Chapter 3 - Blessed or cursed?

1693 Words
"Halo, Red." Suara Gregory yang rendah dan terdengar mengancam, membuat kedua kaki Lily gemetar. Dalam benaknya, berkelebat peristiwa beberapa malam lalu ketika pria itu memp*rkosanya di ruangan ini. Mata birunya tampak panik dan jelalatan mencari jalan keluar dari ruangan terkunci ini. Mungkin dia bisa berteriak dan memberi peringatan pada Mike yang masih di luar. Mengambil nafas dalam, Lily mendorong dirinya dan berusaha lari menuju pintu. Sudah diduga, kaki-kaki kecilnya tidak mampu mengimbangi langkah Gregory yang panjang dan lebar. Dengan mudah, pria itu menarik pinggangnya dan memaksa wanita itu untuk menempel ke dinding. Ia bisa merasakan hawa panas yang keluar dari tubuh lelaki itu yang saat ini menekannya dari belakang. Suara yang keluar dari mulut lelaki itu terasa sangat berat dan mengalirkan udara panas di telinganya. "Mau kemana kamu, Red? Mau kabur lagi, hmmh...?" Kedua tangan Lily menekan ke arah dinding dan ia tidak bisa menggerakkan tubuhnya. Lelaki itu benar-benar menempel padanya seperti cicak. Menahan tangisnya, wanita itu berusaha mengeluarkan nada tegas dalam suaranya. "Lepaskan aku, Greg!" Kekehan rendah terdengar dari arah belakang Lily, membuat bulu kuduknya meremang di lehernya. "Kalau tidak, kamu mau melakukan apa? Memukulku?" Mengepalkan kedua tangannya, wanita itu berusaha memberontak dengan sangat sia-sia. Ia bisa merasakan tangan besar pria itu mulai mengusap perutnya dan perlahan menuju d*danya. Gelombang rasa takut yang kuat dirasakan wanita itu ketika telapak tangan lelaki itu yang panas mencengkeram asetnya penuh n*fsu. "Ugh!" Mata Lily mulai berlinang air mata. Ia tahu pria itu akan mengulangi perbuatannya lagi. Putus asa, ia berusaha memegang kedua pergelangan Gregory. Dirinya harus mempertahankan sisa harga dirinya yang sebenarnya hanya tinggal serpihan saja di mata lelaki itu. "Gregory. Please, jangan lakukan ini. Aku mohon." Bukannya berhenti, tangan pria itu malah terasa semakin kuat memberikan r*masan gemas di asetnya dan membuatnya menjerit kecil karena kaget. Tubuhnya makin gemetar saat salah satu tangan lelaki itu bergerak ke bawah dan menyentuh area pribadinya. Mata Lily menutup erat ketika merasakan jari-jari kuat yang panjang mulai membuka resleting celana panjangnya dengan paksa. Air mata wanita itu akhirnya menetes ke pipi saat merasakan hawa panas menyerang bagian sensitifnya dan membuatnya merintih perih. "Rory... Please... Jangan-" Tekanan jari-jari lelaki itu yang panjang semakin kuat di area bawah tubuhnya. Semakin cepat gerakannya, Lily bisa merasakan d*sah nafas Gregory yang makin memberat di belakangnya. Kepala pria itu terbenam di lehernya dan mulutnya yang panas terasa menciumi dan menggigiti kulit telinganya. Bulu-bulu kasar di wajah lelaki itu terasa menggesek kulit pipinya yang halus. "Lily... Lily... Hhh... Hhh..." Pria itu mend*sah rendah dan suaranya terdengar sangat serak. Pinggulnya mulai maju-mundur mengikuti gerakan tangannya yang makin gencar di bawah. Lelaki itu dapat merasakan otot-otot wanita di pelukannya perlahan menegang dan mulai menghisap kencang jari-jarinya di dalam. Tidak bisa ditahannya, pekikan kecil keluar dari mulut Lily ketika ia merasakan pelepasan yang kuat karena perbuatan pria di belakangnya. Tubuhnya gemetar dan ia mengalami sensasi luar biasa yang membuatnya berkeringat dan lemas. Hampir saja ia merosot ke bawah jika tidak ditahan tangan Gregory di pinggangnya. Ketika lelaki itu membalikkan tubuhnya, Lily sudah tidak memiliki tenaga untuk melawan lagi. Kepalanya terasa pusing saat merasakan pengalaman er*tis untuk yang kedua kalinya. Ia juga hanya dapat menatap mata biru Gregory tanpa daya, saat pria itu perlahan menyatukan tubuh mereka. Rasa panas dan penuh terasa memenuhi dirinya ketika lelaki itu mulai bergerak konstan. "Egh... Ro- Rory..." Tubuh Lily benar-benar lemas seperti jelly. Ia hanya pasrah saja ketika Gregory mengangkat badannya lebih tinggi untuk menyender ke tembok. Ia juga hanya bisa mencengkeram bahu lelaki itu yang kuat, saat dirinya dipaksa menerima hujaman demi hujaman dari pria itu dan menjerit untuk kedua kalinya. Ciuman demi ciuman panas diberikan lelaki itu pada mulutnya yang terbuka. Kesadarannya makin menipis saat ia merasakan pria itu menggendongnya dan membaringkannya ke sesuatu yang empuk. Tapi hentakan demi hentakan itu masih belum berhenti dan kali ini, Lily sudah tidak tahan lagi. Wanita itu akhirnya menjerit sekuatnya sebelum akhirnya kegelapan melingkupinya. Ia pingsan. *** Saat terbangun, hal pertama yang dirasakan Lily adalah otot-otot tubuhnya yang terasa melemas dan rileks. Sinar matahari dari jendela, membuat matanya memicing dan ia mengusap kelopak matanya malas. Sebuah kesadaran yang datang, membuat wanita itu tiba-tiba saja duduk dan menatap ke sekelilingnya. Nafasnya berat dan degup jantungnya menguat. Ternyata, ia berada di kamarnya sendiri. Rasa lega yang sempat dirasakannya memudar, saat ia menunduk dan melihat kondisinya yang polos tanpa pakaian. Tampak sedikit memar dan bercak kemerahan di beberapa tempat, membuat Lily sadar kalau ia tidak bermimpi. Pria itu benar-benar mengulangi perbuatan b*jatnya lagi. Menggigit bibirnya kuat, wajah wanita itu memanas dan ia dapat merasakan air menggenang di kelopak matanya. Perutnya terasa mual dan memaksanya berlari ke toilet. Sampai di sana, ia memuntahkan air dari tenggorokannya beberapa kali. Bersandar lemas di kloset, kedua kaki Lily menekuk dan ia membenamkan kepalanya dalam-dalam. Tidak lama, terlihat guncangan di kedua bahunya yang mungil. Ia menangis. Wanita itu menangisi nasibnya yang buruk. Ia menangisi dirinya yang telah mencintai pria yang salah. Pria yang telah menyakitinya hingga ia memutuskan pergi, dan kembali menyakitinya saat mereka bertemu lagi. Semakin memeluk kedua kakinya, kepala Lily terbenam makin dalam. Hati wanita itu telah hancur di dalam. Benih-benih cinta yang telah dipupuknya selama belasan tahun, kini mulai layu dan perlahan mati. Ia sudah tidak memiiki apapun untuk dapat memupuk perasaannya. Ia tidak punya kekuatan lagi. Beberapa jam setelahnya, ia memarkirkan kendaraannya di area lapang yang luas. Menarik nafasnya berat, Lily meraih tas kantornya dan merogoh ke dalam. Terlihat amplop putih bersih di tangannya. Kepalanya menoleh memandang bangunan megah di depannya dan kembali ia menghela nafasnya. Hatinya terasa sangat sakit ketika ia akhirnya tahu akan menyerah. Ia telah menyerah untuk pria itu. Matanya yang biru memerah dan ia akhirnya menyimpan kembali benda itu ke dalam tasnya. Keputusannya sudah bulat, dan seharusnya ia lakukan setengah tahun lalu. Selama ini, ia hanya membohongi dirinya. Ia sendiri yang telah menyakiti dirinya dengan mencoba bertahan di tempat ini. Lelaki itu tidak akan pernah memaafkannya. Sampai kapan pun, ia akan tetap disakiti oleh pria itu. Dari dulu hingga sekarang, dirinya tidak akan pernah menempati tempat apapun di hati Gregory Ashley. Peristiwa belasan tahun lalu seharusnya telah membuka matanya. Ia boleh saja mengatakan apapun sampai mulutnya berbusa, tapi pria itu tidak akan pernah mendengarnya. Ia hanya akan mendengar hal yang mau didengar, dan melakukan hal yang diinginkannya tanpa mempedulikan orang lain. Sama seperti dalam pekerjaannya. Pria itu hanya akan memilih tim yang dapat mendukungnya untuk menang dan menendang mereka yang dianggap tidak berguna. Dan Lily sadar, ia sama sekali tidak berguna dalam hidup lelaki itu. Menguatkan dirinya, ia keluar dari mobil dan melangkah mantap memasuki gedungnya. Baru saja wanita itu meletakkan tas kantornya ke meja, tiba-tiba saja Mike keluar dari ruangannya. Tampak tampangnya pucat. "Alex! Oh, syukurlah kau sudah datang!" "Mike? Ada apa?" Tidak menjawab, pria gempal itu malah menariknya untuk masuk ke ruangan. Di dalam, ternyata sudah ada beberapa orang yang mengelilingi sebuah meja besar di sana. Mereka semua terlihat pucat dan sepertinya tidak tidur semalaman. Entah jam berapa pria itu meminta timnya untuk datang ke kantor. Mike tampak panik saat menoleh padanya. "Amber keracunan makanan tadi malam dan belum menyelesaikan design-nya. Spesifikasi dan meterial pun belum selesai dipilihnya, sedangkan tadi bos tiba-tiba saja meminta masternya selesai besok pagi. Kami tidak punya waktu lagi. Aku tahu kau sedang memegang project lain tapi aku minta kau membantuku, Walton. Hanya kau di sini yang memahami interior dibanding lainnya." Alis Lily sedikit naik saat mendengar pria itu akhirnya mengucapkan namanya dengan benar. Melihat situasi di depannya, tadinya ia ingin menolak. Ia juga memiliki deadline yang ketat untuk project-nya sendiri tapi saat melihat tampang-tampang penuh harapan sedang memandangnya, rasa kasihan wanita itu membesar. "Baiklah. Aku akan sedikit membantu, tapi hanya untuk interior-nya saja. Aku juga ada project yang harus segera diselesaikan." "Kapan deadline-nya?" "Dua hari lagi. Tapi kau tahu-" "Masih ada waktu. Aku akan membantumu nanti." Memberikan senyum kecut, Lily sangat tahu kalau itu hanyalah janji omong kosong. Pria gempal itu sangat jarang mau dimintai bantuan, kecuali untuk project-project besar yang juga menghasilkan cuan besar. Dan pekerjaan skala kecil yang sedang ditanganinya, tidak akan pernah mau dipegangnya. Tidak diberikan waktu untuk berfikir, pria itu menyuruhnya untuk duduk dan dalam beberapa jam ke depan, wajah Lily pun terbenam dalam pekerjaannya. Wanita itu telah melupakan sama sekali misinya tadi pagi. Yang ada di hadapannya hanyalah kertas kerja dan contoh-contoh material yang harus dipilihnya segera. Waktu sudah menunjukkan hampir tengah malam saat akhirnya ia menyelesaikan pekerjaannya. Tubuhnya penat dan kepalanya mulai pusing karena terforsir seharian ini. Ia sebenarnya ingin pulang, tapi takut jika menyetir dalam keadaan capek seperti ini. Memandang ke sekelilingnya, tampak pemandangan familiar tubuh-tubuh yang tergeletak tidak karuan. Wajah-wajah mereka semua tampak lelah, dan sama sekali tidak peduli dimana mereka tidur. Yang penting bisa meluruskan tubuh dan terlelap dengan cepat. Meregangkan tubuhnya, Lily berdiri dari duduknya dan hampir jatuh kembali. Sadar dirinya tidak punya tenaga lagi, wanita itu keluar dari ruangan dan berusaha mencari sisa sofa yang masih bisa dipakainya untuk beristirahat. Waktu deadline yang saling berdekatan antar project, membuat sebagian besar dari tim di konsultan ini harus lembur di saat yang bersamaan. Tidak ada yang peduli satu dengan lainnya, terutama bila kaitannya dengan tempat mereka tidur di kantor ini. Kantor konsultan ini sebenarnya memberikan jatah bagi karyawannya yang lembur untuk menginap di hotel, tapi tidak ada yang pernah mengambilnya. Jarak antara hotel dan kantor sebenarnya tidak jauh, namun mereka semua terlalu malas dan menganggap perjalanan itu membuang banyak waktu. Menghempaskan dirinya di satu-satunya sofa tunggal yang tersisa, Lily menggelung tubuhnya dengan mantel tipis dan tidak butuh waktu lama, dengkuran halus terdengar dari hidungnya. Ia telah terlelap. Di dalam kabut yang samar-samar, wanita itu merasakan tubuhnya melayang dan bergoyang-goyang lembut. Tekanan dan hawa panas yang menyebar ke seluruh tubuhnya, membuat wanita itu akhirnya membuka matanya yang masih terasa berat. Telinganya mendengar d*sahan dan erangan seseorang. Badannya pun terasa lengket dan berkeringat tapi ia hanya bisa menatap sayu orang di depannya. Dalam pandangannya yang kabur, ia melihat sosok seseorang yang sedang menciuminya dan mend*sahkan namanya beberapa kali. Kilasan warna biru dari mata orang di depannya, membuat Lily mengangkat tangan dan mengusapkannya ke kepala orang tersebut. Ia dapat merasakan rambutnya yang halus dan ikal di jari-jarinya. Bibirnya tersenyum lembut, saat menyadari siapa orang yang sedang bergerak di atasnya. "Rory..."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD