“Kau baik-baik saja?”
Justin mengangguk sambil memegangi kepalanya yang agak terasa pening.
Albert meletakkan sebuket mawar di nakas dan mendekati Justin yang tengah duduk di samping ranjang. Dia menatap pria itu beberapa saat, lalu beralih menatap sendu pada seorang perempuan yang saat ini terbaring dengan mata tertutup di atas ranjang rumah sakit.
“Dia... akan baik-baik saja, kan, Albert?”
Pertanyaan Justin itu, Albert jawab dengan kebisuan. Dia bukan dokter ataupun seorang perawat, tapi dalam keadaan seperti ini, dia bilang; “Ya, dia pasti akan baik-baik saja.” Hanya untuk menguatkan seseorang yang sejatinya lebih kuat dari dirinya.
“Tapi dia tidak akan mengingatku saat ia bangun nanti.”
Albert menutup matanya sesaat. Sudah hampir satu bulan berlalu dan Justin masih saja menanyakan hal yang sama semenjak apa yang dikatakan dokter mengenai kondisi Hana.
“Dia akan baik-baik saja,” kata Albert lagi. Karena sejujurnya, hanya kata itu yang paling mudah ia ucapkan.
“Dan dia mengandung anakku.”
“Dan dia dan anakmu masih akan baik-baik saja, karena Hana yang kukenal adalah perempuan yang kuat.”
“Memang, tapi bagaimana kalau dia kehilangan dirinya yang kau kenal itu?”
Albert menahan napas. Ya, itu adalah kemungkinan terburuknya. Tapi tetap saja rasanya menyakitkan untuk dirinya dan untuk semua orang yang mengenal Hana ketika memikirkan kemungkinan terburuk itu, terlebih Justin.
Selama Hana terbaring di komanya karena kecelakaan beruntun yang menimpanya saat itu, Justin selalu ada di sampingnya. Bahkan ketika keadaannya sedang tidak baik-baik saja, dia selalu minta untuk kamar rawatnya disatukan dengan sang istri, hingga sekarang Justin sudah dapat bebas dari selang infus lalu mendapati vonis dokter yang menyatakan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi pada istrinya.
Hanya satu yang pasti, bahwa Hana tengah mengandung anaknya.
Kenyataan itu telah sedikit mampu mengobati luka di hati Justin. Namun rasa sakit yang akan datang tidak terbantahkan. Ketika terbangun dari komanya nanti, Hana tidak akan mengingat apapun. Dia mungkin tidak akan mengingat caranya membaca ataupun menulis. Mungkin juga dia tidak akan tahu nama suatu barang atau orang. Dan yang terburuk, dia tidak akan ingat siapa dirinya.
Hana akan hilang, tapi Justin berjanji akan menemukannya kembali.
“Aku harus pergi, mungkin akan kesini lagi malam nanti.” Suara Albert itu berhasil memecahkan keheningan di antara mereka.
Justin mengangguk padanya dan tersenyum. “Terimakasih,” katanya.
Albert menatap bingung. “Untuk?”
“Untuk semua yang telah kau lakukan. Aku bersyukur Hana masih memiliki orang-orang sepertimu di sekitarnya.”
Albert tersenyum miris. Tentu saja, sekalipun mereka lahir dari rahim yang berbeda, dia tetap akan menyayangi adiknya.
“Mother will come soon, dengan Ellina, dan kau sebaiknya istirahat saja.”
Karena tidak mendapat jawaban apapun, Albert akhirnya memilih untuk keluar dari ruangan itu.
Setelah kepergian Albert, Justin berbisik, “Hana.” sambil menyentuh tangan dingin sang istri dan menggenggamnya lembut.
Dia menutup buku journal bersampul hitam di pangkuannya dan meletakkannya ke atas nakas, lalu bangkit dan sedikit menunduk untuk mencium kening Hana. “Aku akan selalu menunggumu, sekalipun untuk mendapati yang terburuk.”
Di samping journal yang tadi Justin simpan, terdapat sebuah Al-Qur'an yang kemudian diraihnya, dan dibacanya dengan sangat pelan sambil menahan rasa sakit kasat mata yang semakin hari menyayat hatinya.
Entah sejak kapan dirinya menjadi serapuh ini. Kalau dulu, Justin akan merasa jijik membayangkan dirinya menangis, karena itu adalah suatu bentuk penghancuran image dan pengartian bahwa dirinya lemah sebagai seorang lelaki.
Namun sekarang dia sadar, bahwa air mata adalah bentuk kekuatan seseorang, bahwa kenyataannya hanya orang-orang yang lemah yang tidak pernah menangis.
Sekalipun begitu, Justin tidak lantas menganggap dirinya kuat. Karena jika saja bukan karena Allah yang senantiasa selalu diingatnya, mungkin Justin tidak akan bertahan sampai di sini karena rasa takutnya yang semakin besar seiring hari yang berlalu menunggu Hana membuka matanya.
Hanya berdoa dan berdoa yang mampu ia lakukan. Karena Justin sangat yakin, kuasaNya jauh lebih luas dan Dialah dzat yang Maha Menghendaki. Segala sesuatu ada di tanganNya. Dan ini, adalah sebagian takdir yang telah ditulisNya.
Allah bisa saja menulis takdir yang berbeda, yang lebih buruk dari ini, tapi Dia tidak melakukannya. Jadi tidak ada lagi alasan bagi Justin untuk tidak bersyukur padaNya, kan?