Chapter 15 - The moment

1483 Words
= Rumah sakit St. Collins. Beberapa jam kemudian = "Kalian telah sah menjadi pasangan suami-isteri. Sekarang, kau boleh mencium isterimu." Tamu yang tidak banyak itu bertepuk tangan, membuat pasangan baru itu tersenyum canggung. Berbeda dengan pengantin wanita yang menunduk dan tampak malu, sang pengantin pria terlihat lebih mantap dan dengan percaya diri memberikan kecupan singkat tapi dalam di bibir pengantinnya. Menggenggam erat tangan pasangannya, pengantin pria itu menoleh dan tersenyum samar pada pria baya yang masih berdiri di depannya. Ia mengulurkan tangan kanannya. "Anda tidak tahu betapa berartinya bantuan Anda telah menikahkan kami, father." Pria baya itu terkekeh pelan dan membalas erat jabatan tangan itu. "Anda benar-benar luar biasa, Tuan Ashley. Anda berhasil membuat saya menunda kepulangan dari rumah sakit demi menikahkan kalian berdua." Memberikan tekanan terakhir, Gregory memberikan senyuman lebar yang jarang diberikannya. "Sekali lagi, semoga Tuhan memberkati Anda." "Terima kasih, Tuan Ashley. Suatu saat, saya akan menagih p********n terkait dengan design rumah saya." "Tentu saja. Silahkan Anda menghubungi saya bila ada rencana itu." Beberapa dokter dan juga perawat tampak memberikan selamat pada pasangan itu dan tidak lama, ruangan kembali sepi. Hanya tersisa beberapa orang di sana, yang saat ini sedang mengelilingi pasien yang masih terbaring di tempat tidur besar itu. Meraih tangan ayahnya, Lily mengangkat tangan itu dan meletakkan pada pipinya. Ia tersenyum lembut. "Bagaimana, papa? Sudah lega?" Tatapan mata gelap Alex tampak terharu saat memandang puterinya. Jari-jarinya dengan lemah mengusap pipi wanita di depannya pelan. "Terima kasih, Lily darling... Terima kasih..." Mendengar suara Alex yang sangat lemah itu, tenggorokan Lily terasa tercekat. Sekuat tenaga ia menahan tangisnya yang sudah di ambang kelopak matanya. Memaksakan senyuman di bibirnya, wanita itu sedikit memberikan r*masan di tangan ayahnya yang rapuh. "Sama-sama, papa... Sekarang, papa cepat sembuh ya... Setelah itu, kita pulang ke rumah..." Suara wanita itu terdengar pecah. Di saat pertahanan dirinya hampir hancur, tiba-tiba wanita itu merasakan r*masan kuat di bahunya yang membuatnya tersadar. Sentuhan mantap itu membuat air matanya segera menghilang. Kesedihan yang dirasakannya, perlahan memudar. Ia seolah disadarkan untuk harus mampu terlihat lebih kuat di depan ayahnya. Aku ternyata memang membutuhkan pria ini. Kalau dia meninggalkanku, bagaimana nasibku nanti? Tangan-tangan pria itu yang hangat terasa berada di bahu Lily dan memberikan pijatan lembut di sana. Suara rendah lelaki itu terdengar ringan tapi mantap. "Paman Alexander. Kau jangan khawatir lagi. Aku akan selalu menjaga Lily." "Dia bukan paman-mu lagi, Gregory. Alexander sudah menjadi mertuamu sekarang." Teguran pelan dari Rod menimbulkan tawa pelan di ruangan itu. Tampak raut Alex cerah mendengarnya. "Kau benar, Rod... Anakmu memang kurang ajar..." Kembali ruangan itu terisi dengan suara tawa yang ceria. Menepuk bahu Gregory, Fred menoleh pada Alex dan berkata cerah. "Syukurlah dia menikahi Lily, paman Alex. Setidaknya Liliana nanti bisa membantunya untuk menjadi pria sejati, setelah selama bertahun-tahun ini dia menjomblo." Kata-kata itu membuat para pria di ruangan itu lagi-lagi tertawa, terkecuali Lily. Melirik jari-jari Gregory yang berada di bahunya, tampak cincin yang telah dipakai lelaki itu sejak 5 tahun yang lalu. Menunduk, wanita itu menatap tangannya sendiri yang kini mengenakan benda pengikat yang telah ditolaknya berkali-kali dulu. Perkataan Fred tadi membuat kening wanita itu berkerut. Ingatannya saat bertemu Gregory lagi beberapa hari lalu tampak berkelebat di benaknya dan menimbulkan bayangan yang membuat Lily semakin berfikir. Ia mulai mempertanyakan persepsinya selama ini mengenai pria yang telah menjadi suaminya. Ada yang tidak pas. *** = Sementara itu di tempat lain = "Aku bermimpi dia kembali." Perkataan itu membuat sosok yang sedang berdiri dan menatap pandangan di luar jendela bertanya acuh. "Siapa yang kembali?" "Si perusak." Helaan nafas yang panjang terdengar dari orang yang berdiri itu. Ia sebenarnya sudah muak dengan situasi yang dialaminya ini tapi kedua tangannya 'terborgol', membuatnya tidak bisa melakukan apapun. Berusaha mengumpulkan sisa-sisa kesabarannya, dia berbalik dan menampilkan raut cerah. "My love. Itu hanya bunga mimpi. Tidak ada artinya." "Bunga mimpi?" Menggertakan giginya dalam senyuman, orang itu duduk di tempat tidur dan mengambil tangan sosok yang sedang duduk itu. Jari-jarinya mengusap tangan yang sebenarnya sangat ingin dipatahkannya sejak lama. "Kau tahu bunga mimpi, kan? Kepala sosok itu mendongak. Saat menatap wajah orang di depannya, kedua mata yang tadinya muram itu mulai memperlihatkan cahaya di dalamnya. "Aku bermimpi indah. Mengenakan baju pengantin dan menikahi orang yang kucintai." "Mimpi yang indah? Siapa yang kau nikahi, my love?" Binar-binar masih belum meninggalkan mata wanita itu dan dia mengangguk. "Kau sangat tampan dengan baju pengantinmu. Kita berdansa mengelilingi ballroom. Bunga-bunga mawar tercium harum mengelilingi kita. Banyak tamu datang dan memberikan ucapan selamat, termasuk dad. Makanannya juga sangat enak. Sangat mewah dan aku memotong-motong kue pengantin yang sangat tinggi itu. Banyak burung-burung berterbangan di sana. Oh... Aku bahagia sekali, love." Menelan ludahnya, pria itu berusaha untuk tersenyum meski hatinya memberontak marah. "My love. Sepertinya kau sudah capek. Lebih baik kau istirahat sekarang." "Istirahat?" Mulai membaringkan tubuh wanita di bawahnya, bibir pria itu tersenyum. "Ya. Istirahat. Supaya nanti kau bermimpi indah lagi." Betapa inginnya pria itu membuat wanita ini bermimpi untuk selamanya. Jika saja ia bisa tetap memberikannya obat keras dari dokter karena sakit flu-nya. "Bertemu kau lagi?" Dalam benaknya yang liar, betapa pria itu sangat ingin mencekik wanita di depannya ini. "Yes, my love. Bertemu dengan aku lagi." Baru saja wanita itu mengangguk sambil tersenyum, tangannya tiba-tiba menggenggam erat bagian depan celana pria itu dan mer*masnya kencang. Jari-jarinya yang lentik dan panjang memberikan elusan di daerah itu. Penuh harap, tatapannya naik dan memandang sosok sang pria yang masih menunduk padanya. "Aku ingin dirimu, love..." Permintaan itu membuat raut si pria mengencang. Tampak urat-urat di pelipisnya bertonjolan. Mensugesti dirinya sendiri, pria itu mengelus pipi wanita itu yang masih mulus di bawahnya. "My love. Lebih baik kau istirahat saja. Tidak baik- UGH!?" Teriakan tertahan pria itu keluar begitu saja dari mulutnya, ketika merasakan sakit di area pribadinya yang dir*mas tanpa kelembutan. Ia dapat merasakan kuku-kuku wanita itu yang panjang mulai menusuk kulitnya yang ada di balik kain celana panjangnya. "My love..." "Kau berani melawan!?" Cengeraman wanita itu menguat di sana, membuat pria itu harus menunduk dan menggigit kain seprai untuk meredam jeritan kesakitannya. Badannya melengkung dan kedua tangannya mengepal di samping tubuh si wanita yang masih berbaring diam di bawahnya. "Kau berani melawan?" Bulir-bulir keringat mulai bermunculan di kening lelaki itu dan kedua matanya berair. Ia bisa merasakan cairan di lubang hidungnya mengancam untuk keluar dari sana. "Ti- Tidak, my love..." "Benar?" Merasakan tekanan menyakitkan dari wanita itu mulai mengendur, kepala pria itu mengangguk berkali-kali panik. Ia sangat tahu wanita itu bisa lebih menyakitinya lagi. "Aku sumpah, my love! Aku tidak akan pernah berani melawanmu. Kau harus percaya padaku." Mengelus-elus benda di tangannya, terdengar kikikan dari mulut sang wanita. "Baguslah. Sekarang, bercintalah denganku." Gerakan wanita di bawahnya membuat kedua mata pria itu membuka. Ia sangat tahu posisi yang diinginkan oleh wanita itu dan membencinya. Sadar harus melakukan tugasnya, lelaki itu membuka resliting celananya dan memegang asetnya. Sekuat tenaga, ia berusaha memberikan stimulasi pada benda yang masih loyo itu. Ia sama sekali tidak bern*fasu pada wanita di depannya, tapi harus melakukannya. "Cepatlah, love. Aku sudah kedinginan ini." Menggertakan giginya, pria itu semakin cepat memberikan elusan pada benda di tangannya. Kedua matanya memejam dan berusaha membayangkan sesuatu yang dapat membangkitkan minatnya untuk berhubungan. "Love..." Tahu wanita yang sedang menungging itu mulai tidak sabar, si pria segera mengambil posisi di belakangnya. "Ya. Ya. Sabar, my love. Aku butuh si junior untuk siap dulu, oke?" Saat akhirnya benda itu mengeras, si pria mulai memasuki wanita itu dan memompa dirinya. Menatap sosok wanita yang mengerang di bawahnya, pria itu semakin mempercepat pompaannya. Keningnya berkerut dalam saat berkonsentrasi dengan gerakannya. Kedua matanya memejam erat untuk mempertahankan bayangan yang dapat mempertahankan keperkasaan asetnya di dalam. Cepatlah kau puas! Cepatlah kau menjerit, br*ngsek! Betapa inginnya dia bersikap kasar dengan memukul wanita itu untuk mencapai kepuasannya sendiri. Kedua tangannya gemetar mencengkeram b*kong padat itu. Ia ingin menampar dan memberi kesakitan padanya, tapi tahu bisa berakibat fatal padanya. Mengenyahkan bayangan itu, ia mempercepat gerakannya sampai pada akhirnya merasa lega luar biasa saat wanita di bawahnya menjerit penuh kepuasan. Terburu-buru, lelaki itu melepas asetnya dan berlari ke kamar mandi. Tidak lama, ia pun keluar dari sana sambil mengancingkan celananya. Saat menatap tempat tidur, tampak wanita tadi telah tertidur lelap. Mengepalkan kedua tangannya kuat, pria itu merasakan kemarahan yang sangat luar biasa. Untungnya, ia masih bisa mendapatkan pelepasan tadi karena jika tidak, entah siapa yang harus menerima kemarahannya nanti. Mendekati tempat tidur, ia mengambil jasnya dari kursi dan menunduk untuk memberikan kecupan pada kening si wanita yang tertidur di sana. "Mimpi indah, my love. Aku akan datang lagi nanti." Kalau bisa, kau tidak usah bangun lagi. "Hmm..." Kedua mata pria itu tampak memerah dan urat di pelipisnya berdenyut. Tanpa buang waktu lagi, lelaki itu segera mengenakan jasnya dan pergi dari kamar itu. Dalam hatinya, lelaki itu tidak tahu sampai kapan ia bisa mempertahankan pikiran warasnya. Semakin lama menghabiskan waktu dengan wanita itu, ia makin merasa gila tiap detiknya. Sangat gila, hingga beberapa kali terfikir b*nuh diri untuk menyusul seseorang dari masa lalunya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD