"Ma-" Digo yang bersiap menyemburkan amarahnya mendadak menahan sakit pada daun telinganya.
Pria itu sejak tadi sudah geram menahan emosi, pulang ke rumah dengan perasaan kesal pada sang Mama karena mengganggu kencannya.
Seandainya saja Karla tidak menyuruh para bodyguardnya menjemput paksa Digo dari The Crown, klub malam tempatnya menghabiskan malam-malam indahnua sehari-hari, pasti saat ini dia sudah mendapat mangsa.
Sungguh sial dia malam ini. Padahal wanita yang hampir jadi teman kencannya malam ini cukup seksi. Meski tidak seseksi Siera, tapi setidaknya dia cukup menghibur Digo dari lelahnya menjaga Saski seharian.
Ya, sampai saat ini tidak ada wanita yang menandingi keseksian salah satu karyawannya itu. Siera memang wanita terseksi yang pernah ada.
Digo meringis sambil mengusap-usap daun telinganya yang habis dijewer oleh sang mama dengan wajah merengut. "Mama main jewer-jewer aja sih! Sakit tau!" protesnya.
"Biarin! Biar kapok kamu!" kata Karla sambil melipat tangannya di depan d**a. "Seenaknya aja keluar rumah nggak pamit. Mana ninggalin Mama sendirian sama Saski. Kamu nggak tau kan dia tadi nangis nyariin kamu!" omelnya.
Digo berdecih kecil. "Kenapa lagi sih itu anak," gerutunya.
"Kamu tadi dari mana?" tanya Karla.
"Crown," jawab Digo singkat.
Karla menggeram pelan. "Astaga Digo! Kamu nggak kapok ya nebar benih sana-sini? Kamu mau punya anak berapa lagi? Itu anak satu aja kamu nggak urusin gitu!" kesalnya.
Digo memutar bola matanya malas. "Kan ada Utami yang ngurus, Ma."
"Enteng banget ya kamu ngomongnya. Itu anak jadi tanggung jawab kamu loh, Go! Dia anak kamu dan udah tinggal sama kamu jadi kamu harus ngerawat dia, bukan orang lain."
"Ya udah sih, Ma. Pulangin aja anak itu ke ibunya. Beres," balas Digo. "Lagian tuh ya, Digo nggak sabar ngerawat anak kecil, Ma."
"Udah tau gitu kenapa bikin anak?"
Digo mengendikkan bahunya pelan. "Namanya juga kebobolan, Ma. Digo juga baru tau kalo punya anak. Ibunya anak itu aja Digo nggak jelas."
Karla terperangah mendengar ucapan putranya. "Emangnya kamu nggak tau ibunya? Namanya siapa?"
Digo menggeleng. Tau orangnya saja tidak, apalagi namanya. Digo mana mau susah-susah menghafal nama orang lain. Apalagi orang itu hanyalah teman kencan semalamnya. Yang mungkin hingga saat ini jumlahnya tak terhitung saking banyaknya.
"Terus anak itu kenapa bisa tiba-tiba sama kamu?"
Lagi, Digo mengendikkan bahunya. "Dia tiba-tiba aja nyamperin Digo pas Digo lagi nunggu Pak Sam tadi siang di pinggir jalan. Terus dia nunjukin foto-" Pria itu tiba-tiba menghentikan ucapannya saat teringat sesuatu.
"Kalung!" pekiknya senang. "Ma, di kalung yang dia pake ada foto ibunya!" ujarnya pada Karla.
Lalu tanpa menunggu reaksi Karla, pria itu berjalan cepat menaiki tangga dan menuju ke tempat Saski berada.
Dengan langkah perlahan dia memasuki kamar mamanya dimana Saski sedang tertidur pulas sambil memeluk boneka berbentuk Hello kitty yang dibeli Digo tadi sore.
Digo duduk di tepi ranjang, menghadap anak malang itu. Sejenak Digo merasa kasihan saat memandangnya. Wajah anak itu sembab, terlihat jelas bahwa dia habis menangis sebelum tertidur.
Berhati-hati sekali, agar tidak membangunkan Saski, Digo menarik kalung berbentuk hati dari leher anak itu. Diusapnya inisial 'AR' di bagian belakang kalung itu.
Digo membuka benda itu perlahan dengan perasaan was-was. Jantungnya mendadak berdebaran. Dia sedikit takut untuk mengetahui kebenaran tentang anak itu.
Foto dua orang di dalam kalung itu membuatnya terdiam sejenak. Digo mengamati wajah wanita yang sedang tersenyum manis dalam foto berukuran kecil itu, mengingat-ingat sosoknya.
Saat otak liciknya memunculkan sebuah nama, mendadak jantung pria itu berhenti berdebar. Digo memegangi dadanya, seperti orang yang terkena serangan jantung.
Dia tau wanita itu. Dia sangat tau. Digo menggeleng pelan. Lalu menoleh ke arah bocah mungil di sampingnya. Dipandangnya anak itu tak percaya.
Syok tentu saja. Digo benar-benar tidak menyangka jika dia mengenal betul ibu Saski. Digo mengambil nafas panjang dan menghembuskannya perlahan, mencoba untuk tenang.
Tangannya terulur menyentuh rambut panjang Saski yang berantakan di atas bantal. "Oh, My daughter," desahnya lirih.
***
Alya mencolek pundak Siera pelan. "Bu, tehnya diminum dulu." Suara Alya yang terdengar tidak membuat Sisi bergerak sama sekali. Bahkan menoleh pun tidak.
Siera memandangi gelas berisi teh hangat buatan Alya dengan tatapan kosong. Kedua tangannya terkulai lemas di atas pangkuannya. Tak sanggup meraih gelas bening itu. Jangankan meraihnya, untuk menggerakkan tangannya saja Siera tidak mampu.
Tenaganya sudah habis untuk menangis dan berlarian kesana kemari, menelusuri semua tempat yang mungkin untuk menemukan sang putri. Mencarinya seperti orang gila.
"Bu..." Alya duduk di samping Sisi yang mengigit bibirnya, menahan tangis dan air mata. Dipeluknya Siera sehingga tangis wanita itupun pecah seketika.
"Saya takut terjadi apa-apa sama Saski, Al. Saya lebih baik mati kalau Saski nggak kembali," tangisnya.
"Bu Siera jangan ngomong gitu. Bu Siera harus yakin kalo Saski akan kembali, Bu."
Siera menggeleng pelan. Tangisnya makin menjadi meskipun Alya sudah berusaha menghiburnya. "Ini salah saya, Al. Saya bodoh. Karena kebodohan saya, Saski hilang."
Alya mengusap-usap punggung wanita itu demi menenangkan hatinya. Dia bisa memahami rasa sakit yang diderita Siera. Rasa sakitnya kehilangan putri, rasa sesal dan rasa bersalah mungkin saat ini tengah menyiksanya bersamaan.
Karena itu, sejak mengetahui anaknya menghilang, air mata dan tangis tidak sedikitpun meninggalkan Siera.
Alya mengambil ponsel Siera yang bergetar di atas meja dan memeriksa satu pesan masuk di ponsel atasannya itu. Rupanya itu pesan yang dikirim oleh Elisa yang mengabarkan jika saat ini dia sedang menuju kesana.
Tak lama kemudian Alya meletakkan ponsel Siera kembali ke atas meja dan mengambil ponselnya sendiri untuk mengecek barangkali ada kabar dari teman-teman kantornya yang ikut mencari Saski. Namun nihil.
Alya mendesah kecewa. Kembali dipeluknya Siera yang tak henti menangis. Dia ikut bersedih bersama wanita itu untuk beberapa lama, sebelum suara ketukan pintu membuat keduanya tersadar.
Alya buru-buru berdiri dan membuka pintu. Matanya seketika melotot melihat orang yang datang ke rumah Siera tengah malam ini.
"Pak Digo?" ucapnya kaget. Gadis itu kemudian melirik ke arah makhluk kecil yang sedang tertidur pulas dalam gendongan Digo.
Spontan Alya memekik kaget. "Saski!"
Mendengar nama sang putri yang menghilang disebut, Siera seketika beranjak dan berlari keluar menuju pintu.
Wanita itu ikut memekik, menutup mulutnya syok ketika melihat sosok sang putri. "Saski..." ucapnya sambil menangis.
Siera melangkah maju, hendak menghampiri sang putri tercinta. Namun kakinya mendadak terhenti saat menyadari orang yang sedang menggendong putrinya tersebut.
Badan Siera membeku, dia berdiri kaku di tempatnya. Melihat pemandangan yang sejak dulu selalu ada dalam mimpinya.
Air mata Siera terjatuh. Bola matanya mengabur, menyamarkan penglihatannya karena air mata. Segera dia berkedip-kedip demi tak mau kehilangan satu detik pun pemandangan indah itu.
Siera menggeleng pelan, menutup mulutnya untuk menyamarkan suara isakannya yang mulai keluar dari bibir tipisnya.
Sungguh dia tidak menyangka jika mimpinya sejak bertahun-tahun lalu bisa terwujud hari ini. Bahkan Siera sudah yakin jika mimpinya itu hanya akan terus menjadi mimpi hingga akhir hidupnya.
Tapi bukankah hal mustahil sekalipun bisa terjadi atas izin Sang Maha Kuasa?
Siera menangis. Pemandangan di depan matanya itu kini membuat hatinya bergejolak. Sejak dulu, dia selalu membayangkan melihat bocah mungil itu sedang tertidur lelap di dalam gendongan Andra. Dibuai olehnya dengan penuh kasih sayang. Hal yang sama sekali tidak pernah dilakukan oleh Andra pada bocah itu saat hidupnya.
"Mas..." lirihnya sambil menangis. Tangisnya makin lama makin keras. Air matanya pun kian deras. Sehingga membuat panik orang yang sejak tadi berdiri di pintu rumahnya tersebut.
Pria itu buru-buru masuk, melewati Alya yang rupanya masih tidak bisa bangkit dari rasa terkejutnya melihat dirinya datang sambil membawa Saski.
"Siera..."
Itu bukan Andra, tapi...
Siera langsung mengelap air matanya yang jatuh dengan jemari lentiknya. Lalu menyambut sosok pria itu. "P-pak Digo." Entah kenapa dia selalu merasa berat memanggil nama itu. Dalam hatinya dia selalu ingin berteriak, memanggil pria itu dengan nama kekasih hatinya.
Namun Siera sadar jika tidak boleh melakukan itu. Pria itu bukan Andra. Dia orang lain yang kebetulan wajahya mirip dengan almarhum mantan suaminya.
"Pak Digo... Anak saya Saski kenapa-"
"Dimana kamar Saski?"
"Kamar?" tanya Siera bingung.
Digo mendesah pelan. "Saski harus ditidurkan di kamarnya lebih dulu. Baru kita bicara, oke?"
Siera mengangguk kaku. "Disana, Pak!" tunjuknya ke sebuah pintu bercat pink.
Digo tersenyum kecil pada wanita itu. "Tunggu sebentar, Honey. Biar aku tidurkan anak kita dulu," pamitnya dan dibalas anggukan oleh Siera.
Namun sedetik kemudian wanita itu tersadar. Dia langsung menoleh seketika ke arah Digo yang melangkah ke kamarnya sambil menggendong Saski. Batinnya bertanya-tanya.
Anak kita? Sejak kapan Saski jadi Anaknya dan Digo?
***
Siera mendesah lemah saat melihat Digo mendorong-dorong Alya keluar dari pagar rumahnya. Wanita itu benar-benar tidak paham dengan pikiran bosnya itu.
Seenak jidatnya dia mengusir Alya keluar dari rumah Siera begitu selesai menidurkan Saski di kamarnya. Tidak ada satupun ucapan Siera yang didengarkan oleh pria itu.
Digo bahkan tidak peduli saat Siera berusaha menjelaskan jika Alya sudah menemaninya mencari Saski sejak sore tadi. Dan sebagai rasa terima kasih harusnya Sisi mengajak Alya menginap di rumahnya, bukannya malah mengusir Alya pulang sendiri tengah malam seperti ini.
Tapi rupanya pria itu keras kepala. Dia tetap menyuruh Alya pulang dengan ancaman akan memecat Alya jika tidak segera pulang. Siera menggeleng pelan begitu melihat Digo berhasil mengusir Alya. Pria itu memang tukang perintah, sombong dan sok berkuasa.
Senyum Digo langsung mengembang begitu melihat Siera berada di depan pintu. Dengan langkah cepat dia menghampiri Siera dan menariknya untuk masuk.
"Pak Digo, gimana bisa-"
Belum sempat wanita itu menanyakan perihal putrinya yang ada bersama Digo seharian, wanita itu dikejutkan oleh pelukan erat Digo padanya.
"P-Pak..."
"Kenapa kamu nggak coba untuk ngasih tau aku kalau kita punya anak?"
Siera mendelik, dengan segera dia meronta, berusaha melepaskan pelukan Digo. Tapi gagal. Pria itu sangat-sangat erat memeluknya.
"Pak, lepas!"
"Kamu keterlaluan, Honey. Kalau aja tadi siang aku nggak ketemu Saski, mungkin aku nggak akan pernah tau kalau dia anakku."
Siera menggeleng tegas. Dengan sekuat tenaga dia mendorong Digo dan berhasil. "Maaf, Pak. Pak Digo salah paham. Saski itu anak saya."
"Anak kita," ralat Digo buru-buru.
Siera menghela nafas frustrasi. "Pak, Saski itu anak saya. Dia bukan anak Bapak. Bapak salah paham."
Digo menggeleng tak setuju. "Nggak, Honey. Jangan bohong. Aku tau kamu takut aku marah kalau tau punya anak kan?" ujarnya.
Pria itu tersenyum kecil pada Siera. "Aku emang nggak mau punya anak karena aku nggak suka anak-anak, Honey. Tapi itu pengecualian kalau kamu adalah ibunya," lanjutnya sambil mengedip pada Siera.
"Aku akan dengan senang hati bertanggungjawab."
Siera terdiam, kehabisan kata-kata. Wanita itu memijit pelipisnya pelan. Seharian dia dibuat pusing karena masalah hilangnya Saski. Tapi begitu anak itu kembali, dia membawa masalah yang tak kalah besarnya dengan kejadian menghilangnya dia tanpa jejak.
"Pak Digo..." desahnya lirih. "Anda salah paham."
Digo lagi-lagi menggeleng tak setuju. "Aku udah lihat kalung Saski, Honey. Dan aku langsung percaya sejuta persen kalau Saski itu anakku," ujarnya penuh percaya diri.
Siera terdiam sejenak untuk mencerna ucapan Digo. Tak lama kemudian wanita itu menepuk dahinya begitu sadar maksud pria itu.
Astaga, jadi Digo mengira foto di kalung Saski adalah dirinya. Padahal itukan foto Andra dengan Risa.
Pantas saja pria itu begitu yakin menyebut Saski adalah anak mereka. Sosok Andra dan Risa memang sama persis seperti dirinya dan Digo.
"Pak, yang di foto itu bukan Pak Digo. Tapi dia itu Andra, papa kandungnya Saski. Dia mantan suami saya yang-"
"Mantan suami?"
Siera mengangguk. "Iya, Pak. Dia itu-"
"Tapi seingat saya, saya belum pernah menceraikan istri saya. Jadi itu artinya kita masih suami istri kan?"
Bibir Siera menganga karena kaget mendengar ucapan kacau direktur utama di kantornya itu. "Ap-apa?"
Digo berdecak kecil. Dengan cepat dia berbalik ke arah pintu dan menguncinya. "Jadi istriku, mulai malam ini aku akan tinggal disini sama kamu dan anak kita," ujarnya santai kemudian berjalan melewati Siera dan masuk ke dalam rumah.
Siera menggeleng tak percaya. Apa Digo itu gila?
"Honey!" panggil Digo saat baru beberapa langkah dia berbalik untuk menghadap Siera.
"Em..." Pria itu terlihat berpikir sejenak. "Saya suka baju tipis yang kamu pakai. You look so sexy," ujarnya sambil mengerling nakal dan membuat Siera merasa ngeri.
Wanita itu buru-buru melihat ke arah pakaian yang dia pakai begitu Digo sudah masuk ke kamarnya. Siera menepuk dahinya pelan.
Pantas saja, pikirnya.
Pakaiannya itu memang sangat tidak layak untuk dilihat oleh seorang pria saat ini. Daster tipis dan menerawang yang dia ambil sembarangan dari lemari tadi, membuatnya malu.
Siera terlalu bersedih memikirkan putrinya yang tidak kunjung ditemukan sampai memakai baju yang ditemukan oleh tangannya.
Wanita itu menggigit bibirnya, sembari menyilangkan kedua tangannya di depan d**a. Fix, dia harus mengundurkan diri dari kantornya besok.
Siera tidak mungkin bisa menahan malu bertemu Digo setiap hari dengan kenangan daster tipis yang dipakainya malam ini.