasa sakit di kepalanya mereda.
*
“Hana.” Justin memanggil, namun perempuan di hadapannya hanya bergeming, dengan tatapan kosong yang tidak mengartikan apa-apa.
“Hana.” Dia memanggil lagi, kali ini terdengar lebih rendah. Ada rasa takut yang tersemat dalam di dadanya, dan mengundang rasa takit yang tak kasat mata sampai membuat jantungnya berdetak dengan tidak normal.
Justin takut pada hal yang ditakutkannya akan terjadi.
Dia mengusap rambut Hana dan mencium keningnya lama, mengucap syukur dengan bisikan pelan. Hana masih terdiam, tapi kali ini matanya menatap manik mata milik Justin. Ada kerutan samar di dahinya.
Justin tidak pernah terlalu merindu, tapi saat ini dia merasakannya dengan sangat jelas bahwa betapa dia sangat merindukan manik mata biru itu. Tapi, tetap saja, ada sesuatu yang hilang darinya
Namun Justin tidak ingin memikirkan hal itu terlalu jauh. Yang terpenting adalah Hana telah sadar dan Justin yakin semuanya akan baik-baik saja.
Dia menggenggam tangan istrinya erat, tidak melepaskan tatapan mereka.
“Si-siapa... sssiapa...” ucap Hana terputus dengan suaranya yang serak dan dia seperti kesusahan untuk berbicara.
“A...a... Aaaaaaa...” Mata Hana melotot seketika itu juga dan membuat Justin menjadi sedikit panik.
“Sstt! Sudah... jangan dipaksakan,” katanya, namun Hana tidak berhenti bersuara.
Dengan ekspresi bingung di wajahnya, rasa takut yang tampak jelas di kedua matanya, dia menanyakan pertanyaan beruntun dengan suara lemah; “Siapa kau? Apa yang kau ucapkan tadi? Kenapa aku tidak mendengar apapun? Dan... kemana suaraku?”
Justin menahan napas, dadanya seolah dihimpit batu, sampai untuk menghirup oksigen saja rasanya begitu sulit.
Ya Allah, kuatkan dan sabarkanlah kami, serta berikanlah kami selalu pentunjukMu. Batin Justin berkata, sebab lidahnya terlalu kelu untuk berucap.
Dengan lemas tangannya terulur ke atas ranjang dan memencet tombol untuk memanggil dokter.
***
Jika Hana memang tidak bisa mengingatnya, atau mendengarnya karena tuli, maka Justin tidak perlu kata untuk menunjukkan apapun. Dia juga seolah buta oleh tatapan prihatin dari mertuanya.
Semenjak Hana siuman, Diana, John, Albert, Vionna, bahkan Ellina, langsung menuju ke sana. Kendati dokter masih tidak memperbolehkan mereka masuk karena takut Hana mengalami syok yang berlebihan. Sebenarnya Justin juga tidak diizinkan masuk untuk sementara, namun lelaki itu bersikeras, sehingga di sinilah dia sekarang, memegang tangan istrinya erat, dan mengusap pelipisnya lembut.
Mata Hana yang sembab dan berair tidak juga lepas darinya. Seakan memori di kepala saja tidak cukup untuk membuatnya lupa pada perasaan yang saat ini dirasakannya. Begitu membingungkan, tapi inilah yang dia inginkan.
Semenjak dokter datang tadi, Hana merasa begitu takut. Rasa sakit di kepalanya kembali muncul. Dia menangis tanpa suara sampai kemudian dokter menyuntikkannya obat bius sehingga membuatnya tertidur.
Ketika terbangun, dia telah mendapati Justin di sana. Membuat Hana bertanya-tanya siapa pria ini? Dan direnteti dengan pertanyaan panjang lainnya.
Namun tidak satupun dari mereka bersuara, hanya saling tatap seakan mereka memiliki kelebihan untuk berinteraksi dengan telepati.
Justin yakin bahwa memang benar Hana mencintainya.
Dan jika memang logika telah mustahil membuat mereka bersatu, maka hati akan menemukan jalannya sendiri.
***
“Bagaimana keadaannya, Justin?”
John langsung bertanya ketika Justin keluar dari kamar perawatan Hana.
Justin menatapnya, kemudian tersenyum tipis. “Dia baik-baik saja,” jawabnya.
Tapi John tahu lebih, bahwa keadaannya tidak benar-benar begitu.
“Kapan kami boleh mengunjunginya?”
Tatapan Justin beralih pada sosok Ellina yang berdiri di dekat Vionna. Awalnya Justin terdiam lama, sebelum akhirnya menjawab; “Aku tidak tahu. Mungkin akan lebih baik jika aku menjelaskan ini semua padanya, ketika nanti dia dapat menerimanya dengan baik, maka aku akan memperkenalkan kalian kembali padanya.”
John menatap Justin dengan tatapan menuduh. Air mukanya berubah merah karena marah. Siapa dia pikir dirinya sehingga bisa mengatur-ngatur seperti itu? Bahkan melarangnya untuk menemui anaknya sendiri.
John maju mendekatinya dengan tangan terkepal, namun sebelum ia sempat, Albert telah lebih dulu menerjangnya sehingga membuat Justin yang dalam tingkat kewaspadaan sangat rendah, tersungkur ke belakang dan tubuhnya membentur tembok, menimbulkan suara bedebam yang cukup kuat.
Vionna berteriak pada Albert dan menariknya menjauh dari Justin.
“Ada apa denganmu?!” bentak Vionna padanya, tapi Albert tidak menjawab. Tatapan nyalangnya tertuju langsung pada pria yang perlahan mulai bangkit.
“Aku sudah ingin melakukan itu sejak lama. Sejak si b******n ini mengkhianati istrinya sendiri.”
Justin meringis, bukan hanya karena luka di sudut bibirnya, tapi karena ucapan Albert terlalu menohoknya. “Aku tidak...”
Albert langsung memotong. “Jangan membantah! Kau yang membuat Hana pergi. Ini semua jelas salahmu. Jika saja saat itu kau tidak terlalu bodoh, semua ini tidak akan terjadi.”
Albert memang tidak tahu banyak, namun dia tahu garis besar permasalahannya sebelum mereka kecelakaan. Malam itu, dia mendapat telepon dari Hana dan mengatakan bahwa dirinya akan pergi ke Palestina. Oleh karena itu dia menitip salam pada John dan Diana, juga Justin. Namun Albert tidak menyampaikan salamnya pada mereka, dan menyimpannya sendiri sampai saat ini. Terutama ketika Hana berkata sambil menangis, untuk Justin memaafkannya.
“Maafkan aku,” bisik Justin lirih, dengan kepala tertunduk dalam.
Semua orang menatapnya dalam, terutama John yang tampak kecewa padanya.
“Maafkan aku,” katanya lagi, penuh penyesalan. Semua ini memang salahnya. Jika saja hari itu dia tidak langsung naik darah dan marah-marah pada Hana serta menuduhnya yang tidak-tidak tanpa bukti apapun, mungkin Hana tidak akan pergi, Hana tidak akan menjadi seperti ini. Karena sejatinya, sejak awal Hana lah yang tersakiti.
Justin sadar semua itu sejak awal dia bangun di atas ranjang rumah sakit dan mendapati istri yang dicintainya masih tertidur dalam keadaan koma. Dia telah membisikkan maaf berulang kali, menangis, dan meminta pengampunan padaNya. Namun, rasa bersalah di hatinya tidak kunjung hilang.
“Justin, apa yang telah kau lakukan?” tanya John pelan.
Namun Justin tidak menjawab, memilih untuk terdiam dan menundukkan kepalanya kian dalam.
Albert yang masih menatapnya nyalang, melepaskan diri dari Vionna. “Aku memang masih butuh banyak waktu untuk benar-benar mengerti Hana. Tapi biar bagaimanapun, selama apapun itu dia akan tetap menjadi adikku, keluargaku. Mungkin untuk orang sepertimu yang tidak pernah peduli pada keluarga, tidak akan mengerti...”
“Albert!” Diana memperingatkan.
“Kali ini, Justin, kau diberi kesempatan kedua. Jika kau memang masih menginginkannya sebagai istrimu, maka jangan kau sia-siakan kesempatan itu.”
Setelah mengucapkannya, Albert melangkahkan kakinya pergi.