Sekarang, Hana seolah mengerti. Semuanya tidak lagi terasa aneh. Dokter datang memeriksanya di waktu yang sama setiap hari. Dia hanya memperhatikan. Lalu bertanya-tanya, 'Kenapa ujung tajam jarum suntik itu tidak terasa ketika mereka menusukkannya ke dalam kulitku?' Atau 'Kenapa aku tidak bisa mendengar apa yang mereka katakan?'
Mungkin bagi Hana, dia mengucapkannya dalam hati, tapi tanpa sadar bahwa perkataan di kepalanya itu sampai terucap oleh lidah. Justin yang mendengarnya hanya menatap dalam diam. Dia ingin menjelaskan, namun tidak kuasa untuk melakukannya.
Setelah kepergian dokter, Hana tampak tenang dengan deruan napas teratur. Justin mengiranya sudah tertidur, tapi Hana menoleh ke arahnya dengan mata masih terbuka lebar. Dia seolah mengerti apa yang diinginkannya.
Bangkit dari sofa, lalu mendekati ranjang, Justin menarik kursi di dekat nakas dan duduk di samping Hana. Menatapnya dengan mata mengantuk dan senyuman tipis. Mulutnya terbuka hendak mengucapkan sesuatu, namun terkatup rapat kembali.
Justin menghela napas. Dia bangkit lagi dan merogoh isi tas kerjanya untuk mengambil sebuah memo dan bolpoin. Lalu Justin menuliskan;
'Kau butuh sesuatu, Hana?'
Ketika memberikannya, ekspresi Hana tampak bingung dengan kernyitan di dahi. Lalu beberapa detik kemudian, dia terkesiap. Matanya tidak berhenti menatap kertas yang Justin berikan.
“Hana,” bisiknya dengan mata berbinar-binar.
Justin tersenyum. Lalu berkata; “Bahkan kau tidak ingat siapa namamu, lantas bagaimana kau akan mengingatku?” yang sudah pasti tidak didengar oleh Hana.
Karena melihat Justin yang terbengong-bengong menatapnya, Hana menukik sebelah alis, lalu mengambli bolpoin di jemari lelaki itu. Dia menulis;
'Namaku Hana?'
Kali ini, senyum getir di bibir Justin terganti dengan senyum bahagia dan menatap Hana senang.
'Namamu memang Hana, Hana Azzahra.'
Hana tersenyum ketika membacanya. Entah kenapa, setitik saja cahaya yang mengintip ke kegelapan di kepalanya, dia bahagia sekali. Sebelumnya dia merasa sangat bingung dan ada sesuatu di dalam dirinya yang memberontak seolah ingin dilepaskan karena semua kebingungan ini. Dia merasakan sakit di kepala ketika mencoba mengingat-ingat sesuatu. Sebelumnya juga terlalu takut pada orang-orang di sekitarnya, termasuk dokter dan suster, seakan-akan mereka datang hanya untuk menyakiti. Tapi semuanya baik-baik saja jika bersama pria ini, pikir Hana. Lantas, dia penasaran, lalu menulis di lembaran baru memo tersebut.
'Kau siapa?'
Justin membacanya. Senyumnya menghilang. Dia sudah pernah bilang bahwa dia akan selalu siap pada kemungkinan terburuk apapun, tapi tetap saja rasanya tidak akan berubah, jika sakit akan tetap menjadi sakit.
'Sebaiknya kau tidur, ini sudah hampir tengah malam. Besok keluargamu akan datang dan aku akan menjelaskan semuanya.'
Itu adalah janji. Hana hendak menuliskan protesannya, namun Justin telah lebih dulu bangkit berdiri dan memperbaiki letak selimut Hana, lalu mencium keningnya dan beranjak ke sofa, mengambil posisi yang sama.
Hana merasakan detak jantungnya yang tiba-tiba menjadi dua kali lebih cepat. Ini aneh, pikirnya. Seolah ada perasaan membuncah di d**a yang tidak ia mengerti apa. Dan berpikir bahwa itu karena sejak awal dia memang sudah sakit dan mungkin keadaannya semakin memburuk.
Kemudian dengan pemikirannya sendiri, Hana menutup mata, merasakan detak jantungnya semakin normal. Lalu perasaan itu kembali datang, kekosongan yang terasa jelas, seolah lubang besar di hatinya menganga lebar dengan ketiadaan.
***
Ketika Justin terbangun dari tidurnya, dia melaksanakan sholat tahajjud dan berdzikir sembari menunggu subuh.
Lampu telah dimatikan dan Hana tentu saja masih tertidur. Hanya di saat-saat seperti ini Justin menjadi tenang dan percaya bahwa kata baik-baik saja itu nyata, seperti halnya janji Allah pada setiap hambaNya yang bersabar. Justin akan berpegang teguh pada apa yang telah ia percayai saat ini. Ketika ia sadar menjadi seorang muslim adalah hal terbaik yang pernah dia dapatkan di dunia selain memilik seorang istri seperti Hana.
Pemikiran tentang dirinya yang dulu tidak percaya pada kehadiran Tuhan membuatnya merasa begitu t***l. Dia sempat bertanya, sempat merasa ingin tahu, tapi tidak pernah mencari, sampai kemudian Hana datang.
Ringtone Adzan subuh dari ponselnya terdengar, Justin pun berdiri dan melaksanakan kewajibannya.
Selama itu, dia tidak menyadari bahwa Hana tengah memperhatikan, dengan kernyitan bingung di dahi.
Apa yang sedang pria itu lakukan?
***
Diana dan John datang sekitar pukul sepuluh, membawa parsel buah dan makanan. Wajah mereka berseri-seri, sekalipun Hana tidak mengatakan apapun sejak tadi.
Sebelum kedatangan mereka, Justin sudah bilang bahwa mereka adalah ayah dan ibu Hana. Hanya itu, Justin belum menjelaskan siapa Diana sebenarnya, atau bagaimana kehidupan Hana sebelumnya. Namun ketika melihat senyum di bibir Hana, dia menunda lebih lama untuk melakukannya. Nanti, pikirnya.
Sungguh, lelaki itu tidak tahu apa yang selama ini ada di pikiran Hana. Sekalipun dalam keadaan tidak mengingat apapun, dia seolah tampak baik-baik saja. Banyak merenung atau terbengong-bengong memang, tapi tidak pernah melakukan sesuatu yang berlebihan atau menuntut penjelasan.
Justin bersyukur dan senang, tentu saja. Setidaknya, Hana yang dulu selalu tampak kuat dalam setiap ujian yang Allah berikan, masih sama. Dia adalah perempuan yang cerdas, yang selalu memikirkan setiap ucapan dan tindakannya, sehingga sampai saat inipun masih tetap sama.
Sekalipun pagi tadi Hana bertanya apa itu sholat, dia tidak benar-benar melupakannya. Ketika Justin menjelaskan, Hana langsung paham, dan ketika Justin mempraktekkannya setelah sholat dhuha, Hana langsung ingat setiap gerakannya.
Intinya, Hana hanya perlu sedikit percikan untuk memancing ingatannya kembali. Namun tidak berlaku untuk semua, ada beberapa hal yang coba Justin ingatkan, namun berujung dengan Hana yang meringis sakit kepala ketika mencoba mengingatnya, jadi Justin berhenti dan akan mencobanya dengan perlahan. Dimulai dari hal-hal yang lebih sepele.
“Sampai kapan Hana akan seperti ini, Justin?”
Suara John mengalihkan perhatian Justin dari Hana yang saat ini tengah mengunyah apel yang dikupaskan oleh Diana.
Justin menoleh ke arah John sesaat. “Sampai ingatannya kembali.”
“Apa itu mungkin?” tanya John lagi, mulai terdengar putus asa.
Justin mengeratkan rahang. “Tentu saja mungkin.”
“Kau tidak dengar yang dokter katakan? Hanya keajaiban yang mampu membuatnya kembali ingat.”
Suara John mulai terdengar merengek. Sedangkan Justin masih memasang raut datarnya, dengan tatapan yang terus mengawasi setiap pergerakan kecil sang istri.
“Intinya, itu mustahil,” kata John lagi.
Justin membalasnya dengan dengusan. “Sayangnya, aku percaya pada hal-hal mustahil.”
Kali ini giliran John yang mendengus, seolah menertawakan pemikiran Justin yang terlalu optimis itu.
Tidak menggubris respon sang mertua, Justin malah bertanya; “Apa kau bisa jelaskan kenapa ada bulan ketika siang dan tidak ada matahari ketika malam?”
John terkejut mendengar perkataan sekaligus pertanyaan menantunya ini. Lalu dia tampak berpikir, sebelum akhirnya menjawab; “Aku tidak terlalu paham ilmu astronomi.”
“Aku juga, tidak sampai satu persen ilmu yang ada di bumi yang aku kuasai, belum yang di langit. Bahkan Albert Einstein atau Nichola Tesla saja masih mencari-cari kebenaran ilmu yang mereka dapatkan. Karena sesungguhnya hanya Tuhan yang tahu dan mereka bukan Tuhan,” Justin menoleh pada John, lalu melanjutkan, “Aku bukan Tuhan,” tekannya, “jadi aku tidak akan berpikir keajaiban itu mustahil, karena aku tidak akan tahu apapun yang dikehendakiNya.”
Setelah mendengar jawaban Justin itu, John memilih bungkam dan memikirkannya lebih dalam, bahwa Justin memang benar.
Jadi, sebelum dia dan Diana berpamitan, dipeluknya Justin sesaat. “Aku percaya padamu. Hana pasti akan baik-baik saja, selama kau selalu ada di sisinya.”
Ketika mereka mengurai pelukan Justin ingin membantah, bahwa seharusnya yang benar adalah 'selama Allah selalu ada di sisinya' karena Justin tidak bisa menjamin kehidupan Hana akan menjadi baik-baik sekalipun dia berada di sisi perempuan itu setiap saat, tapi Justin tidak mengatakannya dan menjawab hanya dengan anggukan dan sebuah senyuman tipis.
“Kau harus jaga kesehatanmu juga, jangan lupa makan,” kata Diana ketika mendekatinya di sofa dan mengambil tas, lalu dia berucap lagi; “Dan segeralah berkonsultasi dengan dokter Tiana, aku tidak terlalu percaya pada dokter kandungan manapun selain dia, bahkan dokter kandungan yang sudah kau bayar mahal itu.”
Lagi-lagi Justin hanya mengangguk.
Masih banyak nasehat dan pesan yang Diana ucapkan selanjutnya, sebelum akhirnya dia dan John benar-benar pergi dari sana dan Justin mengantarnya sampai di depan pintu lift.
Ketika kembali, Justin terkejut mendapati Hana yang tengah menangis tersedu-sedu. Dengan kedua tangan yang terus mencoba menghapus air matanya, namun justru tangisannya semakin kencang.
Justin segera menghampirinya dan mencari-cari sumber sakit yang mungkin saja Hana rasakan, tapi tidak ada.
“Kau baik-baik saja? Ada apa?”
Hana mendorong Justin ketika Justin mencoba untuk memeluknya, hal tersebut sontak membuat Justin terhenyak untuk beberapa saat. Tapi dia mencoba dengan sabar dan lebih lembut lagi.
“Hana, hey... ada apa?”
Dan tentu saja, Hana tidak akan mendengarnya. Lantas diambilnya memo kecil di atas nakas beserta bolpoin, meminta Hana menuliskan apa yang ingin diucapkannya, namun lagi-lagi tangan Justin ditepis.
“Kalau saja bisa, aku ingin menanggung semua rasa sakitmu,” katanya, ketika menatap pedih pada sosok Hana yang saat ini tampak sangat rapuh.
Justin memungut memo yang terjatuh di lantai, dan tidak lantas beranjak pergi, malah duduk semakin dekat dan meraih tubuh Hana ke dalam pelukan. Hana memberontak, memukul-mukul lengan kokoh yang melingkarinya, tapi Justin tetap memeluknya bahkan semakin erat.
Dia mengucapkan shalawat dan membisikkannya kepada Hana. Sekalipun tidak didengar, tapi pada akhirnya tangis Hana pun mereda. Dia menyandarkan kepalanya pada d**a Justin, merasakan detak jantung pria itu yang berdetak sangat cepat, dan meresapi usapan halus dan ciuman lembut di pucuk kepalanya.
Ini menenangkan... untuk mereka berdua.