"Bu, artikel perusahaan untuk edisi bulan depan sudah saya kirim ke email."
Tessa hanya mengangguk tanpa repot-repot menoleh ke Senna yang baru saja memberikan laporan.
Melihat Tessa yang sepertinya sedang sibuk, Senna segera beranjak dari hadapan wanita itu. Bibir Senna menyunggingkan senyuman tatkala waktu makan siang sudah tiba. Ia tidak sabar untuk mengisi perutnya.
“Senna!” panggil Tessa membuat Senna yang baru saja selangkah keluar dari pintu kantor kembali membalikan badannya dan berlari menghampiri Wakil Manajer itu.
“Iya, Bu?”
“Ini kamu kasih ke Sekretarisnya Pak Dhaffi,” perintah Tessa sambil memberikan Senna tumpukan dokumen.
Senna yang tidak memiliki kekuatan untuk menolak hanya bisa mengangguk patuh dan membawa dokumen itu dengan susah payah ke lantai 22. Lantai di mana ruangan Dhaffi berada.
BRUK!!!
Senna jatuh ke lantai dan membuat dokumen itu bertebaran ke mana-mana. Gadis itu meringis, ia mendongak dan mendapati tatapan tajam dari Melati, rekan kerjanya.
“Kalau jalan lihat-lihat dong, Nna!” bentak Melati lalu pergi begitu saja tanpa membantu Senna atau bahkan sekadar mengatakan maaf.
Jelas-jelas tadi Senna sedang diam berdiri menunggu pintu lift terbuka, dan Melati menabraknya dengan lumayan kencang hingga Senna kehilangan keseimbangan. Tapi, Senna tetaplah Senna yang tidak punya keberanian untuk melawan.
Senna tidak tahu apa yang salah dengan dirinya hingga ia mendapatkan diskriminasi di kantor ini, bahkan sejak hari pertama dia kerja, entah karena latar belakangannya yang hanya dari kalangan orang biasa, atau karena dirinya tidak menyandang gelar sarjana. Mengingat pegawai di kantor ini berasal dari orang-orang kelas atas dan berpendidikan. Tapi bukan berarti dirinya pantas untuk mereka tindas, ‘kan?
Dengan sabar Senna memungut satu per satu dokumen yang berhamburan ke lantai. Beruntung tidak ada yang hilang atau pun terinjak. Jadi Senna bisa melaksanakan tugasnya dengan baik. Dokumen itu sampai dengan selamat di tangan Sarah.
* * *
“Nna, pindah ke meja belakang sana!” Melati lagi, dia datang dengan nampan berisi makan siang di tangannya. Dengan ketus mengusir Senna yang sedang anteng menikmati makan siangnya di kafetaria kantor.
“Mbak makan sendiri? Kenapa kita enggak makan bareng aja?” tanya Senna sambil tersenyum manis. Siapa tahu cewek judes itu bakal luluh kalau melihat senyum manisnya.
“Dih, siapa elo?! Udah sana pindah buruan!” bentak Melati sembari mendorong pundak Senna dengan kasar.
Senna mengulum bibirnya. Sekali lagi dia memupuk kesabarannya karena tingkah Melati. Mau tak mau Senna pindah ke meja di sudut ruang kantin. Dalam hati Senna mendumel, tumben sekali Melati mau makan siang di kantin kantor, biasanya cewek itu makan di restoran luar bersama teman-temannya.
Kalau Senna? Dia sih pelanggan tetap, setiap hari perutnya diisi sama makanan kantin kantor yang sudah cukup mewah baginya. Biasanya Senna makan bersama Selly, satu-satunya teman kantor yang dia punya. Tapi hari ini Selly ngambil cuti karena sakit.
“Pak Dhaffi datang!”
“Gila, mau makan di kantin aja udah kayak mau ke Met Gala. Ganteng banget!”
“Sarah ngapain sih ngintilin Pak Dhaffi mulu.”
“Eh, itu di sampingnya Pak Dhaffi siapa?”
Mendengar gosip kumpulan cewek-cewek di depannya, Senna spontan menoleh ke pintu masuk kafetaria. Mata gadis itu hampir keluar dari tempatnya saat mendapati Dhaffi yang berjalan masuk dan duduk disalah satu meja bersama para Manajer dari beberapa departemen.
Senna mengerjap, agak tidak percaya dengan apa yang dilihat. Selama menjadi langganan setia kafetaria, baru kali ini Senna melihat Dhaffi makan siang di sini.
Dan tak lama setelah kedatangan Dhaffi beserta bawahannya, para pegawai mulai berdatangan. Mungkin ini alasan kenapa siang ini Melati memilih untuk makan siang di kantin kantor, karena ada Dhaffi di sini.
Dalam hitungan menit, kapasitas kantin siang ini langsung penuh.
Dhaffi sudah seperti Idol yang menjadi magnet bagi para penggemarnya.
Karena tidak nyaman. Senna buru-buru menghabiskan makanannya. Ia juga langsung menandaskan air minumnya dan beranjak bangkit dari kursi. Sambil membawa nampan yang sudah kosong Senna berjalan menuju pintu keluar.
BRUK!!!
“Argh..” ringis Senna ketika kakinya diselengkat dengan sengaja oleh seseorang dan membuatnya terjatuh.
“Mau caper ke Pak Dhaffi enggak gitu caranya, cewek kampung.” Suara Melati berbisik di telinga Senna.
Senna menoleh ke kiri, mendapati Melati yang menatapnya dengan senyum mengejek. Lalu kepala Senna menoleh ke kanan, ia lantas meringis menyadari kalau saat ini dirinya menjadi pusat perhatian para pegawai, bahkan dia tersungkur tepat di bawah kaki Dhaffi.
Demi Tuhan, wajah datar pria itu membuat Senna semakin malu, ingin rasanya Senna menghilang dari dunia detik ini juga.
Segera Senna bangkit dan meraih nampannya. Dia menunduk sopan sambil menggumamkan kata maaf ke meja Dhaffi. Karena kekacauan yang dirinya buat sudah mengganggu kenyamanan pria itu, ‘kan?
“Cari tahu tentang gadis itu, Sar.” Adalah kalimat yang Dhaffi ucapkan setelah Senna beranjak pergi dari hadapannya dengan terburu-buru.
“Baik, Pak,” jawab Sarah sembari menatap ke arah Dhaffi yang masih menatapi kepergian Senna melalui tatapannya.
Jika tragedi jatuhnya Senna untuk menarik perhatian Dhaffi, Sarah akui strategi gadis itu berhasil. Sebab sampai saat ini Dhaffi bahkan belum mengalihkan tatapannya sedetik pun dari punggung Senna yang semakin mengecil.
* * *
“Hanya lulusan SMA?” Dhaffi bertanya sembari membaca resume milik Senna yang ia dapat dari Sekretarisnya.
Sebelumnya Dhaffi sudah menduga kalau Senna pasti berasal dari kalangan kelas bawah, tapi ternyata ada yang lebih mengejutkan dari itu.
Senna Ragnala hanyalah lulusan SMA, alias dia tidak memiliki gelar Sarjana. Sementara syarat untuk bisa bekerja di J.S Group adalah orang yang minimal lulusan S1.
Tidak mungkin gadis itu memiliki orang dalam karena seleksi penerimaan pegawai baru J.S Group sangat ketat.
“Siapa HRD yang menerima gadis ini?” tanya Dhaffi ke Sarah.
“Pak Arya, Pak,” jawab Sarah dengan cepat.
“Panggil dia, sekarang!” perintah Dhaffi sembari melempar resume Senna ke meja dengan kesal.
Dhaffi memijat keningnya yang mendadak terasa pening. Matanya menelisik foto Senna yang tertera di kertas resume, pria itu lantas berdecih. “Dasar gadis licik!” desis Dhaffi.
Senna pasti berbuat curang untuk bisa diterima magang di sini. Entah dia memberikan imbalan apa ke Arya
Tok! Tok! Tok!
“Masuk!” jawab Dhaffi cepat, sepersekian detik berikutnya pintu ruangannya terbuka, menampilkan Arya yang muncul dari balik pintu coklat itu.
“Duduk,” perintah Dhaffi dingin. Arya melangkah masuk dan segera duduk tegak di sofa. Sementara Dhaffi enggan beranjak dari kursi kerjanya.
Sebelum membuka percakapan, Dhaffi kembali mengambil resume milik Senna dan membacanya ulang.
“Senna Ragnala. Kamu masih ingat dengan pegawai magang yang kamu wawancarai dua bulan lalu?” tanya Dhaffi dengan tegas.
“Iya, Pak. Saya ingat,” lugas Arya menjawab.
“Bagaimana bisa kamu menerima pegawai magang tanpa gelar sarjana, Ar?” Kali ini Dhaffi tidak dapat menahan dirinya untuk tidak meninggikan oktaf suara.
Arya tersenyum kecil. “Saya punya alasan untuk itu, Pak.” Dengan tenang pemuda tampan itu menjawab. “Selain karena pengalaman Senna yang sesuai dengan posisi yang kita cari saat itu, dia juga memiliki beberapa sertifikat—“
“Saya tidak peduli apapun alasannya!” potong Dhaffi. “Untuk apa saya membuat kualifikasi untuk calon pegawai kalau yang tidak sesuai dengan kualifikasi seperti Senna kamu terima?” sambung Dhaffi tegas.
“Tapi, Pak, saya yang menawarkan Senna untuk bekerja di sini. Dan Papa saya yang merekomendasikannya.”
Skakmat. Dhaffi tidak bisa berkutik lagi. Pasalnya, Arya adalah sepupunya. Dan Papa dari pemuda itu adalah salah satu pendiri Perusahaan ini.