Rahasia. Satu kata itu menarik mereka kepada suatu kejadian lampau yang telah terjadi beberapa tahun lamanya. Namun, lonceng di pintu kembali berdenting menarik lagi pada kenyataan kini.
"Cari buku apa?" tanya datar yang seperti templat keluar dari mulut Ta. Pria itu melewati Gazain kepada pelanggannya. "Sebentar."
"Mau mengembalikan yang lusa kemarin, terlupa. Berapa dendanya?" tanya pelanggan wanita itu malu-malu membetulkan letak kacamata yang terdodor dari hidungnya.
"Sepuluh ribu saja," jawab Ta, pria yang ditunggui Gazain.
Gazain menempuh satu setengah jam perjalanan dari perusahaan Abinaya hingga sampai ke tempat ini. Sedikit penghiburan yang didapat, bahwa temannya belum pindah lokasi.
Selesai melayani tamu yang baru pergi itu, pria berkacamata membalik label perpustakaan dari buka menjadi tutup. "Ada apa?"
Gazain meneguk liurnya. Tak bisa diharapkan kalau pria di sana akan peka Gazain butuh minum, tapi tak keberatan juga Gazain asal Ta bersedia jadi mempelai untuk saudari kembarnya. "Kau ingat tiga rahasiaku?"
"Ya."
"Aku punya saudari kembar yang harus dirahasiakan. Kedua, ayah kami adalah keturunan terpandang trah berdarah biru yang tidak bisa mengakui keberadaan kami. Ketiga ---"
"Kau tidak akan menikah,” katanya terkenang.
Gazain mengangguk masam. "Aku pun ingat tiga rahasiamu. Kau tidak mengenal siapa orang tuamu. Kau bukan anak ---"
"Aku hanya anak pemilik perpustakaan,” potong Ta segera. “Sampai di situ saja.”
Gazain menghela napas, "Ketiga, kau tidak akan menikah pula."
"Apa tujuanmu?" tanya pria itu dingin.
Gazain mengusap lehernya, tetapi datar saja Ta memandangi Gazain tanpa berkedip. "Ta, aku haus!"
"Tidak ada minuman di sini. Telan saja buku."
Gazain sudah tahu bila pria itu tak punya selera bercanda sama sekali, tapi menelan buku sangat keterlaluan. "Kau tidak membawa minuman sedikit pun?"
Ta mengeluarkan botol dari laci dan isinya sekitar sisa satu senti. "Silakan."
Mau tak mau Gazain menarik botol itu lalu meneguk isinya.
"Kau tak tahu kalau itu racun?"
Gazain yang tengah minum jadi tersedak. Terbatuk, air masuk ke hidungnya bukan ke tenggorokan. Seringai Ta muncul. Gazain menunjuknya sambil mencari tisu di laci. Kemudian setelah lega, kalimat protes Gazain tak jadi dikeluarkan. "Aku punya urusan penting," ujarnya serius.
"Pastinya begitu. Aku sudah menutup perpustakaan."
Gazain pun mulai berkisah permasalahannya. "Aku tahu kau tidak ingin menikah, tapi nikahi kakak kembarku. Dia butuh suami secepatnya.”
Senyap. Gazain menggosok tengkuk yang meremang oleh tatapan tak berkedip Ta. "Terserah kau, akan diapakan dia nantinya, asal nikahi saja dulu."
"Dia gila?" tanya Ta. Hanya itu kesimpulan mengapa Gazain yang tak akrab dengannya tiba-tiba muncul tanpa pemberitahuan.
"Dia gila." Gazain mengangguk. Intinya memang sulit menemukan orang untuk Reda, sementara saudarinya akan terus didesak Abifata jika tak segera terlaksana keinginannya. "Bertemu saja dulu dengannya. Kalian bisa saling bicara."
"Kau lupa, aku bukan orang baik?"
"Kau jauh lebih baik daripada saudari kembarku. Jadi, tak masalah." Gazain menelaah pria yang terus menatapnya itu. Dia memang tak banyak bicara, apalagi bergaul. "Perusahaan permata Abinaya, kau pasti pernah mendengar hal itu. Abifata, nama ayah kami."
Gazain menunggu reaksi Ta. Beberapa menit. Tidak ada apa-apa selain datar tak bermakna. "Jadi?"
"Aku bisa untuk tidak membantumu."
"Aku tahu,” Gazain mengakui. Tak ada jalan paksaan yang bisa dilakukannya juga. “Aku tidak ingin Reda, saudariku, sembarangan menikah. Rahasia kami pasti terbuka setelah dia menikah, sekalipun hanya pernikahan kontrak. Aku berharap menemukan seseorang yang bisa menjauhkannya dari Abifata. Reda menyebalkan, memang, tapi tak sangat jahat. Istilahnya, Reda sekedar tersesat atau terseret arus saja."
Ta akhirnya bergerak, menoleh ke sebelah kiri. "Urusanmu sudah selesai?"
"Belum. Kau belum memberi jawaban."
Ta ke pintu lalu membalik lagi label buka pada perpustakaannya. "Akan kuhubungi kau besok."
Gazain mengangguk. "Aku berharap kau bisa membantuku, Ta."
Tidak ada jawaban. Ta hanya bergidik bahu sebentar lalu menutup pintu setelah Gazain keluar.
Dari jendela kusam perpustakaan Ta melihat motor Gazain berderu menjauh. Ta sendirian, dengan debu dan lembar-lembaran rapi tersusun di lemari sesuai dengan kelompoknya masing-masing. Ta penyendiri, Ta mencintai kesendiriannya. Orang berpikir ia hidup sendiri, tidak, Ta sudah menikah dengan kedamaiannya. Ta tahu kesendirian itu aset berharga yang tak semua orang miliki atau bisa menikmatinya. Gazain sepaham dalam hal ini, sayangnya dia butuh bantuan. Ta tak punya apa pun untuk merubah pendiriannya yang tidak akan pernah menikah, tetapi 'teman' itulah istilah Gazain untuknya. Mereka bertemu hanya tiga kali, tetapi seolah terhubung erat.
Ta tak lupa saat di mana ia dipergoki seseorang. Dulu Ta sedang mengonsumsi barang haram, Gazain, junior yang baru kelas satu itu tahu jika yang sedang Ta nikmati terlarang di sekolah mereka, begitu pun di tanah air ini. Yang jadi bumbu pelekat mereka adalah Gazain kenal benda itu dan tak canggung cara menikmatinya. Satu rahasia yang mengawali rahasia lain di antara mereka.
***
Ta pikir, ia tak akan tertarik untuk membantu Gazain. Toh, mereka saling menjaga dan rahasia besar itu tak detail dijelaskan. Namun, kesunyian lagi-lagi-lagi yang menyapa Ta lambat laun jadi membosankan. Saat ia bercermin pagi ini, kaku wajahnya seperti pahatan patung. Baru kemarin setelah entah berapa lama Ta tak menarik sudut bibir karena refleks tersenyum. Sejak lulus Ta memang tak melanjutkan ke jenjang kuliah, alasannya malas bersosialisasi. Apalagi setelah ibu asuhnya meninggal, Ta tak ramah kepada siapa pun lagi.
Mendadak Ta mengambil ponsel tua dari tahun SMA-nya dulu dan menghubungi nomor Gazain.
"Ta! Bagaimana? Kau sudah memutuskan?" sapa Gazain senang bukan kepalang. Rekan kiri kananya sampai terlonjak karena gerakan mendadak Gazain dan suara lantangnya.
Gazain membawa ponsel menjauh ke luar ruang kerja tim desain. "Ta?"
Ta menarik napas. Biasanya ia tak begini sulit mengambil satu keputusan. Padahal hidup damainya sedang jadi taruhan, sekedar karena bosan.
"Ta?" panggil Gazain lagi.
"Ya. Bawa dia ke sini."
Gazain berkerut kening. "Sedang jam kerja, Ta. Kau yang kerjanya fleksibel tidak bisa datang ke sini?"
"Tidak."
"Tapi ---"
"Lewat pukul tiga, kau tidak akan mendapat bantuanku.” Kemudian Ta memutuskan panggilan.
Gazain tahu baru pukul sebelas siang, tapi bisa saja Ta berubah pikiran. Gazain punya kesempatan yang tak boleh ia sia-siakan. Berlari Gazain masuk hingga menerobos ruangan Reda.
"Apa?!” tanya wanita itu terkejut.
"Ikut aku!"
"Ke mana?"
"Bertemu calon suamimu."
Reda baru saja mendapatkan pesan dari Arthur, bahwa dia akan membujuk neneknya untuk merestui mereka. Janjinya itu akan terwujud segera. "Semangatku hilang,” kilahnya.
Gazain menarik tangan saudarinya. "Sekarang! Kau harus ikut."
Reda menepis. "Aku tidak mau. Arthur ---"
"Dia tidak akan menikahimu!”
"Bagaimana kau bisa yakin begitu?!" tanya Reda kecewa. Mereka kembar, kadang Gazain tahu alasan perubahan sikap Reda hanya dengan satu kata kunci.
"Aku tahu saja. Dia tidak cocok diharapkan, apalagi oleh orang semacam kita."
Reda panas telinga. "Kita ... orang macam apa kita?"
"Kita anak haram, Reda. Bermimpi mendapatkan pria yang tulus mencintaimu saja sudah cukup!”
"Kau membuatku jijik akan diri sendiri,” keluh Reda malu.
"Kau pikir bagaimana tanggapan orang lain, keluarga baik-baik seperti Rustawan atau Nyonya Naraya?"
Reda mengerut, merasa rendah diri.
Gazain menariknya lagi, lebih lembut. "Ikut aku!"
Masam wajah Reda, tetapi ikut juga ke lahan parkir perusahaan. Banyak bisik-bisik orang yang sadar kehadiran mereka berdua. Banyak rumor mereka berkencan, dan spekulasi orang-orang akan semakin berlebihan. Gazain bersiap diri jika besok atau bisa jadi sore nanti bagian SDM memanggilnya dan memberikan surat peringatan. Itu urusan nanti, yang terpentung saat ini adalah mempertemukan Ta dengan Reda lebih dulu sebelum mereka berdua berubah pikiran masing-masing.