Chapter 9 : Cucu untuk Mama

1273 Words
"Papa, Saski mau es krim lagi." Digo melengos mendengar kalimat tersebut. Dengan malas dia bangkit dari sofa dan berjalan ke dapur untuk mengambil satu mangkuk besar es krim untuk diberikan pada Saski. "Abis ini udah. Jangan minta-minta lagi." Saski mengangguk cepat lalu merebut es krim dari tangan Digo dan memakannya dengan penuh semangat. "Papa nggak mau es krim?" tawarnya pada pria itu. "Saya nggak suka es krim," tolak Digo. "Kalo Saski suka es krim. Bunda juga suka es krim. Zalwa juga." Digo merengut kesal, membanting pantantnya di sofa lalu meraih remote televisi. "Nggak nanya," gumamnya ketus. "Papa jangan diganti!" Digo sontak terkejut. Pria itu memegangi dadanya kaget akan teriakan tiba-tiba bocah kecil berkuncir dua di depannya itu. Matanya menyipit tak suka saat melihat remote televisi telah berpindah ke tangan kecil Saski. Dia mendesah lelah. "Hei, kamu nggak bosen apa dari pulang sekolah nonton itu terus?" tanyanya sebal. Saski menggeleng pelan. "Saski nggak bosen kok. Kan Saski suka nonton kartun," jawabnya. Dia menyendok es krim lalu memasukkannya ke dalam mulut sambil tersenyum riang. "Bunda juga suka nonton kartun," lanjutnya menggumam. Dan perkataannya itu sontak memancing kekesalan Digo. Dia bosan sejak tadi anak itu terus mengoceh tanpa henti. Ada saja yang dia ceritakan. Entah itu kesukaannya, kesukaan Bundanya, kesukaan teman-temannya, gurunya, kepala sekolah, satpam komplek, tukang becak dan lain-lainnya. Pokoknya anak itu tidak mau diam. "Papa, Saski mau pipis." Digo memegangi kepalanya yang langsung terasa pening, seperti habis dipukul batu dengan keras. "Ngerepotin aja sih ini kecebong!" gerutunya gregetan. Digo langsung memegangi tangan Saski yang berada di lengannya lalu membawa anak itu ke kamar mandi rumahnya. Dalam hatinya dia begitu menyesal karena ceroboh dalam bermain-main. Dan kini akibatnya dia harus menanggung penderitaan seumur hidup dengan menjadi seorang ayah. Dia yang tidak suka anak-anak, tidak mau terlibat dengan anak-anak, mendadak menjadi ayah dari seorang anak. Ironis sekali. "Buruan! Keburu ngompol nanti kamu!" omelnya pada Saski. "Saski nggak pernah ngompol kok. Kan Saski udah empat tahun, Papa. Yang suka ngompol itu anak bayi. Kalo anak kayak Saski-" "Ya! Udah! Udah, oke. Nggak usah banyak omong," potong Digo cepat. Dalam hatinya dia mengumpat kesal, mengutuk Utami, asisten rumah tangganya yang dengan seenaknya ikut shopping bersama mamanya. Andai kata Utami ada di rumah, Digo sudah pasti tidak perlu pusing mengurus Saski. Bahkan dia tidak perlu membatalkan rapat penting hanya untuk menemani anak itu nonton Spongebob di rumah. "Papa, udah." Digo memutar bola matanya malas. "Lama banget sih! Di kamar mandi ngapain aja? Tidur?" omelnya pada Saski. Pria itu masuk ke dalam kamar mandi dan memeriksa keadaan kamar mandi. Alisnya terangkat begitu melihat kamar mandi dalam kondisi bersih. Rupanya anak itu pintar menjaga kebersihan, pikirnya. "Papa!" Digo mendesah lelah, berbalik menghadap anak kecil itu sambil merengut. "Apa lagi?" "Saski laper." Digo menepuk dahinya pelan. Rupanya karma itu benar-benar ada. Inilah akibat dari dosanya menabur benih sembarangan. Baru satu kecebong yang muncul. Belum lagi jika seandainya ada kecebong-kecebong lain yang lahir karena ulahnya. Bisa mati berdiri dia kalau itu benar-benar terjadi. *** Digo segera meninggalkan meja makan saat mendengar suara mobil memasuki halaman rumahnya. Pria itu berjalan menuju pintu dengan wajah merengut, bersiap menyambut dua orang wanita yang baru datang. "Mama dari mana aja sih? Malem gini baru pulang," omelnya langsung pada sang mama. Wanita dengan rambut panjang bergelombang itu berjalan melewati Digo dengan acuh. Seolah putranya itu tak terlihat. "Kamu juga, Utami! Ngapain kamu ikut sama Mama segala!" Kini gantian sang asisten rumah yang kena semprot Digo. "Kamu disini itu dibayar buat kerja, bukan buat shopiing sama nyalon!" "Utami emang Mama gaji buat nemenin Mama shopping, kok." Digo berbalik menghadap wanita cantik dengan rambut panjang bergelombang yang sedang melotot ke arahnya tersebut. "Tapi kan tugasnya Utami tuh buat beres-beres rumah, Ma." "Terus kalo tugasnya Utami udah selesai kan boleh dong Mama ajak dia buat jalan-jalan." "Ya nggak bisa sering-sering juga kan? Rumah tuh harus ada yang ngurusin. Kalo Digo butuh apa-apa di rumah gimana kalo nggak ada Utami?" "Berisik!" seru Mama Digo kesal. "Kamu tuh ya, kalo mau ngelarang-larang Utami ikut Mama shopping, harusnya itu sadar diri. Kasih Mama menantu atau cucu gitu. Biar Mama tuh nggak ngajak Utami lagi," omelnya. "Mama mau punya Cucu buat diajak jalan-jalan. Mama kan juga pengen kayak temen-temen Mama, Go. Mereka kalo arisan pada bawa cucu. Mama doang yang nggak punya cucu," lanjut wanita itu dengan raut sedih di akhir kalimat yang dia ucapkan. Digo menghela nafas pelan melihat wajah sendu sang mama. Dia memang sering kesal pada mamanya yang dia nilai terlalu galak dan menyebalkan. Tapi jika melihatnya sedih seperti ini, Digo jadi ikut sedih. Tak terhitung berapa kali wanita itu menyuruh Digo untuk menikah. Tapi Digo sama sekali tidak menggubris perkataan ibunya. Dia lebih senang menghabiskan waktu senggangnya untuk bersenang-senang dengan pacar semalamnya. Dia tidak berminat menjalin hubungan serius apalagi berumahtangga. Menurutnya sangat merepotkan jika punya istri apalagi anak-anak. Digo lebih suka hidup bebas tanpa pendamping. Digo berdecak pelan melihat wajah masam mamanya. Wanita itu menatapi Digo sambil merengut, hampir seperti merajuk. "Udah ada tuh di dalem," ucap Digo pada akhirnya. Karla, Mama Digo mengerutkan keningnya mendengar ucapan sang anak. "Ada apanya?" "Katanya Mama minta Cucu?" balas Digo. "Udah ada di dalem," ujarnya sambil memandang Karla, mengawasi ekspresi wajah mamanya itu. Karla menyipitkan matanya, menatap Digo bingung. "Cu...cu?" ejanya perlahan. Digo mengangguk mantap. "Dia lagi makan di dalem, Ma." "Kamu jangan godain Mama ya, Go. Mama lagi kesel sama kamu, tau!" ujar Karla. "Katanya minta cucu. Udah dikasih malah bilang bercanda. Gimana sih, Ma?" balas Digo tak terima. "Ya emang kamu lagi bercanda, kan?" Digo mendesah panjang. "Mama... Mama boleh liat ke dalem kok buat buktiin Digo bercanda atau nggak." Karla terdiam sejenak, mengamati raut wajah putranya yang terlihat tulus. "Go... Kamu serius?" tanya wanita itu ragu. Digo mengendikkan bahunya sekilas. Gerakan tangannya mengisyaratkan Karla untuk masuk ke dalam rumah. Mata Karla menyipit percaya. Namun melihat wajah putranya yang begitu meyakinkan, wanita itu mengambil langkah seribu dan masuk ke dalam rumah. Lalu diikuti oleh Digo kemudian Utami masuk ke dalam, meninggalkan berbagai tas belanjaan begitu saja. *** Karla menutup mulutnya dengan tangan karena syok, sangat-sangat syok melihat makhluk mungil berada di ruang makan rumahnya. Sedang menikmati makan malamnya dengan bersemangat. Dia pikir putranya berbohong saat mengatakan ada seorang cucu di dalam rumahnya. Ternyata cucunya benar-benar ada. Tapi tunggu! Anak itu belum tentu cucunya. Dia belum pasti anak Digo. Bisa jadi Digo cuma asal bicara saja, mengingat pria itu tidak bisa dipegang omongannya. Digo kan mahir berkelit, berbohong, pintar merayu dan tidak bisa dipercaya sama sekali. Dengan langkah perlahan, Karla mendekati anak itu dan menyapanya dengan suara lirih. Bocah itu langsung menoleh dan memberikan senyum manisnya pada Karla. Karla memegangi dadanya penuh haru tatkala anak itu dengan pintarnya turun dari kursi makan dengan susah payah untuk mendekati Karla dan mencium tangannya. "Astaga Sayang, kamu manis banget. Siapa nama kamu?" tanya Karla lembut. "Saski." "Digo, ini anak siapa? Dia manis banget," ujar Karla pada Digo dengan wajah kagum. "Tanya aja dia anak siapa," balas Digo cuek. Karla mencibir. Sambil memeluk Saski dia menanyai anak itu, "Sayang, kamu anak siapa?" "Anak Papa," jawab Saski sambil menunjuk Digo. Karla terlihat syok dengan jawaban anak itu. "Dia Papa kamu?" Saski mengangguk. "Iya, Nenek. Kata Bunda itu Papa Saski." "Nenek?" Karla memegangi dadanya dramatis. Dengan mata berkaca-kaca dia memeluk anak itu. Betapa bahagianya dia dipanggil 'Nenek' oleh anak itu. Panggilan itulah yang dia nantikan selama ini. Namun jangan kira Karla tidak marah pada Digo. Dia geram karena tau putranya diam-diam memiliki anak dari wanita yang tidak dia ketahui siapa. Karla melirik Digo tajam. Meskipun dia ingin sekali menjambaki rambut hitam tebal pria itu sekarang, tapi Karla menahannya. Dia tidak ingin merusak kebahagiaannya untuk menghukum Digo. Ada waktunya nanti.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD