Chapter 13 - There's no more 'Us'

1626 Words
Suasana kelabu serta berat terasa menggantung dalam rumah yang tadinya penuh tawa dan kegembiraan di dalamnya. Musim gugur yang sebentar lagi akan datang, menimbulkan angin kencang dan menerbangkan dedaunan yang banyak berjatuhan ke halaman rumah yang terlihat kosong itu. Kolam yang tadinya selalu berisi air yang jernih, sekarang tampak kering dan mulai dipenuhi daun-daun yang berguguran di dalamnya. Tidak terlihat sama sekali bekas pesta kecil yang baru diadakan satu setengah bulan lalu di sana. Dalam sebuah ruangan di rumah besar itu, tampak dua pasang mata sedang menatap sosok kecil yang berdiri di tengah ruangan. Terasa hawa canggung dan tidak nyaman di sana. Suara yang sangat lembut mengalun di ruang perpustakaan besar itu. "Liliana... Kau yakin akan pergi?" Kepala Lily mengangguk dan tatapannya tertunduk ke bawah. Posturnya tampak kaku. "Lily. Kami sama sekali tidak mau kalau kau pergi dalam keadaan seperti ini. Peristiwa itu sama sekali bukan kesalahanmu, darling. Semua ada di CCTV dan terlihat jelas kalau Lorelai..." Tidak sampai hati mengungkit kembali kejadiaan naas itu, mulut Alex terkatup rapat. "Aku tahu pa-" Panggilan itu membuat Lily tercekat dan kedua matanya terasa memanas. Ia tidak berani menggunakannya lagi, di saat tahu telah kehilangan haknya. Sorot sedih terpancar dalam kedua mata Alex yang gelap. "Lily. Aku ini tetap ayahmu. Kau tetap boleh-" "Aku tahu itu bukan salahku. Tapi aku juga tahu, setelahnya banyak yang telah terjadi. Aku tahu kalau banyak rekan... rekan bisnis Walton yang menggunjingkanku. Di sekolah juga, banyak teman-teman menghindariku. Dan karena ini juga, paman Rod dan anak-anaknya sekarang sama sekali tidak mau datang lagi ke sini." "Liliana... Paman Rod dan anak-anaknya masih dalam kondisi berduka. Wajar kalau mereka melemparkan kesalahan ke orang lain, untuk mengobati hati mereka yang masih terluka. Tapi aku yakin, mereka akan kembali seperti dulu meski memang butuh waktu... Justru kami yang khawatir dengan dampak hal ini pada dirimu, darling. Sikapmu berubah, tidak seperti dulu terutama pada kami berdua." Kelembutan dalam suara ibunya bukannya membuat Lily terhibur. Gadis itu malah semakin ingin menangis sekarang. Sekuat tenaga, ia berusaha menahan diri untuk tidak memeluk ibunya itu. Menelan ludahnya seret, gadis mungil itu mengambil kopernya dan berpegangan pada benda itu. Ia tidak ingin pergi, tapi harus pergi. Ia ingin tinggal, tapi memori buruk beberapa bulan lalu akan tetap tertinggal di benaknya. Tanpa diketahui orangtuanya, Lily yang sekarang tidak berani menyentuh kolam lagi. Tiap kali melihat kolam terisi penuh, kakinya gemetar dan seolah melihat bayangan Lorelai mengambang di sana. Dalam waktu singkat, kepercayaan diri Lily jatuh merosot ke titik negatif. Tidak hanya kehilangan temannya, ia juga dituduh penyebab tidak langsung kematian gadis cantik itu. Seperti telah jatuh tertimpa tangga pula, gadis itu harus menghadapi kenyataan kalau ia anak angkat di keluarga Walton. Ibu kandungnya adalah adik Liliana, dan telah meninggal karena kecelakaan persawat bersama suaminya saat usia Lily masih 1 bulan. Kedua mata Lily terasa memanas dan mulai berair, saat menyadari dunia yang diketahuinya selama ini telah hancur di bawah kakinya. Sampai sekarang, ia masih belajar untuk menerima kenyataan pahit itu. Tapi tidak ada gunanya menetap, bila hanya menjadi aib bagi keluarga. Mengeraskan hatinya, gadis itu memandang dua orang yang telah membesarkannya. Tampak senyuman di bibirnya dan lesung yang dalam terbentuk di pipinya. Ia berusaha tegar, untuk dirinya dan juga orangtuanya. "Aku baik-baik saja. Tapi sebaiknya aku memang pergi. Aku akan sering-sering mengunjungi kalian berdua." Menatap gadis mungil yang berdiri di depannya, setetes air mata jatuh dari pelupuk Liliana. Wanita itu sedih dan sangat kecewa dengan keputusan itu. Tidak pernah menyangka kalau kasih sayang yang diberikannya selama ini, ternyata hanya angin lalu bagi Lily yang telah dianggapnya sebagai anak kandung. "Kau berbohong, Liliana. Aku yakin kau tidak akan pernah mau mengunjungi kami. Pergilah sekarang." Tanpa mengatakan apapun lagi, wanita itu keluar dari perpustakaan dengan langkah kaku. Menghela nafas dalam saat menatap kepergian isterinya, Alex berdiri dan memberikan pelukan singkat pada gadis di depannya. Sorot pria itu persis seperti Liliana, tapi ia berusaha menampilkan senyuman di bibirnya. Kedua tangannya memegang lengan atas Lily dan mer*masnya lembut. "Jangan pedulikan ibumu. Dia hanya sakit hati karena kau pergi. Aku yakin, sikapnya akan segera melunak. Dan ingat darling, kalau tidak betah di sana, kau tahu harus pulang kemana kan?" Masih tersenyum lebar, kepala Lily mengangguk. Kedua mata birunya bergerak-gerak saat menatap ayahnya. Ia ingin memeluk erat pria di depannya, tapi tidak berani. Sangat tahu perasaan yang berkecamuk di benak anaknya, Alex memberikan kecupan di dahi dan mengelus rambutnya lembut. Betapa hati pria itu terluka di dalam, tapi tahu kalau anaknya jauh lebih terluka saat ini. "Pulanglah saat kau merasa ingin pulang, Lily. Di sini tetaplah rumahmu, darling." Ini memang rumahku, papa. Tapi kehadiranku hanya akan membuat kalian sedih. Lebih baik aku pergi. Genangan air terlihat di kedua mata jernih Lily, tapi gadis itu langsung membalikkan tubuh. Tanpa menoleh lagi, sosok itu keluar ruangan dan memasuki taksi yang sejak tadi menunggunya. Kepergiannya diiringi tatapan penuh kesedihan seorang wanita yang memandanginya dari jendela di lantai dua. Pipinya tampak dialiri air yang menetes tanpa henti dari kedua mata birunya. "Pulanglah, Lily sayang... Rumah ini adalah rumahmu... dan kau adalah satu-satunya puteriku..." Sebulan setelahnya, rombongan keluarga Harrington datang ke sana dan cukup terkejut dengan kondisi rumah itu yang berubah 180 derajat dari terakhir kalinya mereka berkunjung. Satu-satunya tuan rumah yang menemui mereka hanyalah sang kepala keluarga. Tampak pria itu mengajak para tamunya untuk duduk di ruangan tamu setelah berusaha membujuk isterinya dengan sia-sia. "Maafkan aku, Rod. Tapi Liliana..." Kepala Rod mengangguk cepat. "Aku mengerti, Alex. Tidak usah kau jelaskan." Suasana hening sejenak, sampai suara pelan Fred terdengar. Pria muda itu tampangnya sedikit pucat dan lebih kurus dibanding beberapa bulan lalu. "Di mana Lily? Sudah lama aku tidak menemuinya." Pertanyaan itu membuat raut Alex menjadi kaku. Pria itu menyesap tehnya pelan dan tidak menjawab. "Alex? Di mana puterimu? Kedatangan kami adalah untuk minta maaf padanya. Kejadian waktu itu memang sedikit di luar kontrol. Saat itu, Gregory juga tidak sengaja mengungkap status puterimu. Tujuanku datang hari ini sebenarnya sekalian ingin membahas mengenai hubungan mereka lebih jauh. Kami ingin melamar-" "Liliana sudah pergi." Jawaban singkat itu membuat keheningan menyesakkan dalam ruang tamu yang besar itu. Jelas itu adalah kabar yang sangat mengejutkan mereka semua. "Lily pergi kemana?" Suara rendah Gregory terdengar sangat berat dan tercekat. Tubuh lelaki itu tegak di kursinya dan kaku seperti papan. Wajahnya terlihat cukup shock. Mata Alex menatap Gregory dengan sorot yang sangat datar. Tidak ada kemarahan di sana, tapi juga tidak terlihat adanya kehidupan. Mata gelap itu tampak mati. "Dia kembali pada keluarganya. Karena itu, perjodohan kalian pun putus. Silahkan kau mencari wanita lain, Gregory Ashley karena Liliana sudah bukan tunanganmu lagi." *** = Kembali ke masa sekarang = Perjalanan dari rumah keluarga Walton diwarnai keheningan mencekam. Perasaan yang bertumpuk-tumpuk selama belasan tahun, membuat aliran udara dalam mobil terasa sesak. Membuka jendela, kepala Lily menongol ke luar dan menghirup udara malam sebanyak mungkin. D*danya dipenuhi rasa sedih dan kecewa seperti yang dirasakannya dulu ketika meninggalkan CA. Sekarang di saat dewasa, ia memang lebih bisa menerima reaksi kemarahan Gregory ketika itu tapi tetap saja, hatinya masih sakit mengingat tatapan penuh kebenciannya saat di rumah sakit. Apalagi pria itu telah menabur garam di hatinya yang terluka, dengan melakukan perbuatan b*jatnya beberapa tahun lalu. Menatap hampa pemandangan di depannya, Lily merasa ia telah membayar semua hutang-hutangnya. Saat mobil memasuki kawasan perumahan elit yang asing, mata Lily mengerjap bingung. "Di mana ini?" "Rumah Harrington." Jawaban datar itu membuat tubuh Lily kaku seperti papan. "Sudah kubilang, antarkan aku ke hotel, Gregory. Aku tidak mau menginap di rumahmu." "Dan sudah kukatakan, kalau aku tidak akan mengizinkannya. Kamu boleh saja memaksa Liliana, tapi kamu harus tahu kalau aku akan menyeretmu kembali ke sini meski itu membuatmu malu nanti. Terserah kamu." Kedua tangan Lily mengepal penuh kemarahan, tapi tahu kalau lelaki itu akan melakukan ancamannya. Kendaraan itu berhenti di depan sebuah rumah megah. Rumah itu sangat cantik dan hampir mirip dengan rumah Harrington yang dulu. Taman-tamannya ditata sedemikian rupa dan terawat dengan baik. "Ayo turun." Menghela nafasnya dalam, wanita itu turun dari mobil. Ia baru saja akan mengangkat barang-barangnya dari bagasi saat Gregory mengambilnya paksa dari tangannya. "Biar aku membawanya." Wanita itu menggigit bibirnya kuat untuk menahan makian yang sudah di ujung lidahnya. Tangannya pun gatal ingin mencakar wajah lelaki ini yang masih suka mengatur-ngaturnya. Saat menelusuri lorong-lorong rumah itu, kepala Lily terdongak mengagumi tempat ini. Roderick tidak main-main ketika membangun tempat ini dari nol. Pria itu membuat rumah ini sangat indah dan nyaman untuk ditinggali keluarga, meski kini hanya ada tiga orang lelaki yang menempatinya. "Ini kamarku." Gregory membuka pintu kamar yang terletak di ujung lorong lantai dua itu. "Paman dan Fred?" "Dad menempati lantai satu. Fred di lantai ini, di ujung sana. Di sebelahnya, kamar mandi." Mengamati ada satu kamar yang tertutup, penasaran Lily bertanya. "Kalau ini?" Tampak Gregory menatap sejenak pintu tertutup itu dan menjawab datar. "Kamar Lorelai. Tadinya." Informasi itu membuat jantung Lily berdetak lebih kuat, tapi ia hanya mengangguk kaku. "Masuklah." Tangan pria itu terasa memberikan dorongan lembut di punggungnya. Memasuki kamar lelaki itu, kembali mata Lily menelusuri penuh kekaguman. Kamar pria ini sangat maskulin dan cocok menggambarkan kepribadian Gregory. Sebuah tempat tidur besar terletak di tengah ruangan dan ada sofa kecil di sana. Sebuah pintu lain mengarah ke ruangan yang belum diketahui wanita itu. Membuka pintunya, ternyata itu menuju kamar mandi. Tampak lelaki itu mengambil sesuatu di sana. Saat kembali, ia mengulurkan sebuah jubah mandi yang besar ke arah Lily. "Mandilah. Kamu pasti capek setelah perjalanan panjang sejak pagi. Aku akan mandi di luar." Setelah mengatakan itu, tampak Gregory keluar dari ruangan dan meninggalkannya sendirian. Menghela nafas berat, Lily mengambil peralatan mandinya dari dalam tas. Ia melangkah ke kamar mandi dan menutup pintunya. Sebaiknya, ia menuruti lebih dulu kemauan pria itu dan baru saat ada kesempatan, ia akan memikirkan cara untuk pergi dari tempat ini dan juga dari kehidupan lelaki itu untuk selamanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD