"Saski tadi habis ngejar Papa, Bunda."
Suara ponsel yang berbunyi membuat Sisi mengalihkan perhatiannya. Dengan segera dia merogoh tasnya dengan tangan kanan. Sementara tangan kirinya memegangi Saski.
Wanita itu seketika tersenyum saat mendapati jika sang sahabatlah, Elisa yang menelepon. "Assalamualaikum, Sa."
Beberapa menit kemudian Sisi memutus sambungan telepon dengan Elisa. Senyumnya melebar saat mengatakan pada Saski jika minggu ini Elisa akan mengunjungi mereka.
Saski langsung berseru kesenangan. Badannya yang mungil meloncat-loncat di depan Sisi sehingga wanita itu tertawa geli.
"Saski, mau nggak ikut Bunda sebentar ke toko bunga?"
"Bunda mau beli bunga?"
Sisi mengangguk. "Setelah dari toko bunga, baru kita ke day care ya."
"Bunda punya pacar ya?"
Sisi terlihat kaget mendengar pertanyaan sang putri. "Ap-apa?"
"Bunda punya pacar? Kok beli bunga?"
Sisi tertawa cekikikan. Dia tidak menyangka jika putrinya sudah tau menau soal pacar. Padahal anak itu masih empat setengah tahun. Sangat jauh dari usia yang pantas menyebut kata itu.
"Saski kenapa bisa bilang gitu, Sayang?" tanyanya. Sisi berjongkok, menggenggam jemari mungil Saski dengan lembut.
"Bunda beli bunga itu buat Bosnya Bunda yang baru di kantor. Beliau baru pindah jadi, Bunda kasih hadiah bunga."
"Oh... Kirain Bunda punya pacar. Soalnya Mamanya Zalwa juga beli bunga buat pacarnya."
Tawa Sisi menguar kencang karena kepolosan putrinya. "Kok Saski tau kalau Mama Zalwa beli bunga buat pacarnya?"
"Kan Zalwa bilang ke Saski, Bunda."
Sisi menggeleng pelan. Wanita itu membelai pipi bulat dan mulus Saski dengan sayang. "Zalwa suka cerita apa aja sama Saski?" tanyanya lembut.
Anak berkuncir dua di hadapan Sisi itu terlihat berpikir. "Em... Banyak sih, Bunda. Zalwa itu suka curhat sama Saski."
Mendengar kata curhat, Sisi lebih kaget lagi. Ternyata tak disangka, putri mungilnya paham tentang bahasa orang dewasa rupanya.
"Curhat?"
Saski mengangguk. "Kan Saski sama Zalwa itu best friend kayak Bunda sama Tante Elisa yang suka curhat-curhat juga," katanya.
Sisi menyentuh dadanya dramatis. Rupanya dia sendiri yang mencontohkan pada Saski hal yang melewati batas umurnya itu. Sisi meringis kecil. Sepertinya dia harus lebih berhati-hati lagi mulai sekarang.
***
Sisi berjalan terburu-buru memasuki gedung tempat dia bekerja selama tiga tahun berakhir. Melewati pintu kaca otomatis, Sisi sedikit berlari menuju lift yang sedang terbuka.
Wanita itu sedikit kesulitan mengejar lift karena sedang memakai sepatu hak tinggi hari ini. Apalagi dengan membawa tas kerjanya berikut buket bunga mawar yang dia beli dalam perjalanan kesana tadi.
Pintu lift bergeser, hendak menutup. Sontak saja Sisi berteriak pada seorang pria yang berada di dalam lift tersebut.
"Mas, tolong!" serunya.
Dia berharap pria itu mau menahan lift untuknya. Karena saat ini dia sedang terburu-buru dan menunggu lift selanjutnya mungkin akan lama. Lalu dia bisa terlambat berkumpul dengan para staff lain untuk menyambut kedatangan bos baru mereka.
Namun rupanya pria berpakaian hitam dengan menenteng jas hitam di tangannya itu tidak menghiraukan Sisi. Dia hanya mendengus melihat wanita itu berlari-lari ke arahnya.
"Mas tolong!" ucap Sisi dan hanya dibalas seringaian oleh pria itu.
Sisi mendesah kecewa. Wanita itu memandang sosok pria tidak murah hati tersebut saat pintu lift hampir menutup. Kemudian dia tercekat.
"Mas..."
***
"Bu Sisi baru dateng?" Pertanyaan Alya membuat Sisi tergagap.
"Hah? Kenapa, Al?" tanyanya bingung.
"Ibu gapapa? Muka Ibu pucat," ujar Alya pada wanita itu.
Sisi menggeleng cepat. "Nggak, Al. Saya cuma capek. Karena saya tadi harus lari untuk sampai kesini," balasnya berbohong.
Jelas dia berbohong. Sisi tidak lelah meskipun harus berlari kesana. Namun itu karena dia sedikit syok tadi.
Alya mengerutkan keningnya saat melihat Sisi. Wanita itu seperti sedang bingung. Sisi bahkan tidak beranjak sedikitpun dari tempatnya. Ataupun melihat ke arah lain.
Dia seperti sedang linglung. Alya yakin ada yang mengganggu pikirannya. Gadis itu menjawil lengan Sisi pelan. "Bu... Bu Sisi?"
"Hm?"
"Itu Bu, Pak Bos udah dateng!" kata Alya pada Sisi sambil menunjuk ke arah kerumunan staff di ruangan tersebut.
Sisi mengangguk, melihat ke arah seorang pria yang terlihat paling mencolok disana. Sepertinya bos barunya itu masih muda. Dilihat dari belakang saja, sudah bisa dipastikan pria itu tampan. Punggungnya tegap. Auranya juga beda.
Sisi meringis kecil. Memang begitu kalau orang kaya dan berpengaruh. Auranya berbeda.
"Saya kesana dulu ya, Al. Mau kasih ini," ujar Sisi sambil memeluk buket mawar merah miliknya.
Alya mengerling genit. "Bu Sisi sok-sok cuek. Aslinya pengen dapet perhatian si bos juga ya? Hm... Mentang-mentang bos kita cakep. Semua staff cewek jadi pada kasih bunga tuh."
Sisi mendengus pelan. "Apaan sih, Al. Ini bunga yang pilih tadi Saski tau," ujarnya.
Alya sontak tersenyum lebar. "Wah... Saski feelingnya kuat banget. Tau aja kalo yang mau dikasih bunga cowok ganteng," guraunya.
"Alya!" geram Sisi. "Kamu kalo ngomong ngawur terus gitu, bulan ini kamu nggak saya kasih ijin cuti ya!" ancamnya.
"Nggak diijinin sama Ibu juga gapapa kok, Bu. Saya ijin aja sama Pak Bos langsung," balas Alya.
Sisi berdecak. Wanita itu memutuskan untuk beranjak meninggalkan Alya. Agar tidak digoda habis-habisan oleh gadis itu.
"Siang Pak Adam," sapa Sisi pada seorang pria paruh baya yang berpapasan dengannya.
"Oh, Bu Sisi. Selamat siang, Bu. Sudah ketemu Pak Direktur?" tanya Pak Adam.
"Belum, Pak. Ini saya mau kesana," balas Sisi. "Saya permisi Pak Adam."
Pria tua itu manggut-manggut. "Silahkan, Bu Sisi. Pak Direktur pasti akan senang sekali ketemu sama staff terbaik disini."
Sisi tersenyum kecil. Wanita itu berjalan melewati Pak Adam, dan beberapa staff lain yang sedang disana. Dia memasang senyuman terindah yang dia miliki untuk menyambut pimpinan tertinggi di perusahaan tempatnya mencari nafkah tersebut.
Sepertinya benar yang dibilang oleh Alya jika bos baru mereka berwajah tampan. Hal itu bisa dilihat Sisi dari binar-binar di mata para staff perempuan disana.
Bahkan salah satu staff wanita yang sebaya dengan Pak Adam saja senyum-senyum tidak karuan saat berhadapan dengan bos barunya.
Dada Sisi berdebar-debar. Wanita itu menggenggam kuat jemarinya untuk meredakan gugup. Ini pertama kalinya dia bertemu dengan pria itu. Dan Sisi ingin meninggalkan kesan yang baik untuk pria itu.
Sisi mengambil nafas dalam lalu mengeluarkannya perlahan. "Selamat siang Pak Digo Zayden," sapanya sambil tersenyum begitu manis.
Dan si pria tampan yang menjadi cassanova disana seketika menoleh, lalu mendapati sebuah buket mawar merah di hadapannya. Menutupi wajah wanita yang membawanya.
Pria itu tersenyum kecil. "Selamat siang, Ibu...." Dia menghentikan ucapannya.
"Saya Siera Inara, manager bagian keuangan."