Siera seketika melebarkan lengannya, menyambut bocah kecil yang berjalan gontai ke arahnya. "Wah... Anak bunda pinter banget bisa bangun sendiri," ujarnya sambil tersenyum.
Bocah itu menghampiri Siera lalu menjatuhkan dirinya ke dalam pelukan wanita cantik itu. "Mau sahur Bunda," ujarnya.
Siera tersenyum kecil. "Jadi ikut puasa lagi?"
"Hm."
Siera mencium pipinya cepat. "Cuci muka dulu yah, baru sahur sama Bunda," katanya pada bocah yang sedang mengucek-ucek matanya itu.
Saski menguap lebar lalu mengangguk, menuruti perintah Siera. Dia pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka lalu ikut makan sahur dengan bundanya.
"Mau ayamnya lagi nggak?" tawar Siera pada Saski.
Bocah itu mengangguk pelan. "Saski mau makan banyak, Bunda. Biar nanti nggak laper pas puasa."
Tawa kecil Siera pun terdengar. "Makannya nggak harus banyak, Sayang. Yang penting niat puasanya. Kalo Saski udah niat mau puasa, insyaallah Saski nggak akan laper dan nggak akan pengen makan meski ngeliat makanan," jelasnya.
"Makan berlebihan juga nggak baik, Sayang. Bisa timbul banyak penyakit kalo kita makannya berlebih-lebihan. Jadi, Saski makan secukupnya aja, ya."
Bocah empat setengah tahun yang tengah mengunyah ayam goreng itu mengangguk paham. "Bunda... di sekolah, temen Saski banyak yang nggak puasa," ujar Saski.
"Tapi Saski kan puasa. Itu artinya Saski anak pinter," balas Siera.
Saski tersenyum lebar. "Nanti di sekolah Saski boleh main perosotan kan, Bunda?" tanya bocah itu di sela makannya.
"Boleh. Tapi jangan capek-capek, ya. Nanti nggak kuat loh, puasanya."
Saski mengangguk. "Bunda, Saski mau puasa terus ya."
Mendengar itu Siera tersenyum lebar. "Emang kuat puasa terus? Sampe sebulan?"
"Kuat, dong. Kan Saski mau jadi anak baik. Biar nanti masuk surga terus ketemu sama Papa dan Mama."
Senyum Siera pun perlahan mulai luntur. Wanita itu menghentikan suapan nasi ke dalam mulutnya. Sisi menghela nafas pelan.
Lagi-lagi dia kembali teringat akan Andra dan Risa. Meski selama empat tahun ini dia berusaha keras menghapus ingatan tentang dua orang itu, nyatanya tidak bisa sama sekali. Semua yang ada di hidupnya terus mengingatkannya akan Andra dan Risa.
Siera mendesah pelan. Tentu saja, sampai kapanpun dia tidak akan pernah bisa menghilangkan dua orang itu dari hidupnya.
Sejak lahir dia hidup dengan Risa. Semua tentang Risa dia mengingatnya dengan baik. Entah itu sifatnya, senyumnya, tingkah lakunya dan semua tentang adiknya itu terpatri dalam ingatannya.
Pun juga dengan Andra. Menjadi sosok cinta pertama untuk Siera, membuat pria itu melekat kuat dalam hatinya. Nama Andra terpahat sempurna dan tidak bisa tergantikan hingga kini.
Siera tau, dalam setiap detak jantungnya, setiap hembusan nafasnya, selalu ada pria itu. Meski dia banyak meninggalkan luka untuknya.
***
"Ibu nggak jemput Saski?" Pertanyaan Alya sontak membuat Siera mengalihkan perhatiannya dari layar laptopnya.
Wanita itu menyingkap lengan kemejanya guna melihat jam tangan berwarna perak yang melingar di pergelangan tangannya.
"Astaga, saya lupa, Al." Dengan cepat Siera mengemasi barang-barangnya lalu mengambil tas miliknya yang dia simpan di almari.
"Saya jemput Saski dulu ya, Al. Anak itu pasti udah nungguin saya," ujarnya panik.
Alya, bawahannya mengangguk paham. "Oh iya, Bu. Barusan Pak Adam berpesan buat ngingetin Ibu nanti jam dua siang diminta ikut ke acara penyambutan pimpinan baru, Bu."
Siera mengerutkan keningnya. "Memangnya hari ini ya acaranya?"
Alya mengangguk. "Iya, Bu. Kan Pak Adam udah bilang pas meeting kemarin siang."
Siera menepuk dahinya pelan. Dia benar-benar lupa akan hal itu. "Aduh, gimana ya, Al. Saya nggak nyiapin kado lagi," keluhnya pada Alya.
Wanita itu benar-benar menyesal karena sama sekali tidak ingat kalau penggantian pimpinan baru dipercepat. Jadi dia tidak sempat membelikan kado untuk pimpinan baru mereka. Biasanya jika ada salah satu pegawai baru atau pindah ke cabang lain memang begitu. Selalu diadakan acara untuk menyambut atau sebagai perpisahan.
"Kamu ada saran nggak, Al. Kado apa yang bisa saya beli buat pimpinan baru kita?" tanya Siera pada Alya.
"Kasih yang gampang aja, Bu. Yang nggak ribet dan praktis."
Kening Siera berkerut mendengar jawaban Alya. "Maksud kamu duit?" tebaknya.
Alya tertawa renyah. "Bukan duit, Bu. Tapi bunga. Kan bunga gampang dibeli. Udah gitu praktis lagi nggak pake dibungkus," jawabnya.
Siera menggeleng tak setuju. "Tapi kan pimpinan kita yang baru itu cowok, Al. Masa iya saya kasih bunga. Nanti dikira saya naksir lagi," tolaknya.
"Naksir juga gapapa kok, Bu. Kan katanya pimpinan kita yang baru itu masih single. Deketin, Bu. Kali aja jodoh," goda Alya.
Siera sontak mendelik pada gadis itu. "Huss... Jangan sembarangan kalo ngomong! Didenger orang nggak pantes tau," omelnya.
Alya tertawa kecil. "Iya, Bu. Maaf..." ujarnya sembari membetulkan letak kacamatanya.
"Ya udah kalo gitu. Saya keluar dulu ya, Al."
Alya mengangguk. Gadis itu membukakan pintu untuk Sisi. "Bu Siera... jangan lupa jodohnya- eh... bunganya!" ujarnya yang membuat Sisi mendengus kesal.
***
"Bunda!" Siera berlari kecil menghampiri sosok mungil putrinya yang sedang melambai dari balik pintu gerbang sebuah taman kanak-kanak tersebut. Saski sontak berhambur memeluk pinggang Sisi begitu wanita itu sampai di depannya.
"Saski lama ya nungguin Bunda?" tanya Siera sambil mendekap bocah itu.
Saski mengangguk pelan. "Bunda kok lama?"
"Maaf ya, Sayang. Tadi jalannya agak macet."
"Iya gapapa kok, Bunda. Saski nggak capek kok nungguin Bunda."
Mendengar kepolosan putrinya itu, Siera sontak tertawa geli. Rupanya Saski sedang berusaha jujur dan bohong sekaligus. Anak yang sangat manis, batin Siera.
"Sayang, masih kuat kan puasanya? Abis ini kita langsung ke day care gapapa? Bunda soalnya mau balik kerja lagi," katanya pada Saski.
Anak itu mendesah lemah. Wajah sedihnya membuat Siera terheran. "Kenapa, Sayang?"
"Maafin Saski, Bunda. Tadi Saski haus banget. Jadi Saski minta minum ke Bu Guru," balas bocah itu lemas.
Siera tersenyum tipis. Diusapnya pipi anak umur empat setengah tahun itu dengan lembut. "Gapapa kok kalo Saski nggak kuat," ujarnya.
"Saski sebenernya kuat sih, Bunda. Tapi tadi Saski haus banget abis lari-larian."
"Saski main kejar-kejaran lagi ya sama Zalwa?" tebak Siera.
Anak itu menggeleng cepat. "Nggak kok, Bunda. Kan Zalwa lagi sakit. Jadi nggak masuk sekolah."
Zalwa, teman sekelas Saski di TK yang ibunya juga bekerja di perusahaan yang sama dengan Siera. Zalwa juga biasa dititipkan di day care yang sama dengan Saski sementara ibunya bekerja. Karena itu Saski dan Zalwa begitu akrab.
Latar belakang Zalwa pula yang membuat anak itu bisa dekat dengan Saski. Zalwa juga anak satu-satunya. Dan tidak punya ayah seperti Saski.
Saski bukan anak yang pandai bergaul. Dia cenderung pendiam dan suka menyendiri seperti Sisi. Karena itu dia tidak banyak teman.
"Terus kalo nggak main kejar-kejaran sama Zalwa, kenapa Saski lari-larian?" tanya Siera.
"Tadi itu Saski lagi ngejar Papa, Bunda."