Reda terpaksa duduk di belakang, diboncengi Gazain. Mengenakan rok panjang memaksanya juga untuk duduk menyamping. Reda kira mereka akan bertemu seseorang itu dalam radius dekat, nyatanya hampir satu jam, mulai keram pinggangnya tetap tak ada tanda Gazain akan menghentikan perjalanan mereka.
“Sebenarnya di mana kita akan bertemu dia? Kau sadar sekarang tengah hari? Kau seperti memanggangku!”
“Sekitar setengah jam lagi sampai,” jawab Gazain.
“Setengah jam?! Sama seperti yang lima menit dan lima belas menit lalu kau katakan. Mengapa kau tidak menggunakan mobil perusahaan atau menyewa saja?!”
“Tidak sempat.”
“Siapa yang akan kita temui?”
Sudah lima kali pertanyaan itu muncul. “Orang asing.”
“Berapa kau akan membayarnya?”
Gazain sulit menjelaskan. Makin kencang ditariknya gas hingga Reda berhenti bicara sendiri.
Saat akhirnya mereka sampai Reda langsung bersungut, “Kau tidak sungguh-sungguh ingin mengenalkanku dengan pria menawan. Harusnya aku bisa memakai gaunku, tanpa kain simbolis ini,” ujarnya menyentil jilbab dengan ekspresi jijik.
Gazain tak mau mendengar banyak kalimat Reda, lekas ia masuk ke dalam perpustakaan sebelum Ta kabur atau berubah pikiran.
“Cari buku apa?”
“Templat itu lagi,” keluh Gazain saat Ta menaikkan kepala dari komputer tuanya.
Denting lonceng berbunyi lagi, Reda muncul. “Cari buku apa?” sapa Ta datar.
Reda langsung berbisik kepada Gazain, “Kau salah tempat untuk mengatur pertemuan!”
Tatapan Ta tertuju pada wanita di belakang Gazain. Caranya melihat sekeliling tampak seperti orang alergi dengan debu atau alergi dengan buku atau alergi akan keduanya.
“Dia, Reda,” Gazain mengenalkan.
Ta bangkit dari kursinya. Reda mengerjap, “Ya ampun! Kau tinggi.”
“Dilarang berisik di sini!” tegur Ta atas reaksi berlebihan Reda.
Reda menutup mulut. Ia mencondongkan tubuh ke saudaranya, “Katakan, di mana pria yang kau sebut calon suamiku?”
“Dia, Ta namanya.”
Reda bertaut alisnya. “Kukira Khalid Wandawarma pria paling tinggi yang kutemui setahun ini, ternyata kau lebih tinggi dari dia.” Reda maju, langkahnya sensual, seperti biasa. Tangannya terulur, “Aku Reda. Senang bertemu denganmu.”
“Tapanuli Kahiyang. Ta.”
Ta tak menyambut tangan Reda sehingga Reda merasa diabaikan. “Kau berkacamata, pasti itu alasan mengapa kau tidak jelas melihat pesonaku.” Reda melepas jilbabnya, lalu menaikkan sedikit roknya, juga membuka kancing kemeja teratas dua butir. “Sudah lebih jelas, Ta?” rayunya mengibaskan rambut.
Ta tetap tak bereaksi, Gazain-lah yang menepuk kening melihat kelakuan saudarinya. “Aku sudah membenarkan tebakanmu kemarin,” katanya kepada Ta.
“Dia gila,” ingat Ta datar.
Reda yang tak terima menghalau langkah pria itu dengan berdiri di depannya. Tinggi Reda yang hanya sedada Ta memaksanya jadi menunduk. “Kau tahu kelebihan orang gila? Mereka bahagia.”
Ta melihat Gazain, “Bisa kau bawa pulang dia. Aku tidak bisa membantumu.”
Gazain menarik Reda. Kini berhadapan dengan Ta. “Aku benar-benar meminta tolong kepadamu, Ta!”
“Kau pikir aku tertarik, begitu? Tidak juga!” Reda menendang belakang lutut Ta hingga dia menekuk. “Aku butuh suami. Kau cocok. Mari menikah!”
Ta menghembuskan napas. Sekali ini, energinya akan terpakai. Sia-sia makan, tidur dan pikiran damainya selama sepekan karena bertemu gadis di belakang itu.
Reda bersedekap tangan setelah Ta menegakkan tubuh kembali. “Aku tidak suka kacamatamu atau sikap dinginmu. Kita menikah saja, tidak akan ada juga yang bersedia jadi istrimu secara suka rela. Kau butuh membenahi perpustakaan ini? Oh, atau kau sekedar pekerja bukan pemiliknya? Berapa gaji di sini, cukup untuk makan?”
“Reda ...!” seru Gazain penuh peringatan.
Reda memutar bola matanya. “Aku yang akan menikah bukan kau. Kalau dia tidak lolos, ya sudah, kita bisa mencari pria lain. Sepertinya kau hebat menemukan pria-pria yang tak akan diminati para wanita.”
“Mari menikah,” ucap Ta.
Gazain mengerjap, tergugu bingung sendiri.
Reda mencebik sesaat lalu maju mengulurkan tangan di depan Ta. “Aku akan menghidupimu.” Senyumnya melebar, “Aku tidak suka sikap dinginmu atau penampilanmu yang ... norak, tapi kau menarik secara fisik.”
“Kau tidak menarik sedikit pun,” balas Ta santai.
Reda melotot, mendelik dan menyorot Ta tajam. “Kau bukan butuh kacamata, kau harus ganti mata! Kemari, kucabuti matamu lalu diganti dengan mata sapi!”
Ta tak bereaksi.
“Kau setuju untuk menikahinya?” tanya Gazain buka suara kembali.
“Tidak. Kau perlu ganti telinga,” jawab Ta masih dengan ekspresi kaku dan kalimat datarnya.
Reda tak peduli perubahan dalam jawaban Ta, ditariknya Ta menuju kursi, tetapi Ta menahan langkah dan tak bergerak sedikit pun meski Reda sudah sekuat tenaga menarik lengannya.
“Kau sedang apa?” tanya Gazain kepada saudarinya.
“Dorong dia dari belakang. Kita perlu menyuruhnya duduk dan tanda tangan!”
Gazain menyimpan tangan di d**a. “Sikapmu keterlaluan untuk orang yang meminta dibantu.”
Reda meniup rambut menjuntainya yang mengganggu dengan sepenuh kesal dan lelah. Kemudian melepas tangan Ta tanpa hasil. Bertekan pinggang Reda mendongak kepada Ta, “Kalau aku berhasil membuatmu bergerak dari sini, kau akan menyetujui apa pun syaratku?”
Ta tidak berminat memberi jawaban, bisa saja Reda menggunakan cara licik. Dia terbukti sebagai wanita gila yang pasti ada saja idenya.
Reda memutar, berdiri di belakang Ta lalu mendorongnya. Tetapi tetap tak ada hasil. “Aku boleh berbuat curang?”
“Tidak.”
Reda berjalan ke kursi yang diniatkannya untuk Ta, duduk di sana dan menarik napas beberapa saat.
“Kau menyerah?” tanya Ta heran.
“Siapa bilang? Aku punya cara ketiga. Ambil kertas dan pulpen, tulis syaratmu akan aku lakukan apa pun itu asal kita menikah,” kata Reda lantang dan tenang.
Alis Ta bertautan bingung. Otak malasnya dipaksa bekerja keras untuk menghadapi Reda. “Itu sama saja kau menyerah.”
“Bagiku bukan. Orang bodoh pasti menganggapnya begitu,” jawabnya yakin, angkuh pula. “Kau yang menulis, kan? Berarti kau yang kalah. Lebih mudah tanda tangan daripada memikirkan isi dan menulis. Kau tak tahu kerja para penguasa? Tanda tangan saja!”
Ta mengerjap kepada Gazain.
“Aku yakin kau tidak akan percaya jika dia saudariku, kembar pula. Tetapi, begitulah adanya,” Gazain masam mengakui.
Ta menemukan jika wanita gila itu menarik. Dia memang aneh, tapi itulah sisi menariknya bukan fisik mungil menggemaskan atau minim kebaikan yang dimilikinya. Ta yakin, ia tak akan bisa menghemat energi hidupnya jika terikat dengan Reda.
“Kau akan mulai menulis atau kita menikah saja?” tanya wanita itu lagi.
Gazain menengahi mereka. Berdiri di tengah, adil menunjukkan telapak tangan kepada keduanya. “Kau buat syaratmu, Ta juga begitu. Besok kita bertemu dan membicarakannya lagi.”
“Aku mau menyeretnya ke depan Abifata sekarang juga,” sahut Reda segera.
Gazain bertekan pinggang, “Kau menyeretnya? Bisa kutebak berapa tahun baru berhasilnya. Kau sudah mencoba tadi.”
“Kau tidak membantu sama sekali,” tuding Reda. “Kalau kau mendorongnya atau menariknya aku yakin bisa!”
Gazain melihat Ta. “Aku mulai berpikir idenya masuk akal untuk dilakukan. Kau terus diam, bagaimana kalau kubawakan api dan membakar kakimu!”
“Abifata, wali nikahnya?” tanya Ta buka suara.
“Ya.” Reda turun dari kursi lalu menarik tangan Ta. “Ayo! Anak manis, Abifata sudah menunggu menantunya.”
Ta berat menimbang, tapi melihat polos mata Reda yang mengerjap dan membujuk, ia pun ikut.