7. Menjadi Babysitter?

1110 Words
Senna Ragnala, 22 tahun dan terverifikasi jomblo ting-ting dari lahir. Menjadi gadis rantau sejak 3 tahun lalu membuat Senna bermental baja. Bekerja di Jakarta menjadi satu-satunya harapan Senna untuk mengubah nasib hidup keluarganya di kampung halaman. Senna mulai meniti kariernya dengan menjadi penulis Artikel di sebuah kantor kecil. Passionnya dalam menulis tidak perlu diragukan lagi, hingga akhirnya dia mendapatkan tawaran pekerjaan dari Perusahaan berstandar kelas dunia. Oh, tentu saja dia seperti mendapat sebuah keajaiban. Tak menyandang gelar sarjana, tapi bisa bekerja di Perusahaan Besar, meski hanya magang dalam kurun waktu 5 bulan. Patut dibanggakan, bukan? Sayangnya, bekerja di Perusahaan ternama tidak seindah yang Senna kira. Perbedaan status sosialnya yang jomplang dan sulitnya beradaptasi dengan pegawai lain membuat Senna tertekan. Apalagi deskriminasi yang dia dapatkan dari rekan sekantornya. Ibu: Nna, jangan lupa sarapan sebelum berangkat kerja. Namun, setiap pesan yang masuk dari ibunya di pagi hari selalu menjadi semangat untuk Senna. Demi keluarga, Senna hadapi semua pegawai sialan itu! Senna membuang ponselnya ke segala arah, dia beranjak bangkit dan membuka tirai jendela. Sinar matahari yang menerobos masuk membuat kamar kosan Senna yang hanya sepetak itu menjadi lebih terang. Mata Senna menyipit, menatap ke arah luar kosan. Gadis itu lantas meringis menyadari mobil Sedan hitam milik Dhaffi yang sudah terparkir apik di halaman kosan. Dhaffi pasti sudah mengirim supir untuk menjemputnya. Buru-buru Senna melangkah ke kamar mandi dan membersihkan diri. Sebenarnya, Senna sudah tidak ingin berurusan Dhaffi lagi. Senna senang bermain bersama Kenzie, tapi dia merasa tidak nyaman karena selalu diawasi oleh Dhaffi. Tatapan Dhaffi yang tajam dan terlihat jelas tidak menyukainya membuat Senna canggung. Setelah menyemprotkan parfume, Senna segera memakai sepatu dan mengunci pintu kosan. Setengah berlari dia menuju mobil mewah yang terparkir itu. "Pagi, Pak," sapa Senna ke Haidi, supir Dhaffi yang sudah paruhbaya. "Pagi, Mbak Senna," jawab Hadi seraya menoleh ke jok belakang. Melihat Senna yang sudah duduk manis dengan seatbelt yang melindungi badannya, Hadi segera melajukan kuda besinya ke tempat tujuan. Jalanan yang masih lenggang membuat Senna sampai di rumah Dhaffi setengah jam kemudian. Senna melukis senyum saat melihat Kenzie yang sedang belajar berjalan bersama Minah di taman depan. Senna turun dari mobil dan langsung menghampiri Kenzie yang berjingkrak senang melihat kedatangannya. "Pagi, Bu," sapa Senna ke Minah. "Pagi, Mbak," balas Minah tak kalah ramah. Senna jongkok, menyamakan tingginya dengan Kenzie. Untung saja dia sudah menyemprotkan cairan antiseptik ke tangannya saat di mobil tadi, jadi Senna bebas mengusap lembut pipi kemerahan Kenzie. "Lagi belajar jalan ya, Sayang?" tanya Senna ke Kenzie. Sebagai respon, Kenzie hanya tertawa saja menunjukkan gigi susunya yang belum tumbuh lengkap. "Mbak, saya titip Kenzie ya, mau bikin sarapan dulu buat Pak Dhaffi," ujar Minah. Senna mengangguk cepat dan segera membawa Kenzie ke dalam gendongannya. "Aku sekalian mau mandiin Kenzie juga deh, Bu," ucap Senna. Minah mengangguk, "Yuk," ajaknya lalu mereka berjalan beriringan ke dalam rumah. Saat Minah berjalan belok ke arah dapur, Senna menapaki anak tangga menuju lantai atas. Ia tampak tidak secanggung saat pertama kali ke rumah Dhaffi. Omong-omong tentang Dhaffi, pria itu belum menunjukkan batang hidungnya? "Kenzie mandi dulu ya, nanti main lagi," oceh Senna. Langkah kaki Senna seketika berhenti saat melewati pintu kamar yang berdecit terbuka, sepersekian detik berikutnya tubuh jangkung Dhaffi muncul dari sana. Segera Senna menunduk hormat dengan sedikit kikuk. "Pagi, Pak," ujar Senna. Dhaffi mengangguk, pandangannya menatap ke Kenzie digendongan gadis itu. "Pagi. Kenzie belum mandi?" tanya Dhaffi. "Baru mau saya mandiin, Pak," jawab Senna, dia tidak bisa membalas tatapan Dhaffi karena gerogi. Untuk pertama kalinya dia melihat Dhaffi memakai kaus tanpa lengan, rambutnya yang berantakan juga menandakan kalau pria itu baru bangun tidur. Tapi, tentu saja Dhaffi tetap terlihat tampan. "Ya sudah," balas Dhaffi lalu berjalan menuruni anak tangga. Senna menghela napas lega. Entah kenapa dadanya berdebar kencang. Mungkin efek melihat Dhaffi pakai singlet. * * * "Mbak, dipanggil Pak Dhaffi," Senna yang sedang menemani Kenzie menyusu spontan menoleh ke Minah yang baru datang. “Pa Dhaffi di mana, Bu?” tanya Senna sembari bangkit dari duduknya. Untungnya Kenzie sedang anteng menonton siaran kartun di televisi. “Di ruang kerjanya, Mbak. Ayo saya antar,” Senna mengangguk, ia segera mengikuti Minah yang menjadi petunjuk arah. Setelah sampai di depan pintu coklat, Minah menyuruh Senna untuk segera masuk. “Permisi, Pak,” ucap Senna membuka pintu coklat itu usai mengetuknya pelan. Dhaffi yang sedang berkutik dengan laptopnya lantas mendongak, “Masuk!” sahut Dhaffi. Dengan menatap Senna melangkah masuk ke dalam ruangan yang penuh dengan buku-buku itu. Ia lalu duduk di kursi yang tersedia di depan meja kerja Dhaffi. “Ekhm!” Dhaffi berdehem, mengusik suasana yang sunyi. Pria itu lantas menyodorkan lembaran kertas ke depan Senna. “Dibaca.” Perintahnya. Senna meraih lembaran kertas putih itu dan membacanya dengan seksama. Tawaran kerja part-time menjadi Babysitter Kenzie. Mata Senna melotot. Namun dia tidak langsung menyanggah. Senna tetap membaca surat itu sampai tuntas. “Ini maksudnya apa, Pak?” tanya Senna. “Kalau kamu sudah baca sampai habis, kamu pasti tahu maksudnya,” jawab Dhaffi. Senna menghembuskan napas panjang. “Bapak mau saya jadi babysitternya Kenzie?” Dhaffi mengangguk cepat. Dia melepas kacamata beningnya lalu menatap Senna dengan serius. “Kenapa harus saya, Pak?” Senna bertanya penasaran. Senna kira, Dhaffi tidak menyukainya. Tapi ternyata pria itu malah ingin memberi tawaran pekerjaan sebagai babysitter anaknya. “Karena Kenzie maunya kamu.” Dhaffi menjawab dengan tegas. “Dan kamu mamanya Kenzie.” imbuh Dhaffi. Sepasang alis Senna lantas menyatu. Ia memasang wajah protes. “Sorry, maksud saya Kenzie mengira kamu mamanya,” ulang Dhaffi mengkoreksi ucapannya sendiri. Senna meletakan surat tawaran itu ke atas meja. “Maaf, Pak, tapi saya enggak bisa.” Tanpa menyurutkan rasa hormatnya Senna menolak. “Kenapa? Kenzie butuh kamu.” Respon Dhaffi langsung tidak terima. Padahal dia sudah menawarkan gaji dengan nominal yang cukup besar, dua kali lipat dari gaji Senna sebagai pegawai magang. Dan juga, ini pekerjaan part-time, tidak akan mengganggu pekerjaan utama Senna sebagai pegawai magang di kantornya. “Saya enggak punya pengalaman menjadi babysitter, Pak,” Alasan Senna simple. Karena dia tidak berpengalaman dan bukan ahlinya mengasuh bayi. Apalagi yang akan dia rawat adalah anaknya Dhaffi, tidak terbayangkan bagaimana protektifnya Dhaffi sebagai orang tua. “Kamu cukup datang dan bermain sama Kenzie, dan saya juga tetap memakai jasa babysitter utama Kenzie,” Senna tetap menggeleng. “Setahu saya, babysitter Kenzie sedang libur. Mungkin setelah babysitternya aktif kerja lagi, Kenzie enggak bakal nangisin saya lagi, Pak. Jadi bapak enggak perlu repot-repot rekrut saya menjadi babysitter.” Gigi Dhaffi menggeletuk, rahangnya mengeras perlahan. Tanpa sadar tangan pria itu terkepal. Keangkuhan sikap Senna membuatnya kesal. “Sebelumnya saya berterimakasih banyak atas tawarannya, tapi maaf saya enggak bisa menerima tawaran dari Bapak.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD