6. Kenapa Harus Senna?

1354 Words
"Ppa..” Rasa lelah yang menyerang Dhaffi selepas kerja langsung lenyap begitu saja setelah ia melihat Kenzie yang berjalan menghampirinya dengan tertatih-tatih. Dhaffi tersenyum lebar, dia segera merendahkan badannya dan mengusap kepala anaknya sekilas. Tentu saja Dhaffi ingin memeluk Kenzie, tapi dia urungkan karena dia baru saja dari luar, sudah pasti banyak debu dan kuman yang menempel di badannya. “Saya mandi dulu, tolong jagain Kenzie ya, Bi,” pesan Dhaffi ke Minah yang mengawasi Kenzie dari belakang. “Sayang, Papa mandi dulu, ya,” ucap Dhaffi lalu beranjak pergi. “Mam—“ oceh Kenzie membuat langkah sang Papa berhenti. Dhaffi menoleh, bersamaan dengan itu Kenzie bersuara lagi. “Mam-mma...” Tercetak garis kerut di kening mulus Dhaffi saat ini. Kenzie... bukan sedang mencari Senna, ‘kan? Mencoba acuh, Dhaffi melanjutkan langkahnya lagi. Namun, suara tangisan Kenzie langsung menggema. Dia seolah ngambek karena sudah diabaikan oleh papanya. “Hei, jangan nangis, Papa mandinya sebentar doang, kok. Janji!” kata Dhaffi memandang Kenzie dari anak tangga. “Mam—pa.” sahut Kenzie dengan terbata. Lalu dengan sigap Minah membawa anak itu ke dalam gendongannya dan mengayun-ayunkan Kenzie agar tenang. “Kenzie sudah makan, Bi? Mungkin dia lapar,” tanya Dhaffi. “Baru selesai minum s**u, Pak,” jawab Minah. Dhaffi mengangguk. Ia menatap Kenzie yang masih menangis di dalam gendongan Minah sambil terus mengoceh ‘Mam-mama.’ Ya, Dhaffi peka kalau anaknya itu sedang mencari Senna. Tapi dia enggan untuk menuruti Kenzie saat ini. Selain karena tidak ingin meminta bantuan dari Senna lagi, Dhaffi juga tidak mau Kenzie jadi terbiasa dengan kehadiran orang asing itu. Alhasil, Dhaffi beranjak meninggalkan Kenzie yang terus menangis. Dhaffi membersihkan tubuhnya dengan cepat, setelah memakai setelan kaos dan celana santai, dia kembali turun ke lantai bawah rumahnya. Dhaffi menghela napas panjang saat mendengar tangisan Kenzie yang masih menggema di rumahnya. “Sayang,” panggil Dhaffi sembari membawa anak manis itu ke dalam gendongan. “Mau apa?” tanya Dhaffi sembari mengelus-elus d**a Kenzie yang cegukan. Saking kelengernya anak itu menangis. “Mam-mma...” sahut Kenzie seakan mengerti. “Nggak ada Mama, sama Papa aja ya.” Dhaffi membawa Kenzie ke ruang tengah, dia duduk di sana dan mencoba mengalihkan perhatian Kenzie dengan mainan. “Mungkin Kenzie nyari Mbak Senna, Pak,” celetuk Minah sebab Kenzie tak kunjung meredakan tangisannya. Dhaffi memejamkan matanya diiringi helaan napas gusar. Dia kembali melek dan menatap Kenzie penuh selidik. Sebenarnya apa yang membuat anaknya selalu ingin dekat dengan Senna? Yang notabene gadis itu hanyalah orang asing dihidup mereka. Kenzie merangkak naik ke atas paha Dhaffi, lalu memukul-mukul perut papanya mengais perhatian. “Mma-Pa..” “Fine! Papa panggil tante Senna ke sini,” final Dhaffi terpaksa. Seolah mengerti dengan ucapan sang Papa, tangisan Kenzie langsung berubah menjadi tawa kecil. Dhaffi yang melihat itu tidak bisa menahan senyum gemasnya. “Happy?” tanya Dhaffi sembari mengangkat Kenzie dan membawanya ke pangkuan. Menanggapi pertanyaan papanya, Kenzie hanya bisa tersenyum. Minah yang menonton interaksi Dhaffi dan Kenzie dari meja pantri jadi ikut tersenyum. Akhirnya Dhaffi mau meruntuhkan gengsinya untuk Kenzie. “Kita telepon tante Senna, ya.” Dhaffi merogoh saku celana boksernya, dia meraih ponsel dan segera berkutik di layar benda canggih itu. Terdengar dering nada panggilan, Kenzie dan Dhaffi sama-sama diam menunggu Senna menerima sambungan teleponnya. “Malam, Pak.” Suara Senna terdengar. Kenzie langsung memukul-mukul tangan Dhaffi excited sambil tertawa kecil. Bahkan mendengar suara Senna saja anak itu langsung senang. “Malam. Senna, kamu di mana?” Bukan basa-basi, Dhaffi hanya ingin memastikan kalau gadis itu sedang senggang sekarang. Dia tidak mau mengganggu aktivitas Senna. “Saya baru sampai kosan, Pak. Ada apa, ya?” Sopan Senna menjawab. Ah, tutur kata dan suara Senna yang halus dan lembut memang sudah dari sananya. “Bisa kamu ke rumah saya sekarang? Kenzie nyariin kamu,” Senna tak langsung menjawab. Mungkin dia juga merasa terganggu karena harus mendapatkan perintah di luar jam kerja. “Tidak bisa, ya?” imbuh Dhaffi sebab Senna tak kunjung memberi jawaban. “Bisa, Pak.” Dalam hitungan detik Senna menyahuti. “Saya ke sana sekarang, Pak.” lanjutnya. Tanpa sadar, Dhaffi mengulas senyum. “Oke. Kamu tunggu aja, supir saya yang bakal jemput kamu.” “Baik, Pak.” Lalu, panggilan Dhaffi putuskan. Tatapan Dhaffi jatuh ke Kenzie yang kini merengut lagi. “Tante Senna nanti ke sini, jadi kamu tidak boleh nangis lagi, ya?” ucap Dhaffi ke Kenzie. “Mam—mma..” Dhaffi menggeleng, ia mengkoreksi panggilan Kenzie ke Senna yang seolah sudah melekat. “No. Tante, bukan Mama.” “Mam—Ma..” “Ya Tuhan...” Sudahlah, Dhaffi pasrah. * * * Dhaffi melirik arloji dipergelangan tangannya. Jam sembilan malam, sudah tiga jam dia meninggalkan Kenzie bersama Senna di ruang tengah. Sambil memijat keningnya Dhaffi melepas kacamata bening yang bertengger di hidung bangirnya. Dia menutup laptopnya dan beranjak keluar dari ruang kerja. Baru menapaki satu anak tangga menuju lantai bawah, samar-samar telinga Dhaffi mendengar suara Kenzie yang tertawa. Dhaffi melongok ke bawah, memandang Senna dan Kenzie yang asik bermain di ruang tengah. Dhaffi terpaku, dia jadi menahan langkah karena tidak dapat mengalihkan pandangannya dari pusat perhatian. Ada rasa bahagia yang menyeruak di hati Dhaffi ketika melihat Kenzie yang tertawa lepas saat ini. Bahkan ketika saat bermain bersamanya, Kenzie tidak pernah tertawa segirang itu. Diasuh oleh Papa dan babysitter sejak lahir, mungkin saja Kenzie mulai menginginkan sentuhan kasih sayang dari sosok ibu di dalam hidupnya. Dan ketika bersama Senna, dia merasakan hal itu. Hanya saja, yang membuat Dhaffi tidak habis pikir. Kenapa harus Senna? “Kenzie pintar, mau peluk?” Dibawah sana, Senna merentangkan kedua tangannya. Bersiap untuk menyambut Kenzie yang sedang belajar berjalan meski tertatih-tatih. “Pelan-pelan, Sayang,” cemas Senna karena Kenzie melangkah dengan tak sabaran. Ia takut anak itu terjatuh. “Mam—mma...” sambil menggumamkan kalimat favoritnya Kenzie melangkah menuju Senna. “Hebat! Tepuk tangannya mana? Yeay!” ujar Senna dengan ekspresif begitu Kenzie mendarat dengan selamat di dekapan hangatnya. “Ppa!” Kenzie mendongak ke atas, dia menemukan radar Dhaffi yang sedari tadi menjadi penonton pasif. Jari telunjuk Kenzie terangkat, menunjuk ke arah papanya yang berdiri di anak tangga. Spontan Senna menatap ke arah yang sama, dengan hati-hati Senna melepaskan Kenzie dari pelukannya. Dia takut Dhaffi marah karena sudah lancang memeluk Kenzie. Karena sudah ketahuan, Dhaffi beranjak turun dan mendekati Senna dan Kenzie. “Ini sudah malam, waktunya tidur,” ujar Dhaffi. Senna langsung berdiri dan membawa Kenzie ke dalam gendongannya. “Saya kelonin Kenzie dulu ya, Pak.” “Ya. Tolong elap wajah dan kaki Kenzie dengan tisu basah sebelum tidur,” pesan Dhaffi. Senna mengangguk patuh, lalu membawa Kenzie ke dalam kamar. Sesuai dengan perintah Dhaffi, setelah merebahkan Kenzie di ranjangnya, Senna segera mengelap wajah, tangan serta kaki Kenzie dengan tisu basah. Setelah selesai, Senna bernyanyi pelan sembari memijat lembut tubuh Kenzie agar mengundang kantuk anak itu. Hanya butuh waktu lima belas menit sampai Kenzie benar-benar terlelap dan Senna bisa tersenyum lega. Sebelum beranjak keluar, Senna memadamkan lampu kamar Kenzie lebih dulu. Senna menghentikan langkahnya yang hendak menuruni anak tangga saat matanya melihat sosok Dhaffi yang sedang duduk di sofa ruang tengah. “Kenzie sudah tidur?” tanya Dhaffi setelah menyadari kehadiran Senna. Senna mengangguk, dia meraih tas selempangnya. “Sudah, Pak,” jawab Senna cepat. “Saya boleh pulang ‘kan, Pak?” imbuh Senna bertanya. Dhaffi mengangguk. Dia beranjak bangkit dan mengantar Senna sampai teras rumah. Sambil menunggu mobil yang akan mengantar Senna pulang, keduanya hanya saling diam. Sampai Sedan hitam berhenti tepat di depan mereka. Senna menunduk hormat ke Dhaffi sebagai salam. “Senna,” panggil Dhaffi menahan Senna yang hendak masuk ke dalam mobil. “Iya, Pak?” “Besok pagi bisa kamu datang ke rumah saya lagi?” tanyanya. Senna tampak berpikir. “Kayaknya—“ Seakan tahu kalau Senna mau menentang perintahnya, dengan cepat Dhaffi memangkas ucapan gadis itu. “Datang. Saya ada penawaran bagus untuk kamu.” “Tapi, Pak—-“ “Hati-hati di jalan. Terimakasih sudah menjaga anak saya hari ini.” Kembali Dhaffi memotong ucapan Senna. Belum sempat Senna membalas, Dhaffi sudah beranjak masuk ke dalam rumahnya lebih dulu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD