Chapter 4 - Give up on you

2140 Words
"Rory..." Pelukan lelaki di atasnya mengerat dan gerakannya semakin cepat. Tangan-tangan pria itu yang mengusap tubuhnya terasa tidak sabar dan penuh dengan kelaparan. Lily merasakan seluruh wajahnya diciumi dengan rakus dan saat akhirnya merasakan kelembutan di mulutnya, wanita itu memeluk pria yang menindihnya dan mereka pun bergerak bersamaan. Keduanya saling memberikan kenikmatan melalui mulut masing-masing yang saling melahap dengan suara kecapan nyaring. Gelombang demi gelombang eforia dirasakan oleh wanita yang berada dalam ambang kesadaran itu. Ia menggigit bahu pria di pelukannya dan memberikan cakaran di punggungnya. Tubuh keduanya bergetar bersamaan dan pelukan mereka semakin mengencang satu sama lain. Suara lenguhan terdengar di telinga wanita itu dan terasa ciuman penuh kelembutan di dahinya yang berkeringat. Lily masih sempat mendengar seseorang berbisik padanya sebelum ketidaksadaran menghampirinya lagi. "Liliana Walton... Kamu... ku... Aku... mu... Tu... aku..." Saat membuka mata, wanita itu terbangun di tempat tidurnya sendiri. Sendirian. Sama sekali tidak ingat bagaimana dan kapan ia pulang ke apartemennya sendiri. Memandang sekelilingnya, Lily merasa tubuhnya bersih seperti telah mandi. Tidak ada pula jejak-jejak merah seperti sebelumnya, membuatnya ragu apakah yang ia alami tadi malam kenyataan atau hanya mimpi. Sambil terduduk, Lily makin menempelkan selimut ke d*danya dan mengusap lengannya sendiri. Wanita itu kebingungan. Bingung dan hatinya kembali tidak karuan. Perasaannya pada lelaki itu ternyata belum hilang sepenuhnya. Di saat ingin melepaskannya, bayang-bayangnya malah kembali lagi. Parahnya, sosok pria itu malah menghantuinya dalam mimpi-mimpinya yang er*tis. Cukup yakin kalau bayangan tadi malam itu hanya mimpi, Lily membuka selimut dan menjejakkan kakinya ke lantai karpet di bawahnya. Baru saja akan berdiri, sesuatu di atas nakas membuat kulit wajahnya memucat dengan sangat cepat. Gemetar, tangan wanita itu mengambil kertas kecil di sana dan membacanya. Telepon aku. Matanya nanar saat ia melihat sebuah kartu berwarna hitam ikut tergeletak di sana. Meraihnya, tangan Lily semakin gemetar saat tahu fungsi benda yang sedang digenggamnya. Penuh kemarahan, ia merobek kertas kecil itu dan melemparkan kartu hitam tadi ke lantai. Seluruh kulitnya memerah dan tubuhnya bergetar penuh rasa marah, juga malu. Ia merasa seperti 'wanita malam' yang telah dibayar untuk jasa layanannya. Hal yang dilakukan lelaki ini jauh lebih menyakitkan daripada ia diberikan tamparan atau makian langsung. Memeluk dirinya sendiri, wanita itu menghambur ke kamar mandi dan membanting pintunya kencang. Hari itu adalah hari terakhir Lily mendengar kabar dari Gregory. Setelah malam panas itu, pria itu langsung pergi ke Amerika Selatan untuk melakukan tender dengan salah satu perusahaan di sana. Rencananya untuk resign buyar berantakan saat ketidakhadiran lelaki itu membuat banyak pekerjaan menumpuk, dan ia pun tidak tega untuk keluar dengan pemberitahuan mendadak. Timnya masih sangat membutuhkannya. Selama hampir 1 bulan, tidak pernah sekali pun lelaki itu menghubunginya hingga kecelakaan fatal itu terjadi. Kecelakaan yang membuat perasaannya pada pria itu benar-benar berakhir. Siang itu di rumah sakit, Lily duduk di tempat tidur rumah sakit sambil memandangi jendela. Kedua mata birunya yang biasanya jernih dan hidup, kali ini terlihat mati. Tatapannya entah mengarah kemana dan ia hanya menatap pemandangan pepohonan dari jendela segi empat dengan ekspresi kosong. Ketukan pelan yang berasal dari arah pintu pun tidak mampu membuatnya berpaling. Ia akhirnya menoleh, saat terdengar suara familiar di belakangnya. Suara dari seseorang yang kini sangat dibencinya. "Lily..." Menatap sosok yang berdiri di depannya, Lily merasakan hampa. Ia tidak merasakan apapun. Bahkan benci yang berbulan-bulan dirasakannya pun menghilang. Kehadiran lelaki ini yang dulu mampu memberikan getar dan letupan kegembiraan, kini tidak ada lagi. Pandangan wanita itu naik dan bersitatap dengan mata biru yang mirip dengan miliknya sendiri. Benaknya bertanya-tanya, apa yang ia lihat dari pria di depannya ini? Sejak dirinya kecil hingga remaja, Lily telah mengenal sosok Gregory. Selama itu pula, ia tahu kalau pria itu kasar dan bermasalah. Beberapa kali lelaki itu terlibat perkelahian, membuatnya harus pindah dari satu sekolah ke sekolah lain. Ia juga pernah masuk ke satu geng motor dan mentato tubuhnya. Kelakuannya sedikit membaik saat masuk kuliah dan menemukan minat di bidang arsitektur. Otaknya yang encer, membuatnya tidak masalah menyelesaikan kuliahnya dengan cepat dan meraih predikat terbaik di universitas. Pria itu juga melanjutkan pendidikannya dan tergabung dengan salah satu konsultan arsitektur terbesar, sebelum akhirnya mendirikan miliknya sendiri. Gregory mungkin bisa membersihkan nama baiknya. Ia juga dapat meniti karirnya dan bahkan memudarkan tato yang pernah menghiasi lengannya. Tapi satu hal yang tidak akan pernah hilang dari dirinya, dan itu predikat playboy-nya. Pria itu sepertinya masih tetap berkencan dengan mereka yang penasaran dengan sosoknya yang bad boy, dan hampir semua wanita itu pergi dengan berlinang air mata. Di mata Lily, Gregory Harrington adalah pria yang tidak akan pernah puas dengan satu wanita. Barulah saat tergabung dengan Ashley & Associates, Lily mengetahui nama lengkap Gregory dan sadar kalau pria itu ternyata sama sekali tidak memiliki hubungan dengan keluarga Harrington. Dulu, ia mungkin bisa saja mengorek informasi dari mereka, tapi kini silaturahmi itu telah lama terputus. Renggangnya hubungan dirinya dengan orangtuanya sejak belasan tahun lalu pun, salah satunya adalah karena ulah pria itu. Lelaki itu benar-benar telah menghancurkan hidupnya. Sama sekali tidak ada untungnya mencintai pria ini sekian lama. Cintanya hanya memberinya rasa sakit lagi dan lagi. Ia seperti seorang masokis yang senang menyiksa diri. Hati Lily serasa teriris sembilu. Tadinya ia mengira dengan mencoba akrab, pria ini akan mau membuka hati. Tapi ternyata semuanya sia-sia saja. Masih menatap Gregory, Lily menunggu datangnya air mata yang biasanya muncul saat memandang wajah lelaki itu. Ia menunggu dan menunggu, tapi ternyata cairan itu tidak pernah muncul di kelopaknya. Kepalanya berpaling lagi ke arah jendela. Mulutnya membisu. Mengamati sosok wanita di depannya, pria itu terlihat menelan ludah. Baru sadar dengan buket yang sedang dipegangnya, lelaki itu berjalan mendekat dan meletakkannya di meja nakas. Ragu, ia menatap Lily. "Lily-" "Kenapa datang ke sini?" Suara wanita itu samar. Terdengar sayup-sayup di ruangan itu dan membuat Gregory merasa dirinya telah salah mendengar. Keningnya sedikit berkerut. "Lily?" "Kenapa kau datang ke sini, Greg?" Kepala Lily akhirnya menoleh dan menatap mata Gregory. Jakun lelaki itu terlihat naik-turun tidak teratur saat ia menelan ludahnya. Pria itu tampak gugup. Sungguh pemandangan yang sangat langka. "Lily. Aku bisa menjelaskan-" "Menjelaskan apa?" Wanita itu terdengar seperti berbisik. Sama sekali tidak ada nada kemarahan dalam suaranya. "Lily. Aku sudah berusaha menghubungimu, tapi jaringan di sana sangat parah. Sulit sekali untuk-" "Greg. Aku tidak pernah memintamu menjelaskan. Apapun yang kau lakukan di sana dan dengan siapa pun, itu bukan urusanku. Aku hanya bertanya, untuk apa kau datang ke sini?" Keheningan menyesakkan terjadi di ruangan itu. Dua orang itu hanya saling menatap dalam diam, sampai akhirnya suara rendah lelaki itu kembali terdengar. "Aku tahu kamu marah karena aku pergi tiba-tiba. Aku berniat kembali secepat mungkin Red, tapi-" "Aku tidak marah. Kenapa kau menyangka kalau aku marah?" Kening Gregory semakin berkerut. Ada yang tidak wajar dari reaksi wanita itu. "Lily? Kamu baik-baik saja, kan? Ada yang terjadi selama aku meninggalkanmu?" Dengusan lembut terdengar dari hidung Lily dan wanita itu berpaling lagi ke jendela. Tatapannya tampak menerawang, memandang ke arah luar. "Lily?" Menghela nafasnya, wanita itu menatap Gregory kembali. Mata birunya tampak bergerak-gerak pelan. "Ada hal yang ingin kutanyakan padamu sebenarnya. Apa kau mau menjawabnya?" Menegakkan tubuhnya, Gregory mengangguk kaku. Pria itu menyimpan kedua tangan di saku celananya. Posturnya tampak percaya diri dan terasa dominan dalam ruangan kecil itu. "Tanyakan saja. Aku akan menjawabnya." Jeda sejenak sebelum suara lembut wanita itu mengalun lagi. "Kenapa kau melakukannya, Greg?" Dahi pria itu yang mulus lagi-lagi berkerut. "Melakukan? Melakukan apa, maksudmu?" "Memp*rkosaku." Tubuh pria itu tegak berdiri seperti papan. Kedua tangannya yang tadi di saku perlahan mulai dikeluarkan. "Tidak hanya sekali, Greg. Tapi berkali-kali. Aku hanya penasaran, kenapa kau melakukannya?" Masih terdiamnya pria itu, membuat Lily mengulum senyum penuh ironi. Ia kembali memalingkan wajah, sama sekali tidak tahan melihat ekspresi lelaki itu yang selalu datar dan dingin saat memandangnya. "Sudahlah. Tidak usah kau-" "Karena aku menginginkanmu." Jawaban itu membuat Lily menatap Gregory kembali. "Kau menginginkanku?" "Aku menginginkan dirimu. Sejak dulu." Pengakuan itu sempat membuat hati Lily mekar, namun ia segera tersadar. Ingatan beberapa minggu lalu, harus menampar dirinya dengan kenyataan yang pahit. "Bagaimana rasanya?" Pertanyaan wanita itu terdengar seperti gumaman. "Rasanya?" "Apa 'sedingin' seperti yang kau bilang dulu? Karena aku wanita yang pendek dan pucat, maka rasaku pun tidak akan seenak mereka yang bertubuh tinggi dan s*ntal? Seperti wanita be-rok mini waktu itu?" Perkataan sangat tajam itu membuat wajah pria di depannya semakin kaku dan perlahan memucat. Cuping hidungnya yang sempit tampak melebar saat lelaki itu menghembuskan nafasnya berat. "Kata-kata itu tidak berarti, Red. Saat itu-" "Sudah kubilang, tidak usah menjelaskan apapun." Bahu lebar lelaki di depannya tampak terangkat naik saat ia menghela nafasnya dalam. Kedua tangannya mengepal dan tatapannya berubah tajam. "Tapi aku HARUS menjelaskannya padamu. Aku tidak mau kamu salah paham padaku, Red. Seperti dulu." "Aku yakin tidak akan salah paham mengenai dirimu, Gregory. Sekarang aku tanya, apa hubungan kita?" Urat-urat di sepanjang lengan pria itu tampak menonjol ketika tangannya semakin mengepal kuat. "Kau tidak bisa menjawabnya, kan? Jujur saja pada dirimu sendiri, Greg. Kau menginginkanku, karena kau penasaran. Setelah mendapatkanku, apa ada yang berubah di antara kita? Tidak ada." Entah dorongan dari mana, tapi Lily benar-benar ingin menuntaskan kekesalannya. Wanita itu sudah tidak mau lagi menyaring kata-katanya dan tidak peduli, bila perkataannya dapat menyakiti pria itu dengan sengaja atau pun tidak. Ia hanya ingin melampiaskan kemarahan terpendamnya selama ini. "Aku bukan kekasihmu. Aku bahkan bukan wanitamu. Aku hanyalah penghangat di ranjangmu. Kau gunakan saat kau ingin, dan buang saat kau sudah bosan." "Red. Hentikan. Kata-katamu mulai membuatku marah." "Tidak. Aku tidak mau berhenti, Greg! Kali ini, aku tidak mau berhenti dan kau yang harus mendengarkan!" Nada wanita itu yang meninggi, membuat lelaki itu terdiam. "Kau bilang kau telah meninggalkanku tadi? Tidak. Kau TIDAK pernah meninggalkanku Gregory, karena kau memang tidak PERNAH bersamaku." Kaki jenjang lelaki itu tampak mendekat dan lengannya terulur ke arah wanita itu. Mencoba meraihnya. "Liliana. Please. Dengarkan aku dulu. Kamu masih shock saat ini." Pertama kalinya Lily mendengar kelembutan dalam suara Gregory yang biasanya kasar dan dingin. Sayang, pijar di hati wanita itu telah padam di dalam. "Aku bilang, kali ini kau yang harus mendengarkan dan kuharap, kau benar-benar mendengarkannya karena aku tidak akan mengulanginya lagi Gregory Ashley!" Suara tegas Lily yang dingin dan kaku membuat langkah pria itu terhenti. Kepalanya akhirnya mengangguk. Tangannya kembali berada dalam saku. "Baiklah. Aku akan mendengarkan." Sikap Gregory yang terlihat santai dan biasa-biasa saja, mulai menimbulkan percikan kemarahan di hati Lily. Ia benar-benar membenci lelaki ini, yang tampak tidak bersalah telah merebut harta berharganya. Harta yang telah dijaganya selama 25 tahun untuk pria yang akan menjadi suaminya kelak. Tidak akan pernah ia memaafkan pria ini. Tidak akan, sampai lelaki ini berlutut di hadapannya! Berusaha menenangkan diri, kedua tangan mungil Lily mengepal. Ia memalingkan kepala dan menatap ke arah dinding kosong di depannya. Setelah beberapa saat, wanita itu merasakan dirinya lebih tenang. "Kau belum menjawab tadi. Kenapa kau datang ke sini?" Suara pelan di meja nakas, membuat Lily menoleh. Wanita itu tertegun melihat kotak beledu hitam di sana. "Apa ini?" "Aku datang ke sini karena ingin menikahimu, Red." Masih menatap nanar kotak itu, Lily bertanya pelan. "Kenapa?" Belum mendengar suara Gregory, Lily mendongak dan pria itu ternyata sedang memandang ke arah lain. "Greg? Kenapa kau ingin menikahiku?" Kepala pria itu berpaling dan menatapnya lagi. "Karena kamu telah menjadi milikku." Bukannya kegembiraan yang dirasakan Lily, melainkan rasa terhina. Wanita itu menundukkan kepalanya. "Kau merasa bertanggungjawab." Tarikan nafas kasar terdengar dari hidung Gregory. Pria itu tampak kesal. Dengan kasar, lelaki itu menyambar kotak beledu tadi dan langsung memakaikan cincin berbulirkan berlian itu di jari manis Lily. Tampak pria itu telah mengenakan cincin polos yang mirip di jari manisnya sendiri. Menimang jari-jari Lily di tangannya, senyuman sangat samar terlihat di sudut mulut Gregory. "Ternyata ukurannya pas." Belum dapat berkata-kata, mata Lily mengerjap pelan dan menatap cincin indah di jarinya. Bentuk cincin itu sederhana dan cenderung polos, tapi satu batu berwarna biru di tengah membuatnya terlihat istimewa. Keterkejutannya belum berhenti saat Gregory tiba-tiba saja menunduk dan memberikan kecupan di dahinya. Telapak pria itu yang lebar dan hangat terasa menepuk serta memberikan r*masan lembut di bahunya. "Jangan mengatakan apapun dulu. Saat ini, kamu masih shock karena kecelakaan kemarin dan aku tidak mau membuatmu makin tertekan. Aku akan datang lagi besok." Sosok lelaki di depannya yang masih belum beranjak, membuat Lily menengadah. Raut pria itu terlihat ragu-ragu saat tangan kirinya mengusap lembut pipi wanita itu yang pucat. Kepalanya menunduk dan lelaki itu memberikan ciuman dalam pada bibirnya. Aliran nafas Gregory terasa panas dan terdengar terengah, saat akhirnya melepas ciumannya. Jempolnya mengusap bibir bawah wanita itu yang memerah. Dahi Lily kembali menerima ciuman sayang dari pria di depannya. "Aku akan datang lagi besok. Istirahatlah yang cukup malam ini, Liliana." Tidak menunggu jawaban Lily, pria itu pun akhirnya pergi meninggalkan wanita itu sendirian. Mengusap-usap cincin di jarinya, sebutir air terlihat jatuh dan mengalir lembut di permukaannya yang licin. Kedua mata Lily menutup dan perlahan, ia melepaskan cincin itu dari jarinya. "Kamu tidak perlu bertanggungjawab padaku, Greg. Karena tidak ada yang perlu dipertanggungjawabkan."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD