Ini mimpi buruk. Mimpi yang sangat buruk!
Jantung gadis itu terasa berdebar kencang. Tetes keringat mulai muncul dari pori-porinya. Tidak sekali pun dalam hidupnya, ia membayangkan akan berada dalam situasi seperti ini lagi.
Tenggorokannya kering saat ia bersuara. "Rory. Aku bisa menjelaskan-"
Suara lelaki di depannya terdengar kasar dan mengerikan. Kedua matanya yang biru terlihat memerah dan penuh kemarahan terpendam. "Apa yang akan kau jelaskan?"
Salah satu tangan pria itu menggebrak meja di depanya dengan sangat kencang. "JAWAB AKU, BR*NGSEK!? APA YANG AKAN KAU JELASKAN PADAKU!?"
Tidak ada yang bisa diingat jelas gadis itu saat lelaki di depannya tiba-tiba menerjang dan membantingnya kasar ke sofa. Ia juga masih terpaku ketika celana kantornya dilucuti paksa. Ia barulah menjerit kencang saat sesuatu yang panas memasuki inti tubuhnya tanpa kelembutan sedikit pun.
"ARGHHH!!!"
Bola mata gadis itu membalik ke atas ketika rasa sakit terasa menghujamnya berkali-kali. Suara geraman keluar dari tenggorokannya dan aliran air mulai keluar dari kedua matanya yang menutup. Sekuat tenaga, gadis itu berusaha mendorong-dorong tubuh besar yang saat ini menimpanya.
"Greg! Please! Lepaskan aku!?"
Bukannya berhenti, lelaki di atasnya malah semakin mendesakkan dirinya ke arah gadis itu. Kepala gadis itu menengadah tinggi dengan tubuh berbalur keringat. Kedua tangannya tanpa tenaga berusaha memukul dan mendorong badan pria itu yang sama sekali tidak bergeming.
Dan ketika siksaan itu berhenti dan lelaki itu telah puas menyakitinya, hanyalah rasa kosong yang ada dalam kepalanya. Gadis itu mengalami shock dan barulah perkataan terakhir dari pria itu yang pada akhirnya membuat kesadarannya kembali.
"Kau itu milikku, Red. Kau tidak bisa kabur lagi. Kalau profesional, kau akan tetap datang ke kantor besok karena kau dibayar untuk jasamu. Sekarang pulang, dan tidurlah di rumahmu."
Tanpa basa-basi lagi, pria itu menutup pintu di belakangnya. Meninggalkannya sendirian dengan nelangsa.
Kau dibayar untuk jasamu? Pulang dan tidurlah di rumahmu?
Menatap pintu yang tertutup, kelopak gadis itu mulai digenangi air mata kemarahan dan juga putus asa. Air mata yang tidak akan pernah kering, sampai ia bisa membuat lelaki itu menyesali perbuatannya!
***
TINNN-TINNN!!!
Suara klakson nyaring dari arah belakangnya membuat lamunan Lily terputus mendadak. Tubuh wanita itu terlonjak kaget dan matanya mengerjap cepat. Nafasnya menderu dan jantungnya berdebar.
TINNN-TINNN-TINNN!!!
Bombardir klakson tidak sabar itu makin terdengar dari mobil hitam di belakangnya. Tampak pengemudi itu menongolkan tubuhnya dari jendela dan mengacungkan jari tengahnya. Pria itu berteriak kencang.
"MOVE, YOU B*TCH!?"
Gemetar, Lily memaksa dirinya untuk menginjak pedal gas dan mengarahkan mobilnya ke depan. Sampai di perempatan yang aman, ia melipir ke samping dan memarkirkan kendaraannya di sana. Tidak sampai 1 detik, deruan mesin tidak sabar datang dari arah sampingnya. Kembali teriakan marah pria tadi terdengar lagi, ketika ia menghentikan mobil tepat di sampingnya dengan suara decitan kencang dari ban mobilnya.
"B*TCHHH!? Kalau tidak bisa menyetir, sebaiknya kau di rumah saja WOMAN!? Dasar perempuan!"
Pria itu meludah ke jalanan dan tanpa berkata apapun lagi, langsung tancap gas untuk pergi dari sana.
Sama sekali pria itu tidak tahu, kalau kejadian tadi telah membuat wanita di dalam mobil kecil itu gemetar dan berkeringat dingin. Mencengkeram kemudinya erat-erat, kepala Lily menunduk dan bersadar di benda berlapis kulit itu. Nafasnya terdengar pendek-pendek, ketika ia berusaha mengontrol detak jantungnya yang berdebam dengan irama gila dalam d*danya. Ia sadar telah hampir terkena serangan panik.
Baru saja Lily berhasil bernafas teratur, saat ponselnya tiba-tiba saja berdering dan membuatnya terlonjak lagi. Mencubit dirinya sendiri beberapa kali, wanita itu tergesa mengambil benda itu dari laci dashboard-nya dan menempelkannya di d*danya. Kembali ia mengambil nafas sangat dalam, sebelum menjawab.
"Halo?"
"Alex? Kau ada di mana?"
Nada penuh kekhawatiran itu berhasil membuat Lily tersenyum. Untuk pertama kalinya di hari ini.
"Rebecca."
Helaan nafas yang panjang terdengar dari wanita di seberangnya. Sangat jelas suara itu terdengar lega.
"Oh, syukurlah. Aku khawatir sekali. Tadi kau bilang akan datang 15 menit lagi, tapi sampai sore kau belum tiba. Aku kira kau kena kecelakaan atau semacamnya."
Kekehan halus terdengar dari tenggorokan Lily yang bersuara lembut.
Ia mengenal Rebecca sekitar 8 bulan. Perkenalan mereka terjadi saat wanita itu sedang mencari-cari tempat tidur baru untuk anaknya yang berusia 4 tahun. Ketika bertemu di toko furniture, tampangnya kebingungan dan Lily berinisiatif membantunya. Dari pertemuan singkat itu, akhirnya ia diminta men-design ulang kamar anak wanita itu dan menjadi interior designer-nya. Dan kali ini, ia kembali dimintai bantuan untuk men-design kamar untuk calon anak keduanya yang akan lahir sekitar 2 bulan lagi.
"Maaf, Beck. Tadi aku harus menemui klien lain. Aku akan tiba di rumahmu sekitar 20 menit lagi. Aku janji."
Tawa ceria Rebecca terdengar dari ponselnya. "Baiklah. Cepatlah datang. Cody ingin bertemu denganmu."
Perkataan itu membuat mata Lily mengerjap cepat, tapi perlahan senyuman lembut terpatri di wajahnya.
"Tentu saja. Aku akan mampir sebentar ke kafe dan membawa kue kesukaannya. Sampai jumpa, Beck."
"Sampai jumpa."
Sambungan itu pun terputus. Setelahnya, Lily kembali menghubungi seseorang di ponselnya.
"Helen? Aku akan mampir sebentar ke kafe. Tolong kau siapkan bolu signature kita yang biasa."
Pertanyaan dari orang di seberangnya, membuat senyuman Lily melebar.
"Ya. Untuk Cody. Aku akan ke rumah Rebecca hari ini. Bolunya masih ada, kan?"
Kue bolu yang menjadi ciri khas 'Koffee & Kaffee' itu selalu laris manis terjual sejak penampilan perdananya. Itu adalah kue yang dibuat dari resep masa kecilnya dulu. Jika tidak menjadi interior designer, Lily yakin ia akan menjadi seorang bakery.
"Oke. Aku akan ke sana sekitar 5 menit lagi. Tolong kau siapkan segera ya, karena aku harus buru-buru."
Memandang spion luarnya, Lily menghidupkan lampu sign-nya ke arah jalan. "Thanks, Helen. Bye."
Santai, wanita itu menyimpan kembali ponsel itu ke dashboard-nya dan dengan perasaan jauh lebih ringan, mulai mengarahkan kendaraannya menuju tempat yang ditujunya.
Tidak sampai 5 menit, wanita itu sampai ke lokasi dan memarkirkan kendaraannya di samping kafe. Suasana di dalam tampak cukup ramai, yang terlihat dari estalase kaca besar di depannya. Suara dentingan pelan bel di atas pintu, mengumumkan kehadiran Lily ketika ia memasuki tempat tersebut.
Tanpa menoleh ke mana pun, tatapannya fokus mengarah ke meja counter dan senyumnya merekah cantik saat melihat bungkusan berwarna cokelat tersimpan di sana. Langkah kakinya ringan ketika ia melewati beberapa pelanggan yang baru saja membayar dan berhenti di depan meja kasir yang kosong.
"Hai, Helen. Maaf merepotkanmu. Ini kuenya?"
Balas tersenyum, wanita berusia sekitar akhir 40-an itu mengambil kantong cokelat tersebut dan memberinya pada Lily. Matanya terlihat bersinar saat ia mengedip jenaka. Tubuhnya sedikit mendekat.
"Kau seharusnya memasukkan tagihannya pada temanmu, miss Lawrence. Ini sudah kesekian kalinya kau memberikan hadiah kue yang cukup mahal untuk anaknya."
Tertawa gembira, wajah Lily tampak memerah sehat dan lesung pipinya terbentuk dalam di kedua sisinya. Ia meraih kantong itu dan memeriksanya sebentar.
"Kau masukkan saja tagihannya ke rekeningku. Aku akan membayarmu dan Jurgen nanti."
Senyuman Helen melebar, menampilkan gigi-giginya yang sedikit menguning.
"Kalau untukmu, aku dan Jurgen akan berikan gratis, miss. Anda tidak perlu membayar sama sekali."
Mer*mas sayang tangan Helen yang tertangkup di meja, kepala Lily meneleng dan ia berkata pelan.
"Thanks, Helen. Sampaikan terima kasihku pada suamimu. Aku harus pergi sekarang."
Kedua wanita itu saling memberikan lambaian, sampai Lily keluar dari tempat itu dan menghilang ke dalam mobilnya. Tidak lama, kendaraannya yang mungil terlihat meninggalkan lokasi.
Baru saja Helen kembali pada tugasnya, seseorang tiba-tiba berdiri di depannya. Bayangan yang terbentuk, membuat wanita itu mengangkat muka. Tampak mata cokelatnya melebar saat mengamati orang bertubuh tinggi yang membuatnya menengadah.
Pria yang berdiri di depannya adalah mahluk Tuhan terindah yang pernah dilihatnya selama masa hidupnya.
Rambutnya ikal bersinar keemasan ditimpa cahaya matahari sore. Alisnya tebal menaungi kedua matanya yang biru. Warnanya sangat muda dan pupilnya yang gelap terpatri jelas dalam bola matanya. Hidungnya lurus dan sempit. Bibirnya tipis dan memerah sehat. Dagunya tegas dan dikelilingi bulu-bulu halus berwarna cokelat. Ia mengenakan kaos polo berlengan panjang, dengan jins biru tua. Pakaiannya sederhana, tapi mata paling awam pun dapat melihat lelaki ini berasal dari kalangan cukup berada.
Sosok pria ini tampan dan memancarkan aura karismatik seorang aristokrat. Pria seperti ini sangat jarang terlihat di kafe-kafe kecil ataupun jalanan biasa. Akan jauh lebih wajar melihat mereka lalu-lalang di runway atau berkeliaran di tempat-tempat mewah dan berkelas lainnya.
Melihat wanita di depannya masih terpana, salah satu tangan pria itu terbuka dan menganyun pelan di depan wajah wanita paruh baya itu. Kepalanya sedikit meneleng ketika mengamati ekspresi wanita itu.
"Halo? Kau baik-baik saja?"
Suara lelaki itu yang rendah dan berat menyadarkan Helen dari lamunannya. Wanita itu mengerjap cepat.
"O-Oh! Maafkan saya."
Masih sedikit bingung, Helen menggelengkan kepala. Ia berusaha mengusir rasa kagetnya karena kehadiran lelaki ini yang mengacaukan konsentrasinya. Ia terbiasa menghadapi pelanggan dari berbagai kalangan, ras dan bentuk fisik beraneka rupa. Tapi sejauh ini, baru pria inilah yang berhasil membuatnya terpana tadi.
Bagaimana bisa tadi aku tidak sadar saat orang ini masuk?
Melihat lelaki itu mengenakan topi baseball-nya, barulah Helen tahu alasannya. Bayangan gelap topi sedikit menyembunyikan wajah pria itu, membuatnya lebih tenang. Ia dapat memandang pria itu tanpa merasa nervous lagi. Meski dari posturnya, tiap orang pasti bespekulasi kalau lelaki itu memiliki wajah rupawan.
Sedikit berdehem, Helen memandang pria itu lebih yakin.
"Ada yang bisa saya bantu, Tuan? Anda mau memesan apa?"
Menunjuk salah satu meja terujung dengan menggunakan jempolnya, pria itu mengeluarkan dompetnya.
"Aku sudah memesan tadi. Akan membayar?"
Kembali mengucapkan maaf, pelayan wanita itu dengan cekatan menghitung pesanan pria tadi yang hanya terdiri dari kopi pahit dan roti polos. Saat menyerahkan struknya, tampak lelaki itu kembali menatapnya.
"Wanita tadi. Dia siapa?"
Nada pria itu terdengar santai, membuat Helen rileks. Sudah beberapa kali pria-pria yang datang ke cafe ini menaruh minat pada Lily. Sayangnya, wanita itu tidak pernah kembali di waktu yang tepat, membuat mereka harus gigit jari dan lama-kelamaan minat mereka berpindah pada wanita lain yang lebih mudah didekati.
Tidak ingin merasa malu lagi, Helen bertanya untuk memastikan, "Wanita tadi? Wanita yang mana?"
Menyimpan dompet di saku celana, ekspresi pria itu tidak terbaca tapi suaranya masih terdengar biasa saja ketika berbicara lagi. "Wanita berambut merah, bermata biru dan bertubuh mungil tadi. Namanya siapa?"
Senyum Helen tampak dikulum dan ia memajukan tubuhnya. "Kau menyukainya?"
Ekspresi lelaki itu berubah sedikit kaku ketika mendengar nada akrab dari Helen. Ia menegakkan badannya menjauhi counter dan kedua tangannya tersimpan di saku jinsnya, kepalanya berpaling ke arah lain.
"Ya. Apakah dia reguler di sini?"
Menafsirkan sikap kaku pria itu sebagai tanda malu, Helen terkekeh. Ia tidak mau menggodanya lebih jauh.
"Dia bukan reguler. Namanya Alex, dan dia pemilik kafe ini."
Informasi itu membuat pria tersebut kembali menatap lurus ke arah Helen.
"Dia... pemilik kafe ini? Namanya Alex?"
"Lebih tepatnya Alexandra Lawrence. Dan ya, wanita itu pemilik tempat ini."
Lelaki itu terlihat terdiam, sebelum akhirnya bergumam. Hampir tidak terdengar. "Alexandra Lawrence..."
Melihat ada seorang pengunjung lain mulai berjalan ke arah kasir, pria itu kembali bertanya.
"Dia sering datang ke sini?"
Bahu Helen terangkat dan kepalanya menggeleng. "Cukup jarang. Paling sebulan sekali ia datang memeriksa laporan keuangan. Ia sebenarnya memiliki pekerjaan lain yang membuatnya harus bekerja mobile. Tempat ini hanya usaha sampingannya saja."
Mata cokelat Helen melihat pengunjung tadi yang berdiri mengantri di belakang pria itu. Saat menatap lelaki itu lagi, ekspresinya terlihat meminta maaf dan bibirnya tersenyum menyesal.
"Maafkan aku, tapi aku harus segera melayani orang yang berdiri di belakangmu. Kalau mau tahu, kau adalah pria ke sekian yang menanyakan tentang miss Law. Kalau cukup beruntung, kau mungkin bisa menemuinya lagi tapi entah kapan. Sangat jarang ada yang bisa menemui miss Law untuk kedua kalinya, karena memang tidak ada yang tahu kapan dia akan datang lagi ke sini. Jadwalnya tidak menentu."
Menggeser tubuhnya sedikit, pria itu membiarkan wanita itu melayani pelanggan yang ingin membayar. Tidak mau basa-basi lagi, tampak lelaki itu memegang topinya sedikit dan mengangguk ke arah Helen.
"Terima kasih informasinya."
Melemparkan senyuman lebar, wanita itu berkata ceria. "Sama-sama. Senang bisa membantumu."