Chapter 14 - The burden of Liliana Walton

1968 Words
"Kamu tidak bisa tidur?" Suara rendah yang terdengar dari kegelapan itu sedikit mengejutkan Lily. "Tidak. Hanya sedikit gelisah." Wanita itu berbalik membelakangi dan berusaha menata bantal di bawah kepalanya. "Kenapa?" "Tidak apa-apa, Greg. Kamu tidur saja lagi." Tubuh Lily sebenarnya sangat capek tapi suasana yang gelap seperti ini membuatnya tidak nyaman. Ia ingin meminta lelaki itu tidur dalam keadaan lampu menyala, tapi tidak mungkin. Sebelum tidur tadi, Gregory dengan santainya mengatakan kalau ia terbiasa tidur t*lanjang dan sempat membuatnya bergidik. Untuk menghindari sentuhan tidak perlu, ia juga meletakkan bantal lain sebagai pembatas di tengah tempat tidur. Matanya baru saja akan tertutup, saat ia merasakan kasur bergerak dan tangan memeluknya dari belakang. "Greg!" Mencengkeram lengan Gregory yang sedikit berbulu, Lily berusaha melepaskannya dari tubuhnya. "Lepaskan aku, Greg!" "Aku tidak mau." Tangan pria itu terasa mulai mengelus tubuhnya dan bergerak memasuki kaos tidurnya. Ia dapat merasakan kedua telapak besar lelaki itu menangkup asetnya dan mulai memberikan tekanan di sana. "Greg. Aku tidak mood melayani permainanmu. Hentikan sekarang juga!" "Tapi aku sedang mood saat ini." Memaksa tubuh wanita itu terlentang, Gregory menindihnya. Pria itu memandangi wanita di bawahnya dan tanpa disangka, memberikan kecupan ringan di dahinya. "Tutup matamu dan biarkan aku membuat otot-ototmu yang tegang rileks. Kamu nikmati saja, Red." Tahu maksud pria itu, tampak air mulai menggenangi kelopak mata Lily. Ia merasa terhina. "Gregory. Aku bukan w************n yang bisa kamu pakai kapan pun kamu mau. Aku-" Mulut pria itu langsung menutupi mulut Lily dan memberikan ciuman luar biasa panas di sana. Ketika ciuman itu terlepas, nafas wanita itu terengah dan kedua pipinya memerah. Sentuhan lelaki itu masih dan akan selalu dapat membuatnya mabuk kepayang. Entah apa sihir yang dipakainya sejak dulu, karena ia tidak pernah mampu menolaknya meski otaknya menjerit senyaring mungkin. "Kamu itu wanita-ku, Liliana Walton. Isteriku. Ingat itu." Jari-jari Gregory terasa menemukan yang diincarnya dan mencubit bagian sensitifnya. Wanita itu mengerang dan kepalanya terdongak. Lehernya yang terpampang jelas segera diberikan ciuman basah oleh pria itu. "Tutup matamu dan nikmati. Aku akan memuaskanmu." Menurut, Lily menutup matanya dan mulai menikmati pijatan yang diberikan pria itu. Ia bisa merasakan kaos tidur dan celananya dibuka dengan lembut. Aliran udara dingin yang terasa di kulitnya segera tergantikan dengan hawa panas yang berasal dari tubuh Gregory yang menempel padanya. Wanita itu mend*sah saat merasakan jari-jari lelaki itu mengelus dan menekan titik-titik sensitif di tubuhnya. Beberapa kali, mulut pria itu menggantikan tangannya dan membuatnya mengerang lagi. Saat tangan besar itu mencapai area pribadinya, Lily mencengkeram pergelangan pria itu tapi membiarkannya memberikan kenikmatan padanya. Tubuhnya bergetar dalam genggaman Gregory dan akhirnya melemas. Keringat mengaliri sekujur tubuhnya dan ia merasakan pelukan lelaki itu menguat. Benar seperti kata pria itu tadi, ia jauh merasa lebih rileks dan kedua matanya mulai memberat. Usapan dan pijatan lembut di kulit kepalanya serasa membuainya menuju dunia mimpi. "Tidurlah, Lily. Aku akan menjagamu." Kesadarannya sudah menghilang ketika pria itu memberinya kecupan selamat tidur di keningnya. *** = Rumah sakit St. Collins. Pagi hari = "Halo, Reiss? Ya. Ini dengan Ashley. Aku sepertinya harus memundurkan jadwal pertemuan kita. Ada urusan keluarga yang harus aku selesaikan dulu. Kau keberatan kalau meeting diundur sekitar 2 atau 3 hari?" Perkataan itu didengar Lily yang baru saja keluar dari kamar mandi. Tampak keningnya berkerut. "You're my man, Reiss. Aku jamin project itu akan tetap berjalan sesuai schedule. Kau jangan khawatir." Terdengar pria itu masih berbicara dalam bahasa Jerman sebelum menutup panggilannya. "Klien-mu?" Pertanyaan itu membuat Gregory berbalik dan tampak menyimpan ponsel itu di saku celananya. "Ya. Abraham Reiss. Dia sedang merenovasi kantornya di kota B, dan membuka cabang di kota BB." Kedua alis Lily terangkat tinggi, dan wanita itu duduk di sofa. "Abraham Reiss? Pemilik peternakan Atenarr? Suami dari Anna Reyes?" Pria itu duduk di sebelah Lily dan salah satu tangannya menyender di kepala sofa. "Kamu kenal Anna Reyes?" Meluruskan kaki-kakinya, wanita itu mengangguk. Ia membungkuk ke depan dan memijat lehernya. "Aku membantu menata interior rumahnya sekitar setahun lalu. Kami sempat ngobrol-ngobrol sebentar dan ternyata suaminya pemilik perusahaan security cukup besar di Jerman sana. Sebatas itu aku mengenalnya." Mengamati ubun-ubun Lily, jari-jari Gregory mulai mendekati lehernya yang jenjang dan memberikan pijatan ringan di sana. Tanpa bisa ditahannya, wanita itu mengerang. "Oh! Rory..." "Kamu suka?" Kepala wanita itu mengangguk dan kedua matanya memejam. "Hmm..." "Bersender padaku." Lagi-lagi, tanpa daya Lily menuruti perintah pria itu. Kepalanya bersender di bahu Gregory dan membiarkan pria itu memberikan pijatan memabukkan di lehernya. "Kenapa kamu kaku sekali di sini, Red? Kamu sering menunduk?" "Hmm... Ada beberapa project dengan deadline saling berdekatan. Aku sempat lembur beberapa minggu kemarin untuk menyelesaikannya." Tanpa sadar, telapak tangan wanita itu memegang paha dalam Gregory. Dengan lembut, Gregory melepas sanggul asal-asalan wanita itu dan menggerai rambutnya. Kedua mata pria itu tampak menggelap saat mengamati helaian rambut Lily yang panjang dan bergelung indah. Perlahan, telapak tangan lelaki itu masuk dalam lautan merah itu dan memberikan pijatan konstan di kulit kepalanya. Suara erangan lembut kembali terdengar dari wanita di sampingnya, dan pria itu menelan ludah. "Kamu suka, Lily?" Suara Gregory terdengar lebih berat dan lebih serak. Saat pijatan itu menyentuh titik yang tepat, refleks tangan Lily mer*mas kuat paha pria di sampingnya. Sama sekali tidak sadar, kalau telapakannya hampir mengenai benda di antara kaki lelaki itu yang mulai mengeras. Nafas pria itu memberat, tapi matanya terlihat berkonsentrasi melakukan tugasnya. Ia mengangkat rambut Lily ke atas dan memberikan kecupan singkat di belakang lehernya, sebelum melanjutkan pijatannya. Selama beberapa saat, Gregory memastikan otot-otot wanita itu rileks dan terasa melemas di tangannya. Barulah setelah itu, kedua tangannya berpindah ke area bahu dan kembali memberi tekanan lembut di sana. "Bagaimana? Lebih enakkan?" "Ya... jauh lebih enak, Greg..." Suara Lily terdengar mend*sah. Telapak wanita itu mengusap pelan sepanjang paha Gregory. Tidak menyadari sama sekali kalau gerakannya mulai menimbulkan percikan-percikan api di aset pria itu yang terasa meradang. Bagian depan celana lelaki itu tampak menggembung dan wajahnya memerah. Tubuh pria itu mulai gemetar. Mendorong kepala wanita itu menjauh, Gregory langsung berdiri dari duduknya. Ia berdehem pelan. "Sepertinya sudah cukup, Red." Kaget karena lelaki itu mendadak menghentikan pijatannya, wanita itu tampak berusaha mengumpulkan nyawanya yang tadi sempat pergi ke nirwana. Badannya terlihat oleng di sofa dan rambut panjangnya sedikit menutupi wajahnya yang bersemu. Ia sangat berantakan dan seperti sedang mabuk. Merasa bersalah, Gregory menarik lembut wanita itu dan membuatnya berdiri di depannya. "Peluk aku. Biar aku yang membereskan rambutmu." Linglung, kedua tangan Lily melingkari tubuh besar pria di hadapannya. Kedua matanya kembali memejam ketika tangan-tangan lelaki itu kembali mengusap kulit kepalanya dan melakukan sesuatu di rambutnya. Wanita itu semakin menyender di d*da Gregory yang keras dan hangat. Bibirnya tersenyum lembut. Jarang-jarang orang ini bersikap lembut begini. Nikmati saja, Lils. Pelukan wanita itu mengerat. "Aku suka pijatanmu, Greg." Telinga Lily dapat mendengar debaran yang lebih kuat di jantung lelaki itu. "Aku juga suka memijatmu." Jawaban datar itu sama sekali tidak menggambarkan jantung lelaki itu yang terasa berdebam liar di telinga Lily, sampai wanita itu dapat melihat gerakannya yang kuat melalui kemejanya. Dia gugup? Penasaran, Lily mendongak dan matanya langsung bertatapan dengan mata pria itu yang berwarna biru. Menelisik mata Gregory yang balas memandangnya, wanita itu hanya dapat melihat tatapannya yang datar dan tanpa ekspresi. Tidak ada tanda kalau pria itu terpengaruh dengan suasana int*m di antara mereka. Ada setitik kekecewaan dalam hati Lily, tapi ia hanya tersenyum kecil dan menepuk d*da lelaki itu pelan. Kakinya mundur dan menjauh dari tubuh besar di depannya. Mungkin aku salah. Tidak, bodoh! Kau PASTI salah. Dia hanya berdebar untuk tubuhmu. Itu saja. "Terima kasih, Rory." Memastikan rambutnya telah rapih tergelung, Lily berjalan menghampiri tempat tidur di depannya. Wanita itu terlihat merapihkan selimut yang menutupi sosok yang tertidur di sana. Setelahnya, ia duduk di kursi yang ada di samping tempat tidur. Ia menatap Gregory yang masih mematung di depannya. "Terima kasih Greg, karena telah membawanya ke rumah sakit. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi pada papa, kalau keluargamu tidak segera menemukannya saat itu." Kedua mata Gregory mengerjap pelan dan ia berdiri di samping Lily. Tampak tangannya mengelus kepala wanita itu dengan usapan lembut. "Jangan berterima kasih seperti itu. Aku sudah menganggap paman Alexander sebagai orangtuaku sendiri. Semenjak bibi Liliana meninggal, beberapa kali aku dan dad sudah menyuruhnya pindah tapi dia tidak mau meninggalkan rumah itu. Sepertinya, paman sulit melepas kenangan bibi dan menunggu kepulanganmu ke rumah. Kamu harus tahu, mereka merindukanmu selama ini." Perkataan Gregory seperti angin lalu di telinga Lily. Saat ini, wanita itu merasa sangat gugup dan menelan ludahnya sulit. Sudut matanya malah terarah ke tempat yang tidak seharusnya. Ia dapat melihat bagian depan celana pria itu yang terlihat jauh lebih menonjol dari yang diingatnya dulu. Apa memang sebesar itu, ya? Tapi kok, sepertinya- Pikirannya yang m*sum teralih saat pria itu tiba-tiba saja berjongkok di depannya. Berusaha menyingkirkan benaknya yang entah mengapa selalu kotor kalau melihat lelaki ini, Lily mengerjap pelan. Kedua tangan yang ada di pangkuannya terlihat digenggam erat oleh pria di depannya. Raut Gregory tampak lebih serius saat memandangnya tepat di matanya. "Lily. Aku sudah menunggu selama belasan tahun untuk mengetahui kebenarannya. Apa sekarang kamu mau menceritakannya padaku? Semuanya?" Permintaan pria itu yang mendadak dan sangat sulit membuat Lily tertunduk. Setelah selama ini berusaha untuk tidak mengingatnya, lelaki itu ternyata masih belum melupakannya. Tahu kegalauan wanita di depannya, Gregory kembali memberikan tekanan lembut di tangannya. "Aku tahu kamu tidak nyaman menceritakannya padaku, terutama karena ini rahasia Lory dan dia juga telah meninggal. Tapi kamu harus tahu, Lily. Sebagai kakak, aku dan Fred merasa telah gagal menjaga adik semata wayang kami. Kamu juga harus melihat wajah dad saat tahu anak perempuan satu-satunya mengambil jalan pintas untuk masalahnya. Meski terlambat, tapi Lorelai berhak untuk mendapat keadilan." Melihat Lily masih terdiam, Gregory menundukkan kepala ke tangan wanita itu dan menutup matanya. "Liliana. Katakan padaku yang sebenarnya." "Untuk apa?" Pertanyaan itu membuat kepala pria itu terdongak dan menatap wajah Lily yang terlihat kaku. "Saat tahu kebenarannya, apa yang akan kamu lakukan Gregory? Apa kamu akan menghajarnya, atau bahkan membunuhnya? Katakan padaku, apa yang akan kamu lakukan pada orang itu?" Percikan kemarahan menyala di mata biru lelaki itu yang dingin. Ia menarik tangannya kasar dan langsung berdiri. Pria itu menyimpan kedua tangannya ke saku celana panjangnya dan tubuhnya kaku. "Itu bukan urusanmu, Red. Ini urusan antara aku dengan pria br*ngsek itu! Dia harus bertanggungjawab telah menghamili Lorelai dan membuatnya memilih b*nuh diri!" Jawaban pria itu telah diduganya dan membuat Lily berkata datar. "Karena itulah aku tidak mau mengatakannya padamu, Rory. Kamu harus memaksaku dulu, sebelum aku mau menceritakannya. Lagipula, Lory memintaku berjanji untuk tidak membocorkannya pada siapa pun." "Red!" "Tidak ada yang bisa memaksaku, Gregory! Meski itu dirimu!" Dua orang itu saling menatap penuh permusuhan. Raut pria itu sangat keras. Tanpa mengatakan apapun, Gregory keluar dari kamar dan sedikit membanting pintunya. Menatap kepergian lelaki itu, Lily menengadahkan kepalanya dan mengambil nafas dalam. Ia sangat ingin melepas beban yang harus dipikulnya belasan tahun, tapi tidak mau hal itu justru memberikan akibat lebih menghancurkan bagi keluarga Harrington. Ia terlalu menyayangi Gregory untuk membiarkannya melakukan tindakan yang membahayakan. Cukup satu kali nama pria itu telah tercoreng di masa lalunya. Ia tidak mau masa depan lelaki itu kembali di ujung tanduk bila mengulanginya lagi. Bagaimana pun, ia pernah mencintai pria masa kecilnya itu dan masih mencintainya sampai sekarang. Menatap sedih ayahnya yang masih terbaring, Lily bergumam lirih. "Pap... Apa yang harus aku lakukan, pap?" Memegang tangan Alex yang tidak bergerak, wanita itu membaringkan kepalanya di sana. Matanya berair, dan setetes air mata jatuh ke tangan keriput pria yang sedang dipegangnya. Menggenggam tangan tua itu lebih erat, Lily menutup matanya dan aliran air tampak di pipinya yang mulus. "Kalau saja mama masih ada, aku bisa minta bantuannya. Aku sangat rindu mama, papa..." Ruangan itu sunyi sejenak sampai terdengar suara sayup-sayup. "Uh..." Telinga Lily yang menangkap erangan samar itu, langsung menegakkan tubuhnya. Matanya melebar saat menatap jari-jari ayahnya terlihat mulai bergerak lemah. Jeritan kecil refleks terdengar dari mulutnya. "Papa!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD