Chapter 2 - Red hair woman

1811 Words
= Salah satu komplek perumahan ramah keluarga kecil. Kota BB, Jerman = Kota BB adalah satu dari sekian kota kecil di Jerman. Penduduknya tidak banyak namun terkenal dengan bangunannya yang indah dan juga minuman lokalnya. Banyak wisatawan mampir ke kota ini hanya untuk mengambil foto dan mengunjungi museum lokal dengan arsitektur yang sedap dipandang. Minuman birnya penghilang rasa lelah dan membuat ketagihan mereka yang suka nongkrong di waktu senja. Universitas tertuanya pun beberapa kali menelurkan seniman yang terkenal dengan karya sastranya hingga saat ini. Memiliki bisnis di kota ini, sama saja dengan membangun relasi. Banyak dari penduduk kotanya yang cukup mengenal satu dengan lainnya. Meski tidak terlalu akrab, namun pada umumnya mereka tahu profesi satu sama lainnya yang tinggal berdekatan dan dapat menjadi sumber promosi bila dibutuhkan. Profesi lain Lily sebagai interior designer pun meroket karena pemasaran dari mulut ke mulut, yang juga berimbas pada kafe-nya yang semakin lama makin ramai pengunjung. Tiba di lokasi yang ditujunya, Lily menghentikan kendaraannya dan memandang sekitarnya dengan tatapan iri. Meski tidak mau diakuinya, tapi ia pernah bermimpi tinggal di tempat seperti ini. Seluruh rumah yang ada di komplek ini tampak indah dan jelas ada peranan arsitek profesional di baliknya. Selain itu. komplek ini pun terkenal ramah lingkungan dan keluarga kecil. Banyak para pasangan muda mengidamkan untuk tinggal di sini tapi tidak semuanya beruntung, karena untuk tinggal di sini seseorang harus merogoh koceknya dalam. Mengunci pintu mobilnya, wanita itu pun berjalan pelan ke arah salah satu rumah indah di sana. Langkahnya terhenti ketika ia melihat sosok seorang anak kecil yang sedang duduk di ayunan. Berdiri sedikit jauh, kedua mata biru Lily mengamati anak itu dan perlahan, ia dapat merasakan wajahnya memanas dan matanya mulai berair. Tepat ketika anak itu mendongak dan tersenyum lebar, wanita itu mengedipkan matanya cepat dan mengulas senyuman di bibirnya. "Tante Alex!" "Cody!" Merentangkan tangannya selebar mungkin, Lily tertawa renyah ketika tubuh mungil anak itu menubruk dan langsung memeluknya erat-erat. Ia berjongkok dan makin memeluk anak lelaki itu. Matanya menutup dan hidungnya menghirup dalam-dalam aroma anak kecil yang didambakannya. Pelukannya sedikit melonggar saat ia merasakan tubuh anak itu mulai menggeliat-geliat. Seperti biasanya, Cody tidak nyaman kalau dipeluk terlama lama. Terkekeh pelan, Lily menyodorkan kantong cokelat yang ada di tangannya. "Oleh-oleh untukmu, champ." Binar senang terlihat di kedua mata anak itu yang kehijauan. "Bolu!" Beranjak berdiri, Lily mengusap kepala Cody yang berambut gelap dan mengulurkan tangannya. Anak itu dengan antusias menerima ulurannya dan bergandengan tangan, keduanya mulai berjalan beriringan. "Mama ada di dalam?" "Ya. Tadi mengambil lemon." Tahu maksudnya air perasan jeruk, Lily menggenggam lebih erat tangan mungil yang ada di genggamannya. Ia dapat merasakan kelembutan kulit halus anak-anak melalui inderanya. Kembali matanya terasa memanas. "Alex!" Seruan dari pintu depan membuat keduanya menatap ke arah yang sama. "Mama! Tante bawa bolu!" Melepaskan tangannya, Cody langsung lari memeluk ibunya. Kembali tawa kecil terdengar dari mulut Lily. Wanita itu mendekat dan memberikan ciuman akrab di pipi gembil wanita yang sedang hamil tua itu. Salah satu tangannya di bahu wanita itu dan mer*masnya pelan. "Senang bertemu lagi denganmu, Beck. Lama tidak jumpa." Memegang lengan atas Lily, Rebecca memberikan senyuman manis pada temannya. "Senang kau sehat-sehat saja, Lexie. Cody merindukanmu." Mendengar itu Lily tersenyum namun menelan ludahnya pahit. Ekspresinya tampak lembut dan salah satu tangannya mengusap lagi kepala Cody yang sedang berada dalam pelukan ibunya. "Aku juga rindu padanya." "Mama! Bolu!" Mengacak-acak rambut anaknya, Rebecca tertawa keras. "Oke, oke. Ayo kita ke dalam dulu, Lex. Cody bisa sangat rewel kalau tidak dituruti." Mengulurkan kantong cokelat itu, Lily membiarkan ibu dan anak itu untuk berjalan di depannya. Melihat pemandangan keduanya yang saling bergandengan tangan, hati wanita itu terasa sangat perih di dalam. Tanpa diketahui siapa pun, karena alasan inilah ia cenderung menghindari pekerjaan yang berhubungan dengan anak kecil yang sayangnya, tidak bisa ditolaknya kali ini. *** = Flashback sekitar 5 tahun yang lalu. Kota SD, Amerika. Kantor Konsultan Ashley & Associates = Setelah peristiwa seminggu yang lalu, hampir tidak pernah Lily bertemu dengan lelaki itu lagi. Pria itu tampak sibuk dengan agenda meeting dengan klien yang dilakukan hampir setiap hari. Koordinasi kerja pun menjadi lebih sering ia lakukan dengan senior arsitek yang ada di project-nya dan membuatnya makin jarang bertatap muka dengan pria yang merupakan owner tempat ini. Makin hari, Lily makin merasakan kelegaan karena tidak harus ketakutan menghadapi pria itu dan paling penting, tidak harus menatap wajahnya dan mengingat lagi peristiwa yang sangat ingin dilupakannya. Sayangnya rasa leganya hanya berlangsung beberapa hari saja dan kembali, wanita itu harus merasakan rasa sakit hati dan juga terhina dari lelaki yang telah menyakitinya. Malam itu, ia baru saja akan mengisi cangkir kopinya saat langkah kakinya menuju pantry terhenti. Sadar mendengar suara-suara pelan dari balik pintu yang tertutup, Lily menatap jam yang melingkari tangannya. Keningnya makin berkerut saat menyadari waktu sudah menunjukkan jam 8 malam. Seharusnya para rekan junior dan anak magang sudah pulang di jam-jam ini, apalagi mereka tidak sedang menangani project yang diburu deadline yang super ketat. Ragu-ragu, tubuh wanita itu bergoyang pelan ke depan dan belakang. Ia tidak mau sampai menangkap basah kelakuan salah satu anggota tim yang mungkin saja berbuat m*sum di dalam, tapi ia juga membutuhkan kafein untuk membuat kedua matanya tetap terbuka. Ia membutuhkan secangkir kopi hitam untuk menjaga konsentrasinya menyusun gambar kerja yang ada dipergunakan 3 hari lagi. Dan seringkali, owner gila itu menanyakan hasilnya sehari sebelum deadline yang ditetapkan. Ia tidak punya waktu lagi. Menghela nafasnya dalam, tangan Lily terulur ke arah pegangan besi untuk mendorongnya saat pintu itu tiba-tiba saja membuka dari arah dalam. Pemandangan yang ada di depannya, membuat wajah wanita itu perlahan memucat dan ia menyesali keputusannya tidak langsung pergi dari sana. Di depannya, berdiri kaku sosok lelaki yang ingin dihindarinya. Sorot mata pria itu tidak berubah, masih sama seperti seminggu yang lalu ketika merenggut harta berharganya. Sama dinginnya, sama tajamnya dan sama tidak berperasaannya. Tubuh wanita itu mulai bergetar pelan. "Kamu masih di sini?" Mengingat peristiwa beberapa hari lalu, kaki Lily mulai mundur ketika lelaki itu perlahan maju. Ia merasakan aura mencekam mulai menguar dari tubuh pria tinggi di depannya. "A- Aku..." "Ashley! Aku belum selesai-" Seruan dari arah belakang pria itu membuat keduanya menoleh serentak. Tampak sosok seorang wanita berambut merah panjang, berjas hitam dan mengenakan rok mini berdiri dengan tatapan marah. Mukanya terlihat memerah, tapi pandangannya tampak bertanya saat ia menatap sosok Lily yang berdiri di depannya. "Ash? Siapa ini? Anak magangmu?" Disangka sebagai anak magang, pipi Lily yang pucat perlahan bersemu malu. Sudah cukup sering ia dikira berusia jauh di bawah usia sebenarnya. Selama ini, ia tidak masalah dengan label itu tapi kali ini, kata-kata wanita itu terasa mengena di hatinya. Mencengkeram mug yang sedari tadi dipegangnya dengan kedua tangan, mata biru Lily menelusuri sosok wanita di depannya. Meski tahu kalau warna merah rambut wanita itu palsu, tapi tetap saja cocok dengan wajahnya yang cantik. Tubuhnya tinggi dan berlekuk di tempat-tempat yang seharusnya. Kedua kakinya jenjang dan sepatu hak tinggi yang dikenakannya, semakin membuatnya terlihat seksi dan sangat dewasa sekaligus profesional. Ia tahu wanita ini adalah agen property dengan kantor tepat di sebelah konsultan ini. Menggigit bibir tanpa disadarinya, ia mulai membandingkan dirinya sendiri dengan wanita-wanita lain yang berkeliaran di sekitar pria itu. Ia tampak seperti gadis kecil di hadapan mereka semua dan sosok lelaki itu, bahkan pernah disebut sebagai kakaknya oleh salah satu dari mereka. Dapat membaca dengan tepat ekspresi wanita polos di depannya, senyuman miring terbentuk di bibir pria itu. Melengos, ia berjalan melewati Lily dengan kedua tangan di dalam saku celananya. "Ash?" Terburu-buru, wanita cantik tadi berusaha mengikuti langkah kaki lelaki itu yang panjang. Lily masih bisa mendengar suara mereka meski ia tidak membalikkan badannya. "Ash? Dia anak magangmu? Kenapa masih di sini?" "Apa urusanmu, Jules? Dia tidak ada hubungannya denganmu." Wanita bernama Jules itu terdiam sejenak, sampai terdengar suaranya yang pelan. "Dia cantik." Pernyataan itu membuat langkah kaki panjang pria itu terhenti dan refleks, Lily menoleh ke arah mereka. Tidak diduga, tatapan mereka terkunci satu sama lain tanpa disadari Jules yang membelakanginya. Suara berat pria itu lebih rendah dan kekehan penuh hinaan terdengar dari mulutnya yang tipis. "Cantik? Ini yang pertama kudengar. Sayangnya, kecantikannya tidak akan pernah menarik minatku. Dia terlalu pendek, dan terlalu pucat untuk menjadi seleraku. Aku yakin, dia juga terasa 'dingin' di tempat tidur." Perkataan tajam lelaki itu terasa seperti bongkahan batu di d*da Lily dan membuatnya berpaling kembali. Ia menunduk dan menatap nanar gelasnya yang kosong. Telinganya masih dapat mendengar suara langkah kedua orang tadi yang semakin menjauh di belakangnya. Selama beberapa saat, wanita itu hanya berdiri mematung dengan perasaan campur aduk. Kembali, rasa rendah diri menyerangnya seperti bertahun-tahun yang lalu. Ia merasa telah berhasil melewati masa-masa pahit itu, tapi ternyata masalahnya belum selesai. Ia tetap merasakan sakit hati ketika mendengar lelaki itu memberikan hinaan pada fisiknya yang tidak seperti wanita lain. Kedua matanya terasa memanas dan mulai berair. Sekuat tenaga, Lily menahan tangisnya. Betapa ia merasa sakit hati saat ini. Berubah pikiran, ia berbalik dan malah berjalan ke mejanya. Sepertinya, ia akan menyelesaikan pekerjaannya di rumah saja. Tidak ada gunanya meneruskan menggambar saat mood-nya sudah hancur begini. Perlahan, ia membereskan peralatannya dan baru memasukkan laptop ke tas kerjanya saat terdengar seruan dari salah satu ruangan senior arsitek. Tampak seorang pria gempal menongolkan mukanya dari sana. "Alex? Kau masih di sini?" Mengangguk sambil tersenyum, Lily menutup resleting tasnya. "Baru akan pulang." "Oh? Kalau begitu, tunggu sebentar." Pria gempal tadi terburu-buru masuk ruangannya dan mendorong sebuah gulungan kertas besar padanya. "Tolong berikan ini ke Ashley. Aku harus ke toilet sekarang, perutku sakit sekali." Memegang gulungan itu, Lily berusaha untuk protes. "Tapi-" "Tolong aku, Watson! Aku sudah tidak tahan lagi!" Tidak menunggu jawaban, pria itu langsung melesat meninggalkannya sendirian dengan gulungan itu. "Namaku Walton, bukan Watson..." Gumaman lirih Lily hanya dapat didengar telinganya sendiri. Menggigit bibirnya, mata biru Lily melirik ruangan yang dimaksud dan melihat lampunya masih menyala. Berarti, pria itu ada kemungkinan kembali lagi setelah pergi entah kemana bersama wanita tadi. Merasa ini kesempatannya, wanita itu pun segera melangkah ke ruangan keramat itu dan mulai memasukinya. Lega tidak ada orang di dalam, perlahan Lily mendekati meja besar di depannya dan meletakkan gulungan kertas tadi di atasnya. Ia baru saja akan berbalik saat matanya menangkap papan nama kaca yang bertengger di atasnya. Tidak jadi pergi, wanita itu mengangkat papan nama itu dan membacanya dalam hati. Benedict G. Ashley. Kalau saja aku tahu ini namamu, aku tidak akan pernah melamar ke tempat ini. Mengerjapkan kedua matanya yang panas, ia meletakkan benda yang cukup berat itu kembali ke atas meja. Tubuhnya terlonjak kaget ketika ia mendengar suara pintu yang ditutup pelan dari arah belakangnya. Apa yang telah ditakutkannya terjadi. Pria itu masuk ke ruangan dan terdengar suara kunci dari arah pintu yang tertutup itu. Ketakutan, Lily mundur ke belakang dan menekan meja di belakangnya. Ia tahu berada dalam masalah. Dan masalahnya besar, ketika melihat lelaki itu mengantongi kunci ruangannya ke dalam salah satu saku celana panjangnya. Mulutnya terlihat menyeringai mengerikan. "Halo, Red."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD